Tuesday, April 29, 2008

Opini

Kemenangan Semu Parpol
Seputar Indonesia, Selasa, 29 April 2008

A. Bakir Ihsan

Pelaksanaan Pilkada di awal 2008 ini menyajikan fakta-fakta baru. Kemenangan beberapa calon yang tidak diunggulkan dan diusung oleh “partai menengah” dianggap sebagai terobosan yang akan mengguncang pemilu 2009. Beberapa asumsi antitesis pun dibangun untuk menjelaskan “era baru” yang akan mewarnai pemilu mendatang. Kemenangan calon parpol menengah dipahami sebagai antitesa dari dominasi parpol besar. Keunggulan calon baru ditahbiskan sebagai antitesa dari eksistensi incumbent. Kekalahan pensiunan jenderal dianggap sebagai monumen kebangkitan politisi sipil. Dan kemunculan pemimpin muda diyakini sebagai masa renta politisi tua.

Pola pandang antitesis dan biner tersebut di satu sisi dapat memacu sirkulasi atmosfir politik yang menurut Presiden SBY semakin “panas”. Tapi di sisi lain bisa mengaburkan (memanipulasi) peta politik yang sesungguhnya. Asumsi bahwa parpol besar mulai keropos dan partai menengah mulai bangkit masih harus dibuktikan secara lebih konkret. Karena pada kenyataannya, partai besar masih mendominasi kemenangan dalam kontestasi Pilkada. Nah, fenomena kemenangan partai menengah dalam beberapa pilkada justru memperlihatkan ambiguitas eksistensi parpol. Parpol tidak memiliki pijakan kuat, sehingga eksistensinya tidak bisa dijadikan garansi kemenangan.

Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan rapuhnya garansi parpol tersebut. Pertama, kondisi masyarakat yang masih mengambang. Realitas sosial yang labil secara politik tidak bisa dipetakan secara sistemik. Kemenangan partai pada pemilu lalu tidak menjadi garansi kemenangan calon yang diusungnya dalam kontestasi pilkada. Kedua, kinerja parpol yang belum maksimal. Rendahnya ikatan emosional dan rasional masyarakat terhadap partai merupakan efek dari rendahnya tingkat artikulasi, agregasi, dan apresiasi parpol atas aspirasi masyarakat. Ketiga, kuatnya faktor personal. Kekalahan parpol-parpol besar dalam beberapa pilkada, bahkan dalam pilpres yang lalu menjadi bukti konkret kuatnya faktor personal dalam kontestasi.

Dalam kondisi demikian apakah partai patut mengklaim kemenangan dalam kontestasi pilkada sebagai cermin sukses peran dan eksistensinya?

Nasib parpol
Secara historis peran parpol di negeri ini belum pernah berkibar mengantarkan optimisme masyarakat untuk menyongsong demokrasi. Sejarah rezim di republik ini terjebak dalam paradoksalitas partai. Musim semi parpol yang ditabuh Mohammad Hatta melalui Maklumat 3 November 1945 “diakhiri” oleh pidato Soekarno Oktober 1956. Dan Soeharto menjadikan partai sekadar penyemarak demokrasi basa-basi.

Di awal reformasi, partai menjadi sebuah mesianisme politik. Pengebirian partai pada masa lalu dianggap sebagai petaka bagi tata negara bangsa. Partai pun bak ratu adil. Ia disanjung, disambut, bahkan diyakini sebagai jalan menuju kehidupan politik yang lebih baik. Melalui partai aspirasi bisa diapresiasi, konflik bisa diatasi, dan masyarakat bisa berserikat sebagai hak asasi.

Atas kerangka itu, partai hadir begitu menggurita. Ia mengendalikan nafas kekuasaan. Warna-warni kekuasaan sepenuhnya di tangan partai. Namun sayang, otoritas hegemonik partai ini dioperasikan sepenuhnya untuk kekuasaan. Konsekuensinya harapan besar atas peran partai bagi rakyat terkubur.

Kehadiran partai yang begitu memesona di awal reformasi, kian hari semakin meredup seiring memudarnya ikatan emosi rakyat akibat erosi ulah politisi. Wajar bila hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Maret 2007, menemukan kesenjangan aspirasi pemilih (65%) dengan sikap dan perilaku partai. Partai telah bermatamorfose menjadi singgasana kaum elit.

Namun politisi seakan tak kehabisan energi dan obsesi. Gugur satu tumbuh seribu. Menyambut pemilu 2009, terdapat 24 partai baru yang lolos verifikasi Depkum-HAM atau 58 partai yang sedang diverifikasi KPU. Semuanya mempertaruhkan rakyat yang selama ini diabaikan.

Krisis partai
Deskripsi di atas memperlihatkan paradoksalitas partai. Di balik kelemahannya tersisa semangat untuk tetap eksis. Di balik kewenangannya yang begitu menggurita bahkan hegemonik, terhampar kelemahannya akibat pengabaiannya pada aspirasi rakyat. Sepak terjang partai seperti macan tua yang sedang membunyikan lonceng kematiannya. Ia besar tapi tak berdaya. Ia berkuasa tapi tak dipercaya. Ia bertahta tanpa wibawa.

Fenomena krisis eksistensi partai sebenarnya sudah terbaca sejak pemilu 2004. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) memperlihatkan minimnya peran partai dalam pemilihan tampuk kekuasaan. SBY diusung oleh partai yang baru pertama kali bertarung di pemilu (partai Demokrat), sementara JK hanya “orang biasa”, kalau bukan terasing, di Golkar. Tanpa basis partai yang kuat, keduanya bisa mengalahkan calon dari partai besar seperti Golkar dan PDIP.

Dalam beberapa Pilkada pun kemenangan calon tidak sepenuhnya ditentukan partai. Kemenangan partai menengah menunjukkan bahwa partai besar bukan jaminan untuk memenangkan calonnya. Bahkan untuk kasus Nanggroe Aceh Darussalam justru calon independen yang berhasil meraih kursi gubernur dan beberapa kursi bupati. Dan tidak tertutup kemungkinan, apabila kran calon independen dibuka, akan muncul pemimpin-pemimpin kepala daerah yang independen. Kemungkinan ini terbuka lebar di tengah wibawa partai semakin merosot di mata publik akibat ulah sendiri.

Krisis yang dialami parpol ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi partai dalam memposisikan dirinya sebagai medium kaderisasi politik maupun medium resolusi konflik. Partai akan efektif menjadi media perjuangan ketika ia hadir sebagai tumpuan harapan rakyat. Namun yang terjadi, partai tumbuh di atas angan-angan segelintir orang yang hendak berkuasa. Bahkan tidak jarang partai menjadi meja kasino untuk mendapatkan berbagai keuntungan berlipat.

Orientasi (personifikasi) kekuasaan yang begitu besar di lingkungan elit parpol telah mempersempit ruang gerak sekaligus memperlambat peran parpol. Dalam kondisi demikian, partai mudah menjadi ajang perebutan antar elit partai itu sendiri. Di sinilah benih perpecahan bersemi yang berakibat pada inefektivitas kerja partai. Tidak heran apabila hampir semua partai mengalami perpecahan, baik secara permanen maupun temporer. Konflik yang mencengkram PKB saat ini merupakan bagian dari perebutan personifikasi kekuasaan itu. Dalam kondisi partai yang rapuh itu, artikulasi atas aspirasi rakyat hanya mimpi. Eksistensi partai di tengah menguatnya egosentrisme menjadi ajang personifikasi kepentingan.

Mempublikkan parpol
Personifikasi partai merupakan deviasi dari esensi partai sebagai jembatan antara publik (rakyat) dan republik (pemerintah). Parties as the only true linkage between society and government (Epstein, 1980). Partai menjadi penting, ketika ia mementingkan rakyat. Dan partai menjadi media paling efektif untuk mengontrol kekuasaan, ketika ia bersama rakyat.

Selama sepak terjang parpol untuk kepentingan parpol, maka demokrasi berubah menjadi partaiokrasi (partyocracy). Kekuasaan menjadi kue yang diperebutkan, diolah, dan dinikmati oleh elit-elit parpol sendiri. Kedaulatan rakyat berubah menjadi kedaulatan partai. Apabila fenomena ini dibiarkan, maka perlahan tapi pasti partai akan mengalami pembusukannya.

