Monday, November 11, 2013

APEC-BDF




Opini

Insentif Demokrasi dan Pemerataan Ekonomi

SUARA PEMBARUAN, Jum’at, 8 November 2013

A. Bakir Ihsan

Ada dua moment penting dalam sebulan terakhir di Bali, yaitu KTT APEC (7-8 Oktober) dan Bali Democracy Forum atau BDF (7-8 November). Kedua moment ini merepresentasikan dua hal pokok dalam kehidupan negara bangsa. APEC merupakan sebuah asosiasi geo-ekonomi antar negara di kawasan Asia Pasifik, sementara BDF merupakan sebuah ikhtiar menumbuhkan demokrasi dalam konteks geo-politik Asia Pasifik.  Dengan mengusung tema; “Consolidating democracy in pluralistic society, BDF VI kali ini diikuti oleh perwakilan 53 negara di Asia-Pasifik dan puluhan pengamat di luar kawasan tersebut.
Dua hajatan ini menarik ditelaah karena dua hal. Pertama, pada level wacana keilmuan, ekonomi dan demokrasi merupakan dua sisi yang dialektis. Sudah banyak kajian dan penelitian disusun dengan melihat dinamika kedua aspek tersebut sebagai faktor penting dalam kehidupan negara bangsa. Banyak kajian dan telaah terkait relasi pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Di antaranya Adam Przeworski (2003) yang menyebutkan bahwa demokrasi bisa tumbuh di negara yang sehat (wealthy countries). Demokrasi, menurutnya, cenderung mengikuti “kesehatan” pendapatan rakyatnya. Sementara Seymour Martin Lipset (1959) menyebutkan masing-masing bagian punya kesempatan yang sama bagi kelangsungan demokrasi (the more well-to-do a nation, the greater the chances it will sustain democracy). Ekonomi dan politik (demokrasi) sejatinya tak bisa dipisahkan. Namun secara faktual, skala prioritas seringkali menyebabkan salah satunya menjadi sangat dominan dan lainnya determinan.
Kedua, pada level praksis, Indonesia menjadi miniatur yang merepresentasikan kedua aspek tersebut. Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi cukup menjanjikan dan perkembangan demokrasinya yang semakin mekar. Menurut Presiden SBY, pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari dua kali dari pertumbuhan rata-rata ekonomi dunia. Di sisi lain, perjalanan demokrasi dengan segala dinamikanya menunjukkan arah optimistik, terlebih bila dibandingkan dengan perkembangan demokrasi di kawasan lainnya. Antusiasme masyarakat dan tingkat partisipasi dalam setiap kontestasi menjadi bukti sekaligus modal penting bagi keberlangsungan demokrasi untuk sampai pada ranah konsolidasi.
Karena itu, tulisan ini mencoba menelaah relasi ekonomi dan demokrasi berdasarkan salah satu kesepakatan dalam KTT APEC dan kemungkinan adanya senyawa dengan misi yang diemban dalam perhelatan BDF.

