Monday, February 26, 2007

Opini

Tak Ada Koordinasi, Potret Buram Kabinet SBY
Bisnis Indonesia, Senin, 26 Februari 2007

A. Bakir Ihsan

Perseteruan antara Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan cermin problem relasi antarlembaga negara. Lebih spesifik lagi, ini adalah perilaku elite politik di tengah sistem presidensial yang tanggung.

Pemeriksaan Yusril sebagai saksi atas kasus mark-up yang terjadi di Depkum & HAM sebenarnya prosedur biasa. Jangankan jadi saksi, jadi tersangka pun apabila terbukti tak ada aral yang dapat mencegahnya, siapapun orangnya. Terbukti beberapa mantan menteri harus mendekam di penjara atas kasus yang menimpanya.
Ini artinya, langkah yang dilakukan KPK adalah langkah legal sebagai lembaga 'anti korupsi'. Itulah sebabnya muncul keanehan ketika Yusril meminta KPK menelaah Keppres Nomor 80/ 2003 tentang tender yang 'diabaikan' KPK dalam kasus pengadaan alat sadap.

Sebagai Mensesneg dan mantan Menkum & HAM, Yusril tentu tahu banyak dan banyak tahu tentang prosedur hukum, termasuk dalam hal proses pengadaan barang baik melalui tender maupun langsung. Karena itu, naif rasanya apabila seorang Yusril harus terjebak dalam prosedur penafsiran dan penyamaan persepsi hukum yang sudah pasti.

Itulah sebabnya langkah yang diambil Yusril ini tidak bisa dipahami dalam konteks hukum semata. Sulit dipungkiri bahwa pemanggilan Yusril terkait departemen yang pernah dipimpinnya telah menurunkan wibawa politiknya. Paling tidak reaksi Yusril atas pemeriksaan tersebut mencerminkan kecemasan politik yang dialaminya.

Kepatutan politik
Perseteruan KPK-Yusril juga mencerminkan adanya penyimpangan atas kepatutan politik dan substansi yang menjadi fokus penyidikan KPK, yaitu kasus mark-up di lembaga yang pernah dipimpin Yusril.

Masalah penyimpangan ini bukanlah hal baru. Kasus yang terjadi di Depkum & HAM merupakan puncak gunung es problem pengadaan barang yang memancing perselingkuhan antara pejabat dan pengusaha. Kasus pengadaan alat automatic fingerprints identification system (AFIS) hanyalah sepotong cermin dari pengadaan barang yang rentan terjadinya penyimpangan.

Belum lagi kasus-kasus mark- up yang lebih halus seperti penyaluran bantuan yang jumlahnya berbeda antara catatan di atas kertas (kwitansi) dengan uang atau barang yang diterima. Terjadinya penyimpangan disebabkan oleh dua belah pihak, baik pemberi maupun penerima bantuan. Pertimbangan saling menguntungkan sering menjadi lahan subur penyimpangan uang negara.

Pada titik ini, ada problem budaya politik di kalangan masyarakat dan pejabat. Dalam hal ini negara ditempatkan sebagai lumbung uang yang berhak dijarah oleh kepentingan pribadi maupun kelompok (vested interest). Padahal, negara merupakan tempat bergantung semua golongan dan kepentingan. Itulah sebabnya negara harus kuat melindungi dirinya dari penjarahan kelompok-kelompok tertentu.

Kebijakan pemberantasan korupsi yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhadapan dengan realitas tersebut. Bahkan, muncul upaya-upaya pembalikan citra dari para koruptor yang mengaku dirinya dizalimi. 'Perlawanan' Yusril bisa menjadi angin segar bagi koruptor untuk bertepuk tangan dan mengikuti langkah yang sama.

Pada titik ini, etika politik Yusril sebagai pembantu presiden yang berkomitmen memberantas korupsi menjadi minus. Karena sebagai pejabat publik, sejatinya Yusril menjadi pendorong dan penopang kuat atas langkah-langkah pemberantasan korupsi.

Jadi bumerang
Sikap reaktif Yusril dapat memunculkan seribu kesan tentang kasus pengadaan AFIS di departemen yang pernah dipimpinnya. Wajar apabila sebagian anggota DPR dan beberapa elemen masyarakat (LSM) meminta KPK mengusut tuntas masalah tersebut.

Dengan kata lain, langkah Yusril ternyata menjadi bumerang bagi dirinya, bahkan secara tidak langsung bagi Presiden SBY sendiri. Itulah sebabnya Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi buru-buru mengklarifikasinya sebelum merembet pada wilayah yang lebih luas.

