Monday, August 20, 2007


Opini

Kemerdekaan Prosedural
Koran Tempo, Sabtu, 18 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

Dalam konteks politik, istilah "prosedural" sering dikaitkan dengan demokrasi yang mengacu pada capaian teknis berupa suksesi dan perebutan kursi semata. Sementara itu, rakyat (demos) hanya berperan sebatas penggembira yang dimobilisasi dalam sebuah kontestasi. Kalau merujuk pada konsep tersebut, kemerdekaan negara ini mengalami hal yang sama. Kemerdekaan yang kita capai masih bersifat prosedural, karena sebatas hengkangnya kaum kolonial dari Bumi Pertiwi dan tampilnya bumiputra sebagai penguasa. Layaknya demokrasi, kemerdekaan juga ditandai oleh pesta yang melibatkan warga dan diadakan secara berkala dengan beragam harapan tanpa kepastian.

Ketika Anthony Gidden mendorong perlunya demokratisasi atas demokrasi (democratizing democracy) yang cenderung semu, kemerdekaan memerlukan hal yang sama: memerdekakan kemerdekaan, yaitu upaya membebaskan kemerdekaan dari belenggu prosedural sehingga warga bisa menemukan jati dirinya sebagai warga bangsa, bukan sekadar warga negara.

Kalau merujuk pada konsepsi negara bangsa (nation-state), kemerdekaan masih berhenti pada level negara yang berdaulat. Struktur dan institusi negara didirikan untuk mempertahankan eksistensinya. Bahkan ia beroperasi dengan peran dan sumbangsih yang besar dalam percaturan relasi antarnegara. Sejak merdeka, Indonesia berperan aktif dalam percaturan internasional, seperti Gerakan Nonblok dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), termasuk keterlibatannya dalam pasukan perdamaian di Timur Tengah. Ini menjadi bukti bahwa secara struktural (kelembagaan), negara ini mampu berdiri sejajar dengan negara-negara lainnya.

Namun, bagaimana dengan bangsa (nation) yang dikandungnya? Semerbak eksistensi negeri ini belum mampu dinikmati oleh warganya. Paling tidak hal tersebut terekam dari persepsi hambar warga atas institusi (partai) politik, pelayanan publik yang masih jauh panggang dari api, dan relasi antarwarga yang belum mencerminkan penghargaan pada pluralitas.

Budaya mematuhi
Menurut John Stuart Mill, masyarakat liar yang merdeka baru akan mampu menciptakan kemajuan peradabannya ketika ia belajar untuk patuh. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan menjadi indikator tingkat keadaban sebuah bangsa. Sebagian dari kita mungkin merasa risi dengan term "patuh", karena ia identik dengan dominasi dan hegemoni. Padahal, dalam konteks negara bangsa, kepatuhan menjadi keharusan seluruh elemen masyarakat, dari elite sampai rakyat. Kontrak sosial yang menjadi basis bangunan sebuah negara mensyaratkan adanya kepatuhan agar roda negara bisa terus bergerak.

Para pendiri republik ini membangun landasan negara untuk dipatuhi demi kohesi, bukan hegemoni. Ia menjadi panduan perilaku yang mengikat negara dan warganya. Namun, sejarah republik ini menorehkan catatan yang kurang harmonis, bahkan dikotomis dan distingtif antara penguasa (negara) dan rakyat. Politik kekuasaan menampilkan dirinya secara paternalistik, serba mencakup, dan menjadi pusat segalanya. Negara mengendalikan seluruh sumber daya sehingga menciptakan ketergantungan rakyat pada negara. Akibatnya, warga selalu berharap belas kasih (keterlibatan) negara sekaligus mempersempit ruang kemandirian warga. Dalam kondisi demikian, negara semakin memiliki peluang mengendalikan rakyat. Padahal, dalam konteks civil society, warga menjadi pilar yang menentukan arah perjalanan negara, bukan sebaliknya. Ketergantungan dan distingsi antara warga dan negara tersebut merupakan bentuk lain keterbelengguan.

Pelembagaan konstitusi
Keberhasilan negara merekonstruksi dirinya melalui revisi konstitusi seharusnya diikuti pelembagaan (ketaatan) konstitusi itu sendiri. Namun, semua itu masih mimpi. Karena itu, pencapaian agenda pada era reformasi ini tak jauh berbeda dengan pencapaian awal kemerdekaan, yaitu pergulatan membangun konstitusi. Sementara itu, penguatan nilai-nilai konstitusi berjalan lambat dan cenderung involutif. Akibatnya, kegaduhan politik terus mengalir dari dulu sampai sekarang.

Kita bisa menyaksikan karut-marut relasi antarlembaga negara yang sering berujung pada kegaduhan politik yang tak produktif. Walaupun konstitusi sudah mengatur tata interaksi dan pola relasi antarinstitusi, tarik-menarik kepentingan elitis di antara lembaga-lembaga negara tak pernah mati. Percaloan di Dewan Perwakilan Rakyat, mafia peradilan, dan sepak terjang Mahkamah Agung dengan segala kontroversinya menjadi catatan lemahnya budaya mematuhi. Begitu juga DPR dan Dewan Perwakilan Daerah yang berebut kuasa, walau dalam konstitusi mereka memiliki posisi yang sama.

Belum lagi orientasi kekuasaan kaum politikus yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada warga. Semua ini akibat pengabaian terhadap konstitusi sebagai landasan dasar interaksi. Konsekuensinya, tatanan kenegaraan menjadi amburadul dan bergerak menurut tafsirnya masing-masing. Karena itu, diperlukan proses pelembagaan konstitusi dalam kesadaran diri anak bangsa.

Proses pelembagaan ini tidak sekadar melalui sosialisasi konstitusi hasil amendemen, seperti yang dilakukan Majelis Permusyawaratan RI saat ini, tapi melalui keteladanan sikap para elite dalam menjunjung tinggi sistem kenegaraan yang telah disepakati bersama. Walaupun secara konstitusi semua lembaga negara memiliki kedudukan yang sama, dalam sistem presidensial, eksistensi kepala negara (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi penting untuk menegakkan kembali kepatuhan seluruh komponen masyarakat terhadap aturan main yang ada. Dan fungsi ini akan maksimal apabila masing-masing lembaga negara bekerja sesuai dengan aturan dan berkhidmat untuk rakyat.

Tentu ini bukan agenda mudah, karena pada kenyataannya para pejabat negara masih banyak yang abai, bahkan belum mengetahui amendemen konstitusi, apalagi menjalankannya. Inilah ironi kemerdekaan di usianya yang ke-62, yang baru sebatas bongkar-pasang prosedur-prosedur oleh para elite tanpa bekas dalam sikap dan perilaku mereka. Inilah kemerdekaan prosedural yang dapat mengancam kohesivitas kebangsaan yang multikultural. Karena itu, melewati setengah abad usia kemerdekaan dan di tengah demokrasi yang merekah, orientasi penyadaran diri perlu dilakukan agar kemerdekaan bermakna bagi proses "menjadi bangsa".*

No comments: