Wednesday, June 27, 2007

Opini

Visi Harmoni Presiden
Seputar Indonesia, Rabu, 27 Juni 2007

A. Bakir Ihsan

Sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah banyak yang menganalisisnya. Kesimpulannya pun beragam. Kalau dipetakan secara ekstrem beragam kesimpulan itu memunculkan dua potret SBY yang diametral. Satu sisi, ia hadir dalam wajah yang gagah, tutur kata yang tertata, dan wibawa. Inilah sisi yang mendorong orang mempertaruhkan ekspektasinya dan memilihnya pada pemilu lalu. Di sisi lain, SBY hadir dalam wajah yang peragu, tipis telinga, dan tebar pesona. Inilah sisi lain yang menyebabkan popularitas SBY menurun melewati batas psikologis (LSI, Maret 2007).

Kedua potret paradoks tersebut lahir karena SBY diletakkan dalam spektrum politik-pragmatis yang bertanggung jawab atas semua beban warisan sebelumnya. SBY ditempatkan layaknya imam mahdi (ratu adil) namun dalam ruang dan waktu yang terbatas. Akibatnya harapan yang memuncah tak tertampung dalam cawan mungil. Di sinilah anomali posisi SBY dengan setumpuk harapan dalam ruang politik yang menyesakkan.

Karena itu, diperlukan cara pandang lain yang memungkinkan pemotretan sosok SBY secara komprehensif, tanpa memoles (menyanjung) atau mendegradasi (memanipulasi) hasilnya. Salah satu caranya adalah menempatkan SBY sebagai manusia yang memiliki kesadaran intensionalitas dengan kemampuan logika dan estetikanya. Di sinilah kamera fenomenologis diperlukan agar SBY tampil sebagai manusia yang menampakkan diri dengan segala dimensinya (kekurangan dan kelebihannya), baik melalui bahasa kata maupun perilaku.

Merajut damai
SBY merupakan sosok yang kaya wacana. Salah satunya tentang harmoni yang tidak saja terlontar dalam bahasa sehari-hari (the ordinary language), tapi juga puisi.

Secara semiotik, wacana harmoni tersebut mengandung kegelisahan. Kegelisahan akan realitas politik yang lebih ekspresif dan eksesif daripada aspek-aspek lainnya. Sepanjang kursi kepresidenan diraih SBY, kegaduhan politik tak pernah reda. Di awal kekuasaannya, SBY berhadapan dengan koalisi kebangsaan yang dimotori Partai Golkar dan PDIP. Seiring hancurnya koalisi kebangsaan, SBY dihadapkan pada tuntutan reshuffle. Dan kini sedang semarak interpelasi yang cenderung melampuai substansi.

Kegaduhan tentu bisa ditafsirkan sebagai dinamika politik dalam demokrasi. Namun bisa juga ditafsirkan sebagai bidikan politik delegitimasi bagi kepentingan suksesi 2009 nanti. Inilah jagad politik yang tidak bisa dipahami secara biner. Di dalamnya sarat kepentingan yang hanya bisa dikira-kira dan ditafsirkan tanpa batas.

Wacana harmoni yang dilontarkan SBY menjadi menarik bukan hanya karena krisis kebersamaan dan menguatnya pengelompokan kepentingan belakangan ini. Namun juga sebagai langkah untuk menguatkan kembali agenda-agenda yang berhasil diejawantahkan oleh pemerintahan SBY yang cenderung terdistorsi akibat kegaduhan politik di atas. Salah satunya adalah resolusi konflik.

Sulit dimungkiri bahwa salah satu sukses pemerintahan SBY adalah keberhasilan resolusi konflik. Dari beberapa survei, masalah keamanan menjadi starting point yang paling menonjol dibandingkan aspek-aspek lainnya. Intensitas konflik yang cenderung menurun saat ini memperkuat legitimasi atas sukses tersebut.

Begitu pun harapan beberapa negara atas peran Indonesia dalam penciptaan perdamaian, baik di Timur Tengah maupun wilayah lainnya merupakan rangkaian keberhasilan yang sulit dibantah. Paling tidak harapan tersebut menyimbolkan satu makna penghargaan atas sukses Indonesia dalam resolusi konflik.

Semua proses ini tentu bukan hadir secara tiba-tiba. Ia merupakan perwujudan dari komitmen dan kerja yang berkesinambungan dalam merajut perdamaian. Setinggi apa pun komitmen dan kehendak seorang presiden untuk menebar harmoni tak akan banyak berarti tanpa partisipasi. Fakta ini mengisyaratkan bahwa keberhasilan sebuah komitmen ditentukan oleh kehendak untuk merangkainya dalam sebuah kontinuitas kerja kolektif dengan dan oleh semua pihak.

Kalau bercermin pada sukses perdamaian, diperlukan kesamaan visi dan kerja kolektif seluruh komponen bangsa untuk perbaikan di bidang-bidang lainnya, seperti ekonomi, politik, hukum, dan pendidikan yang masih jauh panggang dari api.

Selama ini sering terjadi simpang visi antara legislatif dan eksekutif serta elite politik lainnya. Dalam kasus perjanjian ekstradisi dan kerjasama pertahanan (Defense Cooperation Agreement) antara RI dengan Singapura misalnya terancam batal karena adanya perbedaan paradigma dalam melihat kerjasama bilateral tersebut. Begitu pun dalam bidang ekonomi. Perbedaan paradigma antara liberalisasi dan proteksi negara menjadi perdebatan panjang yang tak jarang menguras energi dan mengalihkan perhatian bagi kelancaran akselerasi pembangunan.

Harmoni vs kompromi
Kita tidak mungkin menyeragamkan paradigma. Masing-masing elemen memiliki hak yang sama untuk memasarkan pandangannya. Namun dalam konteks kebijakan, diperlukan sintesa (kompromi) yang tentu saja mendistorsi beragam paradigma. Di sinilah kearifan (legowo) dipertaruhkan untuk memahami proses kebijakan yang harus diambil bagi kepentingan bangsa. Kita punya mekanisme kenegaraan yang tidak memungkinkan orang menyengsarakan rakyatnya. Inilah yang sejatinya dijalankan pemerintah dan diperjuangkan oleh anggota dewan dalam menjalankan fungsi kontrolnya.

Masing-masing elemen memiliki fungsi dan perannya yang harus dijalankan di atas altar kebangsaan, bukan egoisme kelompok atau perorangan. Dari sinilah disharmoni yang menurut Johan Galtung berdiri sejajar dengan harmoni bisa dieliminasi. Harmoni tidak menafikan perbedaan. Ia mengacu pada terhamparnya keragaman yang beroperasi secara fungsional, sehingga tidak terjadi benturan yang menyengsarakan.

Secara politik, harmoni dapat tercipta ketika masing-masing lembaga negara berperan sesuai fungsinya. Disharmoni terjadi justru ketika intervensi dan monopoli lebih ditonjolkan. Relasi antara legislatif dan eksekutif yang disharmonis akibat perilaku politik yang melampaui batas-batas logika fungsional, yaitu logika politik yang berpijak pada sistem kenegaraan; presidensial. Akibatnya etika dan estetika bernegara runtuh yang menyebabkan rakyat luluh.

Revitalisasi fungsi
Harmoni sejatinya menjadi basis negara. Walaupun kaum Machiavellian dan penggagas teori konflik melihat disharmoni adalah dasar interaksi terbentuknya negara, namun asasi yang dikehendaki adalah kerelaan untuk berbagi (toleransi) ambisi. Sehingga konflik bisa diakhiri tanpa menafikan eksistensi masing-masing. Agenda inilah yang sampai saat ini belum tercapai. Justru fakta politik memperlihatkan pembenaran atas tesis “state of nature”nya Thomas Hobbes. Masing-masing menonjolkan ambisinya, sehingga harmoni tak kunjung terealisasi.

Proses demokrasi di negeri ini yang oleh majalah The Economist disebut sebagai shining example sejatinya mengantarkan kita semua mendekati asasi bernegara tersebut. Warga negara merasa nyaman hidup di negaranya, sehingga ia merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk mempertahankan negeri ini. Namun yang terjadi, rakyat belum sempat berpikir tentang negara, karena harus berjuang menghidupi diri. Mereka masih sampai pada tahap bagaimana bisa bereksistensi di negerinya sendiri. Ini semua akibat elite politik lebih peduli pada nasibnya sendiri dan menafikan nasib rakyatnya.

Di sinilah urgensi revitalisasi visi harmoni yang diwacanakan SBY dalam beberapa kesempatan. Yaitu penguatan operasionalisasi fungsi oleh masing-masing institusi. Untuk itu perlu langkah dan kebijakan (political will) yang dapat menyuburkan harmoni pada setiap nafas anak negeri. Salah satunya dengan memahami dan membumikan perannya masing-masing di bawah kendali logika bernegara (konstitusi). Dari sini, harmoni tidak sekadar narasi, tapi menjadi tata laksana dan fatsun (etika) politik dalam bernegara. Tanpa ini, maka harmoni hanya mimpi.*


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/visi-harmoni-presiden-3.html

Thursday, June 21, 2007

Opini

Paradoksalitas Politik Wakil Rakyat
Media Indonesia, Kamis, 21 Juni 2007

A. Bakir Ihsan

Berharap banyak pada peran institusi politik saat ini mungkin harus kita tangguhkan. Kalau beberapa waktu lalu di koran ini penulis mengurai sisa asa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang semakin menipis, kini kita menyaksikan peran wakil rakyat yang semakin terasing dari rakyat.

Paling tidak beberapa peristiwa yang terjadi di Senayan memunculkan kesan bahwa DPR penuh paradoks. Salah satu paradoksalitas anggota dewan terlihat dalam sidang interpelasi yang agenda utamanya adalah mendengarkan jawaban pemerintah atas dukungannya terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB 1747 tentang nuklir Iran.