Fenomena Yusril merupakan puncak gunung es dari kinerja kabinet SBY. Langkah Yusril yang bersifat reaktif tersebut seharusnya tidak terjadi, seandainya dia menyadari posisi dirinya sebagai bagian dari lembaga negara yang memiliki tanggung jawab bagi upaya pemberantasan korupsi.

Langkah Yusril secara tidak langsung mendelegitimasi komitmen SBY sebagai kepala negara sekaligus atasannya yang secara serius menebang para koruptor. Lebih dari itu, perseteruan ini ikut mengganggu agenda lain yang seharusnya diselesaikan oleh Mensesneg, termasuk nasib PP Nomor 37 Tahun 2006 yang kontroversial.

Melihat kenyataan tersebut, sudah waktunya Presiden mengambil langkah penting bagi reposisi dan perbaikan kabinetnya. Kalau tidak, dia akan menjadi duri yang tidak saja menelanjangi eksistensi Presiden, tapi juga membusukkan pemerintahan secara keseluruhan. Daripada busuk susu sebelanga, lebih baik mengangkat kuman yang merusaknya.

Langkah paling tegas adalah evaluasi secara objektif atas kinerja seluruh anggota kabinet. Kasus Yusril merupakan pintu masuk paling mudah untuk mengevaluasi secara objektif dan transparan kesinambungan antara visi dan misi Presiden dengan akurasi implementasi kebijakan oleh para pembantunya.

Selama ini, kesan tebar pesona muncul karena ketidaksinambungan antara wacana yang dilontarkan SBY dan implementasi yang seharusnya diejawantahkan oleh para kabinetnya. Inilah potret buram kabinet SBY yang lebih banyak bermanuver diri tanpa koordinasi. Apakah kenyataan ini akan terus dibiarkan? Bila ya, SBY sedang menggali kuburnya sendiri.
Opini

Indonesia dalam Perdamaian Dunia
Republika, Sabtu, 24 Februari 2007

A Bakir Ihsan

Dua hari berturut-turut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima dua tamu penting, yaitu Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam (OKI) Prof Ekmeleddin Ihsanoglu (12/2) dan Kepala staf gabungan angkatan bersenjata Amerika Serikat (AS), Jenderal Peter Pace (13/2).

Kehadiran kedua tamu ini membawa misi yang sama. Pertama, mempererat kerja sama bilateral baik dengan OKI maupun dengan AS. Dengan AS terutama terkait kerja sama militer. Sementara dengan OKI di samping meresmikan proyek bantuan selama 15 tahun bagi anak-anak yatim korban tsunami, juga untuk meresmikan proyek OIC Village di Bantul, Yogyakarta. Yaitu rumah-rumah yang dibangun oleh berbagai organisasi kemanusiaan di bawah koordinasi Sekjen OKI.

Kedua, harapan atas peran Indonesia di tengah ketegangan global baik terkait penyelesaian konflik masyarakat Muslim di Timur Tengah maupun wilayah lainnya, seperti Filipina Selatan yang sejak 1993 proses damainya berada di bawah koordinasi organisasi OKI. Begitu juga dengan AS yang berharap Indonesia dapat berperan dalam meredam ketegangan akibat proyek nuklir Iran dan Korea Utara.

Modal struktural dan kultural
Harapan atas peran Indonesia di dunia internasional bukanlah tanpa dasar. Baik secara struktural maupun kultural Indonesia memiliki amunisi untuk melakukan langkah-langkah perdamaian dunia. Paling tidak upaya minimalisasi konflik yang semakin menyeruak di berbagai belahan negara bisa dilakukan secara maksimal melalui dua modal yang dimiliki Indonesia.

Pertama, modal struktural. Secara struktural Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB 2007-2008. Terpilihnya Indonesia, yang didukung lebih dari 70 persen anggota PBB yang punya hak pilih, menunjukkan bukti posisinya di mata internasional. Selain Qatar, Indonesia menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar dalam badan keamanan dunia tersebut. Sebelumnya, Mei 2006, Indonesia terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB yang beranggotakan 47 negara.

Kedua, modal kultural. Secara kultural Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar yang berhasil mencitrakan dirinya sebagai negara Muslim moderat. Paling tidak hal tersebut terlihat dari atensi beberapa kepala negara baik Barat maupun Timur Tengah, bahkan Syekh Yusuf Qaradhawi, menganggap Indonesia sebagai negara yang bisa memainkan perannya dalam membangun perdamaian di tengah konflik global.

