Tuesday, December 04, 2007



Opini

Eksploitasi Mimpi-Mimpi Kekuasaan
Media Indonesia
, Selasa, 4 Desember 2007

A. Bakir Ihsan

Aroma kekuasaan belakangan ini semakin menyengat. Pemilu yang masih satu setengah tahun lagi dihadirkan lebih awal melalui berbagai manuver kekuasaan. Beberapa calon presiden berusaha meraih simpati rakyat dengan beragam strategi, jauh sebelum lonceng pemilu dibunyikan. Kegagalan pemerintah dan kemiskinan menjadi komoditi yang diperdagangkan oleh para calon.

Megawati Soekarnoputri melakukan roadshow politik mengelilingi pulau Jawa dan rencananya akan dilanjutkan di luar Jawa. Safari politik di bawah bendera “Megawati Menyapa Rakyat” ini mengunjungi tempat-tempat di mana keluh kesah tentang kegagalan pemerintah dapat didengar.

Sementara Jenderal (Purn.) Wiranto secara terbuka beriklan diri untuk menyejahterakan rakyat. Dengan angka kemiskinan yang dirujuk dari Bank Dunia, ia yakin bisa menghapus angka itu pada titik terendah. Tapi itu akan tercapai bila dirinya dipilih sebagai orang nomor satu di republik ini. Sebuah komitmen yang sarat dengan kepentingan.

Sebagai sebuah manuver politik, tentu tidak ada korelasi antara isu yang diembuskan dengan kapasitas dan kualitas sang pengembus. Semua dioperasikan untuk meraih simpati. Belum ada bukti konkret keberhasilan kedua calon ini dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Paling tidak kemiskinan sampai saat ini masih eksis. Namun demikian, isu kemiskinan akan menjadi isu yang laku dijual di tengah “permintaan pasar” yang begitu kuat.

Wacana politis
Sulit dimungkiri bahwa kemiskinan di negeri ini menjadi agenda yang tak ada habisnya. Sejak lahir, negara ini berkubang dalam kemiskinan yang seakan menjadi keharusan. Pelbagai upaya yang dilakukan pemerintah tak juga membuahkan hasil yang maksimal. Hal ini sekaligus menjadi potret kegagalan rezim-rezim yang pernah berkuasa di negeri ini.

Banyak teori yang membedah masalah kemiskinan baik yang berbasis pada budaya (kultural) maupun pada sistem (struktural). Ragam perspektif ini menjadi tarik ulur di antara pengamat dan pengambil kebijakan. Dalam ranah budaya, pendidikan digalakkan untuk menumbuhkan apa yang oleh David McClelland disebut sebagai kehendak berprestasi (need for achievement). Sementara secara struktural kebijakan-kebijakan diglontorkan untuk mempersempit ruang kemiskinan. Namun kemiskinan tak juga lekang. Ia bergerak dari satu titik ke titik yang lain secara zigzag, tapi dalam satu garis yang sama.

Paling tidak ada tiga pemaknaan atas realitas involusi kemiskinan tersebut. Pertama, masalah kemiskinan belum ditangani secara komprehensif sehingga hasilnya pun bersifat tambal sulam. Hal ini terkait dengan pergantian rezim yang tidak satu nafas. Regularitas kepemimpinan di negeri ini berlangsung secara tidak normal. Pergantian ditandai oleh keterpaksaan atau ketidaktulusan untuk melepas jabatan. Konsekuensinya penyelesaian kemiskinan lebih bersifat karikatif, non substantif.

Kedua, kemiskinan dipandang sebagai beban pemerintah (negara) semata. Pemahaman seperti ini dengan sendirinya menjadi problem bagi negara yang secara finansial sangat terbatas. Namun keterbatasan negara ini tidak serta merta menggugah masyarakat (swasta) untuk bergerak bersama memberantas kemiskinan. Bahkan sebagian orang menjadikannya sebagai sebuah komoditas. Konsekuensinya ketiga, kemiskinan cenderung menjadi wacana politis (kekuasaan) yang mengaburkan substansi dari problem kemiskinan itu sendiri.

Dari pembacaan tersebut terlihat jelas bahwa kemiskinan tidak bisa diletakkan secara parsial dan dibebankan pada negara semata atau pada satu periode kekuasaan. Kemiskinan merupakan warisan berantai antar rezim yang menuntut kebersamaan bukan saling lempar batu sembunyi tangan.

Kompleksitas kemiskinan
Masalah kemiskinan menjadi problem utama setiap rezim berganti. Saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemiskinan juga menjadi agenda yang selalu menjadi sorotan. Dari beberapa program yang ditawarkan pemerintah, terlihat jelas masalah kemiskinan mendapat perhatian ekstra. Paling tidak hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kegiatan seperti dukungan atas beroperasinya rumah sehat yang merupakan tempat pengobatan gratis bagi masyarakat miskin, program sejuta rumah sehat yang diperuntukkan bagi mereka yang penghasilannya pas-pasan, dan peluncuran program Kredit Usaha Rakyat. Ketiga bentuk kegiatan ini merupakan langkah konkret bagi upaya pengurangan jumlah rakyat miskin yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) masih cukup tinggi walaupun mengalami penurunan.

Langkah yang dilakukan pemerintah, tentu tidak serta dapat menghapus kemiskinan secara simultan. Di samping telah mendarah daging, kemiskinan juga merupakan rangkaian dari realitas yang multikompleks. Bahkan menurut Deepa Narayan, senior advisor World Bank, kemiskinan telah terjebak dalam kutub yang saling mengunci, sehingga ia harus diurai secara spesifik baik dalam konteks kultural maupun struktural, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global. (that poverty is multidimensional and complex -- raising new challenges to local, national and global decision-makers).

Namun demikian, spesifikasi tersebut tetap memiliki benang merah yang ikut mengantarkan kemiskinan tetap eksis. Kemiskinan hanya akibat dari sebuah sistem yang menyebabkannya selalu terlempar pada pojok-pojok sejarah.

Menjual mimpi
Melihat kenyataan tersebut, terngiang kembali pernyataan Mahatma Gandhi yang menyatakan, dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tak akan pernah cukup untuk satu orang yang serakah. Ironis memang. Semua negara berdiri di atas optimisme kekayaan alam yang dimilikinya. Namun yang terjadi sebaliknya. Keserakahan telah mengubur semua mimpi. Keserakahan ini semakin mengancam ketika ditopang oleh kekuasaan. Korupsi merupakan bentuk konkret dari perselingkuhan kekuasaan dan keserakahan.

Walaupun sejak awal presiden Yudhoyono menyatakan perang terhadap korupsi, namun ia seperti jamur yang terus berkecambah. Korupsi tidak saja menjadi perilaku aparatur negara, tapi layaknya nafas yang menggerakkan sebuah sistem. Mencabut korupsi sama dengan mencabut nyawa sistem itu. Di sinilah pemberantasan korupsi menjadi ambigu bila tidak disertai political will yang kuat dari negara. Kuat tidaknya sebuah negara ditentukan oleh kemampuannya mengembalikan seluruh fungsi organnya (lembaga-lembaga negara) sesuai fitrahnya (konstitusi).

Memang tidak ada korelasi positif antara korupsi dan kemiskinan. Namun keduanya bersenyawa dalam menggerogoti kekuatan negara. Kuasa dan keserakahan akan mengantarkan seseorang menjadi koruptor dan berakibat pada tersumbatnya akses kesejahteraan yang seharusnya dinikmati kaum miskin.

Inilah yang seharusnya dikedepankan oleh para calon presiden. Kemiskinan hanyalah dampak dari perilaku elit yang serakah sehingga rakyat terus menjadi korban. Karena itu, kita harus selalu khawatir atas syahwat kekuasaan yang mulai menggeliat belakangan ini. Apakah kekuasaan untuk kekuasaan (kerakusan) atau untuk rakyat. Semua masih pada janji, tinggal waktu yang akan menguji. Tapi kita boleh berasumsi, bahwa sampai detik ini penyelesaian masalah kemiskinan sebatas mimpi. Dan bila mimpi itu terus digembar-gemborkan akan terselesaikan melalui kekuasaan, semua itu tak lebih bentuk eksploitasi atas mimpi-mimpi.*

Friday, November 23, 2007



Opini

Safari Janji Megawati
Seputar Indonesia, Rabu, 21 November 2007

A. Bakir Ihsan

Sejak 18-23 November, Megawati Soekarnoputri mengadakan safari lintas Jawa dengan tema “Megawati Menyapa Rakyat”. Tak kurang 21 tempat ia lalui untuk menyapa rakyat. Sesuai temanya, acara ini sekadar menyapa. Tak berlebihan apabila juru bicara presiden mengomentarinya sebagai acara tebar pesona karena tanpa karya nyata.

Inilah atmosfer politik yang menggelayut satu setengah tahun menjelang pemilu 2009. Menurut catatan media massa, safari politik Megawati memunculkan beragam ekspresi, ada yang bangga ada yang kecewa. Bangga karena, sebagaimana layaknya kampanye, ada janji-janji di tengah penderitaan rakyat. Tentang rotan dan bawang merah yang anjlok harganya, Megawati memberi janji bahwa bila dirinya dipilih nanti, hal ini tidak akan terjadi.

Tapi ada juga yang kecewa karena Megawati tak memberikan kesempatan untuk dialog. Sebagaimana dilansir Okezone (19/11) ribuan nelayan Kota Tegal kecewa atas kunjungan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri karena tidak bersedia berdialog dua arah dengan nelayan yang didera banyak persoalan.

Beragam respon masyarakat terhadap safari politik Megawati ini menyiratkan makna bahwa kompleksitas problem yang dihadapi masyarakat tidak bisa diselesaikan oleh satu orang pemimpin atau satu periode kepemimpinan. Problem sosial mengalir dari satu rezim ke rezim berikutnya. Oleh karena itu, penyelesaiannya pun sejatinya mengikuti alur problem tersebut secara berkesinambungan. Dan itu akan terjadi apabila masing-masing pihak mau bekerjasama. Tanpa itu, maka setiap rezim akan melakukan bongkar pasang atas problem yang dihadapinya yang belum tentu bisa diselesaikan dalam satu periode kepemimpinannya.

Realitas ini saya kira dirasakan oleh Megawati karena pernah mengalami hal serupa ketika menjadi presiden. Ia mewarisi problem dari pemimpin sebelumnya dan menyisakan agenda yang harus diselesaikan oleh presiden sesudahnya, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejatinya dari pengalaman tersebut bisa dibangun sintesa penyelesaian berupa penyempurnaan atas apa yang pernah dilakukan oleh masing-masing rezim secara bersama-sama.

Konsekuensi deklarasi
Safari politik Megawati merupakan konsekuensi dari deklarasi dini pencalonannya sebagai presiden pada pilpres 2009. Karenanya aneh ketika Megawati membantah bahwa dirinya berkampanye. Tidak dipakainya simbol PDIP dalam safari ini justru bisa dipahami sebagai taktik untuk memobilisasi massa yang lebih banyak melampaui kader partainya.

Ada beberapa problem yang akan menghadang Megawati melalui safari ini. Pertama, tebar janji. Deklarasi layaknya sebuah janji yang mengharuskan implementasi. Dan kini Megawati menjawabnya melalui safari. Lagi-lagi dalam safari Megawati hanya bisa mengumbar janji yang akan diimplementasikannya, jika terpilih pada 2009, nanti. Janji-janji ini merupakan konsekuensi logis dari posisi Megawati di luar kekuasaan. Megawati tidak bisa mengambil kebijakan untuk menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakat. Seperti dalam merespon harga bawang merah dan rotan yang rendah. Megawati hanya bisa berjanji bahwa hal ini tak akan terjadi bila dirinya terpilih nanti.

Kedua, menanam apatisme. Bisa jadi janji-janji yang diselingi kritik terhadap pemerintah dapat memupuk optimisme di kalangan masyarakat. Tapi sangat tidak menutup kemungkinan janji-janji itu justru berbuah apatisme karena mereka sadar dan tahu apa yang mereka rasakan ketika Megawati berkuasa. Apalagi rentang waktu satu setengah tahun menuju 2009 cukup lama, sehingga semua janji bisa menguap jadi mimpi.

