Tuesday, May 29, 2007

Opini

Anomali Kejujuran Berkorupsi
Seputar Indonesia, Selasa, 29 Mei 2007

A. Bakir Ihsan

Jujur sejatinya perbuatan terpuji. Namun,jujur dalam hal berkorupsi, tentu sulit kita pahami. Jagad atmosfer negeri ini kembali disesaki oleh wacana penuh ambigu.Tindak korupsi yang jelas terjadi, dialihkan pada perdebatan pengakuan dan penolakan atas tuduhan korupsi.

Anehnya, pengakuan bertindak koruptif dianggap sebagai blessing in disguest.Sebuah pengakuan atas perbuatan yang sungguh tercela secara sosial, dipuja bak seorang pahlawan. Fakta ini membuktikan adanya simulakra wacana yang menghegemoni sekaligus ”memanipulasi” kesadaran tanpa disadari. Pengakuan Amien Rais menerima dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mencuat bukan karena pengakuannya.

Namun, karena provokasinya agar orang lain turut mengakui hal yang sama. Provokasi tersebut mengundang reaksi. Paling tidak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus merespons tuduhan yang dianggapnya fitnah yang keji. Pengakuan Amien Rais sesungguhnya bukan hal baru. Sebelumnya, beberapa orang sudah mengakuinya. Di antaranya Slamet Effendi Yusuf, Ketua Badan Kehormatan DPR, yang mengaku menerima dana tersebut untuk pembangunan masjid di sebuah pesantren.Namun, pengakuan ini tak segaduh pengakuan Amien Rais,karena tidak memprovokasi yang lain. Bahkan, pimpinan DPR sepakat ”mengambangkan” isu tersebut dan meminta aparat terkait menyikapinya sesuai prosedur hukum.

Pengakuan Amien dengan segala provokasinya merupakan sebuah represi kesadaran yang bisa memunculkan paradoksalitas. Pengakuan dan penolakan pada titik ini sama-sama absurdnya. Apalagi data yang dipakai masih harus dibuktikan secara valid. Bahkan,Amien Rais sendiri mengaku hanya menerima Rp200 juta, sementara data dari persidangan yang diekspos media massa, Amien menerima Rp600 juta dengan tiga kali pembayaran.

Dari sini, pengakuan Amien lebih bernuansa politis. Pengakuan tersebut meluncur lebih karena desakan media massa yang terus mengungkit dana yang diterima Amien secara langsung. Dan Amien Rais mengakui dengan embelembel ”tuduhan”pada pihak lain.Inilah yang mencederai pengakuan Amien atas penyimpangan dana yang diterimanya secara langsung.

Fokus DKP
Wacana aliran dana DKP ini akan terus memicu perdebatan apabila tidak ada fokus dan klarifikasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Akibatnya, substansi pengusutan dana DKP bisa melenceng ke mana-mana.Ini menunjukkan adanya upaya pengalihan arah dari substansi persoalan awal, yaitu mengungkap korupsi di DKP. Kalau pada akhirnya muncul nama-nama penerima dana DKP,hal ini masih perlu klarifikasi dan diproses secara hukum setelah persoalan DKP sendiri clear. Karena beberapa nama yang tercantum sebagai penerima dana DKP menolak ”tuduhan-tuduhan” yang dilansir pejabat DKP.

Oleh karena itu, persoalan korupsi dana DKP harus diusut tuntas terlebih dahulu menyangkut siapa yang paling bertanggung jawab atas penggunaan secara ilegal dana nonbujeter tersebut. Setelah pengusutan problem internal DKP ini selesai, pengusutan lanjutannya adalah para penerima dana tersebut. Semua proses ini harus berjalan sesuai koridor hukum. Dalam kasus dana nonbujeter DKP, terlihat jelas dana tersebut paling banyak mengalir ke kantong-kantong politik. Mulai atas nama partai sampai tim sukses Pilpres. Inilah salah satu pintu masuk yang menjerat mantan menteri DKP, Rokhmin Dauri, dalam penyimpangan dana DKP.

Namun,pembeberan fakta-fakta penerima dana, walaupun masih harus di-crosscheck, merupakan langkah jitu untuk membuat jera para aparat negara yang biasa mengeruk uang negara. Catatan seperti ini seharusnya bisa dibeberkan oleh para tersangka korupsi lainnya.Paling tidak, catatan ini menjadi pertanggungjawaban atas penyimpangan dana negara yang mengalir tak wajar.

Sudah menjadi rahasia umum, departemen menjadi sapi perahan berbagai kepentingan. Dan departemen merasa ”nyaman”,karena eksistensinya ditentukan oleh lancar tidaknya aliran dana ke kantong-kantong (kader) parpol. Itulah sebabnya rebutan kursi kabinet (departemen) selalu dikaitkan dengan upaya penyerapan keuntungan finansial sebanyak mungkin dari negara.

Hancurnya Keteladanan
Penyimpangan dana DKP dan tindak korupsi di sektor-sektor lainnya membuktikan pemberantasan korupsi di negeri ini masih jauh panggang dari api. Apalagi yang terlibat tenyata orangorang yang sejatinya menjadi pionir untuk tidak berbuat koruptif.Ini membuktikan bahwa antikorupsi belum menjadi napas dalam diri bangsa ini. Di sinilah pentingnya kesadaran untuk tidak berkorupsi. Kita patut prihatin atas kasus korupsi yang melibatkan para tokoh yang sejatinya menjadi teladan.

Teladan yang dibutuhkan bukan dalam bentuk kejujuran (pengakuan) berkorupsi yang justru bisa membodohi rakyat.Apa pun alasannya, korupsi tetaplah dosa sosial yang tak terampuni oleh pengakuan. Bahkan, oleh pengembalian dana yang telah dikorupsi. Ia merupakan cacat moral yang tak mungkin terhapus dari memori sejarah negeri ini.

Fakta korupsi di atas memperlihatkan bahwa elite di negeri ini hanya menyisakan ruang kesadaran untuk diri, keluarga, dan elite lainnya demi eksistensi dirinya,bukan untuk rakyat.Inilah koalisi bejat yang menikam hati nurani rakyat. Baik pemberi dan penerima sama- sama menjadi bagian dari penyubur tindak korupsi yang menyesakkan napas bangsa. Untuk itu, transformasi kesadaran di kalangan tokoh-tokoh yang sejatinya menjadi guru bangsa harus dikritisi ulang.

Penguatan Nilai
Silang sengkarut korupsi di negeri ini merupakan tantangan bagi pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi tidak hanya persoalan struktural. Karena pada kenyataannya sistem kontrol yang selama ini sudah ada belum ampuh memupus tindak korupsi. Kontrol hukum dan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi merupakan alat yang efektivitasnya ditentukan oleh nilai (budaya). Mekanisme kontrol eksternal, seperti perangkat hukum dan lembaga an-tikorupsi, sangat mudah dibentuk.

Namun, ia layaknya hardware (perangkat keras) yang fungsinya ditentukan oleh software (program) di dalamnya. Itulah sebabnya diperlukan nilai-nilai berupa komitmen dan kesadaran yang mewarnai lembaga dan seluruh tatanan yang ada sehingga sistem tidak bergerak ke arah yang anomalis. Hancurnya nilai-nilai antikorupsi, menyebabkan orang tak sensitif terhadap asal-usul dana yang masuk ke kantongnya.

Orientasi kekuasaan telah membutakan mata hati para elite untuk menanyakan siapa dan dalam rangka apa seseorang menyumbang dana.Tidak adanya kontrol internal (nurani) ini menyebabkan terjadinya anomali kejujuran. Orang tanpa malu jujur mengakui keterlibatan dirinya dalam korupsi. Pada titik tertentu,kejujuran adalah terpuji. Namun, jujur dalam perbuatan tercela (korupsi) tetap harus disesali. Dan yang kita butuhkan bukan penyesalan, tapi kehendak untuk tidak pernah berbuat korupsi.*

Monday, May 28, 2007

Opini

Presiden di Republik Wacana
Jurnal Nasional
, Sabtu, 26 Mei 2007

A. Bakir Ihsan

Republik wacana. Mungkin inilah identitas apatis atas simulakra wacana yang bergelayut di langit republik ini. Dari hari ke hari wacana tak pernah kering mengalir. Sayangnya wacana itu berkutat pada satu sisi problematika kebangsaan yang begitu luas, yaitu wacana kekuasaan.

Beberapa waktu lalu, republik ini disuguhi desakan reshuffle kabinet. Indikator menurunnya popularitas SBY yang berada di bawah batas psikologis (50 persen) menjadi alasan kuat untuk me-reshuffle para pembantunya. Beragam masukan dan kriteria dilontarkan, dan tak lupa parpol-parpol menyiapkan kader penggantinya.

Kini reshuffle sudah berlalu. Namun wacana kekuasaan tak juga susut. Kekuasaan tetap menjadi sasaran tembak wacana para elite politik maupun kaum intelek. Kini, para elite di Senayan sedang membangun wacana interpelasi yang harus dihadiri Presiden SBY. Sebuah wacana penuh ambisi hampa substansi. Anggota DPR mempersonifikasi kekuasaan pada sosok SBY. Padahal pemerintah merupakan realitas kolektif. Karenanya sosok (person) menjadi tak signifikan. Namun DPR ngotot agar Presiden hadir dan memberi penjelasan. Semakin jelas, SBY menjadi sasaran tembak wacana politik para politisi.

