Thursday, June 12, 2008



Opini

SBY dan Ekonomi-Politik Kreatif
Investor Daily, Kamis, 12 Juni 2008

A. Bakir Ihsan

Suasana politik semakin memanas menjelang 2009. Presiden SBY sendiri mengakui bahwa 2008 merupakan “tahun panas.” Beberapa kasus mencuat melampaui kapasitas esensi kasus itu sendiri. Kenaikan BBM 28,7% menimbulkan gejolak jauh melebihi saat BBM naik di atas 100% pada 2005 lalu. Sementara itu, DPR dan elite politik lainnya sibuk membangun citra diri dengan “menunggangi” isu tersebut. Padahal kebijakan kenaikan tersebut berpijak pada pasal 14 ayat 2 UU APBN-P 2008 yang sudah disetujui oleh DPR. Mainstream politik yang paradoks yang dioperasikan oleh elite ini menjadi preseden buruk bagi pemberdayaan politik warga.

Namun demikian, di tengah krisis ekonomi dan politik tersebut tumbuh kreativitas dari masyarakat. Baik di bidang ekonomi maupun politik muncul upaya-upaya kreatif masyarakat untuk tidak terjebak dalam mainstream ekonomi-politik yang cenderung elitis dan bias. Masyarakat berjuang untuk tetap eksis melalui langkah-langkah “sederhana” baik di bidang politik maupun ekonomi agar hidupnya tetap mengalir. Inilah yang penulis sebut sebagai ekonomi-politik kreatif.

Politik kreatif
Secara politik kita berhasil mengantarkan republik ini pada ladang demokrasi. Bahkan menurut duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Camerun R. Hume keberhasilan Indonesia merenda demokrasi melampaui keberhasilan Amerika saat mengawal demokrasi 200 tahun lalu. (When one looks at the speed of progress that Indonesia has made over its first decade of democracy, in many ways it exceeds the United States’ initial transition into a national democracy over 200 years ago). Demokrasi yang awalnya begitu mewah bahkan sakral di republik ini, kini begitu mencair, bahkan cenderung menjadi politik harian. Rakyat bisa memilih langsung para pemimpinnya baik pada tingkat nasional (presiden) maupun lokal (gubernur dan bupati/walikota).

Kalau dilihat secara kultural, bangsa ini mengalami distorsi historis dalam menapaki demokrasi. Karenanya, budaya demokrasi yang sering disebut-sebut sebagai bagian inheren dalam budaya bangsa sering menjadi sebuah utopia bahkan anomali karena tidak terpapar dalam kenyataan. Semua itu terjadi karena aliran sejarah bangsa ini sempat terpenggal oleh politik kekuasaan yang represif, otoriter, dan sentralistik yang dioperasikan rezim masa lalu. Inilah yang memberi sumbangsih pada realitas kekinian yang paradoks yang tidak jarang berkubang dalam konflik, kekerasan, intimidasi, bahkan alienasi di tengah demokrasi dirayakan secara prosedural.

Titik simpang antara prosedur dan kultur demokrasi melahirkan transisi yang seharusnya berujung pada konsolidasi. Prosesi yang berlangsung selama transisi akan menentukan cepat tidaknya konsolidasi. Semua tergantung pada sejauhmana demokrasi dikawal dan diperlakukan baik oleh elite politik maupun publik. Kalau melihat fakta politik yang berlangsung saat ini sisi terlemah terletak pada elite yang lebih mengedepankan orientasi politik kekuasaannya daripada penguatan politik rakyat.

Walaupun para elite sering berbicara atas nama rakyat, namun itu semua bersifat semu dan topeng untuk memperkuat agenda personalnya. Akibatnya rakyat tidak memperoleh apa-apa kecuali penciptaan citra yang ditebar melalui media-media publik, seperti iklan politik. Mereka merangsang rakyat menjadi imajiner-imajiner kekuasaan yang menjerumuskan dan penuh kepalsuan.

Di tengah mainstream orientasi kekuasaan yang menguasai para elite, lahir kreativitas rakyat untuk memperjuangkan hak-haknya. Kreativitas politik yang tumbuh dari kritisisme masyarakat menguat seiring dengan deviasi demokrasi akibat ulah para politisi. Rakyat semakin tersadar untuk melibatkan dirinya di luar mainstream politik elite yang elitis. Inilah politik kreatif yang tumbuh dari masyarakat bawah tanpa tergantung pada ritual politik para elite. Mereka cukup cerdas untuk memilah dan memilah mana politik kekuasaan dan mana politik kerakyatan. Politik kreatif ini bisa diperkuat menjadi kesadaran kolektif untuk menegasikan segala bentuk paternalisme politik yang memperlambat bahkan menghambat konsolidasi demokrasi.

Ekonomi kreatif
Politik kreatif merupakan ekspresi alternatif (kemandirian) dari mainstream politik elite. Hal ini sebagaimana terjadi dalam bidang ekonomi. Dan hal tersebut perlu terus dirawat tanpa harus mengkonfrontasikan dengan mainstream politik maupun ekonomi yang ada. Apalagi di tengah krisis global yang memaksa negara mengambil langkah dan terobosan yang bisa jadi tidak populer, seperti menaikkan harga BBM, maka simbiosisme menjadi sebuah keniscayaan.

Di tengah krisis global, ekonomi kreatif dapat menjadi tumpuan alternatif agar negara tidak oleng. Bahkan upaya pengentasan kemiskinan yang dioperasikan negara dapat berpacu cepat melalui ekonomi kreatif yang tumbuh di kalangan warganya. Dan hal ini membawa bukti. Sebagaimana diungkapkan Presiden SBY pada Jakarta International Handicraft Trade Fair (Inacraft) 2008 lalu, industri kecil pada 2007 menyumbang Rp 105 triliun terhadap PDB dan Rp 6 triliun diantaranya dari industri kerajinan.

Sumbangsih yang dihasilkan dari ekonomi kreatif tersebut menjadi daya tersendiri bagi ekonomi nasional. Karena itu langkah-langkah ke arah pengembangan ekonomi kreatif tersebut harus mendapat dukungan baik secara politik maupun modal. Muara dari gerak ekonomi kreatif ini adalah bergeraknya sektor riil secara signifikan sehingga pengangguran dan kemiskinan berkurang karena lapangan kerja semakin terbuka.

Dalam konteks ini, keberhasilan ekonomi kreatif tidak terlepas dari politik kreatif yang dimainkan oleh warga dan mendapat dukungan dari pemerintah dalam bentuk kebijakan yang menumbuhkan gerak ekonomi kecil menengah yang selama ini cenderung terabaikan. Inilah tantangan yang dihadapi SBY untuk terus menjalinkelindankan ekonomi kreatif yang mulai tumbuh dan politik kreatif yang mulai menguat dalam masyarakat. Hanya dengan demikian, Indonesia, menurut Institut Kebijakan Strategis Australia (Australian Strategic Policy Institute) “had become a strong democracy, with solid economic growth and competent leadership” (Reuters, 27/5). Semoga.*

Monday, June 09, 2008



Opini

Tafsir Politis Kenaikan BBM
Media Indonesia, Sabtu, 31 Mei 2008

A. Bakir Ihsan

Kenaikan harga BBM bukan sekadar hitung-hitungan matematik, tapi juga politik. Lihatlah reaksi yang beragam terkait kenaikan tersebut. Logika-logika matematik yang disajikan pemerintah tak mampu memberi pemahaman yang substantif terhadap publik, sehingga kontraproduktif.

Kegagalan tersebut lebih disebabkan oleh disparitas pemaknaan atas kebijakan yang diambil oleh negara. Bukan pada substansi yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut. Di sinilah simulakra kata dan wacana dapat menentukan benar tidaknya sebuah fakta. Dalam konteks dominasi (permainan) wacana ini ada beberapa hal yang menarik ditelaah.

Pertama, polemik tentang janji Presiden untuk tidak menaikkan BBM yang dilansir Wiranto dan direspon pihak istana. Tak ada substansi yang bisa dilihat dari perdebatan tersebut kecuali upaya pergumulan dominasi wacana. Pergumulan ini pada akhirnya bermuara pada perebutan citra untuk masing-masing pihak. Karena itu, perdebatan tersebut lebih bernuansa politis daripada mengungkap kebenaran.

Dan inilah yang berkembang saat ini. Penebaran wacana lebih mengemuka daripada kerja nyata. Janji lebih penting daripada bukti. Kesan dan pesan lebih bermakna daripada kenyataan. Karenanya kampanye lebih dihargai dan menarik diekspos daripada kerja-kerja sosial yang bergumul langsung dengan rakyat.

Kedua, tentang kebijakan kenaikan itu sendiri. Dalam beberapa kesempatan pemerintah menjelaskan logika-logika kenaikan BBM dan dampak yang akan dihasilkan. Namun logika tersebut tidak mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga muncul reaksi. Dalam kacamata komunikasi politik, penolakan tersebut bukan sepenuhnya disebabkan oleh lemahnya logika kenaikan. Tapi juga karena kurang intensifnya penjelasan (komunikasi) sehingga gagal dipahami secara komprehensif. Hal ini bisa dibandingkan dengan kenaikan BBM pada 2005 lalu yang reaksinya tidak sebesar saat ini. Padahal tingkat kenaikannya jauh lebih besar saat itu.

Sosialisasi dan komunikasi yang dibangun pemerintah pada 2005 jauh lebih intensif dan komprehensif dibandingkan saat ini. Dua langkah yang dilakukan pemerintah pada saat itu adalah pertama, pendekatan terhadap para tokoh masyarakat (opinion leader), seperti kiai dan pemuka masyarakat, sehingga mereka bisa memahami dan mensosialisasikan kebijakan kenaikan harga BBM pada masyarakatnya. Pada waktu itu, Presiden SBY secara khusus bertemu dengan beberapa kiai di Jawa Timur untuk menjelaskan hal tersebut. Kedua, keterlibatan kaum profesional baik dari kalangan media maupun konsultan yang bersedia memberikan dukungannya terhadap kenaikan tersebut. Waktu itu beberapa kalangan profesional, cendekiawan, dan tokoh masyarakat secara khusus membuat iklan dukungan terhadap kenaikan BBM di beberapa media nasional yang dilengkapi dengan hasil riset. Kedua langkah ini tidak dilakukan pada kenaikan BBM 24 Mei lalu.

Soliditas
Sulit dimungkiri bahwa eskalasi politik yang semakin memanas menjelang 2009 ikut mengeruhkan kebijakan kenaikan BBM ini. Masing-masing kekuatan politik, termasuk partai pendukung pemerintah ikut memainkan wacana untuk “mencari keuntungan” secara efektif. Inilah yang menyebabkan barisan koalisi di dalam kabinet tidak maksimal dalam menerjemahkan kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal kenaikan BBM.

Gejala ini tidak hanya terjadi di internal pemerintah. Lembaga negara lainnya juga belum konsisten menjalankan fungsinya sehingga menjadi bagian dari kegaduhan republik ini Lihatlah sikap inkonsistensi anggota DPR yang memberi “cek kosong” pada pemerintah untuk mengambil kebijakan masalah BBM yang harganya fluktuatif. Adanya cek kosong ini sekaligus mengurangi fungsi kontrol DPR yang seharusnya menjadi benteng pertahanan bagi kepentingan rakyat.

Kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal kenaikan BBM, merupakan rangkaian dari kesepakatan dengan legislatif. Keberanian pemerintah menaikkan harga BBM karena DPR telah memberi cek kosong pada pemerintah untuk memperlakukan harga BBM berdasarkan harga global yang fluktuatif. Karena itu aneh kiranya apabila ada anggota dewan yang memprotes kenaikan tersebut, apalagi berupaya memakzulkan presiden karena kebijakan yang sesungguhnya mendapat dukungan dari DPR. Hal ini sekaligus menunjukkan retaknya soliditas antara lembaga yang sejatinya menjadi pijakan bagi soliditas masyarakat.

Sebagai rangkaian pilar kenegaraan, maka legislatif, eksekutif, dan yudikatif merupakan kekuatan kolektif yang bertanggungjawab atas pelaksanaan dan kebijakan negara. Karena itu apapun yang terjadi, termasuk dalam kebijakan kenaikan BBM merupakan tanggungjawab kolektif. Eksekutif, dalam hal ini Presiden, tidak bisa, dan tidak boleh, mengeluarkan kebijakan semaunya sendiri. Kalau ini terjadi berarti bangsa ini, terutama pihak DPR sebagai kontrol eksekutif, membiarkan tumbuhnya benih otoritarianisme.

Depolitisasi
Keputusan pemerintah menaikkan BBM adalah keputusan politik. Namun unsur politisasi dalam kebijakan tersebut tentu sulit dipahami. Sejatinya SBY bisa mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut. Alih-alih keuntungan, justru ia menuai protes, unjuk rasa, bahkan tindakan anarkis. Kebijakan yang tidak populer ini sedikit banyak menyumbang delegitimasi dan penurunan citra pemerintah. