Saturday, April 21, 2007

Opini

SBY & Sisi Gelap Perempuan
Seputar Indonesia, Sabtu, 21 April 2007

A. Bakir Ihsan

Perempuan adalah realitas yang terasing. Paling tidak, itulah kesan yang muncul melihat perlakuan sejarah atas perempuan. Ia tersubordinasi di bawah wacana universal para filosof dan sabda agung kaum teolog serta represi politik kaum elite. Ia tersandera oleh kungkungan kultural dan struktural sejak milenium keempat sebelum masehi sampai kini.

Menurut survei yang dilansir The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) 18 April kemarin, terjadi ketidaksetaraan partisipasi gender di pasar tenaga kerja Indonesia.Perempuan baru menikmati 51% lapangan kerja, sementara laki-laki 85%. Data ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja Indonesia adalah pasar kaum laki-laki.

Begitu juga dalam politik.Tuntutan representasi perempuan di ranah politik merupakan bukti hancurnya identitas kemanusiaan perempuan. Persentase 30% bagi perempuan dalam pencalonan anggota legislatif pada pemilu yang lalu membuktikan distorsi posisi perempuan yang secara kuantitas merupakan mayoritas, namun mendapat jatah minoritas.

Kenyataan tersebut membuktikan bahwa secara kultural dan struktural, perempuan masih berhadapan dengan realitas misoginis yang begitu sistemik dan hegemonik di ranah publik. Inilah lorong gelap perempuan yang masih terasa sampai kini.Entah sampai kapan.

Wacana dan Fakta
Secara simbolik, setiap tahun kita peringati hari Kartini (21 April) sebagai ekspresi emansipasi.Pada tataran praksis, kaum perempuan tak pernah lelah bergerak memperjuangkan eksistensinya. Sementara secara kelembagaan negara telah memberi lahan bagi pemberdayaan perempuan melalui kementerian pemberdayaan perempuan dan komisi perempuan. Namun mengapa semua landasan itu belum berhasil menjadi pijakan faktual bagi eksistensi perempuan, justru di tengah reformasi dan demokrasi dirayakan.

Di sinilah kita perlu membongkar rangkaian kebijakan dalam sistem kenegaraan presidensial. Dalam sebuah tatanan bernegara di bawah sistem presidensial, agenda-agenda transformasi tidak bisa dilepaskan dari respons presiden atas agenda tersebut, termasuk agenda kaum perempuan. Oleh sebab itu, membincang eksistensi perempuan saat ini harus dikorelasikan dengan wacana dan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap perempuan itu sendiri.

Ada beberapa wacana yang dilontarkan Presiden SBY terkait eksistensi perempuan. Pertama, di awal pemerintahannya, SBY menyinggung tentang pusar perempuan yang menurutnya tak layak dipertontonkan di ruang publik. Bagi kalangan feminis, pernyataan SBY ini mengundang tanda tanya. Bahkan, sebagian kalangan menganggap pernyataan SBY tersebut sebagai bagian dari hegemoni patriarki yang menelusup dalam lembaga negara.

Kedua, respons SBY dalam kasus poligami.Secara tegas SBY menyatakan bahwa negara berdasarkan monogami. Landasan ini menjadi dasar bagi seluruh warga negara dalam mengaktualisasikan dirinya di tengah masyarakat yang masih berkubang dalam jerat patrimonial. Dalam konteks ini pun, masyarakat meresponsnya secara beragam. Dari yang menolak sampai mendukungnya.

Ketiga, perempuan dilihat sebagai realitas yang secara kodrati memiliki potensi yang sama dengan lakilaki dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi pada negara apabila diberi peluang yang sama. Hal ini diungkapkan SBY pada acara Puncak Peringatan Hari Ibu ke-78, beberapa waktu lalu (22/12).

Dari ketiga wacana tersebut terlihat bahwa perempuan di mata Presiden merupakan realitas yang setara dan memiliki peluang yang sama. Persoalannya, sejauh mana negara memberi peluang bagi aktualisasi potensi kaum perempuan.

Negara dan Perempuan
Perlu pembelaan negara terhadap nasib perempuan melalui berbagai kebijakan. Menurut Presiden, ada empat agenda yang menjadi fokus pemerintah terkait eksistensi perempuan. Pertama, perlindungan terhadap kaum perempuan dari kekerasan, kejahatan, dan tindakan yang ekstrem. Kedua, peningkatan kualitas hidup perempuan sesuai dengan indeks pembangunan manusia. Ketiga, memajukan dan mengembangkan kaum perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, maupun sosial. Keempat, memastikan bahwa tatanan kehidupan, UU dan peraturan lainnya harus adil, tidak bias gender, dan tidak diskriminatif.

Untuk mengukur sejauh mana agenda- agenda tersebut mendekati proses implementasinya,perlu pembacaan terhadap kebijakan politik SBY. Beberapa waktu lalu, di hadapan Kaukus Perempuan Parlemen, Presiden SBY mengusulkan penyempurnaan sistem pemilu. Yaitu sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut. Menurutnya, sistem ini memberi peluang dan kesempatan yang sama bagi seluruh warga baik laki-laki maupun perempuan baik dari kelompok minoritas maupun mayoritas untuk menjadi wakil rakyat (anggota legislatif). Dengan demikian, tidak perlu lagi ada istilah nomor sepatu atau nomor jadi.