Kini kembali pada parpol, apakah ia mampu melepaskan dirinya dari jeratan egosentrisme kekuasaan yang membuat dirinya teralienasi dari rakyat, atau bermetamorfose menjadi alat perjuangan, sehingga ikatan emosional dan rasional menguat dalam diri rakyat. Kalau tidak, kemenangan demi kemenangan yang diraih parpol dalam kontestasi pilkada hanyalah kemenangan semu.*

Friday, April 18, 2008


Opini

Islam Menakar Demokrasi
Media Indonesia
, Jum’at, 18 April 2008

A. Bakir Ihsan

Demokrasi tampaknya semakin bersemi. Paling tidak dari wacana yang terus bergulir menunjukkan urgensi demokrasi, termasuk di negara-negara muslim yang tandus demokrasi. Hal ini bisa dilihat dari intensitas penyelenggaraan Doha Forum on Democracy yang diselenggarakan setiap bulan April di Qatar. Tahun ini merupakan penyelenggaraan yang ke-8 dengan melibatkan ratusan partisipan dari berbagai negara dan profesi. Intensitas wacana demokrasi di negara Timur Tengah ini menunjukkan urgensi sekaligus problem demokrasi, khususnya di negara-negara muslim.

Beberapa waktu lalu, dalam sidang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-11 Organisasi Konferensi Islam (OKI) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan relevansi Islam dan demokrasi yang berhasil dijalankan di Indonesia. (Senegal, 14/3).

Atensi atas demokrasi di atas menyiratkan dua sisi demokrasi. Pertama, secara internal demokrasi bisa tumbuh berlandaskan nilai-nilai Islam. Penempatan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga (freedom house, 2006) secara tidak langsung menunjukkan akseptabilitas Islam terhadap demokrasi.

Kedua, demokrasi sebagai bagian dari arus global, mensyaratkan keterlibatan faktor eksternal untuk merawat dan memperkuat tatanan demokrasi. Faktor eksternal ini penting karena secara faktual, demokrasi sering direcoki oleh kepentingan lain (ekonomi) yang berlindung di balik demokrasi. Dan inilah yang sedang menyelimuti sebagian negara Islam di tengah kepentingan global yang kompleks.

Bahwa demokrasi sudah menjadi kehendak global sulit dibantah. Bahkan Afrobarometer dengan merujuk pada realitas politik di Mali, Nigeria, Tanzania, dan Uganda, menyimpulkan bahwa mayoritas penduduk muslim mendukung demokrasi. Problem demokrasi di negara muslim bukan karena faktor keyakinan agama, tapi lebih disebabkan problem pendidikan dan modernisasi yang belum maksimal. Begitu pun yang terjadi di Asia Tengah dan Timur Tengah (Larry Diamond, 2003). Namun demikian, sulit pula dimungkiri bahwa dalam praktiknya demokrasi sering menjadi taktik pertahanan politik (political survival) kekuasaan yang menyebabkan demokrasi menjadi semu (pseudodemocracy) dan terasing dari rakyat. Inilah tantangan bagi negara-negara demokrasi baru, termasuk di Indonesia.

Gerakan alternatif
Problem demokrasi tidak hanya dialami negara-negara muslim. Kecenderungan umum di negara-negara demokrasi baru juga mengalami hal yang sama karena perbedaan sistem dan budaya yang ada. Namun tingkat akseptabilitas masing-masing negara, termasuk negara-negara muslim, terhadap demokrasi membuktikan bahwa tidak ada problem substantif bagi aktualisasi demokrasi.

Bahkan demokratisasi yang berlangsung di negara-negara muslim sering memunculkan, meminjam istilah Francis Fukuyama, the great disruption (guncangan besar) akibat paradigma stigmatis yang terlanjur melihat Islam tidak relevan dengan demokrasi. Melalui demokrasi yang diterapkan di negara-negara muslim, dunia sering dibuat tersentak, tak percaya, dan sebagian merasa terancam. Inilah paradoksalitas implementasi demokrasi ketika dipasarkan berdasarkan kepentingan-kepentingan berstandar ganda.

Gerakan Islam yang disepelekan karena dianggap tidak punya landasan nilai demokrasi, ternyata membalikkan semua praduga. Kemenangan beberapa tokoh Islam yang tampil sebagai oposisi pada tahun 1990-an dalam kontestasi demokrasi baik yang terjadi di Mesir, Tunisia, dan Yordania, menjadi benih yang menyulut kejutan-kejutan demokrasi di negara muslim. Kemenangan FIS di Aljazair dan Hamas di Palestina serta tampilnya “politisi Islam” di tampuk kekuasaan Turki yang mengagungkan sekularisme menambah panjang daftar kemenangan politik Islam yang tak terpikirkan.