Delegitimasi Kekuasaan
Wacana tidak sekadar kata-kata yang diucapkan. Di di dalamnya penuh kuasa. Sehingga tidak jarang wacana memprovokasi dan memanipulasi fakta. Tentang pemberantasan korupsi, misalnya. Sudah ratusan orang terjerat dan ditindak berdasarkan hukum karena terlibat korupsi tanpa pandang bulu. Dari eksekutif, legislatif, bahkan penegak hukum (yudikatif) yang terbukti terlibat korupsi ditindak dan dijebloskan ke penjara. Namun fakta tersebut dikonstruksi melalui wacana sebagai tindakan tebang pilih. Wacana ini secara tidak langsung mendelegitimasi pemberantasan korupsi yang dikumandangkan Presiden SBY.

Delegitimasi melalui wacana terlihat juga dalam hal pengentasan kemiskinan. Upaya pemberantasan kemiskinan melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), beras murah untuk rakyat miskin (Raskin), subsidi pendidikan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM), obat murah, perumahan murah diwacanakan sebagai langkah yang tidak efektif bagi pemberdayaan masyarakat. Wacana ini sedikit banyak memprovokasi kesadaran publik untuk mengeliminasi kerja keras pemerintah. Akibatnya pemerintah dipersepsi belum berbuat bahkan gagal dalam pengentasan kemiskinan.

Sulit dipungkiri bahwa secara kuantitatif jumlah orang miskin dan pengangguran masih menumpuk. Namun kerja yang dilakukan secara bertahap dan agenda yang disusun secara akurat oleh pemerintah bukanlah sulap yang menghasilkan sesuatu dalam waktu singkat. Justru di sinilah dibutuhkan sinergi demi rakyat banyak.

Provokasi Wacana
Reformasi merupakan buah dari energi-energi yang bersinergi. Namun kini sinergi itu kembali mencair menjadi energi-energi liar. Masing-masing energi (kelompok) menyuarakan kepentingannya dan menafikan kepentingan lainnya. Akibatnya reformasi belum menemukan jati dirinya, sampai kini. Energi liar ini tumbuh subur, salah satunya, akibat orientasi kekuasaan yang lebih mengemuka di lingkaran parpol daripada orientasi kerakyatan.

Ranah pengabdian pada rakyat yang sejatinya termediasi melalui parpol didistorsi menjadi pengabdian pada parpol. Inilah yang dalam khazanah politik disebut partyocracy. Kekuasaan mengalir dari partai, oleh partai, dan untuk partai. Dampak lebih jauh, rakyat harus menyelesaikan problemnya dengan caranya sendiri sekaligus roda aparatur negara tidak efektif. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah yang akhirnya harus melibatkan pusat (presiden). Idealnya persoalan di daerah dapat diselesaikan oleh daerah. Paling tidak bisa dimediasi oleh para wakil rakyat di daerah dan dikomunikasikan dengan pemerintah.

Kita tidak bisa berharap banyak apabila seluruh problem kebangsaan ditimpakan pada seorang presiden SBY. Tanpa dukungan dan peran serta seluruh komponen warga bangsa, semua rencana dan kebijakan yang dibuat Presiden SBY tak akan banyak bermakna. Dan akan semakin tak bermakna apabila semua proses kebangsaan dipolitisasi melalui provokasi wacana untuk kepentingan segelintir elite yang mengatasnamakan rakyat.

http://www.jurnalnasional.com/new2/?KR=JURNAS&NID=30088

Tuesday, May 15, 2007

Opini

Paradoksalitas Prerogatif Presiden
Seputar Indonesia, Selasa, 15 Mei 2007

A. Bakir Ihsan

Sebagai sebuah kebijakan, reshuffle adalah masa lalu. Pelantikan kabinet pada Rabu, 9/5/07 lalu menjadi akhir kegaduhan reshuffle. Namun sebagai fakta politik, reshuffle layaknya sebuah teks yang menyisakan banyak makna. Pembacaan atas teks tersebut menjadi penting untuk menjernihkan substansi dari reshuffle sebagai hak prerogatif presiden.

Ada dua fenomena menarik terkait dengan reshuffle sebagai hak prerogatif presiden. Pertama, reshuffle menarik energi banyak orang. Sebagaimana disampaikan SBY, lebih dari 25 nama diusulkan berbagai kalangan untuk menjadi menteri. Secara tidak langsung usulan ini “mengintervensi” ranah prerogatif presiden. Hak prerogatif presiden disandera oleh kehendak (kepentingan) pihak lain.

