Thursday, August 23, 2007


Opini

Upaya Memuseumkan Kemiskinan
Media Indonesia
, Kamis, 23 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

Dalam beberapa pertemuan, kacang dan pisang rebus menjadi menu hidangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tetamunya. Ditambah secangkir teh hangat merupakan suguhan sederhana sebagaimana masyarakat umumnya. Kesan sederhana muncul bila diukur dengan posisi SBY sebagai orang nomor satu di Republik ini. Dengan gaji puluhan juta, presiden bisa melakukan lebih dari itu sebagaimana para pejabat dan elite politik lainnya.

Bagi sebagian orang simbol hidangan di atas bisa dianggap suatu yang lumrah atau sekadar upaya pencitraan agar terkesan sederhana. Namun bila dilihat dari komunikasi politik, menu hidangan tersebut bisa menjadi contoh efektif tentang hidup sederhana yang harus diperlihatkan para elite yang cenderung boros dan selalu mencari celah untuk menaikkan anggarannya. Bahwa para elite harus bisa menyesuaikan diri dengan rakyat kebanyakan yang berkubang dalam kemiskinan.

Tidak itu saja, dari sikap sederhana ini SBY berhasil menghemat anggarannya Rp100 miliar lebih selama 2004-2006 yang kemudian dikembalikan ke kas negara. Langkah ini bisa dimaknai sebagai bentuk keprihatinan atas nasib warganya yang masih jauh dari sejahtera. Dengan sikap itu pula, relevan kiranya bila SBY belakangan ini banyak bicara tentang upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan sebagai agenda yang harus dituntaskan dalam paruh kedua kepemimpinannya.

Melawan kemiskinan
Dalam pidato kenegaraan (16/8) di depan Rapat Paripurna DPR RI, Presiden SBY menjadikan percepatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran sebagai tema pembangunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2008. Percepatan pertumbuhan ekonomi bukan tujuan, tapi media untuk mencapai kesejahteraan dan menghapus kemiskinan. Langkah ini sebenarnya bukan hal baru dalam konteks visi SBY. Setahun yang lalu Presiden juga menyampaikan hal yang sama. Namun dalam pidato kali ini, masalah kemiskinan mendapat porsi yang lebih padat dibandingkan bidang lainnya. Paling tidak, secara verbal term kemiskinan disebut paling banyak setelah term pembangunan, yaitu 21 kali dalam pidato 1 jam 4 menit tersebut.

Beberapa waktu sebelumnya, Presiden SBY banyak mengulas tentang sistem perekonomian yang dikembangkan Indonesia saat ini. Menurutnya ekonomi Indonesia bersifat terbuka dan berkeadilan sosial. Pernyataan tersebut sekaligus mempertegas sikap presiden terhadap sistem ekonomi kapitalisme yang menurutnya gagal menjamin kemakmuran bagi rakyat. Dalam bahasa Joseph A. Schumpeter (1950), kapitalisme cenderung menghasilkan kelas elite yang menentang kekuatan yang mengantarkan mereka menjadi elite. Lalu apa yang hendak dikembangkan SBY untuk negeri ini?

Pertanyaan ini penting, karena kritik presiden terhadap kapitalisme yang dianggapnya gagal memberi kesejahteraan, beriring sejalan dengan ekonomi negara yang sampai saat ini belum mampu menyejahterakan rakyatnya secara sempurna. Di sisi lain, kapitalisme menjadi ruh dunia global yang sulit dihindari. Bahkan kapitalisme berhasil merobek batas ideologis sebuah negara.

Kritik dan paradigma ekonomi versi SBY di atas tentu merupakan konsepsi ideal (abstrak) yang membutuhkan pijakan implementatif bagi masyarakat sebagai standar keberhasilan. Alat ukur keberhasilannya ditentukan oleh konsistensi dan relevansi konsepsi dengan aksi, yaitu sejauhmana upaya penghapusan kemiskinan menjadi mainstream kebijakan dan berjalin berkelindan dengan berkurangnya jumlah warga miskin itu sendiri.