Bagi Indonesia sendiri, dalam beberapa pertemuan dengan berbagai negara, perdamaian sering menjadi isu pembahasan yang hangat. Bahkan dalam kunjungan George W Bush tahun lalu di Bogor, Presiden SBY menyampaikan 'proposal damai' bagi penyelesaian konflik komunal di Irak. Tawaran ini dapat dianggap sebagai langkah berani di tengah obsesi AS menjadi polisi dunia.

Walaupun proposal tersebut tidak bersambut, namun upaya-upaya serupa harus tetap disuarakan sebagai bentuk keseriusan Indonesia bagi upaya perdamaian dunia, khususnya di negara-negara Muslim. Salah satu isi proposal bagi penyelesaian Irak adalah penarikan tentara AS dari Irak. Tawaran ini ternyata berbanding terbalik dengan kebijakan yang diambil AS baru-baru ini yang justru menambah kekuatan tentaranya di Irak.

Diskriminasi nuklir
Ketegangan mutakhir yang sangat mengancam, selain kasus laten Israel-Palestina, adalah langkah-langkah ekstensif AS atas kasus nuklir Iran dan Korea Utara. Setelah AS meluluhlantakkan Irak dengan isu senjata pemusnah massal, kini ia mengintai Iran dengan isu nuklir.

Persoalan nuklir sebenarnya sudah menjadi agenda tersendiri bagi PBB. Sebagaimana diketahui langkah nonkoperatif yang diperlihatkan Iran diiringi oleh sanksi yang diberikan PBB. Bahkan bulan Februari ini menjadi tenggat akhir bagi Iran untuk menghentikan pengayaan uranium. Otoritas PBB ini seharusnya bisa lebih optimal, sehingga tidak ada alasan campur tangan atas nama negara tertentu seperti yang diperlihatkan AS.

Selain modal struktural, Indonesia sebagai pihak Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) yang selama ini konsisten memperjuangkan perlucutan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya dapat secara aktif dan intensif bagi proses denuklirisasi. Langkah-langkah cepat dan tepat ini perlu dilakukan mengingat semakin memanasnya ketegangan, khususnya antara AS, Iran, dan Korea Utara. Isu nuklir Iran telah memancing ketegangan ekstensif lainnya berupa pengakuan secara telanjang dari PM Israel bahwa negaranya adalah negara nuklir.

Dari sini semakin terlihat bahwa ada diskriminasi dalam pengungkapan kasus nuklir. Negara menjadi terdakwa ketika ia tidak menunjukkan sikap koperatifnya terhadap kepentingan AS. Dengan demikian, persoalan nuklir yang hanya ditimpakan pada Iran dan Korea Utara lebih bernuansa stigmatis dan hegemonik. Langkah-langkah stigmatis dan hegemonik ini telah melahirkan mentalitas terkepung. Oleh sebab itu, moderasi diplomasi yang dimainkan Indonesia harus lebih mengacu pada pengungkapan secara objektif dan perlakuan yang sama terhadap semua negara yang mengembangkan nuklirnya, termasuk Israel (Nugroho Wisnumurti, 2007).

Stigmatisasi dan hegemonisasi tersebut pada akhirnya melahirkan kecurigaan bahkan dendam yang memperkeruh upaya perdamaian. Belum lagi upaya-upaya provokatif yang dilakukan Israel dalam penggalian di sekitar masjid Al Aqsha. Persoalan utama bukan penggaliannya, tetapi lebih pada semakin terpupuknya kebencian Muslim Palestina terhadap Israel.

Bukan sekadar pilihan
Memang tidak mudah bagi Indonesia untuk melangkah jauh keluar di tengah berbagai problem dalam negeri. Banjir bencana dan belum kuatnya landasan budaya politik partisipan dengan sendirinya memecah perhatian pemerintah dalam upaya menjembatani penyelesaian konflik di berbagai negara. Belum lagi potensi-potensi konflik yang setiap saat siap meledak, seperti di Poso, Papua, dan daerah lain. Walaupun secara kuantitatif konflik di Tanah Air mulai berkurang, kualitasnya tidak bisa disepelekan.

Namun demikian, keterlibatan Indonesia dalam proses perdamaian dunia bukan sekadar pilihan moral atau konstitusi negara. Lebih dari itu, ia merupakan keharusan struktural dan kultural dalam tatanan global yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang dianggap mampu memainkan peranannya dalam penyelesaian konflik internasional. Kemampuan tersebut harus ditunjukkan melalui langkah-langkah konkret baik dengan pengerahan pasukan keamanan maupun bantuan medis bagi para korban konflik. Selain pemerintah, partisipasi lembaga-lembaga sosial, seperti NU, Muhammadiyah dan lembaga lain tetap bermakna.

Pada akhirnya, keandalan berdiplomasi dan kemampuan berkomunikasi akan ikut menentukan berhasil tidaknya upaya mediasi untuk minimalisasi konflik. Secara politik, pertaruhan di kancah internasional ini tidak memiliki dampak signifikan bagi pencitraan diri Presiden SBY di dalam negeri. Namun dalam konteks kemanusiaan, ia jauh lebih bermakna dan abadi.

Wednesday, February 14, 2007

Opini

Legalisasi Uang Anggota Dewan
Koran Tempo, Rabu 14 Februari 2007

A. Bakir Ihsan

Masyarakat seperti keranjang sampah bencana. Di tengah bencana yang bertubi-tubi, masyarakat harus berduka atas ulah para wakilnya yang sibuk mengurusi tunjangan pribadinya berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 2006 tentang kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD. Walaupun pasal 14 huruf d terkait tunjangan yang sangat kontroversial dicabut (direvisi), namun hal tersebut masih disikapi beragam. Pada Senin (12 Februari), sekitar seribu anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota mendatangi gedung DPR, jakarta, untuk memprotes revisi tersebut.

Persoalan sebenarnya bukan pada pencabutan pasal atau pengembalian rapelan, namun kecenderungan money oriented di kalangan anggota dewan mulai dari pusat sampai daerah tak pernah lekang. Dalih mereka sangat mulia, yaitu untuk kepentingan rakyat. Ironisnya, rakyat tak pernah merasakan manfaatnya. Terbukti rakyat lebih sering menyuarakan kepentingannya melalui aksi demonstrasi, bukan melalui jalur anggota dewan sebagai wakilnya.

Misi PP 37 tersebut pun sangat mulia, yaitu untuk mencegah terperangkapnya anggota dewan di daerah dari jaring-jaring korupsi. Namun sayangnya PP ini menjadi tempat berlindung atas upaya legalisasi berbagai langkah anggota dewan untuk mendapatkan fasilitas tanpa terjebak dalam jerat korupsi, sebagaimana terjadi pada masa sebelumnya.

Krisis Kepercayaan
Peraturan-peraturan yang terkait dengan fasilitas anggota dewan selalu mendapat reaksi keras. Reaksi ini muncul akibat krisis kepercayaan rakyat terhadap para wakilnya. Belum hilang dalam ingatan kita, perilaku anggota dewan yang terjerat dalam korupsi berjamaah. Belum terhapus dari memori kita anggota dewan yang lebih suka studi banding daripada turun langsung pada rakyat. Belum lagi cacat moral yang selalu menerpa anggota dewan mulai perselingkuhan sampai perjudian.

Kenyataan ini mementahkan kembali mimpi kita tentang demokrasi yang meletakkan DPR/DPRD sebagai salah satu pilarnya. Ia sejatinya menjadi gerbang akhir bagi konsolidasi demokrasi, karena dari lembaga ini proses kekuasaan diawasi, seluruh kebijakan diseleksi, dan anggaran negara disetujui. Namun apa lacur, pilar demokrasi tersebut ternyata berdiri sejajar dengan rasionalisasi untuk menguras uang negara. Konsolidasi demokrasi terhambat oleh ulah anggota dewan yang lebih memberdayakan diri dengan memperdaya rakyat. Mereka terjebak dalam elitisme yang tercerabut dari akarnya dan sensitivisme yang mati.
PP 37/2006 hanyalah puncak gunung es dari problem relasi eksekutif-legislatif. Di dalamnya terkandung potensi perselingkuhan untuk meraih keuntungan bersama dengan mengorbankan nasib rakyat. Potret DPRD merupakan serpihan dari potret besar yang terjadi di Senayan yang mengedepankan “main mata” dengan penguasa dari pada rakyat jelata. Wajar apabila citra anggota dewan tak kunjung baik di mata publik. Masyarakat mempersepsi para wakilnya tak lebih sebagai lumbung korupsi sebagaimana dilansir Transparency International Indonesia (TII), berdasarkan survei Global Corruption Barometer (GCB).