Sistem pemilu proposional yang berlaku sekarang ini sangat bias gender. Di samping (jatah 30%) tidak representatif bila diukur berdasarkan kuantitas perempuan, juga belum dilaksanakan secara maksimal oleh semua partai. Ini patut kita khawatirkan, karena partai politik yang sejatinya menjadi pilar emansipasi dan pemberdayaan seluruh potensi warga negara, termasuk kaum perempuan, ternyata masih jauh panggang dari api.
Sistem pemilu proposional terbuka tanpa nomor urut di samping memberi kesempatan yang sama pada semua warga, juga memberi ruang kebebasan pada masyarakat untuk memilih sesuai suara hatinya. Masyarakat tidak perlu khawatir kehilangan suaranya karena tersedot caleg urutan atas yang bukan pilihannya. Begitu juga perempuan tidak terikat oleh nomor urut yang ditentukan oleh partai.

Tawaran SBY ini tidak mudah diwujudkan karena akan mengancam calon yang banyak bergantung ke atas (elite) daripada ke bawah (rakyat).Mereka inilah kader ‘jenggot’ yang eksistensinya ditentukan oleh loyalitasnya pada atasan, bukan pada rakyat. Dengan sistem pemilu proporsional terbuka tanpa nomor urut,akan memicu para calon untuk menjadi yang terdekat pada rakyat.Dan ranah publik betul-betul menjadi ajang perebutan citra dan simpati tanpa diskriminasi. Lebih dari itu, demokrasi akan semakin terkonsolidasi dan bisa menyinari lorong gelap perempuan. Semoga. (*)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/sby-sisi-gelap-perempuan-perempuan-3.html

Friday, April 20, 2007

Opini

Presiden dan Kegaduhan Reshuffle
Koran Tempo,
Jum’at, 20 April 2007

A. Bakir Ihsan

Negeri ini memang gaduh. Para elit, birokrat, aparat sampai rakyat terombang-ambing dalam kegaduhan. Anggota dewan adu emosi bukan argumentasi, polisi “main” senjata bahkan terhadap atasannya, praja senior membunuh yuniornya dan para elit gaduh atas resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB atas Iran. Di tengah kegaduhan itu, para wakil rakyat menggunakan masa resesnya dengan melancong ke luar negeri atas nama studi banding yang tak pernah jelas pertanggungjawabannya.

Semua ini merupakan potret bahwa secara sosial, ekonomi, politik dan budaya, negeri ini belum sampai pada titik equilibrium. Transisi yang berlangsung saat ini menjadi lahan subur kegaduhan tanpa tahu sampai kapan kegaduhan itu berakhir. Namun apakah kegaduhan ini akan terus dibiarkan sebagai legitimasi atas transisi tanpa arah yang pasti?

Pertanyaan ini penting karena kegaduhan sering membuat terbengkalainya substansi agenda negara bangsa. Kegaduhan adalah riak-riak di permukaan yang belum tentu merefleksikan apa yang ada didasarnya. Kegaduhan pada tingkat elit tak selalu berjalin berkelindan dengan keresahan rakyat. Justru kegaduhan hanya sasaran tembak terhadap elit yang lain. Wajar apabila kegaduhan di Senayan menyebabkan kegaduhan pula di Istana.

Paling tidak itulah yang dirasakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam rapat koordinasi terbatas di Kantor Kementerian Koperasi dan UKM beberapa waktu lalu, Presiden SBY minta agar masyarakat luas tidak perlu gaduh. Konteks pernyataan SBY tersebut terkait desakan reshuffle kabinet yang disuarakan anggota dewan dan parpol. Kini, gaung reshuffle kembali menggema seiring kekecewaan masyarakat atas sikap pemerintah yang mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB dalam masalah nuklir Iran.

Pernyataan presiden tentang reshuffle yang gaduh ini memiliki banyak makna. Pertama, Presiden merasa terganggu dengan isu-isu reshuffle yang disuarakan khususnya oleh para politisi di Senayan. Kedua, isu reshuffle ini mengancam ranah hak prerogatif presiden dalam hal “merancang bangun” para pembantunya. Ketiga, presiden lebih senang bekerja dalam suasana yang tenang dan terbebas dari intervensi eksternal.

Apapun maknanya, kegaduhan bagi Presiden SBY tidak sekadar ramai dan berisik, tapi sampai pada tahap menganggu. Bahkan, menurutnya, kegaduhan itu telah membuat tersendatnya kinerja pemerintahan.

Batas keniscayaan
Bagi sebagian orang kegaduhan dengan segala dampaknya tersebut sebagai hal biasa. Ia menjadi simbol kedinamisan politik di tengah realitas sosial yang transisional. Dalam konteks ini kegaduhan dipersepsi sebagai keniscayaan untuk sampai pada proses konsolidasi demokrasi.