Sidang ini harus ditunda hanya karena perdebatan antara keharusan presiden hadir atau tidak. Penundaan berakibat pada dua hal yang merugikan. Pertama, DPR harus menjadwal ulang sidangnya sekaligus menyisikan waktu yang sejatinya bisa dipergunakan untuk kepentingan lain yang urgen. Kedua, anggaran DPR (negara) terkuras sidang yang lebih mengedepankan formalitas agenda dan capaian yang artifisial.

Realitas tersebut hanya puncak dari paradoksalitas para wakil rakyat. Paradoks karena mereka terbelit oleh persoalan tatibnya (internalnya) sendiri yang multitafsir. Sebagaimana diungkapkan Ketua DPR RI, Agung Laksono bahwa sidang interpelasi ditunda demi persatuan dan kesatuan fraksi. Pernyataan ini secara tersurat melegitimasi problem internal (fraksi) DPR. Perbedaan penafsiran atas tata tertibnya sendiri menjadi bagian dari problem DPR sekaligus merupakan bagian dari rangkaian paradoksalitas lembaga legislatif.

Paradoksalitas lainnya bisa dilihat dari rencana anggota DPR yang akan menggunakan hak menyatakan pendapat untuk mengusut dana ilegal yang diterima para calon presiden dalam pemilu 2004 (Media Indonesia, 31/5). Paradoks karena mereka sendiri terbelit aliran dana Departemen Kelautan dan Perikatan (DKP) yang justru mereka ambangkan. Bahkan menurut perkembangan terakhir anggota DPR yang menerima aliran dana nonbudgeter terus bertambah dan tidak hanya terjadi pada masa kementerian Rokhmin Dahuri, tapi juga kementeriaan Freddy Numberi saat ini (Kompas, 9/6). Oleh karenanya rencana anggota dewan menguak dana ilegal pilpres 2004 laksana membersihkan lantai kotor dengan sapu yang tak kalah kotornya. Hasilnya hanya absurditas dan ambiguitas.

Kecenderungan sensitivitas anggota dewan selama ini hanya bertumpu pada realitas (pihak) lain (the others). Hal ini menyebabkan mereka mati suri terhadap problem yang membelit dirinya. Salah satu faktornya karena mereka hadir tanpa kontrol. DPR mengontrol semua lembaga negara, namun tak ada satu pun lembaga yang mengontrolnya. Akibatnya otoritas yang dimilikinya begitu menggurita dan eksesif. Berbagai kritik dan evaluasi yang dilontarkan terhadap kinerja anggota dewan direspon bagai angin lalu.

Dalam kasus studi banding yang hampir setiap saat dikritik oleh berbagai kalangan tak pernah menggugah hati anggota dewan untuk mengevaluasinya. Pelaksanaan studi banding berbanding lurus dengan kritik yang disampaikan masyarakat. Wajar apabila kritik tak berhenti mengalir.

Baru-baru ini, Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie menguatkan kritik bahwa studi banding ke luar negeri khususnya dalam hal perundang-undangan hanya akal-akalan untuk jalan-jalan (Koran Tempo, 30/5). Mereka menghabiskan dana negara yang tidak sedikit. Untuk 2007 DPR mengalokasikan Rp92,566 miliar untuk kunjungan ke luar negeri dan sepertiganya (Rp32,972 miliar) untuk studi banding.

Belum lagi kecenderungan sensitivitas anggota DPR terhadap problem rakyat yang semakin hambar. Dari wacana yang berkembang di Senayan yang banyak disorot justru persoalan luar negeri. Selain masalah nuklir Iran, para anggota dewan sibuk bermanuver terkait perjanjian kerjasama pertahanan (Defense Cooperation Agreement/DCA) RI dengan Singapura. Tidak ada yang salah dengan sikap anggota DPR tersebut. Namun sebagai wakil rakyat, sejatinya mereka bisa memilah dan memilih skala prioritas agenda yang harus diperjuangkan, yaitu problem yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Rencana interpelasi lumpur Sidoarjo sebenarnya lebih kontekstual, namun menjadi absurd ketika anggota dewan terjebak kembali pada perdebatan artifisial kehadiran presiden.

Relasi menyesatkan
DPR merupakan rumah yang sejatinya menjadi tempat yang nyaman bagi rakyat. Nyaman karena rakyat merasa dibela, diperhatikan, dan tak terlantar. Dan ini bisa terjadi apabila DPR mampu memainkan perannya secara maksimal bagi kepentingan rakyat. Salah satunya adalah menjaga agar penyelenggara negara (pemerintah) tidak terjebak dalam kecenderungan koruptif (tend to corrupts).