Ketiga, menumpuk harapan. Safari dini ini secara tidak langsung menumpuk janji dan harapan. Bisa dibayangkan berapa janji yang harus Megawati tebarkan dalam safari mengelilingi Jawa ini. Belum lagi safari di wilayah luar Jawa. Janji-janji akan tumbuh sebanyak problem yang dikeluhkan masyarakat. Semakin banyak janji, semakin membuka peluang bagi menumpuknya kekecewaan-kekecewaan baru dalam masyarakat. Janji-janji akan menjadi senjata ampuh yang bisa menjadi bumerang bagi Megawati sendiri.

Menjual kegagalan
Banyak pintu masuk yang bisa dilakukan Megawati untuk mendongkrak citranya di mata publik. Salah satunya adalah memblow up kegagalan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menurut survei terakhir masih lebih unggul dibandingkan calon presiden lainnya, termasuk dengan Megawati sendiri.

Di tengah berbagai problem yang mendera masyarakat, dengan mudah orang bisa mengambil simpati. Wajar apabila orang-orang mudah terpesona dengan orang-orang yang memberi janji. Fenomena aliran sesat dengan janji-janji penyelamatan mudah menghanyutkan orang untuk “terjerumus” ke dalamnya. Begitu pun dalam politik. Para calon presiden memiliki banyak peluang dan cara untuk menghipnotis masyarakat demi kepentingan politiknya.

Namun janji-janji penyelamatan ini tidak akan bertahan lama apabila tidak diiringi oleh langkah konkret yang dirasakan langsung masyarakat. Dan untuk mewujudkan langkah konkret ini hanya bisa dilakukan apabila ada gerak bersama seluruh komponen bangsa untuk mengedepankan kepentingan negara dan bangsa daripada kelompoknya.

Inilah problem kita selama ini. Masing-masing bergerak berdasarkan kepentingan kelompok atau organisasinya. Aksi muncul ketika ada peluang, dan reaksi muncul ketika kelompoknya terancam. Menguatnya pengelompokan berdasarkan komunalitas baik agama, ideologi, ekonomi, politik justru menjadi bumerang yang akan melanggengkan problem dan krisis yang melanda negeri ini. Karenanya hanya mimpi bila para calon pemimpin (presiden) negeri ini selalu yakin dengan kemampuan dirinya dan menafikan kemampuan orang lain dalam menyelesaikan problem masyarakat yang plural ini.

Kejujuran politik
Karenanya yang dibutuhkan negara ini bukan menjual kesalahan orang lain dan menafikan kelemahan diri masing-masing. Justru perlu pembalikan cara pandang dengan mengedepankan kejujuran (transparansi) politik. Jujur mengakui keberhasilan pihak lain (pemerintah) sebagaimana jujur membongkar kekurangannya. Kejujuran ini penting, karena pada dasarnya kedua sisi (keberhasilan dan kegagalan) itu merupakan ranah kognitif yang dirasakan langsung masyarakat. Karenanya ia tidak bisa ditutup-tutupi atau dibesar-besarkan.

Kejujuran politik ini penting karena kalau membaca hasil survei tentang popularitas calon presiden 2009 masih didominasi wajah-wajah lama dengan segala track record-nya masing-masing. Ini berarti masyarakat sudah bisa menilai apa yang sudah diperbuatnya pada masa lalu. Karena itu, menjual kesalahan orang lain justru akan menjadi kontraproduktif dan ancaman bagi proses pendidikan politik kewargaan (civic education).

Politik kewargaan selama ini terancam oleh perilaku politik yang distorsif. Politik tidak lagi memberi harapan apa-apa kecuali kekecewaan demi kekecewaan. Wajah politik menjadi menyeramkan akibat perilaku politik elite yang hampa manfaat dan mengalienasi rakyat. Bahkan para wakil rakyat yang sejatinya menjadi tameng terdepan bagi aspirasi rakyat, lebih sibuk mengurus urusan internalnya, mulai studi banding ke luar negeri tanpa henti sampai aliran dana yang mengalir penuh misteri. Bila realitas ini dibiarkan, masyarakat pun tahu, kampanye politik hanya safari janji-janji.*

Thursday, November 15, 2007



Opini

Parade Kuasa Tua-Muda
Koran Tempo
, Kamis 15 November 2007

A. Bakir Ihsan

Kekuasaan di negeri ini mengalami surplus. Setiap orang merasa punya hak untuk “merebut” kekuasaan. Dan itu dijamin oleh undang-undang. Tapi undang-undang juga mengatur regularitas kekuasaan itu secara periodik. Aturan main ini yang sering alpa di tengah euforia kuasa. Sehingga sepanjang masa kekuasaan selalu menjadi fokus yang diwacanakan, diperdebatkan, dan diperebutkan.

Beberapa waktu lalu (28/10) kaum muda mengaklamasikan; saatnya kaum muda memimpin. Tiga hari kemudian (31/10) para orangtua mendeklarasikan Komite Bangkit Indonesia (KBI). Keduanya mengkritik kekuasaan yang dinilainya telah menyebabkan rakyat sengsara. Yang beda, faktor penyebabnya. Kaum muda menuduh kekuasaan kaum tua (gerontokrasi) sebagai penyulut kegagalan, karenanya harus diregenerasi. Sementara KBI mengkritik kepemimpinan negeri ini sebagai penyebab kegagalan negara mensejahterakan rakyat.

Baik kritik kaum muda maupun KBI terjebak pada eksklusivisme. Kritik pertama lebih pada standarisasi (eksklusivitas) usia, sementara yang kedua pada eksklusivitas isu (kekuasaan). Namun kritik yang kedua ini bersifat ambigu, karena di antara partisan KBI pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang juga memberi saham bagi kegagalan negeri ini. Dengan demikian, kritik KBI sebenarnya buruk muka cermin dibelah.

Perubahan semu
Gerakan kaum muda sering didasarkan pada legitimasi historis yang menunjukkan peran pemuda dalam perubahan arus sejarah. Mulai sumpah pemuda sampai reformasi. Kaum muda menjadi penabuh perubahan. Tapi sayang perubahan berhenti pada perubahan. Perubahan menjadi antiklimak dari gerakan kaum muda. Konsekuensinya, perubahan tak menyisakan makna yang signifikan bagi kontinuitas eksistensi kaum muda itu sendiri. Bahkan kini kaum muda hanya bisa menuntut, bukan berbuat untuk perubahan.

Di sini sebenarnya tercipta pembelajaran sejarah bahwa perubahan bukanlah tujuan. Ia hanya alat untuk membongkar akar persoalan agar bersemi kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Ketika perubahan dijadikan tujuan, ia akan menciptakan lahan kosong yang menjadi arena bebas bagi petualang kekuasaan. Dan inilah yang terlihat kini. Kaum muda merasa kehilangan lahan ekspresi dan ekspektasi atas substansi perubahan terasa semakin sempit.

Walaupun sejarah negeri ini ditiupkan oleh semangat kaum muda, namun pada kenyataannya negeri ini masih jauh dari harapan. Soekarno dan Soeharto tampil meraih kekuasaan pada usia muda. Tapi apa yang mereka sumbangkan setelah kekuasaan mereka raih adalah fakta sejarah yang tertoreh dalam beragam warna. Namun yang pasti, kalau merujuk pada kritik KBI, semua itu berbuah kegagalan yang dirasakan sampai saat ini. Masa tua kekuasaan sering menggiring orang untuk bersikap otoriter bahkan totaliter.

Apa yang dirasakan masyarakat saat ini, sebagaimana kritik KBI, menunjukkan bahwa baik kaum tua maupun muda tak cukup memiliki referensi historis untuk melegitimasi keberhasilan mereka, kecuali perubahan semu. Dari revolusi sampai reformasi tak menyisakan apa-apa kecuali perubahan rezim, dari kolonial ke orde lama, dari orde lama ke orde baru, dan dari orde baru ke orde reformasi. Inilah fakta ketika sejarah digeneralisasi.

Karenanya, harus ada cara pembacaan yang lebih detail terhadap sejarah, sehingga bangsa ini bisa mengambil sesuatu yang baik untuk dikembangkan, dan menemukan yang buruk untuk ditinggalkan. Baik kritik KBI maupun kaukus anak muda tentang kekuasaan merupakan bentuk generalisasi yang hanya menyisakan ekspektasi pada dirinya, tidak pada orang lain (the others). Kebenaran hanya ada pada kelompoknya. Pola pandang ini cukup riskan untuk dikembangkan di tengah pluralitas yang terhampar di negeri ini.

Di sinilah standarisasi usia atau identitas sosial menjadi tak berguna. Sejarah telah membuktikan kemunculan pemimpin-pemimpin negeri ini bukan karena usia, tapi karena tuntutan sejarah. Karenanya, demarkasi usia sebagai standar perubahan sulit dipahami baik secara faktual maupun konseptual.

Keharusan sejarah
Bisa jadi gerakan yang muncul di dalam masyarakat, seperti yang dilakukan oleh sekelompok anak muda maupun tua, seperti KBI, didorong oleh kekecewaan karena ekspektasi yang luar biasa terhadap reformasi. Sejatinya kekecewaan tersebut terekspresikan melalui kerja konkret yang dapat memberi jalan keluar atas masalah yang dihadapi masyarakat.

Komitmen untuk meneruskan reformasi melalui berbagai cara tentu akan lebih efektif daripada merusak atau membongkar jalan yang sedang dibangun bersama. Pelurusan dan perubahan sistem kekuasaan yang ada sudah memiliki mekanismenya, yaitu melalui pemilu. Inilah titik penting untuk mengubah kekuasaan yang dianggap gagal. Apabila masing-masing pihak lebih sibuk dengan obsesi kekuasaannya tanpa mempedulikan mekanisme konstitusi, maka kerja-kerja kebangsaan tidak akan efektif. Bahkan bisa menyebabkan arah angin reformasi semakin lambat.

Regenerasi dari kaum tua ke yang muda sebenarnya merupakan keharusan sejarah. Dan ini sudah mulai terlihat baik di partai politik, lembaga swadaya masyarakat, maupun di dunia bisnis. Di partai politik sebagian posisi strategis sudah ditempati anak muda. Paling tidak kalangan muda menempati pengurus harian. Begitu juga di lembaga legislatif. Bahkan di beberapa daerah kaum muda tampil menjadi pemimpin daerah. Belum lagi di dunia bisnis yang saat ini dipegang oleh generasi kedua atau ketiga dari pemilik perusahaan. Bahkan muncul pengusaha-pengusaha muda baru. Dan tidak kalah pentingnya, di lingkungan LSM, tokoh-tokoh muda lebih dinamis memegang kendali bahkan sebagian menjadi pioner di level advokasi dan pendampingan masyarakat.

Berdasarkan fakta di atas, kepemimpinan penuh kaum muda tinggal menanti waktu. Dan di tengah penantian tersebut, kaum tua sejatinya menjadi inspirasi yang menumbuhkan semangat kebersamaan untuk perubahan yang lebih baik. Dan itu akan terjadi bila kaum tua mampu memberi teladan melalui perilaku politik yang jujur akan segala kekurangannya dan kuam muda jujur mengakui kelebihan kerja kaum tua. Bukan malah lempar batu sembunyi tangan.

Bahwa ada jarak antara harapan dan kenyataan reformasi, sulit kita pungkiri. Dan itulah tugas bersama (tua-muda). Kebersamaan ini penting karena reformasi bukan hak prerogatif usia muda atau kuasa kaum tua semata. Reformasi adalah ruh segala usia dan asa untuk memberi solusi bagi seluruh problem negeri ini. Dan itu akan dicapai apabila dibarengi kreasi konkret di tengah masyarakat. Kalau tidak, kita terjebak pada parade kekuasaan yang tak memberi makna apa-apa, kecuali seremonial yang memuakkan daya ingat.

Wednesday, October 31, 2007

Opini

Jembatan Politik Menanggulangi Kemiskinan
Media Indonesia
, Rabu, 31 Oktober 2007

A. Bakir Ihsan

Tiga tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disuguhi wacana yang kurang menggembirakan. Dari beberapa survei yang dilakukan beberapa lembaga penelitian ditemukan adanya penurunan ekspektasi terhadap kepemimpinan SBY. Salah satu faktor yang sering menjadi sorotan atas tiga tahun kepemimpinan SBY adalah kemiskinan yang tak kunjung lekang di tengah masyarakat.