Namun ketika kegaduhan tersebut bertitik singgung dengan hak privasi maupun hak prerogatif, ia bisa dianggap menganggu. Inilah yang menarik dipahami dalam konteks arus besar tuntutan reshuffle kabinet yang disuarakan oleh pelbagai kalangan, khususnya kaum politisi.

Justru dari kegaduhan (isu reshuffle) ini SBY bisa menjadikannya sebagai upaya untuk menguji sejauhmana dirinya sebagai presiden bisa mempertahankan otoritas prerogatifnya berhadapan dengan kepentingan politik partai. Sulit dimungkiri bahwa yang paling berkepentingan terhadap reshuffle adalah partai politik, bukan rakyat. Reshuffle menjadi ajang negosiasi dan political bargaining parpol untuk menempatkan kadernya dalam pemerintahan.

Dalam konteks legalistik-formalistik, kegaduhan reshuffle ini bisa menjadi ajang pertaruhan SBY menghadapi draf RUU Kementerian Negara yang, oleh sebagian pengamat, dianggap sebagai intervensi DPR terhadap hak prerogatif presiden. Kalau Presiden bisa mengambil langkah tegas menyikapi RUU Kementerian tersebut dengan sendirinya Presiden telah berhasil mengurai benang kusut presidensialisme yang selama ini dikeruhkan oleh campur tangan anggota dewan (parlementarisme), termasuk tuntutan reshuffle kabinet.

External shock
Sejak awal pemerintahannya, Presiden SBY berhadapan dengan external shock berupa bencana yang mengalir sejak akhir 2004 sampai saat ini. Kenyataan tersebut menjadi kegaduhan tersendiri bagi laju perjalanan pemerintah SBY. Kegaduhan baik karena faktor alam, seperti tsunami dan gempa bumi maupun kegaduhan akibat kelalaian manusia (human error), seperti banjir, longsor, tenggelam dan terbakarnya kapal laut, kecelakaan pesawat terbang, anjloknya kereta api, dan anmcanan rasa aman lainnya merupakan rentetan realitas yang membuat negeri ini semakin gaduh. Belum lagi banjir lumpur panas di Sidoarjo yang semakin tak terbendung menjadi pemantik menggumpalnya kegaduhan negeri ini.

Terlalu panjang untuk mengurai rangkaian bencana alam dan sosial selama dua tahun lebih dengan segala dampaknya. Dalam kondisi demikian, banyak kemungkinan bisa terjadi yang berujung pada patologi sosial yang oleh Francis Fukuyama disebut sebagai great disruption (guncangan besar). Sebuah realitas yang tidak lagi mengindahkan tata sosial dan moral akibat pengabaian atas yang lain dan hilangnya toleransi dan simpati. Kriminalitas yang semakin eksesif, rasa aman yang semakin mahal, nyawa yang semakin murah, korupsi yang sulit dibendung, amanat rakyat yang dicampakkan, dan tindak penyimpangan lainnya menjadi cermin dari guncangan (kegaduhan) besar.

Otomatis kegaduhan tersebut akan menyedot konsentrasi dan fokus transformasi yang hendak dijalankan pemerintah. Ini menunjukkan bahwa kegaduhan ini akan melahirkan dampak-dampak eksesif yang terus mengalir dan berujung pada distabilitas sosial akibat terpecahnya konsentrasi pemerintah.

Kalau kegaduhan ini dianggap cukup mengganggu kinerja pemerintahan, maka tidak ada jalan lain bagi Presiden SBY untuk melakukan langkah-langkah konkret dan tegas sebagaimana menjadi komitmen di awal tahun 2007 ini. Janji yang pernah diungkapkan dalam pidato awal tahun tersebut seharusnya menjadi landasan dalam setiap langkah dan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.

Proyek antara
Presiden SBY saat ini berada dalam lingkaran kegaduhan baik yang disebabkan oleh berlarut-larutnya bencana yang menimpa masyarakat bawah (grassroot) maupun oleh kepentingan pragmatis parpol untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan (elit). Dan tidak mudah bagi SBY untuk mengambil langkah tegas di tengah suasana sistem presidensialisme yang tanggung dan suasana “gaduh” masyarakat akibat bencana yang beruntun dan di luar rencana.

Namun demikian, pada akhirnya keputusan harus diambil SBY dengan mempertimbangkan beragam (skala) “kegaduhan” tersebut. Setiap kebijakan pasti ada risiko baik secara politik maupun sosial. Namun keputusan ini jauh lebih bermakna daripada membiarkan kegaduhan terus berlarut yang justru menjadikan laju reformasi tersendat bahkan jalan di tempat.

Reshuffle memang bukan jaminan bahwa roda pemerintahan akan jauh lebih baik. Namun pemerintah bisa memprediksi melalui evaluasi yang obyektif dan transparan terhadap kinerja kabinet saat ini untuk kemudian diambil tindakan yang lebih proporsional dan efektif. Plus minus kabinet harus dipaparkan, sehingga tidak muncul rapot-rapot liar (subyektif) yang diusung beragam kepentingan yang menambah suasana gaduh.