Eksistensi DPR justru menjadi tanda tanya ketika ia terjebak dalam “relasi gelap” dengan eksekutif untuk kepentingan kekuasaannya. Yang terjadi selama ini, legislatif-eksekutif berada dalam dua pola relasi yang ekstrem. Pertama, relasi legislatif-eksekutif yang begitu mesra sehingga menjadi tidak kritis. Ada kepentingan dan keuntungan bersama yang diperoleh masing-masing lembaga. Kasus aliran dana nonbudgeter ke DPR merupakan bukti dari perselingkuhan yang menyakiti nurani rakyat.

Kedua, relasi antagonisme legislatif-eksekutif. Masing-masing merasa sebagai lembaga yang sejajar secara de jure, namun saling menonjolkan superioritasnya secara de facto. Langkah eksekutif selalu dinilai negatif, begitu juga legislatif dianggap tak aspiratif. Akibatnya masing-masing berjalan sendiri sehingga kinerja keduanya tidak optimal.

Kedua pola relasi tersebut hadir melampaui batas-batas fraksi atau parpol. Hal ini terjadi karena parpol atau fraksi tidak berpijak pada kejelasan prinsip yang bisa dipertaruhkan dalam memandang (menempatkan) eksekutif. Masing-masing anggota dewan bergerak menurut irama kepentingan pragmatisnya tanpa titik pijak pada komitmen partainya. Wajar apabila Presiden Yudhoyono kecewa atas sikap kader partai pendukungnya yang justru menjadi pengkritik terdepan atas kebijakan yang diambilnya. Dan yang pasti, kedua relasi tersebut sama-sama merugikan kepentingan rakyat. Rakyat yang sejatinya bisa terlayani oleh lembaga-lembaga negara justru menjadi korban yang harus berjuang sendiri meraih harapannya sebagai warga negara.

Pragmatisme politik
Di antara modal penting bagi konsolidasi demokrasi adalah keterlibatan politik (political engagement) dan kepercayaan pada institusi politik (trust in political institutions). Modal pertama (keterlibatan politik) bisa dilihat dari antusiasme warga dalam proses pemilihan kepemimpinan secara langsung. Dalam Pilpres 2004 dan pilkada yang berlangsung selama ini mayoritas warga berpartisipasi. Ini menjadi modal penting yang harus dijaga sehingga demokrasi tak kehilangan ruhnya.

Salah satu cara menjaga modal pertama ini adalah menciptakan kepercayaan warga terhadap institusi politik. Partisipasi warga dalam pemilihan kepala negara dan pemerintahan selama ini lebih didorong oleh ekspektasi yang begitu kuat bagi munculnya tatanan baru yang menguntungkan. Partisipasi ini akan tetap terjaga apabila ekspektasi tersebut terealisasi, sehingga masyarakat percaya terhadap institusi politik yang ada. Inilah modal kedua yang seharusnya tumbuh mengiringi transisi saat ini.

Tampaknya modal kedua belum hadir di tengah masyarakat. Paling tidak dari beberapa survei menunjukkan bahwa institusi politik, seperti partai politik belum mendapat tempat di hati rakyat. Kondisi ini diperparah oleh sikap elite politik yang lebih peduli pada perjuangan mempertahankan kursi politiknya menjelang pemilu mendatang. Sebagaimana sering diungkapkan bahwa agenda dua setengah tahun ke depan adalah agenda meraih atau mempertahankan kekuasaan, bukan merampungkan tugas yang bisa dipertanggungjawabkan pada rakyat.

Inilah realitas yang menjadi pijakan hiruk pikuk politik yang berlangsung saat ini, khususnya di lingkungan lembaga wakil rakyat yang sejatinya menjadi garda terdepan bagi nyaman tidaknya rakyat menjadi warga negara. Akibatnya masyarakat teralienasi dari institusi politik. Apabila hal ini dibiarkan, stabilitas politik akan terus terancam dan demokrasi tidak akan pernah matang.*

Tuesday, June 19, 2007

Opini

Logika oposisi biner politisi menyesatkan
Bisnis Indonesia, Selasa, 19 Juni 2007

A. Bakir Ihsan

Ya atau tidak. Inilah atmosfer yang mewarnai politik kita belakangan ini. Masing-masing menempatkan diri sebagai tesa sekaligus antitesa dari yang lain (the others). Mari kita simak suasana politik di rumah wakil rakyat, Senayan. Nuansa menafikan dan menegasikan sangat kental terlihat.

Fakta mutakhir adalah interpelasi yang otoritas penafsiran atas tata tertibnya dimonopoli mereka sendiri. Akibatnya, logika yang muncul adalah keharusan bagi yang lain untuk menaati kemauannya tanpa reserve. Inikah potret yang hendak kita pamerkan di atas altar reformasi ini?

Logika politik biner (binary opposition) ini tentu bukan hanya monopoli anggota dewan. Di masyarakat pun sering terjadi yang berujung pada konflik, kerusuhan, dan tindak kekerasan lainnya. Namun kenyataan ini tidak berarti menjadi legitimasi bagi para wakil rakyat untuk melakukan hal yang sama. Justru kehadiran para wakil rakyat sejatinya memberi pembelajaran politik yang toleran dan berkualitas.