Kedua, reaksi partai yang kadernya direshuffle. Fakta ini membuktikan bahwa reshuffle belum dipahami sebagai hak prerogatif presiden, karena partai masih merasa punya hak untuk menerima atau menolak reshuffle tersebut. Hal ini terlihat dari sikap Partai Bintang Bulan (PBB) akibat pencopotan Yusril Ihza Mahendra. Begitu juga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merasa jatahnya dikangkangi akibat pencopotan Saifullah Yusuf dan Sugiharto.

Walaupun secara de jure reshuffle menjadi hak prerogatif presiden, namun secara de facto tetap menyisakan tanda tanya di sebagian masyarakat. Ini menunjukkan bahwa hak prerogatif tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diejawantahkan secara proporsional oleh kalangan elit politik sendiri.

Hak Prerogatif
Prerogatif dalam penyusunan dan pergantian kabinet merupakan privilese yang secara eksklusif dimiliki seorang presiden. Dalam hal ini, ia merupakan private matter yang cuma dipunyai Presiden SBY, karena dialah yang akan mempertanggungjawabkan semua kerja kabinetnya.

Walaupun pada kenyataannya SBY mengajak partai dan berbagai kalangan untuk sumbang saran, bahkan melibatkan kader partai dalam kabinetnya, bukan berarti hak tersebut menjadi berkurang (terbagi). Inilah yang sering disalahpahami dalam konteks prerogatif. Bahkan dalam perkembangannya hak itu seakan menjadi milik bersama, sehingga partai atau kelompok tertentu merasa berhak marah, kecewa, dan protes terhadap presiden atas langkah reshuffle dan susun ulang kabinet yang dilakukan SBY. Realitas ini merupakan konsekuensi dari hamparan kebebasan yang dirasa milik semua orang dan melampaui hak orang lain. Kebebasan menjadi kekuatan eksesif yang mencabik-cabik batas aturan main (rules of the game) yang sejatinya menjadi titik pijak bagi institusionalisasi politik. Sayangnya, kebebasan eksesif tersebut mengancam dan memperlemah institusi (weakness of the institution).

Hak prerogatif menjadi rancu ketika partai tertentu merasa dizalimi akibat reshuffle yang menimpa kadernya. Kalau mau konsisten berdasarkan kerangka aturan yang ada, maka segala keputusan presiden terkait dengan para pembantunya sepenuhnya merupakan hak istimewa presiden. Dengan demikian, semua kontrak dan deal-deal politik harus tunduk di bawah hak prerogatif yang dijamin oleh UUD tersebut. Di sinilah paradoksalitas hak prerogatif dimulai.

Paradoksalitas hak prerogatif tersebut dengan sendirinya mengaburkan esensi hak istimewa presiden. Kalau dirunut ke awal, munculnya paradoksalitas ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sikap overconfidence partai politik yang sejak awal diakomodasi dalam tubuh kabinet Indonesia bersatu. Kedua, terkait janji kampanye SBY yang akan membentuk kabinet terbatas. Ternyata dalam praktiknya kabinet yang dibentuk SBY merupakan kabinet gado-gado. Berbagai partai dilibatkan sehingga menambah percaya diri partai.

Namun pada reshuffle yang lalu partai harus kecewa, karena presiden SBY mengurangi representasi partai dan menambah unsur profesional. Atas hal tersebut beberapa partai kecewa, termasuk sebagian kader Golkar yang berharap banyak atas reshuffle jilid II ini. Rasa kecewa ini sejatinya tidak muncul apabila partai tidak terjangkit waham kebesaran yang hendak mempersempit wilayah prerogatif presiden. Kekecewaan itu kemudian diekspresikan dengan langkah-langkah diametral dari sikap sebelumnya. Bahkan PBB berencana menarik menterinya yang ada di kabinet. Walaupun secara politik sikap oposan tersebut sah-sah saja, namun oposan yang lebih disebabkan kekecewaan (emosi) yang tak berdasar bisa melahirkan kerancuan. Karena sejatinya reshuffle sepenuhnya merupakan hak prerogatif presiden. Inilah paradoksalitas atas prerogatif presiden akibat belum melembaganya nilai-nilai demokrasi.

Institusionalisasi demokrasi
Riak-riak paradoksalitas di atas dapat mengancam tatanan demokrasi yang sedang kita rayakan. Reaksi atas reshuffle yang merupakan hak prerogatif presiden akan memperlemah proses institusionalisasi demokrasi. Dan fenomena ini tidak hanya terjadi dalam kasus reshuffle. Beberapa aspek lainnya cenderung terjangkit virus pelemahan pelembagaan demokrasi akibat intervensi.