Problem kemiskinan ini tampaknya disadari SBY. Paling tidak dalam RAPBN 2008 masalah kemiskinan menjadi perhatian khusus dan titik tekan yang hendak diselesaikan. Gerak ke arah tersebut tampaknya berjalin kelindan dengan menguatnya gerakan global antikemiskinan. Namun sejaumana upaya-upaya tersebut dapat meretas kemiskinan.

Selama ini persoalan kemiskinan cenderung diletakkan sebagai realitas yang taken for granted. Ia seakan terlepas dari realitas lain yang sesungguhnya memiliki garis senyawa dengan eksistensi kemiskinan, yaitu eksistensi orang-orang kaya. Hal ini menarik ditelaah karena menurut hasil riset yang dilakukan Merrill dan Capgemini yang dilansir di Hong Kong (16/10) Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan jumlah orang kaya tertinggi ketiga (16,0%) di kawasan Asia-Pasifik setelah Singapura dan India. Bahkan, pertumbuhan orang kaya Indonesia hampir dua kali pertumbuhan global yang hanya 8,3%. Fakta ini sejatinya menjadi pintu masuk untuk melihat sejauhmana korelasi antara tumbuhnya orang kaya dengan eksistensi kemiskinan itu sendiri.

Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa kaya dan miskin tidak perlu dipertentangkan. Yang diperlukan adalah jembatan yang menghubungkan antara keduanya. Pernyataan tersebut disampaikan pada peresmian Rumah Sehat yang diprakarsai Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Dompet Dhuafa, di area Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (14/9).

Pernyataan SBY ini mengandung dua makna. Pertama, SBY melihat identitas kaya miskin sebagai sebuah keniscayaan (realitas alamiah) yang tak mungkin dielakkan. Kaya dan miskin merupakan kenyataan yang saling melengkapi. Karenanya, diperlukan langkah (jembatan) yang bisa menghubungkan rasa di antara dua entitas tersebut, sehingga tidak muncul kecemburuan akibat kesenjangan. Bahkan jembatan tersebut diharapkan bisa mengangkat derajat kehidupan kaum miskin.

Kedua, SBY melihat perlunya keterlibatan seluruh kekuatan di dalam masyarakat untuk menjembatani persoalan kaya-miskin. Rumah Sehat yang digagas BAZNAS dan Dompet Dhuafa merupakan salah satu contoh konkret upaya meretas jarak antara kaya dan miskin melalui pemberian pengobatan gratis. Di sinilah urgensi peran organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat, khususnya mereka yang tak berharta.

Kedua makna tersebut menyiratkan komitmen yang kuat bagi penyelesaian problem kemiskinan di negeri ini. Namun sejauhmana efektivitas komitmen tersebut? Di sinilah urgensi pendekatan komprehensif dalam membedah persoalan kemiskinan yang menghimpit di tengah kekayaan yang juga eksis.

Tiga perspektif
Dalam literatur ilmu-ilmu sosial, persoalan diferensiasi baik dalam konteks politik, ekonomi, maupun sosial budaya, merupakan bagian dari realitas yang sarat makna (kepentingan). Dominasi dan hegemoni akan selalu mewarnai di antara ragam diferensiasi tersebut, termasuk dalam konteks relasi kaya dan miskin. Karenanya kedua entitas (kaya dan miskin) ini tidak bisa dilihat secara bipolar; hitam putih. Bahwa yang kaya benar karenanya dibela dan yang miskin salah karenanya diasingkan, atau sebaliknya. Pola pandang ini bersifat distorsif, stigmatis, dan merugikan salah satunya.

Persoalan kaya-miskin harus diletakkan dalam perspektif yang komprehensif dengan melihat faktor-faktor yang menyebabkan diferensiasi kaya-miskin terdistorsi dan penuh stigmatisasi. Paling tidak ada tiga perspektif dalam melihat relasi kaya-miskin. Pertama, perspektif budaya. Perspektif ini melihat persoalan kaya-miskin adalah karena nilai-nilai yang diintrodusir mengarahkannya pada terbentuknya identitas seseorang. Orang bisa menjadi kaya karena di dalam dirinya terbangun dorongan untuk kaya. Inilah yang oleh David McClelland disebut need for achievement (N-Ach). Dorongan ini kemudian membentuk sikap dan perilaku usaha untuk mendapatkan kekayaan tersebut. Nilai-nilai kaya ini bisa muncul dari berbagai faktor. Bisa karena pendidikan, juga bisa karena pemahaman keagamaan yang melihat kekayaan sebagai berkah dan cerminan kasih sayang Allah. Menurut perspektif ini, untuk mendorong tumbuhnya orang-orang kaya diperlukan rekonstruksi kesadaran agar masyarakat terdorong untuk melakukan aktivitas yang produktif dan menghasilkan banyak keuntungan.

Kedua, perspektif sistem. Pendekatan ini melihat kaya-miskin sebagai konsekuensi logis dari rangkaian kondisi (sistem) yang ada di lingkungan masyarakat. Struktur, termasuk kebijakan, sangat menentukan warna-warni tatanan masyarakat. Adanya lapangan kerja, tumbuhnya investasi, dan tersedianya tempat usaha yang ditopang oleh regulasi yang adil akan mendorong tumbuhnya kapitalisasi yang kuat, sehingga kesejahteraan dirasakan masyarakat. Kemiskinan menurut perspektif ini disebabkan oleh ketidakadilan struktural yang lebih berpihak (menguntungkan) pada yang kaya.

Ketiga, perspektif sintesis (kultural-struktural). Pendekatan ini melihat individu sebagai realitas dengan segala potensi yang inheren di dalamnya. Namun di sisi lain, ia hadir di tengah realitas eksternal yang mengungkung kehidupannya. Potensi-potensi dalam diri manusia berhadapan secara tak terelakkan dengan realitas eksternal tersebut. Di sinilah terjadi interaksi (internal dan eksternal) yang memicu munculnya obyektivasi. Proses obyektivasi ini merupakan hasil interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya. Karenanya persoalan kaya-miskin, menurut perspektif ini, tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Problem kaya-miskin tidak bisa direduksi menjadi persoalan kemiskinan semata. Banyak faktor yang saling mempengaruhi sehingga melahirkan seseorang menjadi miskin atau kaya.

Memperkuat jembatan
Persoalan kaya-miskin menjadi kompleks karena hadir di negara berkembang. Negara dengan tingkat ekonominya yang masih minus harus memikirkan rakyatnya yang miskin. Inilah lingkaran setan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Masalah kaya-miskin menjadi berbeda ketika hadir di negara maju atau kaya. Negara dalam konteks ini dapat mengatasinya melalui penyediaan kebutuhan kaum miskin.

Relasi kaya-miskin di negara berkembang merupakan persoalan laten. Tingkat kekayaan masih berputar pada segelintir orang. Pertumbuhan ekonomi nasional baru sebatas catatan fenomenal dan statistikal, namun belum dirasakan secara faktual. Itulah sebabnya dalam beberapa kali kesempatan Presiden Yudhoyono menekankan pentingnya keberpihakan yang sama antara pertumbuhan, kemiskinan, dan lapangan kerja (pro growth, pro poor, dan pro job).

Dalam tatanan sebuah negara, gerak sebuah masyarakat tidak bisa dilepaskan dari nafas kebijakan yang diambil pemerintah. Karenanya persoalan kaya-miskin tergantung pada sejauhmana komitmen pemerintah untuk menjembatani antara keduanya, bukan menyekat apalagi mempertentangkannya. Jembatan ini tidak bisa dipikul oleh pemerintah semata. Di samping karena keterbatasan anggaran, juga karena pemerintah masih harus bergulat dengan problem yang melilit dirinya yang tak kalah pentingnya untuk diselesaikan, seperti korupsi, reformasi birokrasi, dan penguatan lembaga-lembaga negara. Lebih dari itu, karena negara tidak mungkin lagi mengintervensi seluruh dimensi kehidupan rakyat yang begitu luas.

Karenanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus bisa menggerakkan kekuatan-kekuatan masyarakat agar bisa bergerak bersama pemerintah. Negara harus mampu membagi dan mendistribusikan agenda-agenda yang dihadapi masyarakat secara efektif bersama kekuatan di dalam masyarakat itu sendiri. Mereka itu adalah kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang bersentuhan langsung dan menjadi simpul nafas masyarakat. Pada titik ini, eksistensi organisasi kemasyarakatan baik yang berbasis agama, sosial budaya, maupun profesi, menjadi sangat penting bagi revitalisasi pemberdayaan masyarakat.

Sinergi inilah yang harus diperkuat, sehingga tidak ada jarak antara pemerintah dengan rakyat. Inilah jembatan politik bagi pemerintah untuk menyapa rakyatnya secara efektif dan efisien. Kebersamaan antara lembaga pemerintah dengan lembaga-lembaga sosial akan meringankan beban tugas yang harus diselesaikan oleh negara. Dengan demikian, persoalan kaya-miskin bukan persoalan negara (kekuasaan) semata, tapi persoalan kita bersama untuk semua.*

Kolom

Kabinet Bayangan, Quo Vadis?
FORUM Keadilan, 29 Oktober-4 November 2007

A. Bakir Ihsan

Manuver politik di Senayan selalu menarik diamati. Menarik karena semakin jauh dari esensi eksistensi mereka sebagai wakil rakyat. Setelah rencana renovasi gedung DPR dan voucher tol gratis banyak memancing reaksi, kini kalangan mudanya menggagas shadow government (pemerintah bayangan) yang salah satu implementasinya adalah kabinet bayangan. Sebuah gagasan yang “luar biasa” karena tak berkorelasi positif dengan sistem presidensial yang sangat akomodatif secara politik.

Secara faktual dan konseptual, kabinet bayangan (KB) mengandaikan adanya kekuatan tunggal yang digenggam oleh pemerintah, sehingga perlu pengimbang dalam bentuk oposisi. Hal ini biasanya terjadi dalam sistem parlementer yang mana pemenang mengendalikan semuanya (the winner takes all). Karenanya dalam sistem presidensial yang melibatkan hampir semua partai, “aneh” rasanya ada kabinet bayangan. Apalagi yang terlibat di dalamnya adalah kader-kader partai yang sebagian kadernya juga masuk dalam pemerintahan. Ini sama dengan “jeruk makan jeruk”.

Karena itu pula, eksistensi KB ini memiliki beberapa cacat perspektif. Pertama, personifikasi kelembagaan. DPR merupakan sebuah lembaga dengan segala fungsi dan kewajibannya. Seluruh anggota DPR mencurahkan potensinya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat berdasarkan aturan main kelembagaan. Pembentukan KB mengubah perjuangan kelembagaan menjadi perjuangan personal.

Kedua, distorsi energi. Keberadaan KB dengan sendirinya akan menguras energi para anggotanya yang sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat melalui lembaga DPR (kolektif), baik sebagai anggota komisi maupun fraksi. Energi personal tentu melemahkan sinergi yang sejatinya bisa lebih efektif bagi revitalisasi fungsi mereka sebagai anggota dewan.

Ketiga, pelarian dari tanggungjawab kelembagaan. Alasan pembentukan KB karena kebekuan hegemoni fraksi atau partai seharusnya melahirkan antitesa yang dapat membongkar hegemoni tersebut. Yaitu melalui penguatan partai dan fraksi. Karena apapun alasannya mereka tetaplah representasi partai atau fraksi.

Keempat, output personal. Karena KB merepresentasi personal orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka outputnya pun bersifat (kepentingan) personal berhadapan dengan kebijakan pemerintah.

Berdasarkan empat cacat perspektif tersebut, pembentukan KB sebagai hiburan politik seakan tak terbantahkan. Apalagi di tengah degradasi ekspektasi masyarakat terhadap para wakilnya.

Cermin dibelah
Fungsi kontrol yang dilakukan DPR berjalan lamban bahkan, sebagian, gagal memediasi proses penyelesaian persoalan yang dihadapi rakyat. Kontrol sejatinya diorientasikan pada kepentingan rakyat. Maka sungguh ironis ketika masalah banjir lumpur di Sidoarjo tak berharga di mata DPR dibandingkan dengan masalah nuklir Iran. Problem ini bukan problem personal anggota dewan. Namun lebih sebagai persoalan struktural (kelembagaan) yang membuat anggota dewan tampil seperti wayang.