Di sinilah kehandalan anggota dewan dipertaruhkan dalam mendialogkan apa yang seharusnya (das sollen) dan apa yang terlihat (das sein). Para elite politik esensinya adalah alat mediasi bagi penguatan nilai-nilai demokrasi.

Logika biner yang berkembang di kalangan elite, termasuk beberapa pengamat, sangat mengancam bagi munculnya kemungkinan (alternatif) yang lain. Bahkan akan memicu mencuatnya prasangka-prasangka politik yang beakhir pada kesia-siaan. Ketika Amien Rais menerima undangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk islah terkait tuding-menuding antarkeduanya, para anggota dewan merasa keberatan dan mengkritiknya sebagai sebuah kooptasi dan 'perselingkuhan'. Mereka memandang pertemuan tersebut akan membunuh proses hukum atas dana ilegal pilpres 2004 yang mulai dikuak secara diskursif oleh Amien Rais. Penafsiran sepihak dan eksklusif ini menjadi benih pemborosan energi tanpa substansi apalagi solusi.

Kuras energi
Jalan buntu sebagai akibat dari pola pikir bipolar tersebut tentu mengu-ras energi kita semua. Bagi sebagian orang mungkin justru menikmatinya karena memperoleh manfaat pragmatis dari pola pikir tersebut. Namun apakah ini yang hendak kita tuju di tengah identitas warga negara yang pluralistik?

Justru realitas plural warga sejatinya menjadi pijakan bagi kita semua untuk terbiasa mengurai pola pikir kita seluas mungkin dengan membuka banyak kemungkinan dan alternatif. Tentu secara pragmatis akan memakan waktu dan cenderung bertele-tele. Namun sebagai sebuah proses pembelajaran berbangsa, tradisi (realitas) pluralistik tersebut harus disulut kembali setelah sekian lama terperangkap dalam logika monopolistik yang dikembangkan oleh rezim otoriter masa lalu.

Kalau atmosfer yang berkembang di lingkungan elite politik masih seperti saat ini, berarti kita sedang memupuk potensi-potensi konflik yang menguat di masyarakat akibat tersumbatnya saluran alternatif. Aksi kekerasan yang ditunjukkan masyarakat, merupakan bagian dari efek matinya logika pluralistik. Begitu juga dalam bidang lainnya, termasuk pemahaman agama (budaya). Ketika ia diletakkan dalam bingkai yang biner dan liner, maka radikalisme sering menjadi sumbu yang meledakkan kekerasan atas nama agama.

Inilah agenda-agenda yang sejatinya bisa diselesaikan melalui proses pembelajaran politik untuk membuka beragam alternatif penyelesaian dalam banyak hal di tengah krisis yang tak kunjung habis. Karena politik menjadi arus utama yang menentukan warna-warni kekuasaan saat ini maka para politisi sejatinya menjadi garda terdepan bagi penumbuhan berpikir taktis dan solutif, bukan statis, apalagi dogmatis.

Potret bangsa Indonesia yang pluralistik (bhinneka) ini sesungguhnya menjadi sumber kearifan kita, baik dalam berpolitik, berbisnis, maupun dalam beragama. Pluralitas yang kita kandung sejak republik ini lahir ternyata mampu menjadi energi yang mempersatukan (tunggal ika) seluruh warga. Ini menunjukkan bahwa kemanunggalan (kebersamaan) bisa ditegakkan ketika kebinekaan dihargai.

Justru keragaman bisa memuncah menjadi anarki ketika dia dilecehkan atas nama kemanunggalan atau dioposisikan (dipertentangkan) secara hitam putih (biner). Inilah makna terdalam dari realitas plural yang menyelimuti warga negara bernama Indonesia.

Ketika kita terjebak dalam logika biner maka kita telah meruntuhkan realitas budaya sekaligus sedang membangun tembok stigmatis yang secara ektrem berujung pada saling menyalahkan (mutually exclusive) dan memonopoli kebenaran. Dalam bentuk yang sederhana tercermin dari sikap acuh dan tak peduli (berjarak) terhadap yang lain.

Adanya kerenggangan antara konstituen dengan parpol, para wakil rakyat dengan rakyat dan kerenggangan antarlembaga atas nama kesataraan, adalah bukti konkret menguatnya logika biner di kalangan elite politik. Padahal dalam konsep kenegaraan yang diangankan oleh para pendulu kita adalah negara kesatuan.

Di sinilah perlunya rekonstruksi atas pola pandang kenegaraan kita, khususnya para elite yang menakhodai republik ini. Ini semua perlu dilakukan karena apa yang kita sebut realitas baik politik, ekonomi, hukum, maupun sosial-budaya, merupakan bagian dari realitas lainnya.

Meminjam Jacques Derrida, realitas tidak berdiri stabil (these oppositions are unstable) dan tidak mandiri (intertekstualitas). Manusia layaknya mesin yang selalu memproduksi makna-makna (internalisasi) dan memengaruhinya (eksternalisasi). Karena itu pemaknaan tunggal atas sebuah teks (politik) hanya berbuah otoritarianisme yang mengancam otoritas lainnya.