Tak ada yang istimewa dari hasil survei tersebut, kecuali memperkokoh stigma bahwa moralitas semakin jauh dari para wakil rakyat. Wajar apabila anggota dewan khawatir survei ini akan mendelegitimasi eksistensi parlemen. Sebuah kekhawatiran yang tak perlu bila tak ada tingkahlaku. Bisa saja survei tersebut dibantah melalui beragam argumen anggota dewan, namun (opini) publik tak bisa dibohongi. Publik hanya menangkap citra dan hanya bisa dibantah melalui pencitraan sikap dan perilaku anggota dewan sendiri.

Opini publik muncul berdasarkan asumsi bahwa lembaga perwakilan rakyat merupakan lumbung uang. Persepsi ini mungkin tidak sepenuhnya benar, karena para anggota dewan tak punya anggaran besar. Menurut Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR, Gayus Lumbun, DPR hanya mengelola 0,3 persen dari keseluruhan APBN. Namun yang tak bisa dipungkiri anggota dewan “mengendalikan” anggaran (fungsi budgeting) negara. Para wakil rakyat menjadi pintu masuk uang yang mengalir dari ragam kegiatan mulai dari rapat komisi, serap aspirasi sampai studi banding keluar negeri. Intinya uang anggota dewan tak pernah kering.

Namun mengapa di saat uang (fasilitas) terus mengalir, indeks korupsi tambah bergulir. Di sinilah kita harus membalikkan asumsi yang selama ini diyakini pemerintah dan anggota dewan bahwa dengan anggaran yang besar, kinerja bisa lebih bagus dan korupsi bisa diatasi. Asumsi ini tak terbukti. Justru sebaliknya. Kenaikan fasilitas dan anggaran berbanding lurus dengan indeks korupsi. Sebagaimana diketahui indeks korupsi yang terjadi di lembaga wakil rakyat mengalami peningkatan dari 4,0 (2005) menjadi 4,2 (2006). Dari sini kita bisa membedah geneologi korupsi di ranah para wakil rakyat tersebut di tengah euforia demokrasi.

Tanpa kontrol
Demokrasi yang berhasil kita bangun dengan segala turunannya ternyata menyebarkan penyakit korupsi. Otonomi dan desentralisasi kekuasaan melahirkan dampak ikutan berupa korupsi yang tak terkendali. Demokrasi dan korupsi seperti sebuah sintesa yang saling berkejaran mengikuti irama kekuasaan. Ketika rezim otoriter yang sentralistik dipraktikkan oleh Orde Baru, korupsi pun menyempit di lingkungan istana dan cendana. Sebaliknya kini, ketika desentralisasi dan demokrasi disebar, korupsi pun menjalar ke berbagai jalur.

Sejak reformasi dimulai, lembaga legislatif dari pusat sampai daerah menjadi altar kekuasaan sejati bereksistensi. Ia merupakan lembaga superbody karena lingkup otoritasnya hampir tak terbatas. Mulai budgeting, legislasi, sampai kontrol kekuasaan (eksekutif). Lingkup kekuasaan yang luas tersebut wajar, karena sejatinya mereka adalah “penyambung lidah rakyat”.

Dengan lingkup otoritas yang serba mencakup dan hampir tanpa kontrol ini, kenaikan indeks korupsi menjadi sebuah keniscayaan. Di sinilah kaidah Lord Acton; power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely berlaku. Untuk menghindari jaring-jaring korupsi, para anggota dewan melakukan legalisasi praktik-praktik menyimpang melalui rasionalisasi anggaran. Ini merupakan bentuk penyimpangan kekuasaan (abuse of power) yang sejatinya dipersembahkan untuk rakyat.

Atas otoritas anggota dewan yang begitu eksesif, ia bisa menentukan besar-kecilnya anggaran di masing-masing departemen. Di sinilah wilayah gelap (black box) percumbuan antara legislatif dan eksekutif untuk meraup keuntungan bersama terjadi. Wajar apabila muncul istilah komisi basah di antara komisi-komisi yang ada di lembaga terhormat tersebut. Kenyataan ini merupakan cacat bawaan demokrasi yang tidak dibarengi penguatan budaya politik masyarakat yang terimplementasi dalam bentuk kontrol kuat terhadap perilaku para wakilnya.