Realitas tersebut berkonsekuensi pada lemahnya kontrol atas kinerja pemerintah. Karena itu, kegagalan pemerintah tidak bisa sepenuhnya ditimpakan pada pemerintah, tapi juga pada seluruh sistem terkait, termasuk DPR yang sejatinya memiliki otoritas penuh untuk meluruskan kinerja pemerintah. Inilah buruk muka cermin dibelah. Yang salah selalu pihak eksternal (pemerintah), tanpa melihat kelemahan pada dirinya.

Karena itu, koalisi muda seharusnya cukup cerdas untuk melakukan langkah-langkah konstruktif dengan mendiagnosa dan membedah problem akut yang menyelimuti lembaga yang digelutinya. Bukan justru terjebak pada penyucian diri dan menganggap yang lain (the others) bersalah. Semua ini perlu dilakukan agar koalisi muda tidak hanya membentengi dirinya (escape from), tapi mampu mencairkan konservatisme kelembagaaan yang menyelimuti dirinya.

Soliditas internal dan eksternal
Pembentukan lembaga melalui kaukus atau koalisi terbatas (hanya kaum muda, misalnya) tidak akan menghasilkan penyelesaian yang komprehensif. Apalagi disadari betul bahwa problem kemandulan politik anggota dewan adalah karena hegemoni struktural (partai atau fraksi).

Peran kaukus muda akan signifikan ketika mampu mendobrak sistem yang ada. Bukan malah membangun demarkasi yang menyebabkan orang lain apriori. Bahkan akan memicu asumsi bahwa KB merupakan bentuk pelarian dari problem kelembagaan yang jauh dari harapan. Koalisi muda tidak akan bisa banyak bergerak selama masih bernafas dalam sistem (lembaga) yang sesak problem.

Karena itu kaukus muda lintas fraksi ini sejatinya menjadi katalisator semua potensi melampaui segmentasi usia anggota dewan. Hal ini diperlukan agar terbangun soliditas struktural (internal) DPR dan penguatan basis sosial (eksternal), sehingga mereka punya kekuatan riil berhadapan dengan pemerintah. Kegagalan membangun soliditas baik secara internal maupun eksternal menyebabkan mereka tak berdaya berhadapan dengan pemerintah.

Di alam reformasi ini, semua potensi bisa berekspresi dan bereksprimentasi, termasuk membentuk KB. Namun semua itu akan berarti apabila berdampak bagi penguatan demokrasi yang membuat rakyat semakin berpartisipasi. Dan itu akan terjadi apabila ada konsistensi implementasi fungsi masing-masing lembaga sesuai aturan yang ada. Tapi eksprimentasi hanya berbuah manuver-manuver politis yang menyesakkan nafas rakyat, apabila langkah yang diambil sangat elitis dan tak mencerminkan kehendak rakyat. Kalau begitu, KB hendak kemana?*

Monday, October 22, 2007

Opini

Absurditas Syahwat Kekuasaan
KORAN TEMPO, Selasa, 16 Oktober 2007

A. Bakir Ihsan

Walaupun pemilu 2009 masih jauh, manuver politik mulai bersautan. Mulai safari politik sampai pendeklarasian diri sebagai calon presiden terus bersambut. Semua fakta tersebut sah-sah saja karena seluruh anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk meraih jabatan di pemerintahan (UUD 1945 Pasal 28-D ayat 3).

Namun dari sekian manuver politik, ada beberapa hal yang menarik diamati terkait rencana koalisi antar partai, seperti yang digagas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pertama, rencana koalisi ini merupakan langkah absurd karena tidak berdasarkan fakta perolehan suara yang riil. Mereka bermodal suara pemilu lalu yang tingkat konsistensinya belum bisa diandalkan pada pemilu 2009. Penjajakan koalisi sejatinya dilakukan ketika masing-masing punya kepastian perolehan suara. Sehingga kalkulasi dan sharing kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, langkah-langkah koalisi ini dilakukan oleh partai-partai yang justru memiliki kursi cukup signifikan di Senayan. Sejatinya, langkah-langkah koalisi dilakukan antar partai kecil untuk membuka peluang pemenuhan syarat minimal pengajuan calon presiden. Karenanya, ketiga, koalisi atau pembentukan liga partai-partai besar akan mengarah pada oligarkisme yang dapat membunuh eksistensi pluralitas partai. Salah satu indikatornya adalah munculnya gagasan asas tunggal bagi partai politik di tengah pembahasan RUU Politik yang sejatinya menjadi ajang penguatan konsolidasi demokrasi melalui sistem kepartaian yang berkualitas dan menghargai pluralitas. Penyeragaman asas partai sebenarnya wajah lain dari karakter oligarkis.

Keempat, koalisi antar partai menunjukkan elitisme kelembagaan yang semakin membuat jarak dengan rakyat terbuka lebar. Koalisi antar partai secara tidak langsung menegasikan urgensi eksistensi rakyat. Mereka memperat solidaritas elitis daripada solidaritas massif yang memungkin munculnya persepsi positif dari warga bangsa terhadap partai. Melihat “keganjilan” di atas, terlihat jelas bahwa langkah koalisi tak lebih sebagai manuver politis di tengah kekuasaan yang sah masih eksis. Gagasan koalisi hanya kedok kalkulatif semu untuk meraih keuntungan politis.

Paradoksalitas koalisi
Dengan demikian, penjajakan koalisi dini yang dilakukan partai politik besar mencerminkan paradoksalitasnya (optimisme-pesimisme). Satu sisi partai terjebak dalam waham kebesarannya. Gagasan liga nasional yang dilontarkan PDIP menunjukkan optimisme dalam menggalang koneksitas antar partai sebagai landasan kalkulasi politik. Padahal dalam beberapa survei menunjukkan bahwa eksistensi partai politik tak banyak berpengaruh dibandingkan dengan tokoh atau sosok yang layak dipilih. Hanya 26% masyarakat merasa punya ikatan emosional dengan partai, selebihnya lebih memilih figur atau sosok (Lembaga Survei Indonesia, Maret 2007).

Karena itu, membangun sosok atau kader terbaik untuk memimpin negeri ini jauh lebih penting daripada membangun koneksitas kepartaian (kelembagaan) berdasarkan kalkulasi angka yang masih hampa fakta. Inilah koalisi-koalisi mimpi yang bisa menjadi kenyataan, bisa juga hanya khayalan.

Di sisi lain, koalisi tersebut menunjukkan pesimisme (kekhawatiran) partai politik sehingga perlu mencari sekoci penyelamatan berhadapan dengan segala kemungkinan manifes politik. Termasuk berhadapan dengan calon incumbent dalam pilpres mendatang. Walaupun Yudhoyono belum memastikan pencalonannya, namun para pesaingnya tetap menempatkan Yudhoyono sebagai lawan terberat untuk merebut kursi nomor satu di republik ini.

Duri dalam daging
Ironisnya atmosfer politik ini menggoda “orang-orang pemerintah” untuk terlibat di dalamnya. Padahal mereka sejatinya mengabdikan dirinya bagi efektivitas kerja pemerintahan yang sedang berjalan. Beberapa waktu lalu misalnya ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melakukan safari politik ke PDIP. Sebuah partai yang secara politis beroposisi dengan pemerintah. Apapun alasannya, penjajakan koalisi pejabat negara di tengah pemerintahan berjalan telah menodai fatsun politik yang memberi batas kewajaran dalam praktek politik.

Sejak awal, pemerintahan Yudhoyono berdiri di atas keragaman partai. Bahkan antara presiden dan wakil presiden lahir dari partai yang berbeda. Ada dua potensi yang bisa lahir dari keragaman tersebut. Ia bisa menjadi kekuatan yang efektif bagi operasionalisasi program pemerintah, tapi bisa juga menjadi bumerang ketika masing-masing partai mengedepankan kepentingannya. Dan potensi terakhir tampaknya cenderung menguat seiring dinamika politik menuju pemilu 2009. Inilah duri dalam daging pemerintahan Yudhoyono yang berpijak di atas keragaman partai.

Langkah zigzag yang dilakukan PPP akhir-akhir ini sah-sah saja apabila berposisi sebagai oposisi. Namun dalam kapasitasnya sebagai bagian dari pemerintah, apalagi melibatkan langsung ketua umumnya, maka langkah-langkah koalisi di saat pemilu masih jauh tentu sarat kepentingan. Ditambah lagi partner koalisinya adalah PDIP yang notabene merupakan oposisi pemerintah.

Kesediaan menjadi bagian dari pemerintah sejatinya dapat mengefektifkan kerja-kerja pemerintah daripada melakukan manuver politik yang justru bisa membuat kerja pemerintahan tersendat sekaligus berdampak pula pada citra partai. Oleh karena itu, pemerintahan saat ini harus menjadi pertaruhan semua partai yang terlibat di dalamnya. Para anggota kabinet yang berasal dari partai tetap merupakan representasi partai daripada kualitas personal. Mereka hadir lebih didasarkan rekomendasi partai. Karenanya, kita akan sulit menarik garis lurus antara kompetensi dengan posisi kader partai di kabinet.

Kalau pemerintah dianggap tidak sesuai lagi dengan visi dan misi partai, maka secara jantan partai harus menarik kadernya. Di sinilah daya tawar partai berhadapan dengan kekuasaan seharusnya ditunjukkan, sehingga partai tidak terkesan sebagai penghamba kekuasaan. Ketidakberanian menarik kadernya menunjukkan paradoksalitas wajah partai.
Menyambut pemilu 2009, bukan waktunya untuk cuci tangan. Justru sebaliknya, masing-masing pihak seharusnya tertantang untuk membangkitkan kepercayaan rakyat pada seluruh lembaga-lembaga politik yang eksistensinya ditentukan oleh kepercayaan rakyat. Selama kader partai terlibat di jajaran kabinet (pemerintah), maka sepanjang itu pula partai bertanggungjawab atas kinerja pemerintah. Dan ini akan ditentukan oleh sejauhmana keseriusan para kader partai tersebut mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat sampai detik terakhir nafas kekuasaan. Kalau tidak, maka syahwat kekuasaan yang menyelimuti partai semakin absurd di mata rakyat.*

Thursday, October 04, 2007



Opini

Aroma Hambar Politik Kekuasaan
Seputar Indonesia
, Kamis, 4 Oktober 2007

A. Bakir Ihsan

Sejak Megawati Soekarnoputri menerima pencalonan dirinya sebagai calon presiden 2009 oleh PDIP, wacana calon presiden terus bergulir. Tak lama setelah Megawati menyatakan siap, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga menyatakan siap (Antara,18/9) dan Partai Golkar sudah dipastikan memunculkan Jusuf Kalla (JK) dengan dihapuskannya mekanisme konvensi. 1 Oktober kemarin, Sutiyoso mendeklarasikan dirinya siap menjadi presiden 2009. Pada titik ini sudah muncul empat calon yang akan bertarung pada pilpres 2009. Belum termasuk nama-nama lain yang belum secara resmi dideklarasikan, seperti Wiranto, Sultan Hamengkubuwono, maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri.

Namun dari sekian nama itu, baru Megawati yang betul-betul dipastikan maju sebagai calon presiden pada 2009 dengan kendaraan partai yang jelas. Ini berbeda dengan calon lainnya yang masih menyisakan persyaratan. Misalnya Gus Dur. Ia akan maju kalau diperintahkan oleh lima kiai sepuh. Begitu pun JK, belum secara eksplisit mau maju sendiri atau tetap berduet dengan SBY. Sementara Sutiyoso masih menunggu lamaran partai.

Deklarasi pencalonan presiden di tengah kepemimpinan negeri ini masih berjalan dan bekerja, memunculkan dua makna. Pertama, urgensi suksesi. Deklarasi calon presiden jauh sebelum Pilpres dilangsungkan menandakan perlunya pergantian (suksesi) kekuasaan saat ini. Apapun yang terjadi presiden yang ada sekarang harus diganti.

Kedua, delegitimasi kekuasaan. Pencalonan Megawati maupun deklarasi Sutiyoso menyiratkan bahwa kekuasaan yang dipegang SBY-JK dianggap gagal. Sekaligus hal ini merupakan proses delegitimasi atas kekuasaan yang ada.

Bagi Sutiyoso mungkin dirasa perlu mendeklarasikan diri sedini mungkin karena belum ada partai yang secara eksplisit mendukungnya. Namun bagi Megawati yang jelas-jelas menahkodai partai besar, deklarasi dini bisa membawa konsekuensi-konsekuensi tersendiri.

Konsekuensi kalkulasi
Pernyataan kesiapan Megawati menjadi calon presiden terkesan terlalu cepat. Ia seperti hujan di tengah musim kemarau. Masa kepemimpinan SBY-JK masih tersisa panjang, sehingga segala kemungkinan terkait kalkulasi dan konstelasi politik bisa terus berubah. SBY-JK masih punya peluang yang sangat luas untuk menguatkan kinerjanya. Dengan demikian kritik-kritik yang dilontarkan Megawati (PDIP) selama ini bisa terjawab sekaligus terbantahkan.

Di sinilah fleksibelitas politik. Ia bisa bergerak cepat melalui akselerasi strategi yang keluar dari mainstream logika liner. Kenyataan ini sekaligus meruntuhkan tesis para pengamat yang menganggap efektivitas kerja SBY-JK hanya tiga tahun pertama. Dua tahun terakhir akan terkuras oleh persoalan-persoalan politik. Tampaknya momentum inilah yang digunakan PDIP untuk untuk segera memunculkan calon presidennya secara definitif, tanpa melihat konstelasi politik yang ada dan terus bergerak.

Pencalonan dini PDIP atas Megawati ini melahirkan beberapa konsekuensi dan persepsi. Pertama, pencalonan ini akan mempersempit ruang gerak politik Megawati. Seluruh aktivitas Megawati akan selalu dikaitkan dengan kepentingan meraih kekuasaan. Ini berbeda dengan ketika Megawati sebagai ketua umum partai atau sebagai mantan presiden. Ia bisa hadir dan melakukan interaksi dalam berbagai level tanpa sekat kepentingan. Namun dengan target menjadi presiden, dengan sendirinya ia akan terseleksi dalam berinteraksi. Apapun agendanya, pemaknaan kepentingan politik akan mudah berkobar dalam setiap interaksi PDIP baik dengan partai lain maupun dengan komponen sosial lainnya. Sekali lagi, semua ini terjadi karena PDIP telah menggerek bendera kontestasi.

Kedua, desakan pengurus PDIP tentang kesediaan Megawati dicalonkan sebagai presiden mencerminkan keraguan atas ketokohan Megawati. Sejatinya para kader PDIP, dengan tingkat “eksklusivitas” posisi Megawati, mengerti tanpa harus meminta pernyataan verbal. Dan ketokohan Megawati melampaui eksistensi PDIP. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian kader PDIP, karena berdasarkan hasil survei (Lembaga Survei Indonesia, 2006) masyarakat tidak memiliki banyak kedekatan dan ikatan emosional dengan partai. Hanya 26% masyarakat yang menyatakan punya kedekatan dan keterikatan dengan partai. Selebihnya mereka lebih tertarik pada tokoh, termasuk Megawati, daripada partainya.

Ketiga, pencalonan Megawati sebagai orang nomor satu (presiden) dengan sendirinya hanya membuka ruang koalisi bagi partai yang siap menjadi wakilnya. Karenanya tidak mungkin PDIP berkoalisi dengan Golkar maupun partai besar lainnya yang memiliki kemungkinan mencalonkan kadernya untuk calon presiden.

Bisa jadi pernyataan kesediaan Megawati dapat menepis munculnya calon alternatif dari dalam PDIP, di samping dapat memperkuat konsolidasi internal PDIP. Namun yang tidak bisa diabaikan, desakan pernyataan kesediaan tersebut bisa menjadi duri yang membusukkan politik Megawati dari dalam. Kalau Megawati gagal pada Pilpres 2009, karena kesalahan kalkulasi politik para kadernya, maka selesailah karir politik Megawati.

Sebagai partai besar dengan tingkat “kharismatis” (eksklusivitas?) ketua umumnya, PDIP sebenarnya bisa “mengulur waktu” untuk mengumumkan capresnya di 2009 nanti. Toh Megawati bisa kapan saja menyatakan siap, dan tidak mungkin ada kader PDIP yang ujug-ujug mengajukan diri sebagai calon presiden tanpa izin dari Megawati. Posisi sentral Megawati tak mungkin diambil alih oleh kader lainnya, kecuali atas restu Megawati. Mereka yang tak setuju (mbalelo) hanya punya satu pilihan; keluar dari PDIP.

Pembelajaran Politik
Secara politik, fenomena pencalonan dini Megawati sah-sah saja. Namun sebagai proses pembelajaran politik hal tersebut bisa diperdebatkan. Karena, disamping, dapat mendistorsi pengetahuan masyarakat tentang periode (regularitas) kekuasaan, juga dapat menghambat laju program yang sedang dijalankan oleh rezim terpilih.

Proses pemberdayaan politik masyarakat berjalin berkelindan dengan perkembangan politik kekuasaan. Bahwa setiap rezim memiliki waktu lima tahun untuk menuntaskan program-programnya. Dukungan terhadap rezim yang menang menjadi penting agar seluruh proses kehidupan bernegara lancar dan sukses. Namun langkah ini belum terlihat. Bahkan jauh hari, masing-masing elite mempersiapkan dirinya untuk tampil sebagai pengganti. Puncaknya adalah pencalonan sebagai orang nomor satu di republik ini.

Aroma peralihan kekuasaan sebelum waktunya (lima tahun) sedikit banyak akan menguras dan mengalihkan energi yang sejatinya bisa dipergunakan untuk membangun kehidupan masyarakat. Dengan pencalonan Megawati tersebut, PDIP akan dipaksa untuk mendorong penguatan image dan pencitraan Megawati daripada penguatan dan pemberdayaan masyarakat bawah (wong cilik) yang selama ini sering diklaim sebagai basis PDIP.

Fatsun politik
Aroma kekuasaan di negeri ini tak pernah mati. Kemenangan SBY-JK pada pemilu 2004 lalu tetap menyisakan persaingan politik yang dapat mengancam jalannya roda pemerintahan. Itulah sebabnya, walaupun sistem pemerintahan kita menganut sistem presidensial, namun SBY melihat peluang kontrol parlemen (partai) dalam menjalankan roda kekuasaannya sangat kuat. Atas dasar itu, bagi-bagi kekuasaan pada partai menjadi tak terelakkan.

Langkah SBY tersebut tetap saja menyisakan gonjang-ganjing politik. Paling tidak dari beberapa manuver parlemen terhadap kebijakan dan eksistensi SBY memperlihatkan bahwa aroma kekuasaan begitu kental. Tarik menarik otoritas antara lembaga negara yang sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang menunjukkan superioritas kepentingan politik.

Kondisi tersebut apabila dibiarkan akan merusak fatsun politik yang sedang kita bangun bagi tegaknya demokrasi yang konsolidatif. Salah satu upaya tersebut adalah menguatkan pranata demokrasi agar berjalan secara maksimal sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang ada. Masing-masing punya fungsi dengan agenda yang dijalankan secara transparan untuk kepentingan rakyat. Termasuk mewacanakan pergantian kepemimpinan nasional ketika waktunya tiba. Kalau tidak, aroma politik kekuasaan akan selalu terasa hambar akibat ulah kita yang tak sabar mengawal kontestasi kekuasaan secara reguler.*

Wednesday, September 19, 2007




Opini

Tafsir Politik atas Kritik Kekuasaan
Koran Tempo, Rabu, 19 September 2007

A. Bakir Ihsan

Langgam politik kekuasaan kembali memuai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menabuh gendang kontestasi dengan menampilkan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden 2009. Walaupun momentum pemilihan presiden masih dua tahun lagi, deklarasi tersebut sedikit-banyak memicu akselerasi politik yang lebih kencang. Masing-masing kelompok mengambil ancang-ancang menghadapi pemilihan presiden mendatang. Walaupun Partai Golkar akan menentukan calon presiden enam bulan menjelang pemilihan presiden, reaksi tersebut mencerminkan efek domino dari deklarasi PDIP. Begitu juga reaksi partai lainnya tentang calon yang akan dimunculkan.

Konsekuensi logis dari pencalonan tersebut adalah pengambilan jarak yang jelas dan tegas dengan kekuasaan saat ini. Hal ini terekspresikan melalui pernyataan kritis atas kinerja pemerintah. Inilah yang dilakukan Megawati melalui kritiknya yang tak pernah lekang terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Setelah menyebut Presiden Yudhoyono hanya tebar pesona, kini Megawati mengkritik kinerja Presiden hanya sampai di kaki bukit. Terlepas dari kepentingan politik di balik kritik dan pencalonan Megawati tersebut, ada sisi yang menarik dianalisis terkait dengan cara Presiden Yudhoyono merespons kritik Megawati.

Walaupun Presiden menyatakan tidak tertarik menanggapi kritik Megawati, secara tidak langsung Yudhoyono memberi respons dengan ragam makna. Paling tidak ada empat makna yang bisa dipahami dari ekspresi Presiden Yudhoyono dalam merespons kritik Megawati.

Pertama, kritik involutif. Kritik yang disampaikan Megawati hanya pengulangan kritik sebelumnya, tanpa ada tawaran solutif yang menjanjikan bagi masyarakat. Masalah kemiskinan dan pengangguran adalah agenda klasik yang mengalir dari satu rezim ke rezim berikutnya, termasuk pada rezim Megawati. Tak mengherankan apabila respons masyarakat terhadap kritik Megawati bagai angin lalu dan Yudhoyono merasa tidak perlu merespons balik kritik tersebut.

Kedua, kritik tanpa bobot. Sebagai partai oposisi, sejatinya Megawati bisa membongkar kinerja Yudhoyono melalui pembuktian data dan kinerja yang ditunjukkan oleh PDIP itu sendiri. Ketiadaan bobot ini menyebabkan kritik Megawati hampa makna. Bahkan terkesan hanya permainan kata. Wajar apabila Presiden menganggap kritik Megawati seperti sebuah lagu.

Ketiga, kritik kekuasaan yang sah dan kuat. Eksistensi Yudhoyono-Jusuf Kalla saat ini secara politik sangat kuat. Di samping merupakan pilihan langsung rakyat, didukung oleh partai-partai besar di Senayan: Partai Golkar, Demokrat, dan partai-partai pendukung lainnya. Kenyataan ini memberikan rasa percaya diri kepada Yudhoyono untuk tidak terlalu risau atas kritik Megawati.

Keempat, politisasi isu. Yudhoyono menganggap kritik Megawati lebih bermuatan politik kekuasaan, sehingga bila kritik tersebut direspons, akan memancing suasana politik yang menguntungkan Megawati. Ini tergambar kuat dari pernyataan Presiden bahwa jika dirinya merespons kritik Megawati, "nanti dikira sudah pemilu".

Makna kritik
Banyak makna yang bisa dipahami dari sebuah kritik. Kritik dapat menjadi amunisi pertahanan eksistensi, baik dalam konteks kekuasaan maupun ideologi. Kemampuan menyerap dan mengolah kritik dapat menjadikannya vitamin yang memperkukuh eksistensi yang dikritik.

Fungsi kritik ini akan terasa ketika kekuasaan tidak menempatkan dirinya sebagai realitas yang final, maksimal, dan paling benar. Kekuasaan harus diletakkan secara fleksibel, dialogis, serta membuka seluas-luasnya panggung kritik dan protes. Kekuasaan yang demikian telah terbukti berhasil melanggengkan otoritasnya. Hancurnya otoritarianisme lebih disebabkan oleh finalisasi dan eksklusivisme kekuasaan. Sebaliknya, merekahnya demokrasi karena berhasil menempatkan diri sebagai muara dialogis di antara kehendak kekuasaan. Itulah sebabnya, demokrasi tidak serta-merta terkonsolidasi, tapi melalui tahap transisi sebagai bukti adanya proses bagi penguatan demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, kritik menjadi sebuah keniscayaan, bahkan keharusan, bagi kepentingan eksistensi kekuasaan yang demokratis.

Mungkin makna konstruktif sebuah kritik sudah disadari oleh Yudhoyono. Tapi sejauh mana kritik tersebut menjadi amunisi bagi penguatan eksistensi dirinya akan terlihat dari sejauh mana program kerja yang dicanangkan dan diimplementasikan Yudhoyono betul-betul menjawab kritik tersebut.

