Tuesday, February 17, 2009



Opini

Simplifikasi Demokrasi
Koran Tempo, Selasa, 17 Februari 2009

A. Bakir Ihsan


Transisi demokrasi sejatinya bergerak ke arah konsolidasi. Tapi fakta-fakta justru terjebak pada simplifikasi yang berbuah distorsi, bahkan anarki. Inilah yang kita saksikan atas peristiwa tewasnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat akibat brutalitas demonstran. Walaupun hasil visum dokter menunjukkan faktor meninggalnya adalah serangan jantung, aksi demonstrasi tetap menjadi bagian dari pemicunya. Namun, fakta tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk mengekang kebebasan sebagai salah satu landasan demokrasi. Yang bisa kita lihat dari realitas tersebut adalah terjadinya simplifikasi atas demokrasi. Demokrasi diperlakukan sebatas kepentingan. Dalam beragam bentuknya, gejala simplifikasi ini bisa dilihat dari deviasi prosesi demokrasi yang melibatkan elite politik dan publik.

Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa terganggu dengan pengeras suara demonstrasi yang membuat gaduh Istana. Sejak itu, polisi memperketat penggunaan pengeras suara para demonstran di depan Istana. Sepintas kenyataan tersebut memperlihatkan paradoksalitas di tengah euforia kebebasan. Demokrasi yang menyuguhkan ruang kebebasan menjadi gaduh dan menyebabkan orang lain terganggu. Dan, atas alasan ini, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 membenarkan pelarangan atas kegaduhan itu.

Pada level bawah, masyarakat digaduhkan oleh kontestasi yang semakin memanas menjelang hari H Pemilihan Umum 2009. Sebagian kontestan melakukan segala cara, termasuk pelanggaran mencuri start, untuk meraih simpati. Bahkan, dengan penerapan suara terbanyak, kegaduhan semakin intens seiring dengan persaingan di antara kontestan dalam satu partai sekalipun. Kenyataan ini bila dibiarkan dapat menyulut potensi anarkisme aksi (Kompas, 30 Desember 2008).

Kenyataan di atas merupakan rangkaian dari euforia demokrasi yang melibatkan kepentingan elite dan rakyat. Demokrasi memberi ruang yang sama untuk saling memahami dan menghargai aspirasi. Kegaduhan terjadi ketika salah satu komponen bersikap eksklusif dan mengabaikan aspirasi yang lain. Inilah yang menyebabkan demokrasi melahirkan efek domino yang tak jarang bertolak sisi dengan substansi demokrasi itu sendiri, seperti anarkisme dan barbarisme.
Demokrasi lahir dalam dua sisi sekaligus: kebebasan sekaligus ketaatan. Setiap orang punya peluang (kebebasan) yang sama untuk mengaktualisasikan aspirasinya. Kebebasan ini dimaksudkan sebagai medium kesederajatan warga negara.

Kesederajatan teraktualisasi ketika hukum ditaati. Dengan kata lain, demokrasi tanpa (ketaatan) hukum, akan menjadi lahan penyelewengan kebebasan. Itulah yang terjadi dalam aksi-aksi yang anarkistis. Atas nama kebebasan, kesetaraan menjadi mati. Ketika aturan main ditetapkan, maka ketaatan pada aturan main menjadi ujung napas demokrasi. Tanpa itu, maka demokrasi akan menjadi alat legitimasi (baca: simplifikasi) sekelompok orang (elite) untuk meraih keuntungan berdasarkan kepentingan masing-masing.

Demokrasi sebagai medium aktualisasi aspirasi mengharuskan adanya proses (evolusi) yang efektif. Sehingga aspirasi dapat dipahami dan diterima tanpa pemaksaan apalagi tindak kekerasan. Substansi sebuah aksi adalah ekspresi aspirasi agar diapresiasi. Apalagi dalam demokrasi perwakilan (indirect democracy), penyampaian aspirasi bertumpu pada bagaimana aspirasi diartikulasi, diapresiasi, dan diterima oleh lembaga perwakilan. Bukan pada bagaimana aspirasi didistribusikan (disalurkan) dan diekspresikan, karena saluran suara sudah dilembagakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat.

Itulah sebabnya, salah satu prasyarat penting dalam demokrasi adalah pelembagaan (institusionalisasi ) unsur-unsur demokrasi. Pelembagaan tersebut menyangkut penguatan peran dan fungsi masing-masing lembaga, sehingga semua mekanisme demokrasi dapat dijalankan secara maksimal dan substantif. Munculnya demonstrasi dengan segala cara, termasuk cara-cara anarkistis, merupakan efek dari tidak optimalnya fungsi pelembagaan suara rakyat. Proses penguatan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, misalnya, berhenti pada aspek simbolis dan prosedur semata. Akibatnya, kecenderungan distorsi peran dan ambiguitas fungsi kelembagaan menjadi menonjol.