Dengan demokrasi langsung dan perangkat hukum dan lembaga yang memadai bahkan dengan langkah-langkah terobosan yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sejatinya mampu membuat efek jera para koruptor. Paling tidak menjadi shocktherapy bagi semua pihak untuk berhati-hati dalam bertindak dan mengambil kebijakan. Namun hal tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Tak berlebihan apabila Huguette Labelle, Ketua Transparency International, menyatakan di tengah negara berhasil melahirkan hukum dan peraturan anti korupsi, korupsi mengungkung jutaan warga dalam kemiskinan.

Rekonstruksi parpol
Kalau mau bercermin pada pengalaman negara-negara lain yang berhasil meminimalisasi tindak korupsi, seperti Cina, maka di tengah perangkat hukum dan lembaga yang cukup lengkap, diperlukan keberanian dan ketegasan untuk menindak para pelaku korupsi tanpa pilih kasih, termasuk anggota parlemen dan kepala daerah yang sering berlindung di balik partai-partai besar. Di sinilah masalahnya muncul. Pemerintah, termasuk Presiden SBY, harus berhitung seribu kali untuk mengambil tindakan tegas terhadap para koruptor yang memiliki ikatan kuat dengan partai politik besar.

Kenyataan ini terjadi karena kapasitas otoritas partai politik yang tak terbatas. Ia mengendalikan seluruh proses politik kekuasaan di negeri ini. Kecuali dalam kasus Aceh, seluruh jabatan politik mulai presiden sampai kepala daerah harus melalui seleksi partai.

Dalam kondisi demikian, diperlukan rekonstruksi kekuasaan parpol yang over ekstensif. Salah satu upaya ke arah tersebut adalah mengembalikan kekuasaan (kedaulatan) pada rakyat dengan memberi peluang bagi munculnya calon independen. Parpol harus diletakkan sekadar alat menifestasi kehendak rakyat melalui sistem rekrutmen anggota dewan secara terbuka dan langsung (proporsional terbuka murni). Masyarakat harus diberi kesempatan untuk memilih secara bebas para wakilnya di DPR dan calon terbanyaklah yang menjadi anggota dewan, tanpa terikat nomor urut. Dengan demikian, pilihan atau suara rakyat tidak terdistorsi oleh calon yang berada di urutan atas, sebagaimana yang terjadi pada pemilu 2004 lalu.

Dengan cara ini, para calon anggota legislatif (sebagai wakil rakyat yang berfungsi kontrol) akan berjuang sekuat tenaga untuk meraih simpati rakyat. Konsolidasi calon anggota dewan bukan lagi pada elit partai, tapi pada rakyat bawah. Cara ini juga menjadi pintu masuk bagi munculnya potensi-potensi lokal yang selama ini tergerus oleh hegemoni kekuasaan pusat partai.

Apakah sistem ini dengan sendirinya akan mengeliminasi korupsi? Inilah pertaruhan terakhir bagi demokrasi agar ia betul-betul menjadi antitesa korupsi. Dengan demokrasi yang mengedepankan transparansi dan koreksi, korupsi seharusnya teratasi. Kalau tidak, maka demokrasi hanya menjadi alat bagi konsolidasi korupsi melalui legalisasi yang mengamputasi aspirasi rakyat.*

Wednesday, February 07, 2007

Opini

SBY dan Paradigma Dependensia
Seputar Indonesia
(Sore), Senin 5 Februari 2007

A. Bakir Ihsan

Dalam pidato awal tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengulang kembali tentang pentingnya kemandirian ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan. Tampaknya langkah ini menjadi komitmen SBY yang hendak diwujudkan di tengah berbagai kritik yang ditujukan pada dirinya. Secara verbal komitmen tersebut terlihat dari pengulangan term “kemandirian”, “ekonomi” dan “kemiskinan”, yang melampaui term-term lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan dalam teks pidato awal tahun. Sekaligus ia mempertegas komitmen sebelumnya yang berupaya membubarkan CGI dan melunasi utang IMF demi kemandirian negara bangsa.

Langkah Presiden SBY mengakhiri forum kreditor multilateral Consultative Group on Indonesia (CGI) pada 2007 memiliki banyak makna. Ia bukan sekadar simbol pemutusan utang negara dari lembaga kartel, namun juga memiliki makna penting bagi rekonstruksi paradigma kenegaraan yang selama ini menggantungkan nafasnya pada (utang) negara lain. Dari sekian pergantian rezim (presiden) tak satu pun yang berani mengambil langkah penting ini karena hegemoni paradigmatik modernisasi yang menyimpang.

Paradigma ketergantungan
Sesaat setelah menerima Managing Director IMF, Rodrigo Sato, Presiden SBY menegaskan bahwa Indonesia sudah mampu merencanakan pembangunan secara mandiri dan mengatasi problem utang luar negeri tanpa campur tangan CGI. Pernyataan ini merupakan langkah berani di tengah negara membutuhkan banyak dana untuk menutupi defisit anggaran negara.

Lebih dari itu, pernyataan tersebut menyiratkan problem utang yang telah menyebabkan kemandirian dan kedaulatan sebuah negara tergadaikan. Bayangkan, karena utang, semua program pembangunan yang hendak dijalankan harus dibahas, dikritisi, dan dikoreksi oleh para kreditor. Kenyataan ini sungguh sebuah ironi. Sebuah negara besar nan luas dan berdaulat harus tunduk pada kartel utang yang tergabung dalam CGI. Di sisi lain, utang telah memaksa negara-negara berkembang berlomba memasok bahan baku ke negara-negara maju dengan harga murah, sehingga terjadi surplus ekspor dan pendapatan produsen negara berkembang semakin tertekan. Di sini terlihat betul bahwa negara maju terus menjadi tempat bergantung yang selalu menangguk untung sementara negara berkembang terus tergantung dan buntung. Kenyataan ini semakin mengabsahkan paradigma dependensia yang melihat relasi antar negara berada dalam jaring-jaring ketergantungan yang menguntungkan negara metropolis dan menyengsarakan negara satelit.

Menurut paradigma dependensia, negara-negara miskin dan berkembang tidak akan pernah bangkit karena terjebak dalam jaring-jaring negara satelit yang diperas melalui berbagai cara oleh negara metropolis. Dan terbukti, sejak kemerdekaan, tidak banyak negara bekas jajahan berhasil bangkit menjadi negara maju. Mereka tetap berada dalam pergerakan zaman yang involutif. Negara penjajah (maju) tetap menjadi pengendali gerak sejarah negara bekas jajahan (berkembang). Agar relasi eksploitatif ini tidak terkuak, maka dibuatlah mitologi bahwa relasi negara berkembang dengan negara maju merupakan keniscayaan yang menyimbolkan kesetaraan dan kepercayaan antar negara. Dengan kata lain, pinjaman yang diberikan oleh negara maju merupakan bukti kepercayaan terhadap negara berkembang. Semakin besar utang yang didapat negara berkembang merupakan simbol kepercayaan yang semakin besar dari negara maju. Mitologi ini telah menghegemoni kesadaran elit yang terjebak dalam paradigma modernisasi yang mengagungkan pertumbuhan semata.

Paradigma dependensia ini menawarkan kemandiran sebagai jalan untuk keluar dari lingkaran setan utang. Revitalisasi terhadap berbagai potensi dana dalam negeri dan penggunaannya secara efektif akan membantu negara menapaki kemandiriannya. Menurutnya yang paling tahu problem dan jalan keluar dari persoalan sebuah negara adalah negara itu sendiri, bukan negara lain. Sebuah negara lahir, tumbuh, dan maju dari kekhasan sejarahnya masing-masing.

G to G
Rencana pembubaran CGI melahirkan banyak respon. Sebagian kalangan mengkhawatirkan langkah berani SBY tersebut dapat menyulitkan Indonesia mendapatkan kreditor bagi pembiayaan berbagai rencana pembangunan ke depan. Utang bagi kelompok ini merupakan kemestian di tengah kebutuhan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur negara berkembang seperti Indonesia.

Sebagian kalangan lainnya justru optimis bahwa langkah pembubaran CGI akan menempatkan Indonesia memiliki daya tawar yang diperhitungkan berhadapan dengan negara lain. Indonesia tidak lagi menghamba pada kartel utang yang menyusahkan, namun melalui perundingan yang dilakukan antarpemerintah (government to government). Pada titik ini pelunasan utang bukan sekadar penyelesaian pinjaman, namun juga terkait dengan equal partner sebuah negara yang berdaulat. Kemandirian dan kedaulatan betul-betul dapat dipertaruhkan apabila negara tidak dibebani utang yang sarat dengan kepentingan.