Walaupun Presiden tidak menjawab langsung kritik Megawati, ekspresi kebijakannya terlihat mengarah pada hal tersebut. Paling tidak dari program yang menjadi titik tekan dalam dua tahun mendatang, masalah kemiskinan menjadi perhatian yang lebih dibanding aspek-aspek lainnya. Bahkan secara verbal, term kemiskinan lebih banyak diucapkan dibanding term lainnya sebagaimana tertuang dalam pidato kenegaraan dan keterangan pemerintah atas rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran 2007 beserta nota keuangannya di depan rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat RI (16 Agustus).

Ajang untuk rakyat
Mendekati 2009, kritik dan berbagai manuver politik sulit dihindari. Hal ini terjadi karena masing-masing berpikir tentang kekuasaan yang harus direbut, bukan pada persoalan rakyat yang harus dijawab. Rakyat hanya menjadi suplemen pemanis kritik tanpa langkah konkret yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat.

Kenyataan ini sebenarnya menjadi celah yang bisa ditutupi Presiden melalui maksimalisasi kinerja pemerintahnya dengan menjawab kebutuhan rakyat. Tentu tidak mudah melakukannya, karena di samping kompleksitas persoalan rakyat, masalah bencana datang tak terduga. Konsentrasi Yudhoyono harus terpecah untuk menyeimbangkan jawaban persoalan laten warga negara, seperti kemiskinan, kesehatan, dan pengangguran, dengan persoalan yang muncul mendadak, seperti bencana longsor, gempa, banjir, serta berbagai kecelakaan yang menuntut perhatian lebih.

Karena itu, peluang untuk terlibat dalam kontestasi di pesta demokrasi selalu terbuka lebar bagi seluruh anak negeri. Inilah momentum pertarungan untuk rakyat. Dengan demikian, rakyat tidak alergi dan apatis atas arus politik kekuasaan, khususnya yang diekspresikan oleh partai politik. Apatisme rakyat atas dinamika politik akibat kerja-kerja politik yang sering bergelayut di langit mimpi daripada membumi di ladang rakyat.

Kini rakyat menanti siapa di antara anak bangsa yang paling berbakti untuk negeri ini melalui bukti-bukti, bukan janji. Para tokoh dan elite politik sebenarnya memiliki modal untuk meraih simpati rakyat. Paling tidak nama-nama mereka masih terekam dalam memori rakyat walau dalam ragam imajinasi. Tinggal apakah modal tersebut betul-betul diinvestasikan untuk rakyat atau kepentingan kekuasaan diri sesaat. Pada 2009 rakyat akan menjawab.*

Tuesday, September 11, 2007


Opini

SBY di “Kaki Bukit”?
Seputar Indonesia
, Selasa, 11 September 2007

A. Bakir Ihsan

Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II dan Rapat Kordinasi Nasional (Rakornas) PDIP (8-10/9), Megawati Soekarnoputri menilai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono masih sampai di kaki bukit dibandingkan janjinya yang setinggi langit. Bahkan Megawati menganggap pemerintahan hasil pemilu 2004 ini masih berjalan di tempat (going nowhere).

Kritik Megawati berpijak pada asumsi bahwa angka kemiskinan dan pengangguran selama tiga tahun kepemimpinan SBY belum juga turun. Walaupun Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara (APBN) terus meningkat, namun tidak mengubah nasib kesejahteraan warga. Bahkan secara prediktif, Megawati bertaruh bahwa dalam sisa masa pemerintahan SBY tidak akan mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Upaya SBY hanya sampai di kaki bukit!.

Kritik Megawati terhadap kinerja kepemimpinan SBY bukan kali ini saja. Pada HUT 34 PDIP beberapa waktu lalu, Megawati Soekarnoputri mencitrakan SBY sebagai sosok yang hanya tebar pesona. Kerja-kerja SBY, menurut Megawati, lebih sebagai upaya penguatan citra dirinya daripada membumikan ekspektasi warganya. Hal ini diperkuat hasil survei (Lembaga Survei Indonesia/LSI) yang menempatkan SBY di atas rata-rata tokoh lainnya, termasuk Megawati sendiri.

Problem Kemiskinan
Masalah kemiskinan merupakan agenda yang tak pernah habis diwacanakan. Apalagi di negeri yang bergulat dalam kemiskinan dan pengangguran seperti Indonesia ini. Para pakar telah mencurahkan perhatiannya melalui tumpukan teori dan analisa untuk menghapus kemiskinan. Namun sepanjang itu pula, kemiskinan hadir di mana-mana. Karenanya, persoalan kemiskinan tidak bisa dilihat secara teoretis semata, apalagi sekadar retoris, tapi lebih pada langkah dan upaya yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat melalui pembuktian korelatif antara komitmen, upaya, dan capaian dalam menyelesaikan masalah tesebut.

Salah satu barometer untuk melihat tingkat kemiskinan adalah angka statistikal secara nasional. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli lalu menunjukkan bahwa angka kemiskinan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Walaupun pada 2006 lalu terjadi lonjakan angka kemiskinan akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di atas 100%, namun pada 2007 terjadi kecenderungan penurunan. Paling tidak sampai Juli 2007, jumlah penduduk miskin berkisar 37 juta dari tahun sebelumnya yang berkisar 39 juta (BPS, 2007). Bahkan dibandingkan dengan masa kepemimpinan Megawati, khususnya pada periode 2001-2003, penurunan tersebut lebih rendah.

Tingkat penurunan jumlah penduduk miskin tersebut belum fundamental, sehingga pengamatan secara parsial tidak akan berhasil melihat tingkat penurunan tersebut secara konkret. Wajar apabila sebagian pengamat, termasuk Megawati, menganggap kemiskinan masih berjalan di tempat.

Bahwa kemiskinan masih ada dan belum terhapus merupakan hal yang tak bisa dibantah. Namun sejauhmana komitmen pemerintah untuk menekan jumlah kemiskinan tersebut menjadi penting diperhatikan. Dalam pidato kenegaraan dan keterangan pemerintah atas RAPBN tahun anggaran 2007 beserta nota keuangannya di depan rapat paripurna DPR RI (16/8) Presiden SBY banyak menyoroti masalah pertumbuhan, lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang lebih banyak menyoroti masalah korupsi.

Korupsi dan kemiskinan sebenarnya merupakan senyawa yang saling mempengaruhi. Korupsi yang akut telah menyebabkan kemiskinan tak bisa bergerak. Secara logika, pemberantasan korupsi yang terus berjalan akan menyebabkan kemiskinan akan berkurang. Paling tidak pemborosan uang negara bisa ditekan sedemikian rupa untuk bisa dialihkan peruntukannya bagi kaum miskin. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai program. Seperti Subsidi Bantuan Tunai kepada 19,2 juta rumah tangga miskin, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar 9 tahun kepada 29,4 juta murid setara SD, dan 10,5 juta murid setara SMP dan beasiswa untuk 698 ribu lebih murid setara SMA. Dalam hal kesehatan pada Agustus ini pemerintah kembali menurunkan harga 1418 jenis obat generik antara 60-80 persen.

Angka-angka tersebut tentu masih jauh dari harapan. Namun pergerakan angka ke level yang lebih baik merupakan isyarat perbaikan yang perlu terus didorong dan disikapi bersama. Tanpa kebersamaan, apalagi hanya mencari celah kegagalan untuk kepentingan politis, justru akan memperparah keadaan.

Permainan Kata
Eleanor Roosevelt, diplomat dan reformis Amerika (1884-1962) menyatakan bahwa masa depan adalah milik mereka yang punya mimpi (the future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.) Mimpi, begitu juga janji, adalah dunia abstrak yang penuh daya tarik dan imajinasi yang menstimulasi untuk direalisasi. Selama ada mimpi, maka selama itu pula kita akan tergerak untuk mewujudkannya. Karenanya janji maupun mimpi bukanlah sesuatu yang harus dinafikan, bahkan perlu ditumbuhkan untuk membangkitkan harapan meraih masa depan. Lebih dari itu, ia bisa menjadi ajang evaluasi atas tingkat capaian yang telah dilalui.

Kalau Megawati melihat kinerja SBY selama tiga tahun ini baru mencapai kaki bukit berarti ia memiliki obsesi dan mimpi yang sama tentang bangsa ini. Obsesi dan mimpi ini sejatinya bisa diejawantahkan melalui beragam media dan cara untuk mencapainya. Pertanyaannya apakah obsesi tersebut sudah mendorong Megawati untuk bekerja menjawab kemiskinan yang menyelimuti warga negara ini? Pertanyaan ini bisa diajukan pada siapa saja yang punya mimpi tentang negeri ini. Termasuk pada para elite politik yang gelisah menatap nasib warganya yang bergulat dalam kemiskinan. Sejauhmana para elite politik peduli pada mereka dengan memaksimalkan kinerjanya dan menyisihkan ambisi pribadinya di bawah kepentingan bangsa?

Pertanyaan ini penting untuk melihat sinergitas harapan dan mimpi di antara kita sebagai anak bangsa, khususnya dalam menjawab problem kemiskinan ini. Kita justru khawatir masing-masing kita bermimpi dan berjalan sendiri-sendiri, sehingga tarik menarik kepentingan lebih mengemuka daripada mengembangkan persamaan mencapai harapan bersama.

Sinergitas harapan dan mimpi di antara anak bangsa akan menafikan pembebanan penyelesaian pada pihak-pihak tertentu. Bahwa pemberantasan kemiskinan, pengurangan pengangguran bukan hanya monopoli sebuah rezim, tapi tugas kita semua yang telah memilih rezim di republik ini. Kegagalan sebuah rezim adalah kegagalan kita semua sebagai sebuah bangsa. Tanpa kita apalah arti sebuah rezim.

Kita perlu berjanji dan bermimpi setinggi langit agar kita terdorong untuk berbuat. Kalau tidak, kita tak akan pernah tahu apakah kerja kita sampai di kaki bukit atau masih di lembah yang curam. Kalaupun kinerja pemerintahan SBY baru sampai di kaki bukit, mari kita bersama bergerak untuk mencapai puncak bukit dengan kerja nyata. Kalau tidak, kita hanya bergulat dalam kata tanpa makna.*

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/sby-di-kaki-bukit-2.html

Thursday, August 23, 2007


Opini

Upaya Memuseumkan Kemiskinan
Media Indonesia
, Kamis, 23 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

Dalam beberapa pertemuan, kacang dan pisang rebus menjadi menu hidangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tetamunya. Ditambah secangkir teh hangat merupakan suguhan sederhana sebagaimana masyarakat umumnya. Kesan sederhana muncul bila diukur dengan posisi SBY sebagai orang nomor satu di Republik ini. Dengan gaji puluhan juta, presiden bisa melakukan lebih dari itu sebagaimana para pejabat dan elite politik lainnya.

Bagi sebagian orang simbol hidangan di atas bisa dianggap suatu yang lumrah atau sekadar upaya pencitraan agar terkesan sederhana. Namun bila dilihat dari komunikasi politik, menu hidangan tersebut bisa menjadi contoh efektif tentang hidup sederhana yang harus diperlihatkan para elite yang cenderung boros dan selalu mencari celah untuk menaikkan anggarannya. Bahwa para elite harus bisa menyesuaikan diri dengan rakyat kebanyakan yang berkubang dalam kemiskinan.

Tidak itu saja, dari sikap sederhana ini SBY berhasil menghemat anggarannya Rp100 miliar lebih selama 2004-2006 yang kemudian dikembalikan ke kas negara. Langkah ini bisa dimaknai sebagai bentuk keprihatinan atas nasib warganya yang masih jauh dari sejahtera. Dengan sikap itu pula, relevan kiranya bila SBY belakangan ini banyak bicara tentang upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan sebagai agenda yang harus dituntaskan dalam paruh kedua kepemimpinannya.

Melawan kemiskinan
Dalam pidato kenegaraan (16/8) di depan Rapat Paripurna DPR RI, Presiden SBY menjadikan percepatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran sebagai tema pembangunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2008. Percepatan pertumbuhan ekonomi bukan tujuan, tapi media untuk mencapai kesejahteraan dan menghapus kemiskinan. Langkah ini sebenarnya bukan hal baru dalam konteks visi SBY. Setahun yang lalu Presiden juga menyampaikan hal yang sama. Namun dalam pidato kali ini, masalah kemiskinan mendapat porsi yang lebih padat dibandingkan bidang lainnya. Paling tidak, secara verbal term kemiskinan disebut paling banyak setelah term pembangunan, yaitu 21 kali dalam pidato 1 jam 4 menit tersebut.