Reshuffle hanya “proyek antara” untuk menjawab persoalan-persoalan yang menghimpit masyarakat. Dengan kata lain, rakyat tak peduli apakah presiden mereshuffle atau tidak para pembantunya. Mereka hanya berharap ada manfaat dari kedaulatan yang telah mereka titipkan pada para wakilnya (legislatif) dan pada presiden (eksekutif) untuk menjalankan roda negara.

Kini pemerintah (presiden) tinggal menjawab secara konkret berbagai bencana yang membuat masyarakat gaduh, baik melalui reshuffle atau kerja nyata yang lebih terasa dalam kehidupan rakyat. Kalau tidak, negeri ini akan terus gaduh. Dan bekerja di tengah suasana yang gaduh tidak akan semaksimal bekerja di tengah suasana yang tenang dan damai.*

Thursday, April 19, 2007

Opini

Lingkaran Setan Kekerasan
Media Indonesia, Kamis, 19 April 2007

A. Bakir Ihsan

Kekerasan di negeri ini tak pernah berujung. Terbunuhnya praja Cliff Muntu hanya puncak gunung es dari lautan kekerasan yang terjadi di wilayah publik. Siapapun patut miris melihat kenyataan tersebut. Itulah potret kita hari ini. Kekerasan menjadi fenomena eksesif yang berlangsung di hampir semua ranah kehidupan. Dari kaum elit sampai rakyat tak sepi dari kekerasan. Wajar apabila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa perlu turun langsung dalam penyelesaian kasus kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Selain mengeluarkan enam instruksi penyelesaian kekerasan di lembaga pendidikan kedinasan tersebut, Presiden juga membentuk tim evaluasi IPDN. Sejauhmana langkah Presiden tersebut efektif bagi tumbuhnya budaya otak dan mengeliminasi budaya otot. Pertanyaan ini penting diajukan di tengah kekerasan menjadi atmosfir yang mengungkung kesadaran anak bangsa.

Langkah struktural
Secara umum enam langkah penyelesaian yang diintrodusir Presiden bersifat struktural. Evaluasi, investigasi, pembekuan, dan perombakan merupakan langkah konstruktif atas konstruk kekerasan struktural. Langkah struktural ini biasanya didasari oleh asumsi bahwa problem kekerasan bisa diselesaikan melalui perombakan sistem (struktural).

Langkah struktural ini bisa diprediksi baik skala perumusan maupun implementasi penyelesaiannya. Hal ini dimungkinkan karena realitas struktural bersifat empirik dan bisa dikuantivikasi dan dikalkulasi secara matematis. Evaluasi, investigasi, pembekuan, dan perombakan dapat ditentukan waktunya; kapan dimulai dan kapan harus diakhiri. Namun sejauhmana efektivitas langkah tersebut, di sinilah pentingnya sintesa penyelesaian.

Tentu terlalu dini untuk melihat efektivitas langkah penyelesaian kekerasan tersebut, khususnya bagi penyelesaian kekerasan di IPDN. Namun kita bisa mengomparasikan langkah-langkah struktural yang selama ini diterapkan SBY sebagai terapi atas problem yang dihadapi negara. Kasus yang paling menonjol adalah pemberantasan korupsi.

Sejak awal terpilih, SBY sudah menyatakan perang melawan korupsi. Komitmen ini diimplementasikan melalui upaya-upaya struktural. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor), dan lembaga terkait lainnya dipacu membongkar penyimpangan keuangan negara. Mulai penyelidikan, penyidikan sampai penjeblosan para koruptor ke dalam penjara dilakukan. Namun mengapa korupsi tak juga usang. Langkah pemberantasan korupsi dengan menjerat para pelakunya berjalin berkelindan dengan tindak korupsi baru. Korupsi layaknya virus yang bisa mengevolusikan (menyesuaikan) dirinya melawan beragam jeratan hukum dengan berbagai cara. Mulai manuver legal seperti judicial review atas UU KPK sampai “taktik sakit” untuk memperlambat proses pemeriksaan.

Langkah-langkah struktural SBY dalam pemberantasan korupsi berdiri sejajar dengan indeks korupsi. Otonomi daerah yang sejatinya bisa memutus mata rantai korupsi yang sentralistik, ternyata melahirkan korupsi baru di tingkat lokal. Wajar apabila kuantitas korupsi di Indonesia berjalan seirama dengan pemberantasan korupsi itu sendiri.

Belajar dari pengalaman pemberantasan korupsi di atas, terlihat jelas bahwa langkah struktural belum cukup efektif bagi penyelesaian tindakan menyimpang (korupsi). Oleh sebab itu, diperlukan langkah holistik untuk mempersempit gerak aktualisasi tindakan menyimpang, seperti korupsi dan kekerasan. Di sinilah perlunya transformasi kultural sebagai bagian tak terpisahkan dari rekonstruksi sistem yang telah ikut memapankan kekerasan.