Perlawanan atas pemberantasan korupsi yang dikumandangkan Presiden dan pengangkangan otoritas dan ranah eksekutif oleh legislatif merupakan bukti rapuhnya proses institusionalisasi demokrasi. Belajar dari proses reshuffle yang selalu memunculkan kegaduhan dan mengganggu kinerja para menteri diperlukan rekonstruksi atas tata kelola demokrasi yang ada selama ini.

Kita sering berhenti pada demokrasi sebagai prosesi dan tak berpijak pada substansi. Akibatnya kita hanya bisa mempromosikan demokrasi tanpa makna bagi kehidupan nyata warga negara. Kita terjebak pada simbol-simbol demokrasi tanpa isi. Akibatnya rakyat tak pernah merasakan manfaat sejati dari demokrasi.

Prosesi demokrasi yang hambar di mata rakyat ini bisa menjadi bumerang bagi demokrasi itu sendiri. Apalagi salah satu pilar demokrasi, yaitu partai politik, mulai kehilangan martabatnya di mata rakyat. Dari hasil survei LSI, Maret 2007, menunjukkan degradasi representasi parpol di mata rakyat. Parpol kini hanya menyisakan 35% kepercayaan masyarakat sebagai modal eksistensinya.

Krisis kepercayaan di satu sisi dan rapuhnya proses institusionalisasi demokrasi di sisi lain menjadi ancaman cukup serius di tengah transisi sosial saat ini. Kita akan kehilangan arah dalam pelayaran reformasi apabila fenomena ini dibiarkan atau dianggap angin lalu. Dan gejala ke arah tersebut terlihat jelas dalam beberapa fakta di atas, termasuk dalam konteks reshuffle.

Sungguh ironis apabila pengorbanan nyawa dan raga para peramu reformasi harus sia-sia akibat ketakbecusan kita mengawal reformasi. Revitalisasi fungsi masing-masing lembaga demokrasi dan menaati aturan main yang telah disepakati merupakan salah satu wujud merawat reformasi. Inilah yang oleh de Tocqueville disebut the art of associating together. Kalau tidak, reformasi tak kan pernah mekar dan bersemi baik secara institusi apalagi substansi. Ia mati sebelum bereksistensi.*

Monday, May 14, 2007

Opini

Sisa Asa Kepemimpinan Yudhoyono
Media Indonesia
, Senin, 14 Mei 2007

A. Bakir Ihsan

Tentang kuasa tak pernah sepi dari wacana. Reshuffle yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Senin, 7 Mei lalu tetap saja menyisakan kegaduhan. Sejatinya kegaduhan berakhir seiring reshuffle dimaklumatkan. Namun inilah celah demokrasi yang tidak bisa ditutupi dan dieliminasi di antara ribuan aspirasi.

Reshuffle jilid II ini merupakan pertaruhan SBY menapaki separuh sisa perjalanan pemerintahannya. Sebuah perjalanan dengan asa yang menipis. Sebagaimana diungkap survei LSI, Maret lalu, tingkat popularitas SBY berada di bawah 50%. Kepuasan publik yang begitu tinggi di awal pemerintahannya (80%) kini di bawah batas psikologis.

Banyak makna yang bisa ditafsirkan dari degradasi popularitas tersebut. Pertama, bahwa selama paruh pertama kepemimpinan SBY-JK gagal merawat ekspektasi masyarakat. Kedua, SBY-JK gagal menata manajemen pemerintahannya, sehingga semua kasus diarahkan pada dirinya. Ketiga, citra tidaklah cukup untuk menjaga kepercayaan masyarakat atas pemerintahan SBY-JK. Berbagai derita dan bencana yang dirasakan masyarakat terlalu kuat menggerogoti citra tersebut. Keempat, pilihan langsung tidak menjamin terpeliharanya dukungan dari rakyat.

Melihat separuh sisa perjalanan Presiden SBY, bahkan sebagian pengamat hanya menyisakan satu setengah tahun bagi kerja pemerintahan SBY, maka berbagai langkah konkret harus diambil SBY agar sisa asa masyarakat bisa bertahan bahkan semakin baik. Kalau tidak, maka SBY tinggal menyelesaikannya sampai 2009 tanpa kesan mendalam sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

Anomali kepemimpinan
Walaupun SBY semakin anjlok citranya, namun belum muncul calon alternatif bagi kepemimpinan ke depan. SBY, sebagaimana survei LSI, tetap lebih diunggulkan dari tokoh lainnya, seperti Megawati, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, maupun Sultan Hamengkubuwono X. Fakta ini menunjukkan terjadinya krisis dan anomali kepemimpinan. Masyarakat kehilangan rujukan keteladanan dan ayoman di satu sisi, namun belum mampu menemukan penggantinya di sisi yang lain. Mereka menganggap para tokoh yang ada tidak maksimal, namun belum ada sosok yang bisa dijadikan alternatif.

Di sinilah perlunya terobosan yang dapat memecah kebekuan pola kepemimpinan selama ini. Secara kuantitatif stok pemimpin cukup banyak. Namun kebanyakan tak berpijak di hati rakyat. Pada tingkat lokal banyak sosok-sosok yang bergulat langsung dengan rakyat namun belum menemukan saluran aktualisasi pada tingkat yang lebih luas (nasional). Akibatnya problem-problem yang dihadapi masyarakat diselesaikan dengan caranya sendiri. Salah satunya melalui aksi unjuk rasa.

Sejatinya dalam sistem yang demokratis, demonstrasi bisa diminimalisasi. Rakyat tak perlu berjemur di tengah terik matahari dan menghabiskan dana untuk memperoleh haknya. Hal ini dimungkinkan apabila saluran formal perjuangan aspirasi rakyat (DPR/DPRD) berfungsi secara maksimal dan efektif. Namun asa tak sesuai fakta. Akhirnya rakyat lebih percaya pada dirinya daripada para wakilnya di DPR atau DPRD.

Oleh sebab itu, yang urgen dilakukan saat ini adalah kaderisasi kepemimpinan yang punya kualitas, integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas. Regenerasi kepemimpinan selama ini masih berputar di atas altar yang sempit dan terbatas (elitis). Belum ada pilihan yang lebih beragam bagi tampilnya kepemimpinan. Salah satu faktornya adalah adanya kendali tunggal kekuasaan di tangan partai. Kekuasaan menjadi prerogatif partai. Padahal partai sendiri, menurut survei LSI (Maret 2007), mengalami degradasi kepercayaan karena gagal menjadi lembaga representatif aspirasi rakyat. Semakin lengkaplah krisis kepemimpinan di negeri ini.

Salah satu jalan keluar untuk meretas krisis dan kebekuan proses regenerasi kepemimpinan ini adalah dengan membuka kran seluas-luasnya bagi aktualisasi pemimpin-pemimpin alternatif. Ranah kekuasaan betul-betul dikembalikan pada rakyat dan partai hanya salah satu pintu masuk bagi proses kaderisasi kepemimpinan. Sejatinya lembaga-lembaga sosial-politik menjadi kawah candradimuka tampilnya pemimpin. Sayangnya lembaga-lembaga yang ada tak lebih sebagai broker yang hanya melahirkan pemimpin karbitan. Bahkan dalam beberapa kasus Pilkada, partai lebih suka mendukung calon pemimpin lain daripada mendukung kadernya sendiri.

Sisa asa
Anjloknya kepuasan publik atas kinerja pemerintahan SBY-JK tidak serta merta membunuh seluruh asa. Terbukti ada aspek tertentu yang dianggap positif bagi kelanjutan pemerintahan ke depan, yaitu aspek keamanan (59,6 persen, LSI 2007). Keberhasilan membongkar jaringan sel-sel kelompok teroris menjadi modal keseriusan pemerintah untuk membebaskan negara dari teror.

Namun keberhasilan di bidang ini bisa terancam oleh potensi-potensi yang bisa menjadi sumbu instabilitas, yaitu kemiskinan dan pengangguran yang masih jauh panggang dari api. Dan ini menjadi titik terlemah di antara bidang-bidang lainnya.

Reshuffle jilid II seharusnya bisa menutupi kelemahan tersebut melalui perbaikan kinerja di seluruh departemen. Sikap akomodatif SBY untuk merangkul semua kepentingan (parpol dan profesional) seharusnya menjadi simpul untuk memacu kebersamaan dan kinerja demi kehidupan bersama seluruh anak bangsa. Syukur-syukur langkah ini bisa mengembalikan ekspektasi awal yang mengantarkan SBY-JK terpilih sebagai pemimpin pilihan langsung rakyat.

Setiap kebijakan tentu tidak bisa memuaskan semua pihak. Masing-masing punya pertimbangan dan pandangan terhadap berbagai problem yang terjadi di negeri ini. Bahwa kemiskinan dan pengangguran masih menjadi problem sulit dimungkiri. Bahkan Presiden sendiri mengakui atas hal tersebut. Dan problemnya tentu tidaklah tunggal. Banyak faktor yang ikut menyumbang atas penyelesaian masalah kemiskinan dan pengangguran yang masih jauh panggang dari api. Inilah agenda yang harus dijawab SBY melalui tim kabinet yang baru dirombaknya.

Di samping itu, agenda yang tak kalah peliknya adalah mentrasformasikan loyalitas kepartaian aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal ini penting karena dua hal. Pertama, dalam reshuffle yang lalu SBY tetap mempertimbangkan eksistensi partai. Masuknya Andi Mattalatta dan Muhammad Lukman Edy merupakan representasi partai. Kedua, perjalanan pemerintahan SBY ke depan sedang memasuki masa pertarungan politik 2009 yang akan memacu silang sangkarut kepentingan antar partai semakin mengeras.

Agenda tranformasi ini penting, karena sebagaimana SBY sendiri rasakan, loyalitas kepartaian di hampir semua level pemerintah mulai menteri sampai kepala daerah lebih kuat daripada loyalitasnya pada negara. Kenyataan ini berdampak pada lambannya akselerasi pembangunan yang bermuara pada kekecewaan rakyat. Dengan demikian, transformasi ini akan menentukan laju kabinet pasca reshuffle tersebut.

Tentu agenda di atas hanya bagian dari rangkaian problem yang dihadapi negeri seribu bencana ini. Reshuffle hanya satu bumbu yang ikut menentukan sedap tidaknya kerja pemerintahan ke depan. Kebersamaan di kalangan elit dan kesamaan visi dalam menyelesaikan berbagai problem kebangsaan khususnya kemiskinan dan pengangguran akan lebih mumpuni untuk mengangkat asa yang hampir putus. Inilah sisa asa (ekspektasi) yang bisa menjadi modal SBY merampungkan tugas kenegaraannya secara paripurna.*

Wednesday, May 09, 2007

Opini

Paradoksalitas Pemberantasan Korupsi
Koran Tempo
, Rabu, 9 Mei 2007

A. Bakir Ihsan

Ada dua peristiwa paradoks terkait pemberantasan korupsi di negeri ini. Pertama, di Senayan, pimpinan DPR sepakat untuk “mengendapkan” masalah dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang mengalir ke Senayan. Mereka menilai aliran dana tersebut tidak mengindikasikan adanya pelanggaran kode etik (Koran Tempo, 25/4/07). Kedua, pemerintah menandatangani kesepakatan ekstradisi dengan Singapura (27/4/07). Perjanjian yang ditandatangani di Bali ini berlaku surut sampai 15 tahun.

Peristiwa pertama menunjukkan pengaburan atas aliran dana non-budgeter yang menempatkan mantan menteri DKP, Rokhmin Dahuri sebagai tersangka. Sementara peristiwa kedua menunjukkan semangat pantang mundur pemerintah untuk menjerat para koruptor.
Kedua fenomena paradoksal tersebut menyebabkan pemberantasan korupsi berjalan tidak maksimal. Ironis memang, pemberantasan terkendala oleh ketidakseriusan lembaga negara yang seharusnya ikut mendorong bagi munculnya clean government.

Basis yang rapuh
Kebijakan pemberantasan korupsi bukanlah hal yang baru. Sejak Orde Lama secara de jure, upaya tersebut sudah dimulai. Namun semuanya terkendala pada proses implementasinya. Bahkan saat ini upaya pemberantasan korupsi mendapat perlawanan melalui berbagai cara, mulai yang legal sampai illegal.

Fakta perlawanan para koruptor menunjukkan adanya basis yang rapuh dalam pemberantasan korupsi. Ia belum menjadi kehendak kolektif untuk menjadikan negeri ini bebas korupsi. Lemahnya basis ini merupakan cermin dari lemahnya kolektivitas kerakyatan kita. Akibatnya kemiskinan dan kebodohan tak juga lekang dari rakyat. Dana yang seharusnya mengalir bagi pemberdayaan masyarakat diselewengkan untuk kepentingan segelintir orang. Pendidikan yang sejatinya menjadi ajang pencerdasan warga bangsa, menjadi terhambat karena dana peruntukannya raib ditelan para koruptor. Apalagi di saat pemerintah belum mampu menyediakan dana pendidikan sesuai standar konstitusi sebesar 20%. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat untuk menikmati hak-haknya, khususnya dalam hal pendidikan sesuai konstitusi.

Sementara secara struktural birokrasi kita digerakkan oleh nafas paternalisme yang berbasis pada kaula-gusti. Konsekuensinya masyarakat dianggap sebagai hamba yang harus menyerahkan upeti agar roda birokrasi bisa bergerak. Realitas ini pada akhirnya mengungkung kesadaran para birokrat dan masyarakat dalam turbulensi birokrasi yang bias. Birokrasi bergerak antara satu upeti ke upeti lainnya. Dan kenyataan inilah yang dihadapi Presiden SBY dalam mewujudkan komitmennya membebaskan negara dari korupsi.

Menangkap angin
Perang melawan korupsi di tengah atmosfir yang begitu kental dengan penyimpangan, hampir sama dengan menangkap angin. Hembusan (dampak) korupsi bisa dirasakan, tapi tak kuasa ditangkap secara maksimal. Layaknya angin, ia hanya bisa dikungkung melalui perangkap yang begitu rapat dan komprehensif. Dan kondisi inilah yang belum tercipta di negeri ini. Wajar apabila pemberantasan korupsi tetap menyisakan ceceran agenda yang tak kunjung reda.

Perangkap hukum dan lembaga untuk mempersempit ruang korupsi tak berjalan maksimal karena korupsi masih menjadi bagian di dalamnya. Kontrol yang seharusnya secara maksimal dimainkan DPR/DPRD untuk mencegah korupsi justru ia menjadi bagian dari korupsi. Kalau pun pada kenyataannya ada sebagian koruptor yang berhasil dijebloskan ke penjara bukan sepenuhnya karena keberhasilan aparatur penindak korupsi. Namun lebih karena “kesialan” para pelakunya. Terbukti koruptor-koruptor lainnya seakan tak tersentuh.

Ketaktersentuhan ini bukan sepenuhnya salah pemerintah. Namun juga kelihaian para koruptor untuk mencari perlindungan dan menggunakan berbagai cara agar selamat dari jeratan korupsi. Kalau mau jujur, mencari pejabat masa lalu yang bersih sangatlah langka. Karenanya pemberantasan korupsi di tengah korupsi begitu akut dan tak terpisahkan dari negara, sama dengan membenturkan diri pada dinding yang begitu kokoh bernama negara.

Dalam kondisi demikian, sebagian masyarakat tak sabar melihat gebrakan pemberantasan korupsi yang terus digelorakan Yudhoyono. Sehingga muncul tuduhan tebang pilih bahkan dianggap involusi. Kritik ini bisa menjadi mesiu yang menyemangati pemberantasan korupsi, tapi bisa juga menjadi gendrang apatisme yang menyurutkan bara anti korupsi. Yang pasti aneka ragam suara atas pemberantasan korupsi menjadi kegaduhan yang sedikit banyak menyebabkan laju pemberantasan korupsi tak semulus yang diharapkan. Dan sebagian orang (koruptor) mengambil keuntungan dari kegaduhan tersebut.

Duri dalam daging
Gerak bersama untuk menutup celah korupsi belum terlihat. Pemberantasan korupsi masih menjadi agenda parsial, yaitu agenda lembaga-lembaga terkait dengan penyidikan, penyelidikan dan komisi pemberantasan korupsi. Padahal semua ini hanya alat yang efektivitasnya tergantung pada komitmen dan kehendak bersama memberantas korupsi. Alat ini tidak akan bekerja maksimal apabila ia dibiarkan berjalan sendiri atau hanya dijadikan etalase pencitraan atas sebuah pemerintahan. Term pemerintahan di sini tidak hanya terkait dengan lembaga eksekutif, tapi juga legislatif dan yudikatif.

Kasus pengendapan aliran dana DKP di kalangan anggota DPR menjadi sinyal buruk atas keseriusan pemerintah memberantas korupsi. Inilah ironi pemberantasan korupsi di tengah penyimpangan menjadi nafas yang menggerakkan nilai dan sistem di republik ini. Bahkan terhadap MoU ekstradisi yang jelas-jelas dibuat untuk mengepung para koruptor yang lari ke luar negeri masih disikapi secara sinis. Beberapa anggota DPR meragukan target pemerintah yang hendak dicapai dari perjanjian ekstradisi tersebut. Sebuah apatisme di tengah korupsi menggejala di lembaganya sendiri.

Kalau pada level atas saja terjadi simpang jalan dalam menyikapi pemberantasan korupsi, sulit dibayangkan bisa berlanjut pada level di bawahnya. Sejatinya anggota DPR sebagai wakil rakyat yang tahu persis dampak eksesif dari korupsi menyadari pentingnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Kalau para wakil rakyat memperlihatkan sikap paradoksalitasnya atas pemberantasan korupsi, jangan berharap pemerintah sukses melakukannya. Inilah duri pemberantasan korupsi dalam daging pemerintahan Yudhoyono.*