Friday, November 30, 2012

KTT ASEAN




Opini

Menuju “Satu Rasa” ASEAN
SUARA PEMBARUAN, Senin, 19 November 2012

A. Bakir Ihsan

Tema besar KTT ASEAN ke-21 yang berlangsung di Phnom Penh, Kamboja (15-20/11/12); one community, one destiny. Motto ini melengkapi motto ASEAN sendiri; one vision, one identity, one community. Motto ini tak sekadar rangkaian kata. Ia seperti api yang terus menggelorakan semangat untuk bersama. Hal ini terlihat dari perkembangan KTT ASEAN yang, dari waktu ke waktu, mengarah pada upaya memastikan satu tujuan itu terwujud. Pada KTT ASEAN ke-21 ini, misalnya,  diluncurkan Asean Institute for Peace and Reconciliation (AIPR) dan penandatanganan Phnom Penh Statement tentang HAM. Kedua agenda tersebut merupakan upaya memperkuat hak-hak dasar kemanusiaan, seperti kebebasan, dengan tetap berada dalam koridor perdamaian.
Kedua aspek, kebebasan dan perdamaian, tersebut menjadi sangat penting karena dua alasan. Pertama, arus demokratisasi yang berbasis pada kebebasan sebagai hak dasar kemanusiaan terus menggedor setiap tembok otoritarianisme. Demokrasi dengan beragam efek sampingnya tetap menjadi pilihan mutakhir dalam kehidupan bernegara. Apa yang disebut dengan musim semi Arab (The Arab spring) dengan segala kegaduhan bahkan kekerasannya tak menyurutkan langkah negara-negara Arab untuk menerima demokrasi. Demokrasi dengan kebebasannya seperti dua sisi mata uang yang tak bisa ditolak.
Kedua, kecenderungan menguatnya kekerasan di beberapa belahan dunia karena tarik menarik kepentingan baik dalam konteks ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Konflik dan tindak kekerasan menguat ketika masing-masing kelompok atas nama kebebasan bersikap eksklusif dan mau menang sendiri.  Konflik di Myanmar, kekerasan di Irak, Suriah, dan di Gaza memperlihat egosentrisme di tengah kebebasan yang dirasakannya. Dalam ketimpangan struktur baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya, kelompok minoritas selalu menjadi korban.
Dalam konteks itulah, upaya yang dibangun ASEAN untuk menyamakan rasa sebagai satu komunitas menjadi sangat penting. Beberapa kali kasus konflik yang terjadi di kawasan ASEAN bisa diredam melalui kerja sama bilateral maupun multilateral sehingga potensi konflik di kawasan ASEAN tidak meledak sebesar yang terjadi di wilayah lainnya, seperti di Timur Tengah.
Sinergitas dan Ekualitas
Rancang bangun perdamaian di kawasan ASEAN bukan hal baru. Dalam beberapa peristiwa, Indonesia menjadi jalan tengah di antara konflik yang terjadi. Pada 1988, misalnya, Indonesia berperan dalam penyelesaian perang saudara di Kamboja melalui Jakarta Informal Meeting I dan II (1989). Bahkan kalau dirunut secara budaya, masing-masing negara ASEAN memiliki kemiripan bahkan keterkaitan historis yang terlihat dari simbol-simbol sejarah. Kesamaan budaya ini sejatinya menjadi simbol kearifan lokal (local wisdom) yang semakin memperkuat kebersamaan dan mempersatukan ASEAN sebagai sebuah kawasan yang menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan dalam kultur perdamaian.
Orientasi ASEAN untuk memperkuat kawasan dari beragam kepentingan luar menjadi sangat penting di tengah hantaman globalisasi yang pada satu sisi mendobrak sekat-sekat politik kenegaraan, namun di sisi lain, di dalamnya terkandung kepentingan kelompok-kelompok dominan yang menentukan hitam putihnya politik global. 
Melalui penguatan politik regional, aspek kepentingan bisa lebih dikanalisasi dan diimplementasikan dalam konteks yang lebih terarah. Landasan pijak ASEAN harus direvitalisasi menghadapi globalisasi yang tak mungkin dieliminasi. Globalisasi tetap menjadi ranah penting ketika didasari oleh kesetaraan (equality) untuk memastikan kebersamaan pada tingkat global. Namun faktanya, pada ranah global, kekuatan negara-negara tertentu masih sangat dominan dalam menentukan kebijakan internasional, sehingga dalam beberapa kasus belum bisa bertindak secara efektif. Inilah yang belakangan menjadi titik kritik Presiden SBY dalam berbagai forum internasional, termasuk dalam sidang umum PBB beberapa waktu lalu (28/9/12) dan diulang kembali pada acara Bali Democracy Forum (8/11/12). Menurut Presiden SBY, perkembangan secara ekonomi, politik, maupun kemajuan teknologi yang terjadi di berbagai belahan dunia menuntut adanya reformasi dan pola pandang equal dalam tubuh PBB, sehingga berbagai persoalan konflik dan kekerasan yang terjadi bisa diatasi secara lebih cepat dan maksimal. Bagi Presiden SBY berlarut-larutnya konflik dan kekerasan seperti yang terjadi di Suriah merupakan konsekuensi dari mandeknya mekanisme dalam PBB yang seharusnya bisa mengambil tindakan cepat untuk mengatasinya sebelum jatuh korban manusia yang tak berdosa.
Dalam konteks ASEAN, pola pandang dan pendekatan tersebut tampaknya ingin ditekankan Presiden SBY dengan membuka seluas mungkin dialog dan kerja sama dalam berbagai bentuknya. Langkah ini perlu diambil terlebih  untuk meminimalisasi kebuntuan kepentingan di antara anggota ASEAN yang tidak jarang berakhir konflik.

