Saturday, April 21, 2007

Opini

SBY & Sisi Gelap Perempuan
Seputar Indonesia, Sabtu, 21 April 2007

A. Bakir Ihsan

Perempuan adalah realitas yang terasing. Paling tidak, itulah kesan yang muncul melihat perlakuan sejarah atas perempuan. Ia tersubordinasi di bawah wacana universal para filosof dan sabda agung kaum teolog serta represi politik kaum elite. Ia tersandera oleh kungkungan kultural dan struktural sejak milenium keempat sebelum masehi sampai kini.

Menurut survei yang dilansir The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) 18 April kemarin, terjadi ketidaksetaraan partisipasi gender di pasar tenaga kerja Indonesia.Perempuan baru menikmati 51% lapangan kerja, sementara laki-laki 85%. Data ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja Indonesia adalah pasar kaum laki-laki.

Begitu juga dalam politik.Tuntutan representasi perempuan di ranah politik merupakan bukti hancurnya identitas kemanusiaan perempuan. Persentase 30% bagi perempuan dalam pencalonan anggota legislatif pada pemilu yang lalu membuktikan distorsi posisi perempuan yang secara kuantitas merupakan mayoritas, namun mendapat jatah minoritas.

Kenyataan tersebut membuktikan bahwa secara kultural dan struktural, perempuan masih berhadapan dengan realitas misoginis yang begitu sistemik dan hegemonik di ranah publik. Inilah lorong gelap perempuan yang masih terasa sampai kini.Entah sampai kapan.

Wacana dan Fakta
Secara simbolik, setiap tahun kita peringati hari Kartini (21 April) sebagai ekspresi emansipasi.Pada tataran praksis, kaum perempuan tak pernah lelah bergerak memperjuangkan eksistensinya. Sementara secara kelembagaan negara telah memberi lahan bagi pemberdayaan perempuan melalui kementerian pemberdayaan perempuan dan komisi perempuan. Namun mengapa semua landasan itu belum berhasil menjadi pijakan faktual bagi eksistensi perempuan, justru di tengah reformasi dan demokrasi dirayakan.

Di sinilah kita perlu membongkar rangkaian kebijakan dalam sistem kenegaraan presidensial. Dalam sebuah tatanan bernegara di bawah sistem presidensial, agenda-agenda transformasi tidak bisa dilepaskan dari respons presiden atas agenda tersebut, termasuk agenda kaum perempuan. Oleh sebab itu, membincang eksistensi perempuan saat ini harus dikorelasikan dengan wacana dan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap perempuan itu sendiri.

Ada beberapa wacana yang dilontarkan Presiden SBY terkait eksistensi perempuan. Pertama, di awal pemerintahannya, SBY menyinggung tentang pusar perempuan yang menurutnya tak layak dipertontonkan di ruang publik. Bagi kalangan feminis, pernyataan SBY ini mengundang tanda tanya. Bahkan, sebagian kalangan menganggap pernyataan SBY tersebut sebagai bagian dari hegemoni patriarki yang menelusup dalam lembaga negara.

Kedua, respons SBY dalam kasus poligami.Secara tegas SBY menyatakan bahwa negara berdasarkan monogami. Landasan ini menjadi dasar bagi seluruh warga negara dalam mengaktualisasikan dirinya di tengah masyarakat yang masih berkubang dalam jerat patrimonial. Dalam konteks ini pun, masyarakat meresponsnya secara beragam. Dari yang menolak sampai mendukungnya.

Ketiga, perempuan dilihat sebagai realitas yang secara kodrati memiliki potensi yang sama dengan lakilaki dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi pada negara apabila diberi peluang yang sama. Hal ini diungkapkan SBY pada acara Puncak Peringatan Hari Ibu ke-78, beberapa waktu lalu (22/12).

Dari ketiga wacana tersebut terlihat bahwa perempuan di mata Presiden merupakan realitas yang setara dan memiliki peluang yang sama. Persoalannya, sejauh mana negara memberi peluang bagi aktualisasi potensi kaum perempuan.

Negara dan Perempuan
Perlu pembelaan negara terhadap nasib perempuan melalui berbagai kebijakan. Menurut Presiden, ada empat agenda yang menjadi fokus pemerintah terkait eksistensi perempuan. Pertama, perlindungan terhadap kaum perempuan dari kekerasan, kejahatan, dan tindakan yang ekstrem. Kedua, peningkatan kualitas hidup perempuan sesuai dengan indeks pembangunan manusia. Ketiga, memajukan dan mengembangkan kaum perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, maupun sosial. Keempat, memastikan bahwa tatanan kehidupan, UU dan peraturan lainnya harus adil, tidak bias gender, dan tidak diskriminatif.

Untuk mengukur sejauh mana agenda- agenda tersebut mendekati proses implementasinya,perlu pembacaan terhadap kebijakan politik SBY. Beberapa waktu lalu, di hadapan Kaukus Perempuan Parlemen, Presiden SBY mengusulkan penyempurnaan sistem pemilu. Yaitu sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut. Menurutnya, sistem ini memberi peluang dan kesempatan yang sama bagi seluruh warga baik laki-laki maupun perempuan baik dari kelompok minoritas maupun mayoritas untuk menjadi wakil rakyat (anggota legislatif). Dengan demikian, tidak perlu lagi ada istilah nomor sepatu atau nomor jadi.

Sistem pemilu proposional yang berlaku sekarang ini sangat bias gender. Di samping (jatah 30%) tidak representatif bila diukur berdasarkan kuantitas perempuan, juga belum dilaksanakan secara maksimal oleh semua partai. Ini patut kita khawatirkan, karena partai politik yang sejatinya menjadi pilar emansipasi dan pemberdayaan seluruh potensi warga negara, termasuk kaum perempuan, ternyata masih jauh panggang dari api.
Sistem pemilu proposional terbuka tanpa nomor urut di samping memberi kesempatan yang sama pada semua warga, juga memberi ruang kebebasan pada masyarakat untuk memilih sesuai suara hatinya. Masyarakat tidak perlu khawatir kehilangan suaranya karena tersedot caleg urutan atas yang bukan pilihannya. Begitu juga perempuan tidak terikat oleh nomor urut yang ditentukan oleh partai.

Tawaran SBY ini tidak mudah diwujudkan karena akan mengancam calon yang banyak bergantung ke atas (elite) daripada ke bawah (rakyat).Mereka inilah kader ‘jenggot’ yang eksistensinya ditentukan oleh loyalitasnya pada atasan, bukan pada rakyat. Dengan sistem pemilu proporsional terbuka tanpa nomor urut,akan memicu para calon untuk menjadi yang terdekat pada rakyat.Dan ranah publik betul-betul menjadi ajang perebutan citra dan simpati tanpa diskriminasi. Lebih dari itu, demokrasi akan semakin terkonsolidasi dan bisa menyinari lorong gelap perempuan. Semoga. (*)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/sby-sisi-gelap-perempuan-perempuan-3.html

1 comment:

Emi Ilmiah said...

Saya sangat menikmati tulisannya. Tapi, berapa banyak ya kira2 perempuan Indonesia yg akan memilih pemimpin perempuan?