Sejak reformasi, eksistensi dan peran yang dimainkan DPR bukan memperkuat fungsi kelembagaannya, melainkan lebih pada penguatan kepentingan partai (primordial) dan pribadi (individual) . Beberapa kasus korupsi yang menimpa anggota Dewan dan peningkatan tunjangan di tengah kinerja yang buruk merupakan bukti dari distorsi fungsi tersebut. Apalagi di tengah gurita peran DPR yang cenderung melampaui wewenang konstitusi yang bertumpu pada sistem presidensial.

Dalam kondisi demikian, sejatinya DPR bisa lebih mudah mengontrol kebijakan pemerintah bagi kepentingan rakyat. Namun, alih-alih memperjuangkan aspirasi rakyat, beberapa keputusan yang dikeluarkan anggota Dewan justru kental dengan kontradiksi, sehingga tidak jarang harus diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi. Pelembagaan fungsi aparatur negara secara ideal dapat mengurangi kegaduhan dalam demokrasi. Paling tidak "mempersempit" ruang apologi untuk melantangkan suaranya, apalagi bertindak anarkistis, yang dapat mengganggu kepentingan publik. Lebih dari itu, pelembagaan tersebut dapat meminimalisasi upaya simplifikasi persaingan elite yang mengorbankan rakyat.

Jalan tengah
Kegaduhan dalam demokrasi merupakan keniscayaan. Ini terjadi karena demokrasi hadir di bumi manusia bukan di kota Tuhan (city of God). Manusia dengan segala kepentingan dan aspirasinya bisa mengarah pada penguatan state of nature ala Hobbesian. Demokrasi hadir sebagai jalan tengah antara idealisme ketuhanan (nilai-nilai universal) dan pragmatisme keduniaan (nilai-nilai relatif). Karena itu, demokrasi hadir sebagai tata nilai sintesis agar kehidupan teratur tanpa menisbikan ragam kepentingan.

Itulah sebabnya, aturan dalam demokrasi mensyaratkan keteraturan. Mekanisme harus ditegakkan di antara ekstremitas kepentingan. Dan hal tersebut harus dilalui melalui proses yang berkelanjutan. Demokrasi bukanlah realitas yang given. Ada proses transisi untuk memperkuat arah menuju konsolidasi. Perjuangan untuk menyejajarkan martabat kemanusiaan yang sering terdistorsi oleh ambisi primordial sejatinya begitu kuat selama transisi. Di sinilah kearifan kita semua diperlukan untuk menyadari bahwa kita ada karena orang lain ada. Kita adalah manusia yang penuh kepentingan yang melalui demokrasi diajak untuk mengerti kepentingan "yang lain". Kalau tidak, transisi akan memperpanjang simplifikasi atas demokrasi dengan segala konsekuensinya, termasuk anarki.

Thursday, February 05, 2009



Opini

SBY & Isu “ABS”
Seputar Indonesia
, Rabu, 4 Februari 2009

A. Bakir Ihsan

Beberapa waktu lalu (29/1), Presiden SBY melontarkan dua isu terkait Pilpres 2009. Pertama, isu kampanye “ABS” alias asal bukan capres “S” yang dilakukan oleh petinggi TNI AD. Karena yang mengucapkan adalah SBY, maka “S” dimaksud tentu mengarah pada dirinya. Berbeda bila yang melontarkan isu tersebut Sutiyoso atau Sri Sultan Hamengku Buwono X yang juga berawalan “S” dan capres 2009. Isu tersebut tentu mengarah pada diri kedua capres tersebut.

Kedua, isu keterlibatan petinggi Polri menjadi tim sukses capres tertentu. Keterlibatan ini tentu bukan dalam tim sukses SBY. Di samping SBY sendiri belum membentuknya, juga naif bila SBY melemparkannya ke ranah publik sebelum jadwal kontestasi Pilpres dimulai.

Kedua isu yang dilontarkan SBY di depan peserta Rapim TNI dan Rakor Polri sejatinya dipahami berdasarkan kalkulasi strategis dan konstruktif. Bukan tafsir simplistis apalagi politis terkait eksistensi TNI dan Polri menghadapi kontestasi 2009 ini.

Kepentingan incumbent
Sebagai sebuah isu, kebenaran kedua isu di atas menjadi nisbi. Apalagi SBY sendiri tidak yakin dengan isu tersebut. Karena itu, pertanyaan terpenting kemudian adalah mengapa SBY melemparkan dua isu itu?

Pertanyaan ini penting karena pertama, sebagai incumbent, SBY sebenarnya memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan capres lain untuk menggunakan TNI dan Polri bagi pemenangan Pilpres 2009. Hal ini sebagaimana terjadi pada pemilu 2004 lalu yang secara kasat mata sebagian oknum TNI dan Polri mendukung incumbent Megawati Soekarnoputri. Karena itu pula, tidak sepenuhnya benar kalau isu yang dilontarkan SBY sebagai bentuk kekhawatiran atas capres lainnya yang berasal dari militer, yaitu Wiranto, Prabowo, dan Sutiyoso.

Kedua, semua capres, baik incumbent maupun bukan, punya peluang untuk mencari dukungan dari TNI dan Polri. Sebagaimana Pilpres 2004 lalu, capres selain incumbent, menggunakan dukungan logistik (transportasi) TNI dalam proses pencoblosan. Kalau mau, SBY yang notabene incumbent dan masih bagian dari keluarga besar TNI bisa menggunakannya tanpa harus mendedah isu “ABS” ke ranah publik.

Berdasarkan dua argumentasi tersebut, terlalu simplistis bila pelontaran isu “ABS” oleh SBY dianggap sebagai bentuk kepanikan, upaya politisasi, apalagi modus terzalimi. Sebagai incumbent SBY punya tanggungjawab yang lebih berat untuk tidak menjebak TNI dan Polri dalam jejaring politik praktis. Apalagi SBY termasuk di antara penggagas awal reformasi TNI.

Netralitas
Secara semantik, term ABS atau “asal bukan” merupakan kontrademokrasi. Ia mengandung penegasian sekaligus penafian kesempatan untuk berkompetisi dan berkontestasi. Dalam konteks demokrasi, isu ABS merupakan paradoks dan karenanya harus dicairkan melalui penguatan lembaga-lembaga negara, termasuk memperkuat netralitas dan profesionalitas dua lembaga strategis, yaitu TNI dan Polri. Inilah agenda klasik TNI dan Polri di alam demokrasi.

Seperti mencerabut pohon yang sudah berurat akar dalam tanah politik, menetralkan TNI dan Polri dari tanah politik tak semudah yang diidealkan. Dan ini merupakan fenomena umum dalam proses transisi. Godaan politik bagi institusi pertahanan dan keamanan tak sepenuhnya lekang. Namun dari beberapa transformasi struktural yang berlangsung di tubuh TNI dan Polri, terlihat adanya langkah-langkah ke arah profesionalitas tersebut. Tinggal apakah kecenderungan struktural tersebut bergayung sambut dengan dukungan sipil.

Cepat lambatnya proses pencerabutan akar politik TNI dan Polri tak lepas dari, meminjam Samuel P Huntington, kontrol sipil obyektif. Kontrol sipil ini tidak hanya terkait dengan kehendak kolektif masyarakat untuk mendukung dan mengawal profesionalitas tentara, tapi juga semakin lemahnya afiliasi pascakedinasan tentara dengan lembaga tentara itu sendiri. Sebagaimana diketahui, relasi pascakedinasan cenderung terawat karena kuatnya patronase senioritas. Inilah yang memicu kuatnya seniority complex di tubuh tentara pascakedinasan, tak terkecuali dalam kontestasi antar kandidat berlatarbelakang tentara.

Dalam konteks itu, pemunculan isu “ABS” oleh SBY yang notabene pascakedinasan bisa ditafsirkan sebagai upaya penguatan kontrol sipil obyektif tersebut. Secara personal, ikatan emosional SBY dengan TNI apalagi dengan posisinya sebagai panglima tertinggi saat ini, sangat kuat, sehingga lebih mudah untuk menempatkan TNI sesuai kepentingannya. Namun secara struktural, dan dalam sistem presidensial, justru SBY punya tanggungjawab konstitusional mempertaruhkan profesionalitas TNI yang sejak awal digagasnya sehingga tidak tercemar oleh politisasi segelintir perwira tinggi.

Namun demikian, agenda tersebut tak bisa diserahkan sepenuhnya pada Presiden. Kehendak internal (struktural dan kultural) tentara dan polisi sejatinya berjalin kelindan dengan arah politik partai dengan perwakilannya di legislatif. Lebih-lebih di tengah kecenderungan hegemoni legislatif atas eksekutif. Inilah pertaruhan partai politik menjelang pemilu saat ini. Apakah dengan segala kekuatannya, parpol mampu menahan nafsunya dan membiarkan TNI dan Polri bergulat dengan netralitas dan profesionalitasnya. Atau justru berusaha dengan segala cara menjebaknya demi kepentingan pragmatis partainya.

Kehendak kolektif
Demi demokrasi, merawat netralitas dan profesionalitas TNI-Polri adalah kemestian. Kepentingan politik menjelang kontestasi menjadi pertaruhan sekaligus godaan. Politisi, tentara, dan polisi bukan malaikat. Mereka zon politicon yang punya hasrat dan naluri politik yang akan muncul bila ada peluang.

Di sinilah kehendak kolektif menjadi penentu. Kehendak untuk konsisten pada fungsi masing-masing sebagai bentuk pengawalan atas agenda reformasi baik di ranah sipil maupul tentara. Kehendak kolektif untuk terus mendorong dan merawat profesionalitas TNI dan Polri akan memberi ruang obyektif yang kuat bagi ranah “bermain” para pemegang sah senjata itu.

Dalam konteks itulah, isu ABS sejatinya dipahami. Bukan mengeruhkannya melalui penafsiran-penafsiran politis dan simplistis yang justru bisa mengambangkan dan mengotori altar reformasi TNI dan Polri. Semoga.*