Tuesday, June 21, 2011

Problem Ekonomi Politik TKI


Opini

Problem Ekonomi Politik TKI

Investor Daily, Selasa, 21 Juni 2011

A. Bakir Ihsan

We have therefore taken institutional, administrative and legal steps, to protect and empower our migrant workers.” Demikian penggalan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan Konferensi Organisasi Buruh Internasional (ILO), di Geneva, Swiss, 14 Juni lalu.

Pidato tersebut menawarkan optimisme terhadap nasib para pekerja, termasuk para pekerja migran. Namun, belum sepekan pidato itu dilansir, Ruyati binti Satubi, penata laksana rumah tangga meregang nyawa akibat dihukum pancung di Arab Saudi. Menurut data Migrant Care, masih terdapat 23 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati di negeri monarki itu.

Sementara itu, menurut data Kemenlu, sejak 1999 sampai saat ini, terdapat 303 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri. Sebuah angka yang sangat menggetirkan karena menyangkut nyawa anak bangsa yang berjuang membiayai hidupnya di luar negeri.

Kalau begitu, apa yang salah dengan negeri ini? Pertanyaan ini sangat penting karena dua hal. Pertama, secara politik, sudah kesekian kalinya Presiden SBY memberi perhatian terhadap nasib TKI. Bahkan tidak lama setelah terpilih menjadi presiden pada 2004, SBY memberikan perhatian khusus dan berdialog langsung dengan TKI. Waktu itu, SBY menyebut TKI sebagai pahlawan karena mampu meretas problem pengangguran yang masih cukup tinggi di Tanah Air. Namun, sepanjang itu pula, persoalan TKI tamapk belum beranjak jauh.

Kedua, secara ekonomi, keberadaan TKI memberikan sumbangsih yang cukup signifikan terhadap perekonomian dalam negeri. Perjuangan hidup para TKI di luar negeri menghasilkan devisa yang tidak kecil. Menurut data Bank Indonesia (BI), hingga akhir September 2010, kiriman uang dari TKI mencapai US$ 5,03 miliar dan terbesar kedua berasal dari TKI di Arab Saudi. Ini merupakan sumbangsih dari keringat TKI untuk negara. Sebagian TKI berhasil mengangkat perekonomian keluarganya, tapi sebagian lainnya sekadar untuk membiayai hidup subsisten.

Problem Struktural

Kalau dilihat secara struktural, rekonstruksi terhadap beragam kendala bagi dunia tenaga kerja tak sedikit yang sudah dilakukan. Revisi undang-undang, perbaikan sistem, rekonstruksi kelembagaan terkait TKI, bahkan memorandum of understanding (MoU) antara negara sudah ditandatangani. Namun, rekonstruksi pada tataran struktural itu tak berdampak maksimal terhadap nasib tenaga kerja. Paling tidak perubahan pada tataran struktural tersebut tak dirasakan langsung oleh para tenaga kerja itu sendiri. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

Pertama, rekonsktruksi dilakukan hanya didasarkan pada “kesepakatan” sepihak antara eksekutif dan legislative tanpa melibatkan secara maksimal tenaga kerja sebagai stakeholder. Terbukti berbagai proses rekonstruksi pada tataran sistem tersebut ternyata belum mampu memberi jawaban yang memuaskan terhadap persoalan ketenagakerjaan.

Kedua, masalah tenaga kerja rupanya bukanlah masalah “seksi”, sehingga tidak menarik perhatian secara politik bagi para anggota DPR. Anggota dewan rupanya lebih banyak bergulat dengan persoalan “proyek basah,” seperti masalah anggaran. DPR sebagai penyambung lidah sekaligus kontrol rakyat terhadap Negara tak menunjukkan kegigihannya memperjuangkan suara konstituennya di luar negeri, kecuali hanya bersikap reaktif dengan berjemaah mengutuk tanpa upaya konkret. Padahal, pertahanan terakhir yang sah bagi perjuangan nasib tenaga kerja pada level nasional adalah para wakil rakyat di DPR.

Di sisi lain, perlakuan semena-mena terhadap TKI oleh negara lain menunjukkan lemahnya posisi tawar sekaligus kedaulatan negara. Keberadaan lembaga terkait, seperti kementerian luar negeri, kementerian tenaga kerja dan transmigrasi, serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), seolah tak punya apa-apa untuk TKI. Padahal, mereka sejatinya menjadi garda terdepan untuk menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan sebagaimana sering digembar- gemborkan oleh Presiden SBY.

Potret Retak

Persoalan TKI bukan sekadar menunjukkan problem diplomasi, tapi juga menyangkut potret ekonomi-politik yang selama ini sering dibanggakan karena klaim keberhasilan. Dalam hal politik, misalnya, negara Indonesia selama ini dianggap sebagai Negara muslim terbesar yang berhasil menerapkan demokrasi.

Sementara dalam hal ekonomi, Indonesia termasuk negara yang mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Bahkan Bank Dunia memprediksi Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya selama dua tahun ke depan, yaitu dari 6,1% pada 2010 menjadi 6,4% pada 2011 dan meningkat lagi menjadi 6,7% pada 2012.

Namun, potret keberhasilan dalam ekonomi dan politik tersebut ternyata tak berbanding lurus apabila dikaitkan dengan nasib TKI. Keberadaan TKI menunjukkan adanya problem ekonomi yang melanda sebagian masyarakat, sehingga mereka pun mencoba mencari nafkah sampai ke luar negeri.

Namun demikian, “mengais” rejeki di negeri orang tak berarti kita harus menggadaikan kedaulatan dan martabat bangsa demi meraup keuntungan ekonomi. Karena kalau ini terjadi, berarti kita melanggengkan sejarah pengiriman tenaga kerja yang dilakukan oleh kolonial pada abad ke-19. Saat itu, pengiriman TKI dilakukan oleh Belanda untuk menjadi kuli kontrak di Suriname, New Calidonia, Siam, dan Sarawak. Pengiriman tenaga kerja ini sebagai bagian dari eksploitasi untuk kepentingan ekonomi penjajah.

Sekarang, tak boleh ada lagi Negara atau pemerintah mana pun yang memperlakukan warganya atau warga negara lain seperti ketika zaman kolonial. Karena itulah, sebagai bangsa berdaulat, pemerintah/negara harus menjaga dan meningkatkan martabat warga negaranya di mata dunia.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan kehidupan demokrasi yang bertumbuh subur, pemerintah kita sejatinya sudah punya modal kuat untuk memartabatkan warga negara di mata dunia. Apalah arti pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pembangunan demokrasi yang berhasil bila negara tak mampu mendaulatkan anak bangsa.

http://www.investor.co.id/opini/problem-ekonomi-politik-tki/14509