Ekonomi keindonesiaan
Di tengah arus globalisasi muncul penguatan negara. Inilah paradoks globalisasi. Kehadirannya yang menembus batas negara, ternyata menguatkan identitas lokal kenegaraan sebagai respon atas gelombang globalisasi yang monolitik dan hegemonik. Respon ini terjadi di segala bidang. Mulai ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, termasuk agama. Sehingga muncul upaya kontekstualisasi, aktualisasi, dan revitalisasi nilai-nilai lokal di tengah gempuran globalisasi. Term kontekstualisasi dan aktualisasi merupakan upaya ekspresif sekaligus eksploratif bagi penguatan nilai-nilai lokal (keindonesiaan) berhadapan dengan nilai-nilai transnasional.

Dalam kerangka itu, ekonomi kita sejatinya berkembang di atas nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan sosial sebagaimana tercermin dalam Pancasila sebagai basis nilai khas Indonesia. Tampaknya inilah yang hendak direvitalisasi SBY dalam konteks ekonomi saat ini, yaitu penguatan dimensi kesejahteraan, keadilan, dan keterbukaan yang selama ini timpang.

Keterbukaan ekonomi diperlukan untuk membuka peluang terjalinnya kerjasama Indonesia dengan berbagai negara tanpa terjebak pada diferensiasi ideologi. Ini pula yang dikembangkan dalam aspek politik bebas aktif. Karenanya gagasan bahwa politik bebas aktif harus dirombak di tengah hegemoni Amerika, menjadi tidak relevan dan salah kaprah. Di tengah konstelasi politik global yang penuh ketidakpastian, keberpihakan bisa berbuah kesia-siaan.

Itulah sebabnya Indonesia tidak memilah dan memilih relasi bisnis berdasarkan ideologi, tapi keuntungan demi penguatan ekonomi dalam negeri. Penguatan kerjasama ekonomi dengan Jepang, China, dan Timur Tengah mencerminkan lintas ragam ideologi dengan satu tujuan; kepentingan ekonomi nasional. Keberpihakan inilah yang dibutuhkan saat ini.

Basis sosial
Upaya mengalirkan pertumbuhan bagi kesejahteraan rakyat diperlukan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Langkah legal-formal ke arah tersebut mulai direalisasikan. Salah satunya melalui penguatan dimensi sosial perusahaan yang disebut corporate social responsibility (CSR). Sebagaimana diketahui pemerintah sedang merancang peraturan sebagai penjabaran dari UU Perseroan Terbatas (PT) yang di dalamnya terdapat pasal 74 tentang CSR.

Langkah ini memaksa perusahaan sebagai pilar pertumbuhan ekonomi meneteskan keuntungannya bagi kepentingan sosial. Langkah ini tentu tidak mudah karena para pengusaha terlanjur dimanja oleh rezim sebelumnya melalui berbagai fasilitas yang menguntungkan. Wajar apabila UU PT tersebut mendapat tentangan dari kalangan pengusaha karena diangap mengancam “keuntungan” yang selama ini dinikmatinya. Sebelum UU PT ini disahkan, presiden SBY dalam pembukaan Indonesia International Motor Show (IIMS) meminta BUMN menjalankan CSR sebagai kewajiban terhadap masyarakat. Menurutnya masyarakat merupakan social capital agar industri tumbuh dan memberi manfaat.

Keberadaan UU PT yang memperkuat dimensi sosial perusahaan tersebut sekaligus meruntuhkan wacana korporatokrasi (corporatocracy) yang mencurigai adanya perselingkuhan negara (penguasa) dengan pengusaha. Atau dalam bahasa John Perkins (2004) sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dikendalikan perusahaan besar (a system of governance controlled by big corporations). CSR secara tidak langsung merupakan salah satu jawaban pemerintah untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan dan pemerataan.