Di sinilah perlunya dikembangkan paradigma politik yang lebih terbuka, yaitu sikap dan perilaku politik yang merepresentasikan (merespons) kepentingan konkret masyarakat (politics, and therefore politicians, invariably have to respond to what society in general and individuals specifically want out of their community).

Kalau tidak, kebuntuan-kebuntuan politik yang secara historis sangat tidak efektif akan selalu terulang. Dan kita akan tetap menjadi bangsa yang selalu terjebak pada masa lalunya yang tak berhasil dipahami, karenanya selalu diulangi.

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id10714.html

Thursday, June 07, 2007

Opini

Politik Representasi Partai Politik
Koran Tempo
, Kamis, 7 Juni 2007

A. Bakir Ihsan

Salah satu problem sistem presidensial kita adalah kerancuan aplikasinya: presidensial berwajah parlementarian. Di antara penyebabnya adalah otoritas partai politik yang begitu eksesif mengendalikan eksekutif. Seluruh nafas kekuasaan tak bisa lepas dari jaring-jaring otoritas parpol. Karenanya menarik dianalisa ketika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berusaha menarik tali demarkasi terkait representasinya di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Sebagaimana diberitakan, rapat pleno gabungan DPP PKB “melepaskan” Lukman Edy, menteri negara Pembangunan Daerah Tertinggal, sebagai sekjen sekaligus representasi PKB di KIB. Hal yang sama berlaku juga untuk Erman Suparno (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) dan Zannuba Arifah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny) sebagai staf khusus Presiden. Sejak terpilih menjadi Sekjen, PKB menarik Yenny dari staf khusus presiden (Koran Tempo, 26/5)

Keputusan PKB ini mengandung tiga konsekuensi. Pertama, para kader PKB di kabinet tidak memiliki ikatan struktural dengan partainya sehingga mereka punya ruang luas untuk mencurahkan segala kompetensinya bagi kepentingan negara. Ini berbeda dengan beberapa parpol lainnya yang justru menempatkan ketua umumnya di jajaran kabinet.

Kedua, parpol (PKB) tidak memiliki tanggung jawab (beban) pembelaan atau dukungan atas segala kebijakan yang diambil kadernya di kabinet. PKB dapat mengambil sikap atas kebijakan pemerintah sesuai dengan arahan partai.

Ketiga, bagi-bagi kursi politik (kabinet) pada partai menjadi tidak terlalu signifikan bagi eksistensi pemerintahan Yudhoyono. Dengan kata lain, dukungan partai tidak sepenuhnya menjadi jaminan bagi efektivitas kerja eksekutif. Terbukti beberapa partai yang memiliki perwakilan di kabinet tetap menunjukkan “sikap kritisnya” pada kebijakan pemerintah.

Dilema
Dalam sistem politik yang berbasis pada sistem presidensial, sejatinya presiden memiliki kekuatan penuh menentukan warna-warni kabinetnya. Namun yang terjadi, presiden harus “berbaik hati” dalam mengagregasi kepentingan parpol. Mengapresiasi berbagai aspirasi, tentu merupakan sikap demokratis agar semua representasi dapat diakomodasi. Namun di sisi lain, sikap ingin menyenangkan semua pihak ini berdampak pada terkurasnya energi presiden atas kepentingan pragmatis parpol. Sementara banyak agenda lain yang tak kalah pentingnya bagi kepentingan rakyat.

Eksistensi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) mencerminkan representasi politik multipartai. Dukungan yang diberikan parpol terhadap Yudhoyono pada pemilu 2004 menjadi jasa yang tak mungkin diabaikan. Lebih-lebih Yudhoyono sendiri berasal dari partai baru yang belum memiliki akar kuat di Senayan. Oleh sebab itu, mencari tambahan partner (kongsi) politik di Senayan menjadi alternatif yang tak terelakkan.

Kongsi politik tentu tidaklah kekal. Ada saatnya ia melebur, ada saatnya pula bubar. Inilah yang terlihat dalam reshuffle jilid II. Peran parpol pendukung mulai disusutkan sesuai dengan konstelasi politik yang ada. Hal ini terutama dirasakan oleh Partai Bintang Bulan (PBB).
Kalau berdasarkan kalkulasi dan konsistensi representasi politik sejatinya pencopotan kader PBB dicarikan gantinya dari PBB juga. Hal ini sebagaimana dialami PKB. Namun yang terjadi sebaliknya. Justru jatah tersebut diberikan pada partai lain (PAN untuk posisi Mensesneg) yang memiliki dukungan lebih besar di Senayan.

Pilihan representasi multipartai ini sebenarnya agak riskan melihat sikap para anggota dewan dari parpol pendukung tidak sepenuhnya mensuport kebijakan pemerintah. Kita bisa melihat beberapa anggota dewan yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah justru berasal dari partai yang menjadi pendukungnya. Seperti PAN dan Golkar dalam kasus dukungan Indonesia terhadap resolusi DK PBB 1747 terkait nuklir Iran. Begitu juga dalam kasus impor beras yang ditentang keras oleh PKS yang beberapa kadernya tetap dipertahankan di kabinet.

