Friday, March 25, 2011

Open Society & Krisis Ekonomi Politik Global


Opini

Open Society & Krisis Ekonomi Politik Global

Jurnal Nasional, Jum’at, 25 Maret 2011

A. Bakir Ihsan

Dunia dirundung duka. Gonjang-ganjing politik di kawasan Timur Tengah tak juga usai. Bahkan duka itu menebar ancaman bagi ekonomi politik global. Harga minyak mentah dunia terus menanjak naik. Krisis di Libya yang berdampak pada naiknya harga minyak dunia, menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, menjadi “lampu kuning” bagi APBN 2011.

Krisis politik yang menjalar di antara negara-negara muslim ini patut menjadi perhatian bersama. Bukan sekadar karena dampaknya bagi perekonomian dunia saat ini, tapi dalam jangka panjang krisis yang dihadapi negara-negara Islam itu tidak selesai dengan jatuhnya para diktator. Problem yang lebih besar masih menghantui negara-negara yang mayoritas bertumpu pada kekayaan minyak itu.

Beberapa waktu lalu, lembaga riset Pew Forum on Religion & Public Life (http://pewforum.org) melansir temuannya terkait pertumbuhan penduduk muslim di dunia. Menurut hasil riset yang bertajuk; The Future of the Global Muslim Population ini, pada 2030 jumlah penduduk muslim dunia akan mengalami peningkatan. Saat ini (2010) jumlah muslim dunia adalah 1,6 miliar dan akan bertambah menjadi 2,2 miliar pada 2030.

Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari pertumbuhan penduduk muslim yang tersebar di berbagai negara, baik di negara (berideologi) Islam, negara (berpenduduk) muslim, maupun negara sekuler dengan tingkat persentase yang beragam. Yang menarik, kalau selama ini Indonesia menjadi negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, pada 2030 akan tergeser oleh Pakistan. Umat Islam di Indonesia, dua puluh tahun mendatang diperkirakan bertambah menjadi 238.833 juta, tertinggi kedua setelah Pakistan 256.117 juta. Apa yang menarik kita baca dari data yang di-release 27 Januari lalu itu?

Efek domino

Peningkatan jumlah penduduk muslim, sebagaimana pertumbuhan penduduk lainnya, selalu memunculkan dua efek. Selain jumlah penduduk dapat menguatkan eksistensi, juga secara ekonomi-politik kuantitas bisa mempengaruhi arah kebijakan politik. Dalam kontestasi politik misalnya, kuantitas jumlah suara akan sangat menentukan bagi terpilih atau tidaknya kontestan. Dalam hal ini kuantitas suara memiliki daya tawar (bargaining position) yang signifikan. Begitu juga secara ekonomi, jumlah penduduk juga ikut menentukan terhadap akumulasi modal yang beredar di tengah masyarakat. Namun demikian, jumlah penduduk juga punya konsekuensi lain.

Akhir Januari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan peserta pertemuan World Economic Forum (WEF) di Kongresszentrum, Davos, Swiss mengingatkan tentang dampak “ledakan” penduduk dunia pada 2045. Menurut data yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 30 atau 40 tahun yang akan datang jumlah penduduk dunia akan mencapai 9 miliar dengan beragam konsekuensinya baik pada tataran global maupun nasional.

Pertumbuhan penduduk tersebut memiliki efek domino bagi kehidupan global. Pertumbuhan yang terus meningkat sementara persediaan alam terbatas, bahkan terus berkurang bisa memicu konflik dalam perebutan sumberdaya yang langka. Pertumbuhan tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan kebutuhan manusia. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) PBB, kebutuhan dunia terhadap pangan akan meningkat 70% dari kebutuhan sekarang. Sementara kebutuhan energi akan meningkat 60% dari yang dikonsumsi dewasa ini. Ini memiliki makna dan konsekuensi yang luas, dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia sejagad.

Dampak tersebut dengan sendirinya akan dirasakan oleh umat Islam sebagai bagian dari penduduk dunia. Kalau kita lihat keberadaan umat Islam saat ini baik secara politik maupun ekonomi masih berada di bawah rata-rata. Negara-negara Islam di Timur Tengah walaupun menjadi sumber utama minyak dan energi dunia, tetapi geopolitiknya dihantui oleh kerawanan konflik yang siap meledak setiap saat, sehingga mengganggu perekonomian nasional dan global. Belum lagi, sistem politik di beberapa negara muslim masih jauh dari sistem keterbukaan dan karenanya menyimpan potensi-potensi gejolak yang siap meledak setiap saat. Begitu juga potensi-potensi konflik komunal, baik etnis maupun madzhab, yang bisa menghambat soliditas dan solidaritas keummatan. Dan problem tersebut akan semakin kompleks seiring dengan pertumbuhan penduduk dengan beragam efeknya.

Open Society

Karena itu, pertumbuhan penduduk menuntut adanya pengelolaan yang efektif. Keragaman paham, madzhab, dan etnis akan menjadi kendala apabila tidak diikuti oleh pengelolaan yang baik oleh negara. Konflik komunal akan berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk dengan segala keragaman dan kompleksitasnya. Apalagi bila konflik tersebut bertalitemali dengan politik kekuasaan. Ia tak hanya mengancam solidaritas keummatan, tapi juga kemanusiaan.

Fenomena konflik dan tindak kekerasan yang belakangan ini terjadi di berbagai belahan negara merupakan rangkaian dari kegagalan pengelolaan terhadap keragaman. Pengelolaan yang diperlukan bukan sekadar aturan main, tapi keterbukaan yang ditandai oleh kesediaan untuk saling menghargai perbedaan. Karena itu, diperlukan sistem politik yang memungkinkan adanya negosiasi dan koreksi. Kekerasan yang terjadi di Mesir, Tunisia, Sudan, Libya, Bahrain, dan beberapa negara lainnya menunjukkan matinya keterbukaan (open society) yang mengunci negosiasi dan koreksi.

Ini merupakan agenda yang tidak kalah beratnya karena kebanyakan negara-negara muslim, sebagaimana temuan teranyar Freedom House (2011), masih berkubang dalam otoritarianisme. Terkait hak-hak politik dan kebebasan sipil, dalam release yang bertajuk Freedom in the World 2001, Freedom House menunjukkan bahwa negara-negara muslim, khususnya di Timur Tengah dan Afrika Utara, 78% masih tergolong sangat rendah (not free). Konflik dan kekerasan cenderung menjadi catatan harian umat Islam.

Dalam kondisi demikian, pertumbuhan penduduk muslim dengan tingkat keragamannya akan menambah kompleksitas peta konflik di kalangan umat Islam sendiri. Di tengah sistem dunia yang semakin mengglobal ini, konflik dan problem sebuah entitas akan berdampak pada negara lainnya. Karena itu, keterbukaan (open society) yang ditandai oleh kultur dan struktur yang toleran, transparan, inklusif, dan responsif menjadi keharusan. Hanya dengan itu, pertumbuhan penduduk muslim akan menjadi faktor signifikan bagi pembumian misi profetik damai untuk semesta (rahmatan lil alamin). Semoga.

Thursday, March 10, 2011

Reshuffle Kabinet & Efektivitas Kebijakan



Opini


Reshuffle Kabinet dan Efektivitas Kebijakan
Investor Daily, Kamis, 10 Maret 2011


Ahmad Bakir Ihsan


Reshuffle kabinet merupakan jalan akhir untuk merapikan koalisi yang sedang rapuh. Koalisi yang rapi diharapkan menjadi jalan mulus bagi terciptanya kinerja pemerintahan yang lebih baik. Namun demikian, tak ada jaminan bahwa reshuffle akan menjadi jalan terbaik untuk menekan maneuver politik.


Kritik dan serangan dari berbagai arah mata angin terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan ada problem dalam bangunan pemerintahannya, pun dalam koalisi. Problem ini tak dimungkiri oleh Presiden SBY sendiri.


Dalam rapat kerja pemerintah dengan pemerintah daerah dan BUMN di Istana Bogor, 21 Februari lalu Presiden mengeluhkan adanya hambatan dalam percepatan pembangunan karena ulah birokrasi pada level eselon I dan II yang mementahkan keputusan pusat. Begitu juga program-program pembangunan di tingkat daerah tak lebih sebagai pepesan kosong.


Fakta tersebut menunjukkan bahwa problem kenegaraan kita saat ini bergerak di antara dua kutub, yaitu problem birokrasi (kelembagaan) yang tak sinergis sehingga menghambat terhadap percepatan pembangunan sebagai landasan bagi pertumbuhan ekonomi, dan problem politik yang rapuh yang berakibat pada lambannya proses kinerja pemerintahan.


Kehadiran koalisi, yang sejatinya menjadi jalan lapang bagi stabilitas kinerja pemerintahan, ternyata hampir seperti pepesan kosong. Warna-warni partai koalisi ternyata tak seindah warnanya. Adagium “tak ada kawan dan lawan abadi” tampaknya lebih kuat daripada kehendak bekerja sama dalam koalisi.


Komitmen berkoalisi begitu mencair dan kesepakatan (kontrak politik) diperlakukan sesuai selera. Koalisi tak lebih simbol politik basabasi. Mengapa ini terjadi? Selama ini penyelesaian terhadap berbagai problem politik kebangsaan selalu didekati melalui pendekatan kelembagaan.


Tidak heran bila pascareformasi bermunculan beragam lembaga bak kecambah di musim hujan. Begitu pun dalam koalisi kepartaian. Terbentuknya sekretariat gabungan (Setgab) merupakan perpanjangan dari kehendak untuk “melembagakan” koalisi. Namun, seperti lembaga-lembaga lainnya, keberadaan Setgab gagal menjaga soliditas koalisi dan mendukung program pemerintah.


Sikap sebagian parpol koalisi yang berseberangan dengan pemerintah memperjelas segmentasi loyalitas parpol koalisi. Apa pun alasannya, sikap Partai Golkar dan PKS yang berseberangan dengan sikap partai koalisi, baik dalam Pansus Pajak maupun Century, merupakan tindakan — meminjam istilah Amien Rais — menusuk pinggang pemerintahan SBY. Penguatan Lembaga Realitas hiruk pikuk politik merupakan permukaan dari problem procedural yang menggurita seiring keniscayaan demokrasi di negeri ini.


Demokrasi, sebagaimana didedah Robert Dahl, tak pernah hampa dari problem. Bukan hanya pada tataran prosedural, pada ranah substansi pun khususnya terkait liberty (kebebasan) dan equality (kesetaraan), demokrasi terkadang terjebak dalam ironi. Namun dari problem itu, demokrasi terus mencari solusi melalui eksperimentasi- eksperimentasi sosiopolitik.


Karena itu, kisruh koalisi maupun dinamika politik lainnya, termasuk reshuffle kabinet, harus diletakkan sebagai proses dan upaya penyempurnaan atas “ironi-ironi” demokrasi, termasuk upaya penguatan lembaga-lembaga demokrasi.


Sulit dimungkiri, mekanisme kelembagaan politik kita masih jauh panggang dari api. Partai politik terkadang berwujud sekadar gerombolan kepentingan daripada jembatan bagi pengentasan apirasi rakyat. DPR sebagai epicentrum politik kepartaian dan kerakyatan tak jarang menjadi pasar transaksi kelompok atau bahkan pribadipribadi.


Akibatnya, keberadaan DPR sebagai lembaga perwakilan dan kontrol tak pernah dirasakan oleh rakyat sebagai stakeholder. Penguatan lembaga menjadi sangat penting, karena kekuatan yang bertumpu pada individu-individu tak akan menghasilkan terobosan substantif dalam proses penguatan demokrasi. Inilah yang diwanti-wanti oleh Gunnar Myrdal (Asian Drama, vol. I, 1968) ketika melihat masa gelap negara-negara Asia tahun 1960-an termasuk Indonesia.


Menurut Myrdal, problem yang dihadapi oleh sebuah negara bukan pada pemimpin yang lembek, tapi pada efektivitas kebijakan dan langkah yang diambil dalam proses kenegaraan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi tak bermakna karena tak mampu menstabilisasi lembaga Negara dan mendisiplinkan warganya, sehingga menjadi lahan subur korupsi dan menjamurnya kemiskinan. Itulah yang Myrdal sebut sebagai soft state.


Menimbang Reshuffle

Karena itu, agenda terpenting dari pemerintahan SBY dalam menyelesaikan problem bernegara, termasuk kisruh koalisi adalah penguatan lembaga. Problem koalisi lebih pada mekanisme (manajemen) yang seharusnya bergerak sesuai kontrak politik yang dibuat.


Manajemen tersebut terkait pula dengan reward and punishment yang diberlakukan tanpa tebang pilih. Reward and punishment tak bisa diserahkan pada partai terdakwa (menyimpang), tapi harus ditegakkan berdasarkan komitmen yang telah disepakati bersama.


Karena itu, reshuffle hanya bisa dilandaskan pada evaluasi kerja yang dipertanggungjawabkan pada publik. Dengan demikian, reshuffle akan meringankan kerja presiden dan jajarannya. Namun, bila reshuffle didasarkan pada transaksi politik, ia akan menjadi beban tambahan bagi pemerintahan SBY. Apalagi bila reshuffle hanya mengganti sosok dan menggeser partai tanpa integritas dan kapabilitas yang memadai. Ia bukan hanya menjadi beban bagi presiden, tapi juga berdampak pada terbengkalainya agenda percepatan dan perluasan pembangunan.


Stabilitas kerja pemerintahan akan selalu dirongrong oleh kepentingan transaksi politik. Karena itu, respons konkret dan logis dari Presiden sebagai pemegang hak prerogatif atas kabinet yang ditopang oleh partai koalisi menjadi pertaruhan bagi cepat lambatnya pembangunan untuk bangsa.


http://www.investor.co.id/opini/reshuffle-kabinet-dan-efektivitas-kebijakan/7352