Regulasi penguatan sosial perusahaan ini memerlukan basis implementasi yang berkoneksi dengan kerja birokrasi yang efektif dan efisien. Birokrasi harus menjadi mesin yang produktif bagi kelancaran investasi sekaligus pemerataan keuntungan bagi kepentingan sosial. Pertumbuhan ekonomi sebagai pembuka bagi kesejahteraan harus dibarengi oleh pelayanan birokrasi yang paripurna yang ramah bagi geliat bisnis. Hal ini perlu ditekankan karena birokrasi selama ini menjadi salah satu komponen munculnya biaya tinggi produksi, sehingga keuntungan industri tak banyak menetes.

Lebih dari itu, upaya penyebaran kesejahteraan dan pemberantasan kemiskinan harus menjadi kehendak kolektif dari para elite politik sampai rakyat. Karenanya perlu reorientasi dan rekonstruksi paradigma ekonomi yang berbasis kesejahteraan sosial. Yaitu penyamaan persepsi seluruh elemen warga negara bahwa gerak pertumbuhan berbanding lurus dengan pemerataan. Penghapusan kemiskinan tidak hanya dilakukan secara legal-formal (kebijakan), tapi dibarengi oleh etos kultural melalui sikap disiplin, jujur, kerja keras untuk kemajuan bersama.

Inilah paradigma ekonomi keindonesiaan yang harus ditegakkan melalui kebijakan yang merakyat dan diimplementasikan melalui sikap yang serempak. Dari sini kita bisa berharap kemiskinan akan menjadi sejarah masa lalu. Atau dalam bahasa yang lebih optimistik ala Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian 2006, dalam Presidential Lecturer (7/8), bahwa kita bisa memuseumkan kemiskinan (we can put poverty into museums). Semoga.

Monday, August 20, 2007


Opini

Kemerdekaan Prosedural
Koran Tempo, Sabtu, 18 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

Dalam konteks politik, istilah "prosedural" sering dikaitkan dengan demokrasi yang mengacu pada capaian teknis berupa suksesi dan perebutan kursi semata. Sementara itu, rakyat (demos) hanya berperan sebatas penggembira yang dimobilisasi dalam sebuah kontestasi. Kalau merujuk pada konsep tersebut, kemerdekaan negara ini mengalami hal yang sama. Kemerdekaan yang kita capai masih bersifat prosedural, karena sebatas hengkangnya kaum kolonial dari Bumi Pertiwi dan tampilnya bumiputra sebagai penguasa. Layaknya demokrasi, kemerdekaan juga ditandai oleh pesta yang melibatkan warga dan diadakan secara berkala dengan beragam harapan tanpa kepastian.

Ketika Anthony Gidden mendorong perlunya demokratisasi atas demokrasi (democratizing democracy) yang cenderung semu, kemerdekaan memerlukan hal yang sama: memerdekakan kemerdekaan, yaitu upaya membebaskan kemerdekaan dari belenggu prosedural sehingga warga bisa menemukan jati dirinya sebagai warga bangsa, bukan sekadar warga negara.

Kalau merujuk pada konsepsi negara bangsa (nation-state), kemerdekaan masih berhenti pada level negara yang berdaulat. Struktur dan institusi negara didirikan untuk mempertahankan eksistensinya. Bahkan ia beroperasi dengan peran dan sumbangsih yang besar dalam percaturan relasi antarnegara. Sejak merdeka, Indonesia berperan aktif dalam percaturan internasional, seperti Gerakan Nonblok dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), termasuk keterlibatannya dalam pasukan perdamaian di Timur Tengah. Ini menjadi bukti bahwa secara struktural (kelembagaan), negara ini mampu berdiri sejajar dengan negara-negara lainnya.

Namun, bagaimana dengan bangsa (nation) yang dikandungnya? Semerbak eksistensi negeri ini belum mampu dinikmati oleh warganya. Paling tidak hal tersebut terekam dari persepsi hambar warga atas institusi (partai) politik, pelayanan publik yang masih jauh panggang dari api, dan relasi antarwarga yang belum mencerminkan penghargaan pada pluralitas.