Fenomena ini akan tetap berlangsung selama kongsi politik dibiarkan di atas altar yang begitu luas (koalisi tak terbatas). Parpol akan memainkan kartu truf atas nama koalisi-kritis yang sesungguhnya tak lebih sebagai taktik bargaining parpol terhadap kekuasaan. Hal ini sekaligus kurang menguntungkan bagi efektivitas policy pemerintah. Kongsi politik sejatinya melahirkan win-win solution atau simbiosis-mutualistik secara politik bagi pemerintah dan partai. Dan itu dimungkinkan apabila kursi politik di kabinet dibangun secara terbatas (koalisi terbatas) sebagaimana yang diidamkan Yudhoyono ketika Pilpres lalu. Kongsi terbatas ini dengan sendirinya akan memudahkan penyamaan persepsi terhadap sebuah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.

Split loyalty
Sulit dimungkiri bahwa presiden Yudhoyono memerlukan dukungan politik parpol. Siapapun presidennya, selama UU Politik tetap meletakkan partai sebagai pintu tunggal meraih kekuasaan, maka parpol akan selalu menjadi penentu. Keterlibatan multipartai di dalam kabinet saat ini menjadi bukti urgensi parpol di mata presiden.

Sayangnya parpol memahami posisi kadernya di kabinet sebagai representasi dan lumbung obsesi parpol. Konsekuensinya para kader di kabinet lebih kental identitas kepartaiannya daripada eksistensi dirinya sebagai abdi negara. Inilah yang menyebabkan terjadinya split loyalty atau loyalitas ganda yang dapat menghambat kinerja pemerintah. Hal ini tidak saja terjadi di lingkaran kabinet, tapi juga di jajaran kepala daerah sehingga menghambat komunikasi pemerintah pusat dengan daerah. Dampak lebih jauh dari loyalitas kepartaian ini adalah lambannya akselerasi pembangunan (program pemerintah) bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Dalam kondisi demikian, keputusan PKB di atas bisa dimaknai secara positif dalam konteks pembelajaran politik. Yaitu bahwa semua kader partai yang masuk di kabinet atau menjadi abdi negara harus melepaskan (dilepaskan) identitas kepartaiannya. Sehingga kader tersebut bisa berkreasi sesuai kompetensinya tanpa intervensi kepentingan parpolnya. Para kader partai yang terpilih menjadi abdi negara harus mentrasformasikan loyalitasnya dari partai ke negara. Di sinilah prinsip my loyalty to my party ends, when loyalty to my country begins ditegakkan. Dengan demikian, representasi multipartai di kabinet tidak akan menjadi problem dalam sistem presidensial ketika loyalitasnya dipersembahkan hanya untuk rakyat.*

Wednesday, June 06, 2007

Opini

Melihat Kembali Substansi Interpelasi
Republika
, Rabu, 6 Juni 2007

A Bakir Ihsan

Interpelasi sebagai hak anggota DPR memiliki makna penting. Ia menjadi media transparansi atas kebijakan yang dijalankan eksekutif. Sebagai sebuah hak, interpelasi adalah sebuah keniscayaan. Walaupun interpelasi melibatkan dua ranah, yaitu DPR dan presiden (pemerintah), namun keduanya harus merujuk pada satu kepentingan, yaitu kepentingan rakyat. Anggota DPR sebagai wakil rakyat menjadi garda terdepan dalam mengagregasi aspirasi rakyat. Oleh karenanya, urgensi interpelasi harus diukur dari relevansinya bagi kepentingan rakyat. Hal ini penting karena seluruh napas anggota DPR digadaikan untuk rakyat, bukan untuk kepentingan parpolnya apalagi dirinya. DPR hadir dengan segala fungsi dan tanggung jawabnya karena menerima mandat rakyat. Tanpa rakyat mereka tak berarti apa-apa.

Sementara pemerintah merupakan sebuah lokus yang memiliki tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyatnya. Kepentingan rakyat harus menjadi perhatian utama dan prioritas penyelesaian. Sejak krisis 1997, bangsa ini memiliki problem yang sangat berat. Seluruh elemen masyarakat berharap krisis ini bisa diselesaikan oleh pemerintah yang dipilihnya. Tanggung jawab ini semakin penting karena reformasi yang bergulir seiring krisis mengantarkan masyarakat untuk semakin dekat dengan pemimpinnya yang dipilih langsung. Demokrasi yang dirayakan warga secara langsung sejatinya menjadi modal penting bagi asa masyarakat akan kehidupan yang lebih baik.