Beberapa waktu sebelumnya, Presiden SBY banyak mengulas tentang sistem perekonomian yang dikembangkan Indonesia saat ini. Menurutnya ekonomi Indonesia bersifat terbuka dan berkeadilan sosial. Pernyataan tersebut sekaligus mempertegas sikap presiden terhadap sistem ekonomi kapitalisme yang menurutnya gagal menjamin kemakmuran bagi rakyat. Dalam bahasa Joseph A. Schumpeter (1950), kapitalisme cenderung menghasilkan kelas elite yang menentang kekuatan yang mengantarkan mereka menjadi elite. Lalu apa yang hendak dikembangkan SBY untuk negeri ini?

Pertanyaan ini penting, karena kritik presiden terhadap kapitalisme yang dianggapnya gagal memberi kesejahteraan, beriring sejalan dengan ekonomi negara yang sampai saat ini belum mampu menyejahterakan rakyatnya secara sempurna. Di sisi lain, kapitalisme menjadi ruh dunia global yang sulit dihindari. Bahkan kapitalisme berhasil merobek batas ideologis sebuah negara.

Kritik dan paradigma ekonomi versi SBY di atas tentu merupakan konsepsi ideal (abstrak) yang membutuhkan pijakan implementatif bagi masyarakat sebagai standar keberhasilan. Alat ukur keberhasilannya ditentukan oleh konsistensi dan relevansi konsepsi dengan aksi, yaitu sejauhmana upaya penghapusan kemiskinan menjadi mainstream kebijakan dan berjalin berkelindan dengan berkurangnya jumlah warga miskin itu sendiri.

Ekonomi keindonesiaan
Di tengah arus globalisasi muncul penguatan negara. Inilah paradoks globalisasi. Kehadirannya yang menembus batas negara, ternyata menguatkan identitas lokal kenegaraan sebagai respon atas gelombang globalisasi yang monolitik dan hegemonik. Respon ini terjadi di segala bidang. Mulai ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, termasuk agama. Sehingga muncul upaya kontekstualisasi, aktualisasi, dan revitalisasi nilai-nilai lokal di tengah gempuran globalisasi. Term kontekstualisasi dan aktualisasi merupakan upaya ekspresif sekaligus eksploratif bagi penguatan nilai-nilai lokal (keindonesiaan) berhadapan dengan nilai-nilai transnasional.

Dalam kerangka itu, ekonomi kita sejatinya berkembang di atas nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan sosial sebagaimana tercermin dalam Pancasila sebagai basis nilai khas Indonesia. Tampaknya inilah yang hendak direvitalisasi SBY dalam konteks ekonomi saat ini, yaitu penguatan dimensi kesejahteraan, keadilan, dan keterbukaan yang selama ini timpang.

Keterbukaan ekonomi diperlukan untuk membuka peluang terjalinnya kerjasama Indonesia dengan berbagai negara tanpa terjebak pada diferensiasi ideologi. Ini pula yang dikembangkan dalam aspek politik bebas aktif. Karenanya gagasan bahwa politik bebas aktif harus dirombak di tengah hegemoni Amerika, menjadi tidak relevan dan salah kaprah. Di tengah konstelasi politik global yang penuh ketidakpastian, keberpihakan bisa berbuah kesia-siaan.

Itulah sebabnya Indonesia tidak memilah dan memilih relasi bisnis berdasarkan ideologi, tapi keuntungan demi penguatan ekonomi dalam negeri. Penguatan kerjasama ekonomi dengan Jepang, China, dan Timur Tengah mencerminkan lintas ragam ideologi dengan satu tujuan; kepentingan ekonomi nasional. Keberpihakan inilah yang dibutuhkan saat ini.

Basis sosial
Upaya mengalirkan pertumbuhan bagi kesejahteraan rakyat diperlukan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Langkah legal-formal ke arah tersebut mulai direalisasikan. Salah satunya melalui penguatan dimensi sosial perusahaan yang disebut corporate social responsibility (CSR). Sebagaimana diketahui pemerintah sedang merancang peraturan sebagai penjabaran dari UU Perseroan Terbatas (PT) yang di dalamnya terdapat pasal 74 tentang CSR.

Langkah ini memaksa perusahaan sebagai pilar pertumbuhan ekonomi meneteskan keuntungannya bagi kepentingan sosial. Langkah ini tentu tidak mudah karena para pengusaha terlanjur dimanja oleh rezim sebelumnya melalui berbagai fasilitas yang menguntungkan. Wajar apabila UU PT tersebut mendapat tentangan dari kalangan pengusaha karena diangap mengancam “keuntungan” yang selama ini dinikmatinya. Sebelum UU PT ini disahkan, presiden SBY dalam pembukaan Indonesia International Motor Show (IIMS) meminta BUMN menjalankan CSR sebagai kewajiban terhadap masyarakat. Menurutnya masyarakat merupakan social capital agar industri tumbuh dan memberi manfaat.

Keberadaan UU PT yang memperkuat dimensi sosial perusahaan tersebut sekaligus meruntuhkan wacana korporatokrasi (corporatocracy) yang mencurigai adanya perselingkuhan negara (penguasa) dengan pengusaha. Atau dalam bahasa John Perkins (2004) sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dikendalikan perusahaan besar (a system of governance controlled by big corporations). CSR secara tidak langsung merupakan salah satu jawaban pemerintah untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan dan pemerataan.

Regulasi penguatan sosial perusahaan ini memerlukan basis implementasi yang berkoneksi dengan kerja birokrasi yang efektif dan efisien. Birokrasi harus menjadi mesin yang produktif bagi kelancaran investasi sekaligus pemerataan keuntungan bagi kepentingan sosial. Pertumbuhan ekonomi sebagai pembuka bagi kesejahteraan harus dibarengi oleh pelayanan birokrasi yang paripurna yang ramah bagi geliat bisnis. Hal ini perlu ditekankan karena birokrasi selama ini menjadi salah satu komponen munculnya biaya tinggi produksi, sehingga keuntungan industri tak banyak menetes.

Lebih dari itu, upaya penyebaran kesejahteraan dan pemberantasan kemiskinan harus menjadi kehendak kolektif dari para elite politik sampai rakyat. Karenanya perlu reorientasi dan rekonstruksi paradigma ekonomi yang berbasis kesejahteraan sosial. Yaitu penyamaan persepsi seluruh elemen warga negara bahwa gerak pertumbuhan berbanding lurus dengan pemerataan. Penghapusan kemiskinan tidak hanya dilakukan secara legal-formal (kebijakan), tapi dibarengi oleh etos kultural melalui sikap disiplin, jujur, kerja keras untuk kemajuan bersama.

Inilah paradigma ekonomi keindonesiaan yang harus ditegakkan melalui kebijakan yang merakyat dan diimplementasikan melalui sikap yang serempak. Dari sini kita bisa berharap kemiskinan akan menjadi sejarah masa lalu. Atau dalam bahasa yang lebih optimistik ala Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian 2006, dalam Presidential Lecturer (7/8), bahwa kita bisa memuseumkan kemiskinan (we can put poverty into museums). Semoga.

Monday, August 20, 2007


Opini

Kemerdekaan Prosedural
Koran Tempo, Sabtu, 18 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

Dalam konteks politik, istilah "prosedural" sering dikaitkan dengan demokrasi yang mengacu pada capaian teknis berupa suksesi dan perebutan kursi semata. Sementara itu, rakyat (demos) hanya berperan sebatas penggembira yang dimobilisasi dalam sebuah kontestasi. Kalau merujuk pada konsep tersebut, kemerdekaan negara ini mengalami hal yang sama. Kemerdekaan yang kita capai masih bersifat prosedural, karena sebatas hengkangnya kaum kolonial dari Bumi Pertiwi dan tampilnya bumiputra sebagai penguasa. Layaknya demokrasi, kemerdekaan juga ditandai oleh pesta yang melibatkan warga dan diadakan secara berkala dengan beragam harapan tanpa kepastian.

Ketika Anthony Gidden mendorong perlunya demokratisasi atas demokrasi (democratizing democracy) yang cenderung semu, kemerdekaan memerlukan hal yang sama: memerdekakan kemerdekaan, yaitu upaya membebaskan kemerdekaan dari belenggu prosedural sehingga warga bisa menemukan jati dirinya sebagai warga bangsa, bukan sekadar warga negara.

Kalau merujuk pada konsepsi negara bangsa (nation-state), kemerdekaan masih berhenti pada level negara yang berdaulat. Struktur dan institusi negara didirikan untuk mempertahankan eksistensinya. Bahkan ia beroperasi dengan peran dan sumbangsih yang besar dalam percaturan relasi antarnegara. Sejak merdeka, Indonesia berperan aktif dalam percaturan internasional, seperti Gerakan Nonblok dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), termasuk keterlibatannya dalam pasukan perdamaian di Timur Tengah. Ini menjadi bukti bahwa secara struktural (kelembagaan), negara ini mampu berdiri sejajar dengan negara-negara lainnya.

Namun, bagaimana dengan bangsa (nation) yang dikandungnya? Semerbak eksistensi negeri ini belum mampu dinikmati oleh warganya. Paling tidak hal tersebut terekam dari persepsi hambar warga atas institusi (partai) politik, pelayanan publik yang masih jauh panggang dari api, dan relasi antarwarga yang belum mencerminkan penghargaan pada pluralitas.

Budaya mematuhi
Menurut John Stuart Mill, masyarakat liar yang merdeka baru akan mampu menciptakan kemajuan peradabannya ketika ia belajar untuk patuh. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan menjadi indikator tingkat keadaban sebuah bangsa. Sebagian dari kita mungkin merasa risi dengan term "patuh", karena ia identik dengan dominasi dan hegemoni. Padahal, dalam konteks negara bangsa, kepatuhan menjadi keharusan seluruh elemen masyarakat, dari elite sampai rakyat. Kontrak sosial yang menjadi basis bangunan sebuah negara mensyaratkan adanya kepatuhan agar roda negara bisa terus bergerak.

Para pendiri republik ini membangun landasan negara untuk dipatuhi demi kohesi, bukan hegemoni. Ia menjadi panduan perilaku yang mengikat negara dan warganya. Namun, sejarah republik ini menorehkan catatan yang kurang harmonis, bahkan dikotomis dan distingtif antara penguasa (negara) dan rakyat. Politik kekuasaan menampilkan dirinya secara paternalistik, serba mencakup, dan menjadi pusat segalanya. Negara mengendalikan seluruh sumber daya sehingga menciptakan ketergantungan rakyat pada negara. Akibatnya, warga selalu berharap belas kasih (keterlibatan) negara sekaligus mempersempit ruang kemandirian warga. Dalam kondisi demikian, negara semakin memiliki peluang mengendalikan rakyat. Padahal, dalam konteks civil society, warga menjadi pilar yang menentukan arah perjalanan negara, bukan sebaliknya. Ketergantungan dan distingsi antara warga dan negara tersebut merupakan bentuk lain keterbelengguan.

Pelembagaan konstitusi
Keberhasilan negara merekonstruksi dirinya melalui revisi konstitusi seharusnya diikuti pelembagaan (ketaatan) konstitusi itu sendiri. Namun, semua itu masih mimpi. Karena itu, pencapaian agenda pada era reformasi ini tak jauh berbeda dengan pencapaian awal kemerdekaan, yaitu pergulatan membangun konstitusi. Sementara itu, penguatan nilai-nilai konstitusi berjalan lambat dan cenderung involutif. Akibatnya, kegaduhan politik terus mengalir dari dulu sampai sekarang.

Kita bisa menyaksikan karut-marut relasi antarlembaga negara yang sering berujung pada kegaduhan politik yang tak produktif. Walaupun konstitusi sudah mengatur tata interaksi dan pola relasi antarinstitusi, tarik-menarik kepentingan elitis di antara lembaga-lembaga negara tak pernah mati. Percaloan di Dewan Perwakilan Rakyat, mafia peradilan, dan sepak terjang Mahkamah Agung dengan segala kontroversinya menjadi catatan lemahnya budaya mematuhi. Begitu juga DPR dan Dewan Perwakilan Daerah yang berebut kuasa, walau dalam konstitusi mereka memiliki posisi yang sama.