Problem distribusi

Salah satu point penting, dari tujuh hasil, yang dicapai dalam KTT APEC XXI di Bali itu adalah memastikan pertumbuhan yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Para pemimpin APEC bersepakat untuk memfasilitasi dan memperkuat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta perempuan pengusaha dan muda. Point ini menarik untuk ditelaah karena distribusi peluang bagi pengembangan ekonomi selama ini cenderung dikuasai oleh pemilik modal besar. Secara tidak langsung, keputusan KTT APEC ini mengafirmasi bahwa ada problem distribusi dalam pertumbuhan ekonomi antara pengusaha besar, menengah, dan kecil serta yang berbasis gender dan usia.
Persoalan (keadilan) distribusi tidak bisa diserahkan pada pasar yang terstruktur berdasarkan kepemilikan modal. Diperlukan regulasi yang berpihak (affirmative action) yang memungkinkan masing-masing elemen masyarakat memiliki posisi tawar yang sama. Membiarkan mekanisme pasar dengan sistem hegemoniknya sama saja merawat kelompok kecil terus menjadi pemain pinggiran atau sekadar agen dari korporasi.
Posisi strategis APEC sebagai organisasi kerja sama ekonomi kawasan Asia Pasific tidak perlu diragukan lagi. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pembukaan The APEC CEO Summit 2013, pertumbuhan ekonomi APEC mencapai 54 persen dari produk domestik bruto global dan 44 persen dari perdagangan global. Sementara secara demografis anggota APEC menyumbang 40 persen dari seluruh jumlah penduduk dunia, karena tiga dari empat negara terbesar jumlah penduduknya bergabung di dalamnya, yaitu, China, Amerika, dan Indonesia. Dalam hal perdagangan telah tumbuh hampir tujuh kali lipat sejak tahun 1989, yaitu mencapai lebih dari 11 triliun dolar AS (2011).
Begitu juga negara-negara peserta BDF yang didominasi oleh negara-negara Asia menunjukkan pertumbuhan ekonominya yang relatif baik dibandingkan dengan sebagian negara di kawasan lainnya. Pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata melahirkan problem yang sama, yaitu belum maksimalnya distribusi pemerataan. Problem ini tidak bisa dijawab oleh (pertumbuhan) ekonomi an sich.  Pemerataan merupakan wilayah kebijakan (politik) rezim yang ada di masing-masing negara. Dalam konteks ini, baik pada negara-negara anggota APEC maupun negara-negara peserta BDF memiliki fakta yang berbeda.

Insentif Demokrasi

Berdasarkan standar kebebasan yang dikeluarkan oleh Freedom House 2013, maka ada tiga kategori rezim yang bisa dikaitkan dengan pertumbuhan ekonominya. Pertama, negara yang ekonominya tumbuh dengan sistem (rezim) tidak demokratis, seperti China dan Rusia. Kedua, negara yang ekonominya tumbuh dengan sistem demokrasinya yang juga mekar, seperti India dan Indonesia. Ketiga, negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi relatif bagus dengan sistem politik setengah demokratis (partly free), seperti Singapura, Hongkong, dan Malaysia.
Dari 21 anggota APEC dan 53 negara peserta BDF bisa dipilah melalui ketiga kategori tersebut dengan mengukur tingkat kualitas demokrasi dan pertumbuhan ekonominya. Secara umum, negara yang masuk dalam kategori kedua (ekonomi dan demokrasinya tumbuh) masih relatif sedikit dibandingkan dengan kategori pertama dan ketiga. Bahkan ada negara yang ekonominya berkecukupan dalam sistem kerajaan, seperti Arab Saudi dan Brunei Darussalam. Dalam sistem yang tidak demokratis, sulit membayangkan adanya pemerataan distribusi yang maksimal, karena tidak adanya kontrol dan transparansi terkait sumber pendapatan dan belanja negara. Hal ini berbeda dengan negara yang demokratis, adanya kontrol yang kuat dari civil society membuat negara tidak bisa menutup diri, walaupun pada titik tertentu masih berhadapan dengan pejabat dan birokrasi yang bebal dalam beragam deviasi dan korupsi.
Kalau ditarik pada salah satu kesepakatan APEC yang berusaha memfasilitasi dan memperkuat Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka demokrasi menjadi kemestian. Demokrasi menjadi penting untuk memastikan adanya kebijakan (regulasi) yang berpihak pada mereka yang memerlukan perlakuan khusus dalam kompetisi pasar yang timpang. Inilah insentif demokrasi bagi pertumbuhan ekonomi yang merata, khusus di kawasan Asia Pasifik. Tanpa demokrasi, maka peluang distribusi ekonomi yang merata tak akan banyak bermakna. Sebagaimana temuan Miles Simpson (1990) bahwa sistem demokrasi politik memberikan ruang egaliter terhadap distribusi income. Dengan demikian, agenda pemerataan distribusi ekonomi (pertumbuhan inklusif) sebagaimana disepakati dalam KTT APEC XXI harus berjalin kelindan dengan konsolidasi demokrasi dalam masyarakat yang majemuk, sebagaimana diusung dalam BDF kali ini. Tentu ini bukan agenda mudah dan instan. Ikhtiar yang tak ada henti tentu lebih memberi harapan daripada sekadar menyesali. Semoga.