Budaya mematuhi
Menurut John Stuart Mill, masyarakat liar yang merdeka baru akan mampu menciptakan kemajuan peradabannya ketika ia belajar untuk patuh. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan menjadi indikator tingkat keadaban sebuah bangsa. Sebagian dari kita mungkin merasa risi dengan term "patuh", karena ia identik dengan dominasi dan hegemoni. Padahal, dalam konteks negara bangsa, kepatuhan menjadi keharusan seluruh elemen masyarakat, dari elite sampai rakyat. Kontrak sosial yang menjadi basis bangunan sebuah negara mensyaratkan adanya kepatuhan agar roda negara bisa terus bergerak.

Para pendiri republik ini membangun landasan negara untuk dipatuhi demi kohesi, bukan hegemoni. Ia menjadi panduan perilaku yang mengikat negara dan warganya. Namun, sejarah republik ini menorehkan catatan yang kurang harmonis, bahkan dikotomis dan distingtif antara penguasa (negara) dan rakyat. Politik kekuasaan menampilkan dirinya secara paternalistik, serba mencakup, dan menjadi pusat segalanya. Negara mengendalikan seluruh sumber daya sehingga menciptakan ketergantungan rakyat pada negara. Akibatnya, warga selalu berharap belas kasih (keterlibatan) negara sekaligus mempersempit ruang kemandirian warga. Dalam kondisi demikian, negara semakin memiliki peluang mengendalikan rakyat. Padahal, dalam konteks civil society, warga menjadi pilar yang menentukan arah perjalanan negara, bukan sebaliknya. Ketergantungan dan distingsi antara warga dan negara tersebut merupakan bentuk lain keterbelengguan.

Pelembagaan konstitusi
Keberhasilan negara merekonstruksi dirinya melalui revisi konstitusi seharusnya diikuti pelembagaan (ketaatan) konstitusi itu sendiri. Namun, semua itu masih mimpi. Karena itu, pencapaian agenda pada era reformasi ini tak jauh berbeda dengan pencapaian awal kemerdekaan, yaitu pergulatan membangun konstitusi. Sementara itu, penguatan nilai-nilai konstitusi berjalan lambat dan cenderung involutif. Akibatnya, kegaduhan politik terus mengalir dari dulu sampai sekarang.

Kita bisa menyaksikan karut-marut relasi antarlembaga negara yang sering berujung pada kegaduhan politik yang tak produktif. Walaupun konstitusi sudah mengatur tata interaksi dan pola relasi antarinstitusi, tarik-menarik kepentingan elitis di antara lembaga-lembaga negara tak pernah mati. Percaloan di Dewan Perwakilan Rakyat, mafia peradilan, dan sepak terjang Mahkamah Agung dengan segala kontroversinya menjadi catatan lemahnya budaya mematuhi. Begitu juga DPR dan Dewan Perwakilan Daerah yang berebut kuasa, walau dalam konstitusi mereka memiliki posisi yang sama.

Belum lagi orientasi kekuasaan kaum politikus yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada warga. Semua ini akibat pengabaian terhadap konstitusi sebagai landasan dasar interaksi. Konsekuensinya, tatanan kenegaraan menjadi amburadul dan bergerak menurut tafsirnya masing-masing. Karena itu, diperlukan proses pelembagaan konstitusi dalam kesadaran diri anak bangsa.

Proses pelembagaan ini tidak sekadar melalui sosialisasi konstitusi hasil amendemen, seperti yang dilakukan Majelis Permusyawaratan RI saat ini, tapi melalui keteladanan sikap para elite dalam menjunjung tinggi sistem kenegaraan yang telah disepakati bersama. Walaupun secara konstitusi semua lembaga negara memiliki kedudukan yang sama, dalam sistem presidensial, eksistensi kepala negara (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi penting untuk menegakkan kembali kepatuhan seluruh komponen masyarakat terhadap aturan main yang ada. Dan fungsi ini akan maksimal apabila masing-masing lembaga negara bekerja sesuai dengan aturan dan berkhidmat untuk rakyat.