Belum lagi orientasi kekuasaan kaum politikus yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada warga. Semua ini akibat pengabaian terhadap konstitusi sebagai landasan dasar interaksi. Konsekuensinya, tatanan kenegaraan menjadi amburadul dan bergerak menurut tafsirnya masing-masing. Karena itu, diperlukan proses pelembagaan konstitusi dalam kesadaran diri anak bangsa.

Proses pelembagaan ini tidak sekadar melalui sosialisasi konstitusi hasil amendemen, seperti yang dilakukan Majelis Permusyawaratan RI saat ini, tapi melalui keteladanan sikap para elite dalam menjunjung tinggi sistem kenegaraan yang telah disepakati bersama. Walaupun secara konstitusi semua lembaga negara memiliki kedudukan yang sama, dalam sistem presidensial, eksistensi kepala negara (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi penting untuk menegakkan kembali kepatuhan seluruh komponen masyarakat terhadap aturan main yang ada. Dan fungsi ini akan maksimal apabila masing-masing lembaga negara bekerja sesuai dengan aturan dan berkhidmat untuk rakyat.

Tentu ini bukan agenda mudah, karena pada kenyataannya para pejabat negara masih banyak yang abai, bahkan belum mengetahui amendemen konstitusi, apalagi menjalankannya. Inilah ironi kemerdekaan di usianya yang ke-62, yang baru sebatas bongkar-pasang prosedur-prosedur oleh para elite tanpa bekas dalam sikap dan perilaku mereka. Inilah kemerdekaan prosedural yang dapat mengancam kohesivitas kebangsaan yang multikultural. Karena itu, melewati setengah abad usia kemerdekaan dan di tengah demokrasi yang merekah, orientasi penyadaran diri perlu dilakukan agar kemerdekaan bermakna bagi proses "menjadi bangsa".*

Tuesday, August 14, 2007


Hikmah

Tangisan Sang Pemimpin
Republika, Selasa, 14 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

“Saat itu aku menoleh pada Rasulullah. Tiba-tiba saja aku melihat matanya mengalirkan air mata,” (Ibnu Mas’ud dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim).

Suatu ketika Rasulullah meminta Ibnu Mas'ud untuk membacakan Alquran di hadapannya. Ibnu Mas'ud terkejut. ''Alquran adalah wahyu yang diturunkan melalui dirimu, bagaimana saya harus membacakannya, ya Rasulullah?'' tanya Ibnu Mas'ud. ''Aku ingin mendengarnya dari orang lain,'' jawab Rasul singkat.

Ibnu Mas'ud pun membaca surat An-Nisa'. Sampai pada ayat tertentu, Rasulullah meminta Ibnu Mas'ud menghentikan bacaannya. Tanpa sengaja Ibnu Mas'ud melihat wajah Rasulullah. Dari matanya mengalir deras air mata. Rasulullah menangis saat Ibnu Mas'ud membaca ayat ''... dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu) ...'' (QS An-Nisa [4]: 41).

Rasulullah menangis memikirkan nasib umatnya. Sebuah tangisan karena khawatir atas kondisi lingkungan-sosialnya. Rasulullah adalah sosok pemimpin yang diberi tanggung jawab bukan hanya untuk manusia, tapi untuk seluruh alam (rahmatan lil 'alamin).

Imam Ibnul Qayyim membagi 10 macam linangan air mata (tangisan). Ada tangisan kasih sayang, tangisan takut dan khawatir, tangisan cinta dan rindu, tangisan gembira dan bahagia, tangisan terkejut karena beban berat, tangisan sedih, tangisan lemah dan tidak mampu, tangisan kemunafikan, tangisan palsu, dan tangisan solidaritas.

Dari 10 ragam tangisan tersebut bisa dikelompokkan ke dalam dua macam, yaitu tangisan yang berasal dari hati dan tangisan sebatas linangan air mata. Tangisan sebatas linangan air mata adalah tangisan kemunafikan, tangisan palsu, atau sekadar solidaritas karena orang lain menangis. Sebaliknya tangisan kekhawatiran seorang pemimpin sebagaimana yang diperlihatkan Rasulullah adalah linangan air mata yang mengucur dari lubuk hati yang paling dalam.

Kedalaman hati tentu tak ada yang bisa mengukur. Namun, apakah sebuah tangisan hanya sebatas linangan air mata atau bukan, kita bisa melihat dari perilakunya. Seorang yang menangis kala berzikir, namun perilakunya banyak menyimpang, berarti tangisan itu baru sebatas linangan air mata. Dalam konteks kepemimpinan, tangisan tulus sang pemimpin terukur dari kesungguhannya dalam upayanya meretas problema yang dihadapi warganya. Semoga.

http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=14

Thursday, August 02, 2007

Opini



Matinya Etika Politik
Seputar Indonesia, Kamis, 2 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

Kita boleh bangga karena freedom house (2006) memasukkan negara kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Kita boleh bangga karena pemilu yang kita selenggarakan pasca reformasi berlangsung ramai dan damai. Kita boleh bangga karena dunia harus mengubur kekhawatirannya akan chaos pada Pilpres langsung 2004 yang lalu. Sembari puja-puji atas demokrasi terus mengalir dari berbagai kalangan, lembaga-lembaga prosedural demokrasi terus kita sempurnakan. Lembaga legislatif yang awalnya unikameral mekar menjadi bikameral. Sistem yang sentralistik luluh seiring otonomi daerah. Bahkan beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi “meresuti” tampilnya calon independen dalam pemilihan kepala daerah.

Semua capaian tersebut merupakan secercah cahaya setelah sekian lama bangsa ini terkubur dalam kegelapan politik akibat otoritarianisme. Seluruh nafas yang awalnya dikendalikan oleh kekuasaan dihancurkan dengan harapan lahirnya kehidupan berbangsa yang lebih bermartabat. Untuk itu, dibuatlah aturan main agar negara ini tidak menjelma menjadi arena homo homini lupus atau menjadi ladang pembantaian sesama anak bangsa baik secara fisik maupun psikis karena benturan ragam kepentingan.

Namun semua langkah di atas belum sepenuhnya menjadi pijakan bersama dalam membangun kehidupan berwarga negara yang civilized. Fenomena politik yang menyeruak belakangan ini mengarah pada arus balik yang cenderung mengotori demokrasi. Tata aturan yang disahkan oleh para wakil rakyat di Senayan harus dilanggar, bahkan oleh mereka sendiri. Mereka memainkan tata tertib yang mereka susun sendiri dengan beragam tafsir yang paradoks untuk mengedepankan kepentingannya. Bahkan cenderung menempuh segala cara untuk memuaskan hasratnya. Demokrasi pada titik ini tercederai oleh distingsi antara perilaku para politisi dengan nilai-nilai yang dibuatnya sebagai landasan etis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Guncangan politik
Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa setiap perubahan akan merangsang terjadinya guncangan (disruption). Guncangan karena adanya distingsi antara nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah masyarakat. Guncangan bisa juga merupakan shock culture akibat ketidaksiapannya menjalani perubahan yang diluar kerangka nalarnya. Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern di tengah perubahan yang bergulir begitu cepat. Yaitu tatanan sosial yang melemah dalam kerangka kebersamaan (a weakening of social bonds and common values).

Perilaku menyimpang dan pengebirian etika politik dikalangan politisi salah satunya disebabkan oleh guncangan tersebut. Mereka tidak siap untuk menjalani perubahan yang begitu luar biasa sementara secara intrinsik mereka masih terjebak dengan nilai (kesadaran) masa lalunya. Konsekuensinya terjadi ledakan-ledakan anomalis yang memicu seseorang melampaui atau mengancam etika politik.

Hal ini terlihat dari beberapa guncangan politik yang terjadi belakangan ini. Salah satunya adalah tuduhan yang dilontarkan mantan wakil ketua DPR RI, Zaenal Maarif terhadap presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagi kaum machiavellian langkah yang dilakukan Zaenal merupakan hal yang lumrah. Segala cara menjadi halal untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Atau dalam bahasa Fukuyama agar guncangan dalam dirinya bisa ditekan sedemikian rupa dengan melemparkan beragam isu tanpa peduli validitas dan eksesnya.

Konsekuensinya muncul korban-korban yang sejatinya tak perlu terjadi. Dan ini berimplikasi lebih jauh karena sedikit banyak mengganggu kelancaran roda kerja pemerintahan. Seorang SBY harus menyisakan pikiran dan perasaannya untuk merespon fitnah yang dilontarkan mantan wakil ketua DPR RI.

Pada titik ini politisasi isu yang dilontarkan Zaenal sulit dibantah. Apalagi data-data yang dimiliki Zaenal diserahkan ke lembaga-lembaga politik (DPR, MPR, & DPD), setelah sebelumnya dilempar ke ranah publik seiring pemecatan dirinya sebagai wakil ketua DPR RI. Dan bila isu ini dibiarkan, ia akan menjadi bola liar yang siap dimainkan oleh ragam kepentingan menyongsong pemilu 2009. Wajar apabila presiden secara tegas membantah sekaligus melaporkan isu murahan ini ke pihak berwajib agar diungkap fakta kebenarannya. Karena itu pula, isu ini harus dibaca dalam konteks (etika) politik.

Etika dan logika politik
Etika politik merupakan kristalisasi dari nalar (logika) politik warga bangsa itu sendiri. Ia merupakan muara sintesis dari logika-logika yang berkembang pada ranah publik demi terbangunnya kohesi sosial. Pelanggaran terhadap etika politik dengan sendirinya menandakan matinya nalar kebangsaan dan dapat mengancam integrasi sosial.

Aristoteles dalam magnum opus etikanya, Nicomachean ethics menyebutkan bahwa kebaikan bersama merupakan muara dari etika politik sebuah negara. Dan etika yang baik hanya mungkin tercipta dalam negara yang menyediakan tata aturan yang mengarahkan setiap perilaku warganya demi kebaikan bersama. Dari sini kita bisa mengukur apakan perilaku politik yang berkembang di negeri ini mengarah pada kepentingan bersama (rakyat) atau justru mengkristal menjadi kepentingan kelompok atau pribadi.

Di tengah eforia kebebasan, kepentingan sempit sangat mungkin dirayakan. Atas nama kebebasan setiap kepentingan mendapat tempat aktualisasi tanpa peduli hak asasi orang lain. Aturan main diabaikan untuk mencapai puncak kekuasaan yang mereka pahami sebagai realitas yang inheren dalam politik. Karenanya standar etika perlu ditegakkan melalui barometer yang dapat dipertangungjawabkan secara empiris dan praksis.

Dalam konteks itu, Paul Ricoeur (1990) mengukur etika politik secara teleologis. Menurutnya ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk orang lain secara baik (to be a constituent in a “‘good life’ with and for others); memperluas ruang lingkup kebebasan; dan membangun institusi-institusi yang adil (just institutions).

Ketiga alat ukur etika politik ini dapat diimplementasikan melalui pembacaan terhadap perilaku politik seluruh warga negara, khususnya kaum elit. Kritik, kontrol, dan segala macam input untuk negara harus diletakkan dalam kerangka kebaikan bersama. Bukan dalam rangka mendapatkan “dunia runtuh”. Eksistensi kepemimpinan melalui konsensus lima tahunan harus didukung dan ditoleransi selama berada dalam koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan oleh legislatif harus mengacu pada kepentingan bersama (rakyat), bukan pada prestise lembaga apalagi vested interest.

Aspek kebersamaan ini berdiri sejajar dengan kebebasan. Kebersamaan mengandaikan adanya ruang kebebasan yang luas, sehingga pluralitas warga bangsa tetap terawat. Semua ini akan terjadi apabila ditopang oleh eksistensi institusi, termasuk lembaga hukum, yang adil. Dan inilah yang hendak ditempuh Presiden SBY dalam merespon fitnah yang dilontarkan Zaenal Maarif. Semua warga apapun jabatan dan sukunya memiliki kesempatan yang sama untuk mempertahankan martabat dirinya. Sejalan dengan itu, institusi hukum sebagai penentu atas beragam kasus yang menyesatkan atau menyandera kebebasan dipertaruhkan keadilannya.

Etika politik pada akhirnya ditentukan oleh sejauhmana masing-masing warga negara mengarahkan sikap dan perilakunya demi terciptanya kohesi sosial melalui cara-cara yang bermartabat. Dan cara tersebut hanya bisa ditempuh melalui komunikasi dan persuasi, bukan melalui manipulasi apalagi fitnah yang keji.*