Memperluas dan Memperkuat
Sulit dimungkiri, ada beberapa agenda yang harus diselesaikan oleh ASEAN, khususnya terkait potensi konflik yang terjadi di beberapa negara. Potensi konflik di Thailand Selatan (Pattani), Filipina (Moro), Myanmar (Rohingnya), dan beberapa kelompok minoritas lainnya merupakan agenda yang mendesak dicarikan solusinya. Namun demikian,  beberapa kemajuan yang dicapai negara-negara di kawasan Asia Tenggara menjadikan ASEAN sebagai magnitud baru yang semakin memiliki posisi tawar di mata dunia. Terlebih sebagai pasar yang menjanjikan bagi keuntungan ekonomi baik bagi ASEAN maupun negara di luarnya.
Sikap ASEAN yang terbuka terhadap beragam kerja sama bisa mempercepat transformasi di lingkungan negara-negara anggotanya. Dalam hal politik misalnya, Myanmar yang selama ini menjadi sorotan karena sistem otoritarianismenya mulai membuka diri melalui mekanisme demokrasi. Begitu juga potensi konflik lainnya, bisa diselesaikan seefektif mungkin melalui kerja sama terbuka. Semua proses pencapaian positif tersebut harus terus dikawal bersama melalui soliditas ASEAN.
Dengan demikian, agenda yang mendesak bagi ASEAN, selain memastikan terwujudnya kebersamaan dan kesamaan takdir adalah mempeluas kerja sama dengan negara lain. Langkah ini merupakan bagian dari upaya memperkuat tiga pilar ASEAN, yaitu politik-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya dengan tetap menjaga kedaultan ASEAN. Kekuatan ASEAN akan terlihat ketika mampu melakukan bargaining dengan kekuatan global. Lebih dari itu semua, ASEAN sebagai a people-centered and people-oriented community harus betul-betul dirasakan manfaatnya oleh semua lapisan sebagai sebuah komunitas bersama. Inilah yang oleh Presiden SBY sebut sebagai mutually-beneficial relations, ikatan yang menguntungkan dan mensejahterakan semua. Semoga.*