Tentu ini bukan agenda mudah, karena pada kenyataannya para pejabat negara masih banyak yang abai, bahkan belum mengetahui amendemen konstitusi, apalagi menjalankannya. Inilah ironi kemerdekaan di usianya yang ke-62, yang baru sebatas bongkar-pasang prosedur-prosedur oleh para elite tanpa bekas dalam sikap dan perilaku mereka. Inilah kemerdekaan prosedural yang dapat mengancam kohesivitas kebangsaan yang multikultural. Karena itu, melewati setengah abad usia kemerdekaan dan di tengah demokrasi yang merekah, orientasi penyadaran diri perlu dilakukan agar kemerdekaan bermakna bagi proses "menjadi bangsa".*

Tuesday, August 14, 2007


Hikmah

Tangisan Sang Pemimpin
Republika, Selasa, 14 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

“Saat itu aku menoleh pada Rasulullah. Tiba-tiba saja aku melihat matanya mengalirkan air mata,” (Ibnu Mas’ud dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim).

Suatu ketika Rasulullah meminta Ibnu Mas'ud untuk membacakan Alquran di hadapannya. Ibnu Mas'ud terkejut. ''Alquran adalah wahyu yang diturunkan melalui dirimu, bagaimana saya harus membacakannya, ya Rasulullah?'' tanya Ibnu Mas'ud. ''Aku ingin mendengarnya dari orang lain,'' jawab Rasul singkat.

Ibnu Mas'ud pun membaca surat An-Nisa'. Sampai pada ayat tertentu, Rasulullah meminta Ibnu Mas'ud menghentikan bacaannya. Tanpa sengaja Ibnu Mas'ud melihat wajah Rasulullah. Dari matanya mengalir deras air mata. Rasulullah menangis saat Ibnu Mas'ud membaca ayat ''... dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu) ...'' (QS An-Nisa [4]: 41).

Rasulullah menangis memikirkan nasib umatnya. Sebuah tangisan karena khawatir atas kondisi lingkungan-sosialnya. Rasulullah adalah sosok pemimpin yang diberi tanggung jawab bukan hanya untuk manusia, tapi untuk seluruh alam (rahmatan lil 'alamin).

Imam Ibnul Qayyim membagi 10 macam linangan air mata (tangisan). Ada tangisan kasih sayang, tangisan takut dan khawatir, tangisan cinta dan rindu, tangisan gembira dan bahagia, tangisan terkejut karena beban berat, tangisan sedih, tangisan lemah dan tidak mampu, tangisan kemunafikan, tangisan palsu, dan tangisan solidaritas.

Dari 10 ragam tangisan tersebut bisa dikelompokkan ke dalam dua macam, yaitu tangisan yang berasal dari hati dan tangisan sebatas linangan air mata. Tangisan sebatas linangan air mata adalah tangisan kemunafikan, tangisan palsu, atau sekadar solidaritas karena orang lain menangis. Sebaliknya tangisan kekhawatiran seorang pemimpin sebagaimana yang diperlihatkan Rasulullah adalah linangan air mata yang mengucur dari lubuk hati yang paling dalam.

Kedalaman hati tentu tak ada yang bisa mengukur. Namun, apakah sebuah tangisan hanya sebatas linangan air mata atau bukan, kita bisa melihat dari perilakunya. Seorang yang menangis kala berzikir, namun perilakunya banyak menyimpang, berarti tangisan itu baru sebatas linangan air mata. Dalam konteks kepemimpinan, tangisan tulus sang pemimpin terukur dari kesungguhannya dalam upayanya meretas problema yang dihadapi warganya. Semoga.

http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=14

Thursday, August 02, 2007

Opini



Matinya Etika Politik
Seputar Indonesia, Kamis, 2 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

Kita boleh bangga karena freedom house (2006) memasukkan negara kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Kita boleh bangga karena pemilu yang kita selenggarakan pasca reformasi berlangsung ramai dan damai. Kita boleh bangga karena dunia harus mengubur kekhawatirannya akan chaos pada Pilpres langsung 2004 yang lalu. Sembari puja-puji atas demokrasi terus mengalir dari berbagai kalangan, lembaga-lembaga prosedural demokrasi terus kita sempurnakan. Lembaga legislatif yang awalnya unikameral mekar menjadi bikameral. Sistem yang sentralistik luluh seiring otonomi daerah. Bahkan beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi “meresuti” tampilnya calon independen dalam pemilihan kepala daerah.

Semua capaian tersebut merupakan secercah cahaya setelah sekian lama bangsa ini terkubur dalam kegelapan politik akibat otoritarianisme. Seluruh nafas yang awalnya dikendalikan oleh kekuasaan dihancurkan dengan harapan lahirnya kehidupan berbangsa yang lebih bermartabat. Untuk itu, dibuatlah aturan main agar negara ini tidak menjelma menjadi arena homo homini lupus atau menjadi ladang pembantaian sesama anak bangsa baik secara fisik maupun psikis karena benturan ragam kepentingan.

Namun semua langkah di atas belum sepenuhnya menjadi pijakan bersama dalam membangun kehidupan berwarga negara yang civilized. Fenomena politik yang menyeruak belakangan ini mengarah pada arus balik yang cenderung mengotori demokrasi. Tata aturan yang disahkan oleh para wakil rakyat di Senayan harus dilanggar, bahkan oleh mereka sendiri. Mereka memainkan tata tertib yang mereka susun sendiri dengan beragam tafsir yang paradoks untuk mengedepankan kepentingannya. Bahkan cenderung menempuh segala cara untuk memuaskan hasratnya. Demokrasi pada titik ini tercederai oleh distingsi antara perilaku para politisi dengan nilai-nilai yang dibuatnya sebagai landasan etis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Guncangan politik
Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa setiap perubahan akan merangsang terjadinya guncangan (disruption). Guncangan karena adanya distingsi antara nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah masyarakat. Guncangan bisa juga merupakan shock culture akibat ketidaksiapannya menjalani perubahan yang diluar kerangka nalarnya. Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern di tengah perubahan yang bergulir begitu cepat. Yaitu tatanan sosial yang melemah dalam kerangka kebersamaan (a weakening of social bonds and common values).

Perilaku menyimpang dan pengebirian etika politik dikalangan politisi salah satunya disebabkan oleh guncangan tersebut. Mereka tidak siap untuk menjalani perubahan yang begitu luar biasa sementara secara intrinsik mereka masih terjebak dengan nilai (kesadaran) masa lalunya. Konsekuensinya terjadi ledakan-ledakan anomalis yang memicu seseorang melampaui atau mengancam etika politik.

Hal ini terlihat dari beberapa guncangan politik yang terjadi belakangan ini. Salah satunya adalah tuduhan yang dilontarkan mantan wakil ketua DPR RI, Zaenal Maarif terhadap presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagi kaum machiavellian langkah yang dilakukan Zaenal merupakan hal yang lumrah. Segala cara menjadi halal untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Atau dalam bahasa Fukuyama agar guncangan dalam dirinya bisa ditekan sedemikian rupa dengan melemparkan beragam isu tanpa peduli validitas dan eksesnya.

Konsekuensinya muncul korban-korban yang sejatinya tak perlu terjadi. Dan ini berimplikasi lebih jauh karena sedikit banyak mengganggu kelancaran roda kerja pemerintahan. Seorang SBY harus menyisakan pikiran dan perasaannya untuk merespon fitnah yang dilontarkan mantan wakil ketua DPR RI.