Beberapa fakta di atas memperlihatkan bahwa kehadiran tokoh atau gerakan Islam di tengah krisis yang melanda dunia membuka peluang bagi gerakan-gerakan Islam sebagai alternatif. Inilah yang sering terlewatkan dalam memetakan kekuatan politik Islam. Paradigma oposisi biner yang saling menegasikan antara Islam dan demokrasi dan dikembangkan dalam memotret Islam justru menjadi bumerang dan gagal memahami realitas politik Islam secara komprehensif.

Perjuangan melalui sistem yang diakomodir dalam sistem demokrasi memberi ruang yang luas bagi setiap kepentingan untuk mengaktualisasikan dirinya. Dan peluang inilah yang dikembangkan oleh kelompok Islam untuk menawarkan langkah-langkah solutif sehingga ia tampil menjadi partai atau gerakan alternatif. Dan efektivitas gerakan alternatif ini akan ditentukan oleh daya tahan dan kemampuan untuk mengaktualisasikan dan mengkontekstualisasikan diri sesuai dengan ruh demokrasi itu sendiri.

Penguatan politik
Demokrasi membutuhkan legitimasi publik agar tetap eksis. Legitimasi itu muncul ketika publik mendapatkan manfaat dari demokrasi, berupa agregasi terhadap segala aspirasi. Belum kuatnya bangunan demokrasi di beberapa negara muslim memungkinkan terjadinya involusi dan ilusi demokrasi. Bila ini terjadi, maka asumsi diskoneksitas Islam dan demokrasi semakin mendapat legitimasi.

Karena itu, diperlukan langkah-langkah yang urgen untuk memperkuat harmoni Islam dan demokrasi. Pertama, penguatan faktor-faktor eksternal. Menurut Samuel P Huntington sebagian besar dari tanggungjawab terjadinya gelombang ketiga demokrasi adalah pada kebijakan-kebijakan, tekanan-tekanan, dan harapan-harapan dari Amerika Serikat dan komunitas Eropa. Asumsi ini menguatkan pandangan bahwa apatisme dan optimisme terhadap demokrasi tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik internasional Amerika dan Eropa. Ketika perilaku politik internasional menghadirkan suasana politik yang diskriminatif dan hegemonik, maka demokrasi pun akan mengalami degradasi akseptabilitasnya.

Kedua, legitimasi internal. Konsolidasi demokrasi juga dipengaruhi oleh apa yang oleh Juan J. Linz disebut sebagai loyalitas pada rezim demokrasi. Karenanya konsolidasi demokrasi tidak hanya mengacu pada penguatan norma, tapi juga perilaku politik yang diperlihatkan oleh para elite. Dibutuhkan pembiasaan untuk menempatkan prosedur dan norma-norma sebagai rujukan utama dalam bertingkahlaku.

Kedua hal tersebut masih mejadi ganjalan bagi optimalisasi demokrasi khususnya di negara-negara muslim. Kepentingan hegemonik Amerika yang berlindung di bawah misi demokratisasi di Irak misalnya justru berbuah konflik yang memakan banyak korban. Dalam konteks ini relevan ketika Presiden SBY mengusulkan penarikan tentara Amerika dari Irak sebagai solusi harmoni di negeri seribu satu malam itu. Usulan ini secara tidak langsung melihat langkah Amerika di Irak sarat dengan kepentingan dan ikut mengeruhkan demokrasi di Irak.

Di samping realitas eksternal tersebut, demokrasi sering terganjal oleh perilaku para elite yang menjadikan demokrasi sebagai taktik pertahanan politik kekuasaan. Norma atau aturan main yang dibuat dan disahkan oleh DPR misalnya, tak lebih dari kalimat-kalimat pernyataan tanpa pijakan dalam kenyataan. Kepentingan pribadi dan kelompok mensubordinasi kepentingan publik yang menjadi esensi demokrasi.