Stabilitas politik
Dari beberapa evaluasi atas eksistensi kekuasaan selama reformasi, terjadi beberapa deviasi. Paling tidak stabilitas dan keberdayaan politik yang sejatinya menjadi antitesa dari sistem kekuasaan otoriter belum hadir secara maksimal di era reformasi ini. Politik kekuasaan hadir dengan tingkat kegaduhan yang tak perlu.

Kegaduhan ini sebenarnya menjadi khas masyarakat transisi. Sayang hal tersebut diperparah oleh sikap politik elite yang justru mengambil keuntungan dari kegaduhan tersebut. Pemakzulan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden menjadi awal dari kegaduhan politik dalam sistem presidensial. Pemakzulan menjadi tujuan bukan jalan untuk mencari kebenaran. Terbukti proses lanjutan atas kasus yang menyebabkan Gus Dur lengser tak pernah terungkap.

Fenomena politik kekuasaan sebagai tujuan masih terus mewarnai kesadaran elite politik saat ini. Terbukti agenda-agenda politik yang dikembangkan khususnya di kalangan anggota legislatif adalah 'mengebiri' kekuasaan. Wacana yang mengemuka lebih banyak terkait dengan transaksi politik mulai reshuffle sampai strategi koalisi untuk pemilu yang akan datang. Selama dua setengah tahun yang lalu, waktunya dihabiskan untuk mewacanakan evaluasi kekuasaan melalui reshuffle dan kini dua setengah tahun ke depan dipenuhi wacana meraih kekuasaan.

Terkurasnya energi politik kekuasaan ini, menyebabkan perhatian pada dimensi lainnya terbengkalai. Akibatnya banyak letupan-letupan instabilitas sosial yang mencabik nilai kemanusiaan. Penanganan korban lumpur Lapindo yang lamban dan murahnya nyawa rakyat yang runtuh di hadapan moncong senjata di Pasuruan merupakan bukti liarnya tata kelola negara. Para politisi dan pejabat negeri sibuk mengunjungi korban, tanpa solusi yang pasti. Padahal dalam situasi transisi, yang sangat dibutuhkan adalah antisipasi agar anomali dapat diminalisasi dan anarkhi bisa dicegah.

Personifikasi kekuasaan
Kolektivitas yang menjadi energi eksistensi negeri ini semakin pudar. Hal ini terjadi karena masyarakat kehilangan elan vitalnya sebagai realitas yang majemuk. Keragaman disadari hanya membawa mudarat, bukan manfaat. Realitas ini merupakan efek domino dari hegemoni monolitik yang dioperasikan rezim masa lalu. Keragaman disubordinasi karena dianggap mengancam stabilitas. Akibatnya penyeragaman menjadi kesadaran terbaik.

Kemajemukan ini akan menjadi ancaman ketika tali kolektivitas kebangsaan semakin rapuh. Tampaknya hal ini diabaikan. Yang tumbuh justru kolektivitas sempit (sektarian) baik atas nama kepentingan politik, ekonomi, maupun budaya. Masing-masing berbicara atas nama kepentingan kelompoknya, bukan atas nama kepentingan warga bangsa yang majemuk tersebut. Akibatnya politisasi yang telanjur menguat menjadi lahan subur yang memperlebar egoisme kelompok itu. Di sinilah substansi bernegara menjadi hambar. Prosedur-prosedur tumbuh subur tanpa makna dan manfaat bagi keharusan warga bernegara.

Dalam kondisi inilah, hak-hak para wakil rakyat harus ditegakkan, baik melalui interpelasi, angket, atau menyatakan pendapat. Namun hak ini akan bermakna apabila para politisi mampu mentransformasikan orientasi kekuasaannya menjadi orientasi kerakyatan. Anggota DPR harus bisa mencitrakan dirinya sebagai wakil rakyat daripada wakil parpol yang sarat kepentingan pragmatis parpolnya. Dan hal ini akan terlihat dari agenda-agenda yang diperjuangkan anggota dewan melalui hak-haknya tersebut.

Dalam kasus nuklir Iran, misalnya, kita bisa melihat sejauhmana urgensi dan relevansi interpelasi tersebut bagi kepentingan rakyat. Apalagi belakangan terlihat sikap akomodatif Iran terhadap badan atom internasional (IAEA) dalam pengembangan nuklirnya. Paling tidak anggota DPR bisa melihat skala prioritas dalam pelaksanaan interpelasi di tengah beragam problem sosial yang menghimpit masyarakat dan mendesak diselesaikan. Dan harus mendapat perhatian pula bahwa interpelasi, di samping menguras energi, juga menguras dana yang tidak sedikit.

Dengan demikian, interpelasi bisa dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan kepentingan rakyat seperti masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dan penyelesaian problem sosial yang betul-betul sulit dicerna. Lebih penting lagi, problem sosial tersebut harus diletakkan sebagai masalah bersama (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang harus diselesaikan sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Oleh sebab itu, tugas ini tidak terikat oleh kelompok (partai) apalagi person, tapi kolektivitas kenegaraan. Di sinilah sikap kenegarawanan dipertaruhkan oleh semua elite politik yang diberi amanah oleh rakyat.