Pada titik ini politisasi isu yang dilontarkan Zaenal sulit dibantah. Apalagi data-data yang dimiliki Zaenal diserahkan ke lembaga-lembaga politik (DPR, MPR, & DPD), setelah sebelumnya dilempar ke ranah publik seiring pemecatan dirinya sebagai wakil ketua DPR RI. Dan bila isu ini dibiarkan, ia akan menjadi bola liar yang siap dimainkan oleh ragam kepentingan menyongsong pemilu 2009. Wajar apabila presiden secara tegas membantah sekaligus melaporkan isu murahan ini ke pihak berwajib agar diungkap fakta kebenarannya. Karena itu pula, isu ini harus dibaca dalam konteks (etika) politik.

Etika dan logika politik
Etika politik merupakan kristalisasi dari nalar (logika) politik warga bangsa itu sendiri. Ia merupakan muara sintesis dari logika-logika yang berkembang pada ranah publik demi terbangunnya kohesi sosial. Pelanggaran terhadap etika politik dengan sendirinya menandakan matinya nalar kebangsaan dan dapat mengancam integrasi sosial.

Aristoteles dalam magnum opus etikanya, Nicomachean ethics menyebutkan bahwa kebaikan bersama merupakan muara dari etika politik sebuah negara. Dan etika yang baik hanya mungkin tercipta dalam negara yang menyediakan tata aturan yang mengarahkan setiap perilaku warganya demi kebaikan bersama. Dari sini kita bisa mengukur apakan perilaku politik yang berkembang di negeri ini mengarah pada kepentingan bersama (rakyat) atau justru mengkristal menjadi kepentingan kelompok atau pribadi.

Di tengah eforia kebebasan, kepentingan sempit sangat mungkin dirayakan. Atas nama kebebasan setiap kepentingan mendapat tempat aktualisasi tanpa peduli hak asasi orang lain. Aturan main diabaikan untuk mencapai puncak kekuasaan yang mereka pahami sebagai realitas yang inheren dalam politik. Karenanya standar etika perlu ditegakkan melalui barometer yang dapat dipertangungjawabkan secara empiris dan praksis.

Dalam konteks itu, Paul Ricoeur (1990) mengukur etika politik secara teleologis. Menurutnya ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk orang lain secara baik (to be a constituent in a “‘good life’ with and for others); memperluas ruang lingkup kebebasan; dan membangun institusi-institusi yang adil (just institutions).

Ketiga alat ukur etika politik ini dapat diimplementasikan melalui pembacaan terhadap perilaku politik seluruh warga negara, khususnya kaum elit. Kritik, kontrol, dan segala macam input untuk negara harus diletakkan dalam kerangka kebaikan bersama. Bukan dalam rangka mendapatkan “dunia runtuh”. Eksistensi kepemimpinan melalui konsensus lima tahunan harus didukung dan ditoleransi selama berada dalam koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan oleh legislatif harus mengacu pada kepentingan bersama (rakyat), bukan pada prestise lembaga apalagi vested interest.

Aspek kebersamaan ini berdiri sejajar dengan kebebasan. Kebersamaan mengandaikan adanya ruang kebebasan yang luas, sehingga pluralitas warga bangsa tetap terawat. Semua ini akan terjadi apabila ditopang oleh eksistensi institusi, termasuk lembaga hukum, yang adil. Dan inilah yang hendak ditempuh Presiden SBY dalam merespon fitnah yang dilontarkan Zaenal Maarif. Semua warga apapun jabatan dan sukunya memiliki kesempatan yang sama untuk mempertahankan martabat dirinya. Sejalan dengan itu, institusi hukum sebagai penentu atas beragam kasus yang menyesatkan atau menyandera kebebasan dipertaruhkan keadilannya.

Etika politik pada akhirnya ditentukan oleh sejauhmana masing-masing warga negara mengarahkan sikap dan perilakunya demi terciptanya kohesi sosial melalui cara-cara yang bermartabat. Dan cara tersebut hanya bisa ditempuh melalui komunikasi dan persuasi, bukan melalui manipulasi apalagi fitnah yang keji.*