Inilah tantangan konsolidasi demokrasi di negara-negara demokrasi baru, termasuk di Indonesia. Dalam konteks negara-negara muslim, ketika Islam diyakini berkorelasi dengan demokrasi, bahkan dipraktikkan secara prosedural seperti di negeri ini, umat Islam, khususnya para politisi muslim, memiliki tanggungjawab moral untuk mengaktualisasikannya dalam budaya dan perilaku politiknya. Hanya dengan cara ini, Islam akan semakin membumi di ranah politik (demokrasi). Begitupun sebaliknya. Demokrasi akan semakin mekar di bawah nilai-nilai Islam. Semoga.*

Thursday, April 03, 2008



Opini

Urgensi Jalan Tengah Indonesia
Koran Tempo, Kamis, 3 April 2008

A. Bakir Ihsan

Beberapa waktu lalu, muncul gagasan Islam jalan tengah yang dilontarkan pengurus Yayasan Wakaf Paramadina saat diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (28/2). Gagasan ini, menurut mereka, berpijak pada kerangka keberagamaan yang damai, modern, dan berkarakter Indonesia yang khas dan inklusif.

Wacana jalan tengah ini menarik ditelaah tidak hanya terkait dengan sikap keberagamaan, tapi juga di bidang lainnya. Termasuk dalam politik yang cenderung bergerak ekstrem, eksklusif, dan elitis. Jalan tengah menjadi alternatif di antara tarikan dua garis ekstrem yang hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Jalan tengah bukan sebuah sikap hipokrit untuk mencari selamat. Justru ia bisa menjadi jalan penyelamatan dari dua titik yang diametral.

Ada dua hal penting terkait jalan tengah yang perlu dibangun di negeri ini. Pertama, diplomasi internasional di tengah konstelasi global yang semakin kompleks dan hegemonik. Tarikan-tarikan kepentingan global bisa menjebak negara untuk berpihak apabila tidak disikapi secara moderat. Kedua, ekstremisme sikap keberagamaan yang berdampak pada homogenisasi pemaknaan. Ekstremisme ini bisa memicu involusi bahkan destruksi di tengah keragaman makna, aliran, dan mazhab.

Masalah diplomasi dan sikap keberagamaan ini penting karena adanya keinginan makin kuat di tingkat internasional terhadap peran Indonesia baik sebagai representasi negara muslim terbesar yang berhasil membumikan demokrasi maupun sebagai negara yang dianggap concern terhadap perdamaian dan penyelesaian konflik.

Moderasi diplomasi
Ketegangan yang terjadi pada tingkat global merupakan akibat arogansi berebut hegemoni. Paradigma benturan peradaban yang dilontarkan Samuel P Huntington mempertontonkan apa yang disebut Maurice Durverger sebagai antagonisme politik. Inilah yang sedang mewarnai dunia global saat ini. Masing-masing bergerak untuk menandaskan kekuatannya di atas kekuatan lainnya. Lihatlah ketegangan Amerika versus Iran yang terus memacu sanksi-sanksi, bukan diplomasi, melalui legitimasi Dewan Keamanan PBB.

Beberapa waktu lalu Indonesia mengambil langkah penting dalam resolusi Dewan Keamanan PBB. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang bersikap abstain di antara 15 anggota DK PBB. Sikap abstain atas resolusi 1803 memperlihatkan upaya jalan tengah diplomasi Indonesia. Di tengah hegemoni untuk memberi sanksi tambahan pada Iran, Indonesia bersikap memilih cara lain. Kunjungan kenegaraan Presiden SBY ke Iran beberapa hari setelah keputusan abstain tersebut memperkuat cara baru diplomasi di tengah hegemoni.

Fakta tersebut menjadi bukti kuat politik Indonesia yang bebas aktif. Selama ini persepsi yang muncul terkait dengan sikap politik luar negeri Indonesia adalah keberpihakannya pada negara-negara Barat (Amerika dan sekutunya). Bahkan sebagian pengamat menyebut Indonesia sebagai boneka Amerika. Klaim tersebut tampaknya harus dikubur di tengah “langkah zigzag” politik luar negeri yang dimainkan Presiden Yudhoyono.

Sejarah membuktikan, keberpihakan (monolitas) politik luar negeri yang dipraktikkan oleh rezim orde lama dan orde baru gagal mempertahankan wibawa kedaulatan dan martabat bangsa. Kedua rezim itu runtuh dan gagal membawa negeri ini menjadi lebih baik, bahkan mengubur eksistensi dirinya sendiri.

Momentum reformasi sejatinya melepaskan segala orientasi kekuasaan yang monolitik tersebut. Intimasi dengan negara-negara tertentu di samping tidak akan menghasilkan output yang maksimal, juga bisa membatasi gerak diplomasi yang selama ini mulai mencair. Apalagi di tengah globalisasi dengan tingkat keragaman kepentingan begitu mencair. Sikap kaku dan monolitik akan menyebabkan alienasi. Sebaliknya inklusivitas dapat menjadi jembatan di antara beragam kepentingan yang cenderung dioperasikan secara eksklusif.

Atas inklusivitas politik luar negeri tersebut, berbagai dukungan dan harapan terhadap peran Indonesia mulai banyak dipertaruhkan. Khusus dalam hal penyelesaian konflik dan perdamaian, Indonesia cukup diperhitungkan. Paling tidak dilibatkan dalam berbagai proses perdamaian dan penghentian konflik baik regional maupun global.

Semua ini merupakan buah dari politik bebas aktif yang mulai dioptimalkan oleh Presiden SBY. Keuntungan yang diperoleh dari politik bebas aktif itu tidak hanya di bidang politik, tapi juga di bidang ekonomi. Misalnya dari kunjunganya ke Cina beberapa waktu lalu, Presiden SBY berhasil membawa pulang realisasi investasi US$ 4,3 milyar dari Cina. Cina menjadi mitra dagang terbesar keempat Indonesia. Bahkan pemerintah menargetkan volume perdagangannya hingga US$ 30 milyar pada 2010. Begitu juga dengan Iran berhasil ditandatangani berbagai kontrak dengan tingkat perdagangan yang terus meningkat. Sebagai contoh, tahun lalu total perdagangan mencapai US$409 juta, atau naik sekitar 22 persen dibanding tahun sebelumnya. Demikian juga kerjasama yang lain, seperti di bidang kesehatan, kepariwisataan serta kerjasama di bidang energi.

Moderasi agama
Begitu pun dalam sikap keberagamaan. Sebagai bangsa yang religius sejatinya agama menjadi nilai positif bagi transformasi sosial. Dan ini akan terjadi apabila agama diletakkan sebagai jalan tengah di antara paham, mazhab, dan aliran yang ada di dalam masyarakat. Islam jalan tengah menjadi jembatan dari beragam penafsiran dan pemaknaan terhadap ajaran agama, sehingga muncul sinergi Islam keindonesiaan.

Kekhasan budaya Indonesia telah menampilkan wajah Islam yang berbeda dengan negara muslim lainnya. Salah satu bukti konkret perbedaan tersebut adalah respon positif Islam Indonesia terhadap sistem demokrasi. Dan inilah yang “dipasarkan” Yudhoyono dalam KTT ke-11 OKI di Senegal lalu dengan mengangkat optimisme demokrasi yang seiring sejalan dengan Islam. Hal ini sekaligus meruntuhkan tesis Samuel P Huntington dan Bernard Lewis yang melihat Islam tidak bersinergi dengan demokrasi.

Muslim Indonesia justru mampu menampilkan dirinya sebagai komunitas yang sangat akomodatif terhadap nilai-nilai demokrasi. Realitas ini menunjukkan bahwa pola pandang dan pemahaman keagamaan (keislaman) di Indonesia memiliki kekhasan yang tidak bisa digeneralisasi dengan komunitas muslim di negara lain. Kekhasan inilah yang perlu terus dirawat sebagai bentuk jalan tengah di antara beragam mazhab dan aliran. Proses generalisasi (homogenisasi) justru akan mengancam keragaman sekaligus demokrasi yang sedang bersemi.

Di sinilah jalan tengah semakin urgen untuk dikembangkan di tengah ekstremisme paradigmatik yang menghantui dunia baik pada tataran politik maupun budaya (paham keagamaan). Indonesia dengan segala keberhasilannya dapat menjadi jalan lain bagi mencairnya antagonisme global. Jalan tengah baik dalam konteks diplomasi maupun pengembangan keagamaan akan menjadi kunci yang konstruktif di tengah arus globalisasi yang hegemonik dan paham keagamaan yang eksklusif dan ekstrem. Jalan tengah sebagai realitas khas keindonesiaan menjadi pertaruhan bagi masa depan agama dan negara di mata dunia.*