Transformsi kultural
Langkah transformasi kultural tidak sekadar perubahan kurikulum sebagai landasan nilai dalam pendidikan. Namun lebih dari itu. Diperlukan keteladanan yang tercermin dari sikap dan perilaku seluruh anak bangsa, khususnya para elit yang sejatinya menjadi rujukan nilai. Terjadinya kekerasan di IPDN dan di ranah publik lainnya bukan hanya kegagalan struktural (lembaga) tersebut, tapi kegagalan sebuah sistem pendidikan nasional. Lebih luas lagi adalah kegagalan aparatus yang lebih sibuk memikirkan diri, kelompok, golongan, organisasi, maupun partai. Mereka gagal meletakkan dirinya sebagai senyawa dari seluruh sistem yang ada di republik ini.

Reaksi dengan cara mengutuk dan menumpahkan segala kesalahan pada IPDN atas terjadinya kekerasan semata membuktikan politik “lepas tangan”. IPDN diletakkan sebagai lembaga yang lahir dengan cacat bawaan. Ia seperti anak haram yang kehadirannya hanya membawa petaka. Oleh sebab itu, muncul tuntutan pembubaran. Tuntutan pembubaran IPDN sesungguhnya tak kalah kejamnya dengan kekerasan itu sendiri.

Logika pembubaran merupakan cermin dari ketidakmampuan. Pembubaran bukanlah solusi. Ia pelarian (jalan pintas) dari ketidakpedulian dan ketidakmampuan menata realitas yang ada. Padahal di dalamnya generasi bangsa mempertaruhkan masa depannya. IPDN seakan berdiri sendiri dan menanggung sendiri akibatnya. 17 praja yang mati tak wajar (versi Inu Kencana) layaknya tsunami yang menggerus ratusan generasi muda yang masih punya asa. Paradigma ini mengubur holistika kenegaraan sebagai sebuah sistem yang saling terkait.

Dalam konteks holistika kenegaraan, maka kekerasan IPDN merupakan kegagalan sebuah sistem pendidikan di sebuah negara bernama Indonesia. Kekerasan yang terjadi merupakan ekspresi dari atmosfir yang mendorong terjadinya kekerasan. Inilah yang oleh Johan Galtung disebut sebagai “lingkaran setan kekerasan” (vicious cycle of violence).

Oleh sebab itu, penyelesaiannya tidak bisa bersifat segmented. Pembubaran adalah jalan paling mudah dengan ongkos yang sangat mahal. Nilai historis dan misi suci yang diemban lembaga ini terbangun dari rangkaian sejarah yang tak mungkin diulang. Dengan segala kekurangannya, lembaga ini sedikit banyak memberi andil dan asa bagi generasi yang bertaruh menjadi pamong praja. Oleh sebab itu, lembaga ini tidak harus dikubur, hanya karena puluhan “tikus” di dalamnya.

Kalau cara (pembubaran) ini dipakai, berapa banyak lembaga harus dikubur karena problem pada aspek-aspek implementatif-prosedural. Termasuk DPR yang tidak lagi menjadi representasi kepentingan rakyat. Apakah DPR harus dibubarkan karena beberapa anggotanya berbuat mesum, melakukan korupsi, menerima dana non-budgeter departemen, dan lebih suka studi banding ke luar negeri?

Di sinilah proses rekonstruksi nilai (kultural) diperlukan. Nilai yang mengikat rasa tanggungjawab bersama atas nasib anak bangsa. Sulit dimungkiri bahwa nilai yang tersebar di negeri ini belum sepenuhnya menjadi atmosfir yang bisa meminimalisasi kekerasan. Bahkan bisa jadi sebaliknya. Kekerasan menjadi nafas akibat keterdesakan dan hilangnya kepedulian.

Hancurnya kepedulian pada sesama menjadi pemantik ketidakpedulian (kekerasan) para senior terhadap yuniornya, bawahan terhadap atasannya, bahkan orangtua terhadap anaknya. Belum hilang dari ingatan kita, polisi membunuh atasannya dan prahara seorang ibu yang membunuh empat orang anaknya karena himpitan derita dan kehabisan asa.

Di tengah para politisi (elit) bersilat lidah untuk kekuasaan, rakyat sampai pada titik keputusasaan akibat kehilangan daya untuk percaya pada para wakilnya dan elit yang harus mengayominya. Inilah atmosfir nilai yang tersebar di antara kesadaran anak bangsa. Dan tidak usah heran, apabila fenomena kekerasan di IPDN akan terjadi di ranah publik yang lain secara liar. Di sinilah komprehensivitas dan holistika sebuah penyelesaian kekerasan diperlukan, termasuk kekerasan di IPDN. Rekonstruksi struktural melalui kebijakan harus diiringi transformasi kultural melalui keteladanan. Kalau tidak, kekerasan itu akan terus berputar menjadi lingkaran setan yang mengintai setiap hela nafas anak bangsa.*

Thursday, April 05, 2007

Opini

Anomali Interpelasi Nuklir Iran
Indo Pos, Kamis, 5 April 2007

A. Bakir Ihsan

Resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB begitu urgen bagi anggota DPR. Bahkan, ia jauh lebih menarik daripada persoalan lain sehingga layak untuk diinterpelasi. Soliditas anggota dewan ternyata lebih mengental dalam persoalan nuklir Iran daripada impor beras, bencana transportasi, busung lapar, kemiskinan, dan ancaman penyakit flu burung yang mengancam rakyat. Di sinilah anomali interpelasi yang sedang digalang DPR.