Tuesday, November 27, 2012

KTT D-8




Opini

Revitalisasi Peran D-8
REPUBLIKA, Sabtu, 24 November 2012

A Bakir Ihsan

KTT ke-8 Developing-Eight (D-8) yang berlangsung di Islamabad, Pakistan, 19-22 November 2012 memiliki makna strategis. Dengan tema; Democrratic Partnership for Peace and Prosperity, D-8 summit menjadi sangat penting karena tiga alasan. Pertama, dunia sedang berada dalam ancaman krisis ekonomi global. Secara teoretis yang paling merasakan dampak krisis adalah negara-negara berkembang karena basis ekonominya yang lemah dibandingkan negara-negara maju. Walaupun faktanya, beberapa negara yang tergabung dalam D-8 memiliki basis pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan, seperti Indonesia, namun ia tetap berada dalam ancaman sebagai efek dari ekonomi pasar yang melampaui sekat negara dan organisasi.
Kedua, beberapa negara yang berpenduduk muslim sedang mengalami konflik, kekerasan, dan ancaman perpecahan, seperti yang terjadi di Suriah, Palestina, Irak, dan beberapa negara lainnya, pun diskriminasi yang dialami komunitas muslim minoritas di beberapa kawasan. Walaupun di antara negara tersebut bukan anggota D-8, namun sedikit banyak akan menyita perhatian apabila konflik tersebut terus berkembang dengan segala eksesnya. Hal ini seperti dalam konflik Suriah yang berdampak pada Turki, bahkan dalam beberapa kasus memicu ketegangan. Begitu juga Palestina-Israel yang memaksa Mesir, bahkan negara lainnya, termasuk Indonesia, untuk ikut berbagi perhatian pada penyelesaian konflik atau penciptaan perdamaian. Langkah ini bukan semata sebagai solidaritas kenegaraan, namun juga ekses kekerasan yang dikhawatirkan semakin memperburuk kondisi stabilitas global.
Ketiga,  demokrasi sebagai arus utama sistem kenegaraan saat ini menjadi satu-satunya pilihan dengan segala eksesnya dan model penerapannya. Dari delapan negara anggota D-8 menerjemahkan dan menerapkan demokrasi dengan warna-warni dan eksesnya yang berbeda. Secara substantif, demokrasi yang berlangsung di negara-negara D-8 masih tergolong baru (transisi) dan sedang berjuang menuju konsolidasi.

Penguatan Internal
Keberadaan D-8 secara tidak langsung mengafirmasi peran ekonomi sebagai kunci kemajuan sekaligus menaikkan posisi tawar dalam percaturan global. Sebagaimana tersurat dalam tujuan awal D-8 adalah untuk meningkatkan posisi negara-negara anggotanya menghadapi kekuatan ekonomi global (improve member state’s position in the global economy). Yang lebih penting lagi, kedelapan negara ini mayoritas penduduknya adalah muslim yang secara global selalu berada di bawah bayang-bayang ekonomi maintream.
Salah satu langkah untuk menaikkan daya tawar tersebut adalah dengan memperkuat ekonomi masing-masing negara anggota melalui penciptaan peluang baru dalam hubungan perdagangan, meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat internasional, dan meningkatkan standar hidup (create new opportunities in trade relations, enhance participation in decision-making at international level, and improve standards of living).
 Inilah semangat “cooperation in development” yang pada KTT kali ini dipilah dalam lima isu besar, yaitu  perdagangan, pertanian dan ketahanan pangan, kerja sama industri dan UKM, transportasi, serta energi dan mineral. Dari lima isu besar tersebut terlihat jelas urgensi penguatan ekonomi bagi anggota D-8.
Untuk memastikan terwujudnya kelima agenda tersebut diperlukan perjuangan keras. Beberapa kendala internal yang dihadapi oleh negara yang ekonominya mengalami pertumbuhan sekalipun adalah pertama, masalah pemerataan. Pertumbuhan ekonomi tidak serta merta dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Tidak jarang pertumbuhan memperlebar jurang kesenjangan yang pada titik tertentu bisa memunculkan instabilitas politik.
Kedua, masih kuatnya korupsi. Dari delapan negara anggota D-8, tingkat korupsinya masih cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan Transparency International 2011 menunjukkan nilai rendah bagi delapan negara anggota D-8. Misalnya Malaysia (4,3), Turki (4,2), Indonesia (3,0), Mesir (2,9), Bangladesh dan Iran (2,7), Nigeria dan Pakistan (2,5).
Kedua kendala tersebut bisa sangat mengancam terhadap upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi, apabila tidak diselesaikan secara efektif. Terlebih apabila kesenjangan sosial ditingkahi oleh tindak korupsi birokrasi dan politisi, ia tidak hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi, tapi bisa mengganggu stabilitas politik negara.