Kedua respon tersebut sebenarnya merupakan bentuk kepedulian atas kondisi Indonesia yang mengalami krisis multidimensi. Dalam kondisi demikian Indonesia membutuhkan banyak dana di satu sisi, dan persoalan pengelolaan yang efisien di sisi yang lain. Dengan kata lain, pembayaran utang dan pembubaran CGI memaksa Indonesia untuk mengencangkan ikat pinggang yang diikuti oleh upaya rekonstruksi dan pematangan kembali rencana anggaran pembangun. Langkah ini tampaknya mulai dilakukan oleh Presiden SBY melalui penghematan belanja istana. Sebagaimana diketahui terjadi penghematan yang cukup signifikan dalam belanja istana mulai Rp40 miliar pada 2005, dan Rp60 miliar pada 2006. Penghematan ini bisa dilakukan karena adanya skala prioritas dalam aktivitas presiden, misalnya pengurangan kunjungan keluar negeri. Langkah ini seharusnya menjadi signal bagi pejabat lainnya untuk mengencangkan ikat pinggang sebagai bentuk penyeimbang atas keputusan pemerintah yang membubarkan CGI dan pengurangan utang demi kemandirian bangsa.

Memupuk Kemandirian
Keputusan pelunasan utang IMF dan pembubaran CGI tidak hanya berdampak pada negara kreditor yang secara otomatis akan mengalami penyempitan lahan pengembangan dananya. Juga pada langkah-langkah yang harus diambil oleh Presiden SBY untuk kepentingan dalam negeri. Keputusan berani ini menuntut kebijakan berani lainnya agar dapat menutupi kekurangan dana bagi pengembangan berbagai sektor kehidupan masyarakat pasca pelunasan utang IMF dan pembubaran CGI. Apalagi saat ini sedang tumbuh kinerja para pelaku usaha berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bahkan, menurut data Bappenas, secara nasional tercatat, selama krisis ekonomi UMKM telah mampu berperan sebagai "katup pengaman" baik dalam menyediakan alternatif kegiatan usaha produktif (sektor riil) maupun dalam penyerapan tenaga kerja.

Oleh karena itu, langkah menuju kemandirian harus terimplementasi dalam bentuk dukungan semua pihak. Dukungan bisa dilakukan melalui berbagai cara, termasuk, ikut menciptakan rasa aman sehingga investasi bisa masuk, menciptakan situasi yang kondusif sehingga tidak ada gejolak khususnya dalam dunia usaha. Begitu juga para politisi harus lebih menjalankan fungsinya sebagai kontrol daripada pengumbar pernyataan-pernyataan yang membuat masyarakat resah.

Langkah pelunasan utang ini bisa dipahami sebagai langkah konkret upaya pembebasan mata rantai utang yang akan melilit generasi mendatang. Juga sebagai bentuk pertanggungjawaban atas beban sejarah yang dipikul oleh Presiden SBY. Langkah ini akan berhasil dan berlanjut apabila berjalin berkelindan dengan komitmen seluruh anak bangsa untuk mandiri.

Namun demikian, pelunasan utang sebagai simbol kemandirian bangsa tidak serta merta menutup kerjasama dengan pihak asing. Di tengah arus globalisasi, kerjasama internasional tak bisa dielakkan dengan tetap mengedepankan equal partner. Koalisi-koalisi akan terus berlangsung menurut langgam politik yang ada. Nasionalisme tidak menafikan kerjasama apalagi menutup diri. Kuncinya bagaimana relasi antar negara tersebut saling menguntungkan di atas kedaulatan masing-masing.

Untuk melihat keberlanjutan dan konsistensi kebijakan Presiden SBY tersebut, bisa diukur dari langkah-langkah konstruktif lainnya, seperti jumlah utang baru pada negara bilateral maupun multilateral. Apakah pasca pembubaran CGI dan pelunasan utang IMF, utang negara berada di bawah utang yang ada atau sebaliknya. Begitu juga program pembangunan, apakah ia berdasarkan prioritas dalam negeri dengan alokasi APBN yang lebih terarah atau tidak. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah optimalisasi dana yang ada dengan meminimalisasi terjadinya tindak korupsi. Karena persoalan utang selama ini tidak sepenuhnya karena bunga utang yang membengkak dan intervensi asing, namun juga penggunaannya yang kurang efektif, akibat, salah satunya, korupsi yang sistemik.

Di sinilah kemandirian sebuah bangsa dipertaruhkan. Ia tidak sekadar memutus mata rantai ketergantungan akibat utang negara asing, namun juga komitmen bersama untuk menata diri menjadi bangsa yang lebih beradab dan bermartabat dengan membebaskan diri dari korupsi.*