Kalau interpelasi itu berhasil diselenggarakan, semakin miris rasanya di tengah kegagalan DPR menggunakan hak interpelasi dalam masalah yang jauh lebih bermakna bagi kehidupan masyarakat. Fenomena itu dapat ditafsirkan semakin liarnya orientasi anggota dewan sebagai wakil rakyat.

Masalah yang tak berpengaruh langsung bagi kehidupan masyarakat ternyata lebih menarik perhatian dan mengentalkan kolektivitas anggota dewan yang jelas-jelas digaji oleh uang rakyat, bukan dari hasil nuklir Iran, atau belas kasih Amerika dan sekutunya.

Wajar apabila rakyat menganggap partai -yang tepersonifikasi dalam diri anggota dewan- tidak lagi sebagai representasi aspirasinya. Sebagaimana dilansir Lembaga Survei Indonesia (LSI) Maret 2007 bahwa 65 peren rakyat menganggap terjadi disparitas antara sikap dan perilaku partai (elite politik) dengan kehendak rakyat. Dan, interpelasi tentang resolusi DK PBB itu semakin memperkuat hasil survei tersebut.

Makna Interpelasi
Banyak makna yang bisa dipahami dari langkah interpelasi yang dirancang DPR terkait resolusi DK PBB atas Iran. Pertama, interpelasi sebagai bargaining (move) politik. Hal itu terlihat dari ketidakpuasan anggota dewan atas penjelasan yang diberikan Menlu Hassan Wirajuda dalam rapat dengan komisi I yang memakan waktu 6 jam (29 Maret). Mereka masih menginginkan penjelasan langsung dari Presiden SBY.

Padahal, dalam sistem presidensial, menteri merupakan satu tubuh kepresidenan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, bisa dipastikan bahwa penjelasan presiden tidak akan berbeda dengan penjelasan Menlu sebagai pembantunya. Di sini terlihat bahwa ada kepentingan yang lebih dari sekadar interpelasi.

Kedua, antagonisme politik. Selama ini terjadi tarik-menarik antara legislatif dan eksekutif. Dalam beberapa kasus, legislatif memerankan diri sebagai penentu eksekutif, termasuk desakan reshuffle kabinet. Padahal, secara yuridis, keduanya berdiri sejajar. Itu semua terjadi akibat antagonisme politik yang menutup kesepahaman antarkeduanya.

Karena itu, dalam kasus resolusi DK PBB terkait nuklir Iran, muncul tuduhan eksesif bahwa dukungan pemerintah atas resolusi tersebut sebagai tindakan melanggar UUD 1945. Dan, bisa ditebak, tuduhan inkonstitusional presiden itu bisa berujung pada pemakzulan.

Ketiga, problem semipresidensialisme. Secara de facto, sistem politik saat ini bercorak semipresidensial yang berpijak pada ambiguitas relasi antara legislatif dan eksekutif. Dalam hal interpelasi resolusi 1747 ini, terlihat jelas partai pemerintah (Golkar) terlibat bahkan memelopori interpelasi. Sejatinya merekalah yang paling awal bisa memahami dan menyosialisasikan keputusan pemerintah yang didukungnya. Sayang, semua itu tidak terjadi.

Keempat, langkah interpelasi itu sebagai mode atau upaya pencitraan di tengah merosotnya citra anggota dewan sekaligus penurunan citra SBY-Kalla yang menurut survei LSI, Maret 2007, anjlok.

Interpelasi kali ini bisa menjadi momentum pencitraan DPR setelah dikritik keras atas fasilitas laptop yang akhirnya digagalkan. Bisa juga sebagai pembuktian bahwa interpelasi merupakan hak yang bisa dilaksanakan DPR setelah beberapa kali mati kutu pada masa-masa sebelumnya. Sementara bagi pemerintah, hal itu menambah citra negatifnya. Sayang, ini dilakukan partai pendukungnya.

Politis dan Teologis
Dukungan atas interpelasi terkait nuklir Iran itu kalau dilihat dari substansinya sangatlah sumir. Apalagi, resolusi demi perdamaian tersebut didukung sepenuhnya oleh negara-negara Arab sebagaimana tertuang dalam pertemuan Liga Arab baru-baru ini. Namun, bagi anggota DPR, dukungan pemerintah menjadi blunder. Pada titik ini, ada nuansa eksploitasi isu yang berkembang, mulai persoalan politis hingga teologis.

Secara politis, Resolusi 1747 mendapatkan dukungan kuat di tengah hegemoni dan ketegangan Amerika dengan Iran. Akibatnya, keputusan lembaga internasional seperti PBB selalu ditafsirkan sebagai manifestasi kepentingan Amerika. Dan, negara yang mendapatkan sanksi akan dibaca sebagai bentuk penindasan dan eksploitasi global yang dimotori Amerika.

Sementara secara teologis, resolusi tersebut terkait eksistensi Iran sebagai negara muslim. Relasi kultural antara masyarakat muslim dieksploitasi sehingga menarik masalah tersebut pada ranah teologis, termasuk ancaman perang salib. Padahal, masalah tersebut sejatinya merupakan ranah politik global yang tak terkait ajaran agama.

Interpelasi anggota DPR harus tetap dihargai sebagai hak anggota dewan. Namun, kalau dikaitkan dengan substansi persoalan yang sumir, langkah seperti itu tak boleh berulang karena lebih cenderung pada unsur politis daripada penguatan peran dan hak anggota dewan sebagai wakil rakyat.

Apabila cara-cara -interpelasi masalah sumir- tersebut berkembang, DPR akan terkesan mengedepankan mode (tren) daripada pemberdayaan politik rakyat sebagai realitas yang diwakili.

Efektivitas energi anggota dewan sejatinya bisa dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada rakyat di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap peran dan eksistensi dirinya. Hal itu bisa dilakukan melalui kontrol yang kuat atas langkah dan kebijakan pemerintah. Terlalu banyak persoalan yang lebih serius dihadapi masyarakat.

Walaupun pada akhirnya interpelasi terjadi, itu bukan jaminan bahwa DPR akan melakukan hal yang sama dalam kasus-kasus yang lebih urgen dan berkorelasi signifikan dengan kepentingan rakyat, seperti kasus lumpur Lapindo, Trisaksi, illegal logging, illegal mining, dan kasus-kasus lainnya. Bargaining politik akan lebih mengemuka dalam menentukan urgen tidaknya sebuah kebijakan pemerintah diinterpelasi.

Cacat Bawaan
Interpelasi sebagai hak anggota dewan seharusnya bisa dilakukan secara efektif. Tolok ukur efektivitas sebuah interpelasi adalah keterkaitannya dengan persoalan rakyat. Yaitu, seberapa jauh interpelasi tersebut memberikan manfaat langsung bagi kehidupan nyata rakyat.

Dalam konteks tersebut, diperlukan kecerdasan anggota dewan membaca dan memperjuangkan aspirasi yang berkembang. Langkah interpelasi resolusi DK PBB itu menjadi blunder yang menggerus isu-isu lokal. Bencana transportasi yang menelan ratusan korban jiwa akibat kelalaian aparatnya menghilang seiring isu interpelasi. Napas warga Sidoarjo yang sekarat akibat banjir lumpur panas nyaris tak tersentuh. Nasib para martir reformasi sudah hilang dari memori Senayan. Itu semua merupakan cacat bawaan sekaligus potret anggota dewan yang hadir berdasar seleksi partai yang elitis, bukan rakyat yang berdaulat.

Wednesday, April 04, 2007

Opini

Political will SBY dan 'akal fulus' DPR
Bisnis Indonesia
, Rabu, 4 April 2007

A. Bakir Ihsan

Baru-baru ini anggota DPR RI dihebohkan oleh rencana pengadaan laptop seharga Rp21 juta. Namun setelah mendapat banyak reaksi, akhirnya rencana tersebut dibatalkan.

Tak berapa lama setelah itu, giliran anggota DPRD di beberapa daerah (seperti Yogyakarta dan Padang) yang minta jatah laptop. Mereka tak rikuh menerima bantuan laptop, walaupun tidak semuanya bisa menggunakannya. Lalu kinerja macam apa yang bisa diharapkan dari alat yang 'asing' tersebut?

Problem utama dari fakta politik di atas bukan pada kehendak untuk menerima atau menolak laptop, namun pada sense of morality. Secara naluriah, setiap orang mau menerima pemberian, hadiah, dan fasilitas gratis lainnya.

Namun pertimbangan moral menyebabkan tidak semua orang bisa menerima sebuah pemberian. Terbukti anggota DPR RI akhirnya menolak fasilitas laptop setelah mendapat reaksi dari berbagai pihak.

Sejatinya mereka berhak dan berhasrat atas fasilitas itu. Bahkan Ketua DPR Agung Laksono meminta proyek laptop tetap diteruskan dengan alasan sudah disetujui oleh rapat paripurna DPR.

Pada dasarnya perilaku anggota dewan baik DPR maupun DPRD tidak jauh beda dalam urusan uang (fulus). Mereka selalu berusaha untuk mendapatkan fasilitas dari negara melalui klaim-klaim yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Kenaikan tunjangan dan fasilitas lainnya merupakan bukti dari kecenderungan 'akal fulus' tersebut. Karena itu, kita tak perlu terkejut kalau nanti ada lagi rencana penyediaan fasilitas yang diambil dari uang negara atas nama peningkatan kinerja.

Kasus laptop dan fasilitas lainnya bukan persoalan penggunaan uang negara semata, namun di sini terlihat adanya disorientasi anggota dewan sebagai pengemban amanat penderitaan rakyat.

Konsekuensinya, jarang anggota dewan berkehendak menggunakan fasilitas yang didapatkan dari negara untuk kepentingan rakyat. Dalam kasus laptop, misalnya, walaupun anggota DPR sepakat menolaknya, namun uang peruntukan laptop tersebut dialokasikan untuk keperluan DPR yang sebelumnya tidak dianggarkan.

Ini membuktikan bahwa dalam urusan anggaran, DPR tak pernah berpikir untuk rakyat. Negara menjadi lumbung fasilitas untuk kepentingan diri anggota dewan.

Hemat Rp100 miliar
Di tengah kondisi anggaran negara yang minim, sejatinya uang yang tidak dipakai sesuai rencana semula dikembalikan ke kas negara. Mungkin dalam hal ini, anggota dewan bisa berkaca pada Presiden SBY yang dalam dua tahun kepemimpinannya berhasil berhemat Rp100 miliar dan dikembalikan ke kas negara.

Orientasi dan perilaku politik untuk rakyat tampaknya menjadi barang langka. Jangankan hasrat mengembalikan, justru mereka mencari celah memaksimalkan anggarannya dengan menguras uang negara. Dan bukan rahasia lagi bahwa di lembaga legislatif ada istilah komisi basah dan kering sebagai indikasi kuantitas uang yang mengalir untuk kepentingan rapat komisi.

Kasus terakhir adalah perebutan komisi basah di DPRD Lampung. Masing-masing fraksi berebut komisi yang terkait dengan perekonomian & keuangan (Komisi B) dan pembangunan (Komisi C). Sementara komisi yang menangani bidang pemerintahan (Komisi A) dan kesejahteraan (Komisi D) seperti keranjang sampah.

Realitas ini merupakan puncak gunung es dari money oriented yang terjadi di lembaga wakil rakyat. Ironis memang, komisi yang membidangi masalah kesejahteraan justru tidak menarik minat anggota dewan, padahal di situlah rakyat bertaruh.

'Akal fulus' ini bukan hanya milik legislatif. Di eksekutif bahkan di lembaga yudikatif, masalah uang mengalir deras. Munculnya koruptor dari lembaga negara tersebut membuktikan bahwa moralitas dan kepeduliannya pada rakyat tersubordinasi di bawah kepentingannya pada uang.

Rakyat dibiarkan bergulat memeras keringat tanpa tahu hasil yang akan didapatnya. Negara yang seharusnya mengayomi dan memberi jalan bagi nafas rakyat justru membuatnya sesak. Inilah paradoks rakyat di tengah demokrasi dirayakan. Kalau dalam rezim otoriter, rakyat tertindas dalam semua aspek kehidupannya, termasuk kesadarannya, adalah hal yang wajar. Namun bila rakyat teralienasi di tengah demokrasi dipentaskan, maka apa beda demokrasi dengan otoritarian.

Di sinilah peran negara dibutuhkan agar demokrasi tidak hanya mengalir dari saku dan otak kaum elite. Rakyat yang hanya bermodal kepercayaan dan kedaulatan tidak punya energi untuk melawan oligarki politik, kecuali didukung kehendak negara berupa political will.

Untuk memperpendek ruang gerak oligarkisme kaum elite khususnya dalam penggunaan uang negara, dibutuhkan kebijakan khusus yang bisa merangsang keinginan untuk berhemat. Langkah ini memang tidak mudah, karena akan mendapat perlawanan dari mereka yang telanjur merasakan fasilitas uang negara. Hal ini sama dengan kebijakan pemberantasan korupsi yang mendapat resistensi dan perlawanan dengan berba-gai cara.

Namun berbeda dengan kebijakan pemberantasan korupsi, kebijakan berhemat ini merupakan langkah preventif agar beban uang negara terkurangi. Paling tidak langkah ini dapat memberi kesempatan yang lebih luas pada negara untuk memaksimalkan dananya bagi pemberdayaan ekonomi rakyat.

Kecerdasan nurani
Secara logika, anggaran yang sudah disahkan oleh negara harus dipergunakan semaksimal mungkin sesuai peruntukannya. Inilah alasan anggota dewan yang mengalihkan dana laptop untuk kepentingan lainnya dengan alasan dana tersebut sudah dianggarkan.

Cara pandang ini secara logika prosedural (linear) tidak bermasalah. Namun secara moral bisa sangat bias dan distorsif apalagi kalau dikaitkan dengan fungsi anggota dewan sebagai wakil rakyat. Apabila logika linear ini dibiarkan menguasai kesadaran, maka rakyat akan selalu menjadi korban di tengah disorientasi kerakyatan yang melanda para wakil rakyat.

Agar hal tersebut tidak terus berkembang diperlukan pengembangan logika (kecerdasan) nurani. Sebuah kecerdasan yang digerakkan oleh rasa kemanusiaan (sosial) yang multidimensional. Ia bersifat fleksibel dan memandang realitas secara inklusif dan fenomenologis. Kecerdasan nurani akan memandu seseorang untuk menemukan skala prioritas dalam melakukan aktivitasnya, tanpa terkungkung oleh alur prosedural yang kaku.