Saturday, February 02, 2008


Opini

Kejujuran Sejarah Pemimpin
Seputar Indonesia, Sabtu, 02 Januari 2008

A. Bakir Ihsan

Luar biasa! Itulah kesan melihat antusiasme dan ekspresi yang tersaji di altar wacana kita mengiringi kematian Soeharto. Semua mengenangnya dengan segala kontroversinya. Lihatlah, mayoritas media massa baik cetak maupun elektronik begitu berkabung atas kepergian Soeharto. Tangis dan doa bergema mengantarkan kepergian presiden terlama ini. Di sisi lain, sebagian orang memberi kesaksian tentang kekejaman Soeharto.Tak ada rasa sedih dan ikhlas mengiringi kepergiannya. Mereka tetap menuntut keadilan atas kekejaman politik Soeharto. Itulah potret paradoksal sosok Soeharto. Dia dipuji, juga dibenci.Tapi satu hal yang tidak bisa dimungkiri, Soeharto tetap menjadi magnitudo yang selalu menghentakkan “kesadaran” para pengikut maupun musuhnya.

Ada dua pembacaan atas ekspresi paradoks kematian Soeharto. Pertama, Soeharto dipahami sebagai sosok yang luar biasa sehingga pantas untuk dihormati dan ditangisi kepergiannya. Bahkan, cenderung mengarah pada kultus yang menutup segala keburukannya. Kedua, Soeharto dipahami sebagai manusia yang paling bertanggung jawab atas keterpurukan negeri ini. Bahkan, sebagian korban kerepresifan Soeharto tetap mempersepsi Soeharto sebagai seorang diktator dan tiran yang menutup jasa-jasanya.

Penggambaran Soeharto dengan segala kontroversinya tersebut menyiratkan keparadoksalan wajah Soeharto secara diametral. Satu wajah menyembul dengan sejuk dan penuh senyum (the smiling general) sehingga dosa-dosanya tak tampak.Satu wajah lainnya penuh darah dan menutup segala kebaikannya. Inilah dua reaksi diametral akibat sikap berlebih atas sebuah kepemimpinan.

Evaluasi Sejarah
Perlakuan bangsa dan negara atas pemimpinnya akan selalu menorehkan sejarah dengan dampak kolektivitas yang berbeda-beda. Meninggalnya dua pemimpin negeri ini, Soekarno dan Soeharto, menjadi pelajaran penting bagaimana seharusnya pemimpin berperilaku dan karenanya bagaimana ia harus diperlakukan.

Soekarno yang meninggal di tengah persepsi negatif negara menyebabkan kematiannya jauh dari iringan “pesta” kematian. Bahkan, kematiannya menanggung stigma negatif atas negara yang telah diproklamasikannya. Sebaliknya Soeharto, dengan segala kontroversinya, ditempatkan sebagai sosok yang berjasa, pejuang setia, dan prajurit sejati sehingga negara berkabung selama tujuh hari.

Pola perlakuan berbeda ini terjadi akibat pemaknaan secara generatif atas realitas sejarah kepemimpinan negeri ini. Para mantan pemimpin ditempatkan tanpa rasionalisasi (kalkulasi) kinerja yang jelas dan terperinci. Kecenderungan ini terasa sampai saat ini. Asumsi-asumsi evaluatif atas kepemimpinan selalu berdasarkan pada analisis generatif sehingga melahirkan stigma; berjasa atau berdosa. Kenyataan ini menegasikan sisi kemanusiaan yang multidimensional dan menafikan celah-celah konstruktif yang selalu hadir di luar mainstream. Bila asumsi-asumsi generatif ini dibiarkan akan melahirkan penyikapan yang tidak proporsional bagi eksistensi pemimpin di negeri ini.

Karena itu, diperlukan langkah-langkah prosedural yang memungkinkan masyarakat memahami realitas kepemimpinan secara rasional (manusiawi). Hal ini sangat dimungkinkan di alam demokrasi yang mengedepankan rasionalitas dan transparansi. Dengan demikian penilaian terhadap kinerja pemimpin dapat direkam secara terperinci dan jelas dengan indikator keberhasilan untuk dilanjutkan dan kegagalan untuk ditinggalkan. Dari sini diharapkan muncul evaluasi yang obyektif terhadap kinerja kepemimpinan dan terhindar dari segala bentuk kultus.

Inilah yang belum sepenuhnya tumbuh sampai saat ini. Akibatnya, evaluasi atas kinerja kepemimpinan tidak pernah menjawab substansi problem yang dihadapi masyarakat. Persoalan yang dihadapi sebuah rezim dianggap sebagai akibat ulah rezim itu sendiri tanpa melihat kondisi obyektif yang terjadi pada rezim sebelumnya dengan segala dampak kebijakannya.

Paradigma Linear
Munculnya stigma negatif versus positif terhadap sebuah rezim kekuasaan lebih disebabkan pola pandang yang linear atas sejarah. Paradigma linear ini cenderung mendorong munculnya reduksi, predictability, dan determinasi. Akibatnya, sebuah realitas tidak mampu dipotret secara utuh dan komprehensif serta menutup munculnya kemungkinan yang lain (the others) atau alternatif-alternatif baru.

Paradigma linear ini berkembang seiring dengan stigmatisasi politis yang berkembang saat ini. Sebuah kinerja hanya dilihat secara umum dan dampaknya diprediksi secara pasti. Padahal, ada sisi keberhasilan yang bisa ditingkatkan dan ada juga kegagalan yang harus diperbaiki atau ditinggalkan. Bahkan ada inovasi-inovasi baru yang harus dikreasi karena situasi yang menghendaki. Ini semua akan terungkap ketika ada pembacaan secara spesifik atas realitas kekuasaan.

Pembacaan secara spesifik terhadap realitas ini sangat diperlukan sehingga tidak terjadi simplifikasi yang justru merugikan kita semua. Simplifikasi atas eksistensi Soeharto memicu keparadoksalan makna yang sama sekali tak bermanfaat bagi pembangunan karakter bangsa.

Inilah salah satu agenda yang seharusnya dipecahkan agar reformasi tidak menggali kuburnya sendiri, yaitu pembacaan secara objektif kinerja pemerintahan sehingga pergantian kepemimpinan berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Ini merupakan tantangan yang tidak mudah karena kita belum terbiasa membangun dan menempatkan kepemimpinan (rezim) sebagai sebuah kontinuitas. Setiap rezim terjebak dalam demarkasinya masing-masing. Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Yudhoyono seakan hadir sebagai rezim antitesis. Padahal, negara ini bergerak dari langgam sejarah yang sama.

Perlu kejujuran sejarah para pemimpin untuk mengakui kekurangan dan kelebihannya. Begitu juga kita sebagai warga. Perlu kejujuran untuk menempatkan pemimpin secara rasional dan proporsional. Kejujuran sejarah ini akan membuka kejernihan berpikir dan bertindak kita sebagai sebuah bangsa dan memberi manfaat bagi negara. Semoga.(*)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kejujuran-sejarah-pemimpin-3.html