Sinergi Potensi
Walaupun lima agenda dalam KTT D-8 kali ini lebih ditekankan pada aspek ekonomi, namun dalam pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dengan aspek lainnya, termasuk politik. Dua kendala di atas sebenarnya bisa diatasi dengan memperkuat potensi atau memperluas peluang yang dimiliki oleh masing-masing negara anggota D-8.
Paling tidak ada 2 potensi atau kekuatan yang bisa dikembangkan untuk menutup kelemahan atau kendala di atas. Pertama, secara politik dari 8 negara yang tergabung dalam D-8 relatif stabil. Persoalan politik yang dihadapi beberapa negara anggota D-8 lebih terkait persoalan eksternal, seperti Iran yang mengundang pro-kontra di mata negara-negara barat karena proyek nuklirnya.
Kedua, ekonomi masing-masing negara relatif cukup baik. Bahkan Indonesia termasuk 16 besar negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Bersama Turki, Indonesia menjadi anggota G-20, sebuah perkumpulan 20 negara dengan tingkat perekonomiannya terbesar di dunia.
Dengan dua modal tersebut, D-8 bisa memaksimalkan perannya secara internal dengan memperkuat potensi yang dimilikinya. Kedua modal, ekonomi dan politik, tersebut sangat kondusif untuk memastikan terwujudnya tujuan besar dari KTT kali ini, yaitu peace (damai) dan prosperity (sejahtera).
Namun sekali lagi, pertumbuhan tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan. Karena itu, diperlukan reorientasi dan revitalisasi agar pertumbuhan tidak dihitung sebatas naiknya angka statistik, tapi sejauhmana tingkat ketersebaran angka tersebut.  Untuk memastikan tingkat ketersebaran pertumbuhan diperlukan political will melalui kebijakan yang berpihak pada seluruh elemen masyarakat.
Di sini terlihat perlunya sinergitas sekaligus sentralitas baik pada tataran visi, aksi, maupun institusi pelaksananya. Aspek sinergitas dan sentralitas inilah yang ditekankan Presiden SBY dalam beberapa kesempatan, termasuk dalam KTT ASEAN dan KTT D-8 ini, sebagai modal dasar terciptanya soliditas dan kohesivitas menghadapi tantangan yang lebih besar. Dengan sinergitas, soliditas, dan kohesivitas itulah, D-8 bisa mempertaruhkan perannya menghadapi tantangan global, terlebih untuk mewujudkan kemajuan bersama sebagaimana menjadi cita awal berdirinya.*

Saturday, November 10, 2012

Bali Democracy Forum



Opini

BDF dan Ajal Perdamaian di Era Warm Peace
SUARA PEMBARUAN, Kamis, 8 November 2012

A Bakir Ihsan

Perhelatan Bali Democracy Forum (BDF) 8-9 November 2012 kali ini menjadi catatan menarik di tengah arus demokrasi yang tak terbendung di satu sisi, dan kecenderungan konflik dalam beragam bentuknya yang bergulir berbarengan di sisi yang lain. Baik demokrasi yang sedang bertiup di Timur Tengah maupun demokrasi yang sedang kita jalankan, selalu menyisakan konflik di dalamnya. Bahkan pada titik tertentu konflik mengarah pada instabilitas politik yang menghambat arah konsolidasi demokrasi. Karena itu, menjadi sangat relevan bila salah satu tema diskusi dalam BDF kali ini menyinggung masalah keamanan dan perdamaian dalam demokrasi. Masalah perdamaian dalam demokrasi menjadi agenda penting di tengah superioritas dan ketimpangan relasi baik pada ranah negara maupun dunia.
Dalam Sidang ke-67 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 25/9 lalu, Presiden SBY menekankan pentingnya perdamaian dan penataan konflik global. “How we can find better ways to peacefully resolve or manage conlicts around the the world.” Kemajuan berbagai bidang kehidupan saat ini, menurut SBY, tidak berbanding lurus dengan perdamaian. Antagonisme dan kekerasan masih terjadi. Bahkan, menurut Presiden, dalam beberapa hal, watak perang dingin masih mewarnai perdebatan-perdebatan dalam forum internasional, termasuk di dalam tubuh PBB sendiri. “the remnants of Cold War mentality still persist in parts of the geopolitical landscape, not least our own United Nations.”
Kalau ditarik pada konteks demokrasi, pernyataan Presiden SBY tersebut memotret adanya paradoksalitas antara semangat berdemokrasi (kebebasan) di satu sisi dan kecenderungan diskriminasi di sisi lain.  Dunia masih terancam oleh beragam konflik kawasan di tengah era yang, Presiden SBY sebut sebagai, “warm peace.” Yaitu sebuah era yang belum sepenuhnya bisa memastikan perdamaian pasca berakhirnya perang dingin (cold war). Kekerasan antar negara, intern negara, maupun pada ranah sosial terjadi dalam beragam bentuknya baik secara kultural maupun struktural.

Kesenjangan Persepsi
Kekerasan tentu bukan cacat bawaan demokrasi. Dalam sistem apapun konflik selalu ada, bahkan pada titik tertentu mengancam terhadap integrasi politik sebuah negara, terlebih di era warm peace  saat ini. Kita bisa menyaksikan beberapa konflik dan kekerasan dengan beragam faktornya. Intervensi satu negara kepada negara lainnya, seperti di Afghanistan dan Irak, “perang” antara pemerintah dan rakyat, seperti di Suriah, penindasan oleh negara terhadap rakyatnya seperti di Myanmar, konflik Israel-Palestina, ketegangan di Semenanjung Korea, konflik laut China Selatan, dan ketegangan Suriah-Turki adalah potensi yang bisa membalikkan langkah perdamaian menuju kekerasan global. Belum lagi, kekerasan antar masyarakat (horisontal) akibat beragam kesenjangan baik dalam aspek ekonomi, politik, maupun budaya.
Komitmen Presiden SBY dalam hal perdamaian merupakan komitmen ideal yang berhadapan dengan kesenjangan persepsi tentang perdamaian. Kehendak dan mimpi mulia tentang perdamaian berjarak dengan perdamaian itu sendiri. Atau meminjam istilah Kishore Mahbubani (2008) dengan mengutip Pratap Bhanu Mehta, sebagai open society with closed minds. Masyarakat secara budaya, ekonomi, politik, terbuka seiring arus globalisasi, namun pemikiran mereka masih bertahan dengan egosentrisme dan paternalismenya.
Akibatnya, keterbukaan masyarakat yang tidak dibarengi keterbukaan pemikiran dan sikap, menyebabkan suburnya konflik dan kekerasan. Melalui akses internet (teknologi informasi) orang bisa menonton film, membaca dokumen, menafsirkan kenyataan atau pernyataan yang justru membangkitkan kemarahan dan aksi anarkis karena sentimen agama, kelompok, maupun golongan. Melalui media sosial, orang menjadi pemarah karena penafsiran eksklusif terhadap fakta yang didapatnya.
Peran media yang membuat manusia terbuka (inklusif) dalam informasi adalah tahapan untuk menciptakan manusia dalam satu rasa untuk berdamai. Namun kemampuan masyarakat dalam membaca, menelaah, dan memahami teks dan informasi yang masih tertutup (eksklusif) menjadi kendala tersendiri yang bisa membalikkan arah perdamaian. Inilah warm peace sebagai tahapan pasca cold war (perang dingin) yang seharusnya bisa memperkuat perdamaian, tapi bisa juga berbalik mempercepat ajal perdamaian.

Persekutuan damai
Problem pembacaan masyarakat, termasuk pemerintah bahkan negara, dalam upaya menciptakan perdamaian merupakan agenda yang mendesak diselesaikan. Terjadinya kekerasan pada level sosial menunjukkan adanya problem kultural dan struktural. Egosentrisme dan paternalisme menjadi basis potensi konflik. Begitu juga pada level negara. Kekerasan yang melibatkan negara mengindikasikan kegagalan negara menerjemahkan dirinya sebagai jalan damai di antara keragaman sosial. Demokrasi sejatinya bisa mengurai silang sengkarut konflik melalui kebebasan untuk memperat simpul titik temu.
Tantangan inilah yang dihadapi oleh berbagai negara dalam mendorong perdamaian, terlebih di era warm peace ini. Karena itu, diperlukan beberapa pijakan kuat dalam mendorong perdamaian global dengan tetap mendorong proses konsolidasi demokrasi. Pertama, pada level global, yang terepresentasi pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perlu penguatan serius untuk menciptakan kesetaraan (equality). Paling tidak, kesetaraan relasi antar negara harus tercipta dalam bentuknya yang paling sederhana, seperti dalam dialog dan perdebatan yang saling menghargai. Seperti disampaikan Presiden SBY di depan sidang umum PBB, suasana superioritas negara-negara tertentu masih mewarnai dalam sidang-sidang PBB, karenanya harus segera diakhiri. Dengan equalitas, masing-masing negara punya hak yang sama untuk bersama-sama menciptakan perdamaian.
Kedua, pada level negara, seiring demokratisasi dan otonomi daerah, maka masing-masing lembaga harus memaksimalkan fungsinya untuk meminimalisasi antagonisme kelembagaan yang memancing kekerasan dalam masyarakat. Lembaga-lembaga negara, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, harus bersinergi dalam rangka “mendamaikan” beragam kepentingan di tengah kemajemukan masyarakat. Begitu juga pada level global. United Nations, sebagai persekutuan untuk bersama mencegah perang dan kekerasan baik yang bersifat terbuka maupun tersembunyi harus bekerja maksimal untuk perdamaian dunia sebagai jalan meretas ketegangan antar negara.
Ketiga, persekutuan baik pada level global (PBB) maupun nasional (negara) bukan jaminan perdamaian. Fakta kekerasan dalam beragam tingkatan dan bentuknya memperkuat rentannya persekutuan. Karena itu, dialog yang selama ini dilakukan baik pada level internasional, nasional, maupun lokal untuk menjembatani beragam kepentingan sekaligus meminimalisasi konflik harus diikuti kerjasama seluruh stakeholder dalam satu benang merah pada semua tingkatan.
Keempat, di era keterbukaan ini, perlu penyamaan persepsi dan pemahaman secara terbuka tentang konflik dan perdamaian.  Dialog mensyaratkan kesetaraan dan keterbukaan. Karena itu, melalui dialog yang intens, masing-masing orang atau lembaga bisa duduk bersama, memahami batas-batas “sensitivitas” sebagai bagian dari fatsun dalam kehidupan sosial, termasuk dalam hal keagamaan. Dengan demikian, orang atau masyarakat tidak mudah tersinggung, terhasut, dan terprovokasi di tengah arus demokrasi yang membuka luas ruang ekspresi dan di tengah arus informasi yang memberi peluang semua orang menyerap beragam informasi dengan segala kepentingannya. Di sinilah BDF dapat memberi sumbangsih bagi penurunan tensi warm peace menuju perdamaian sejati. Semoga.*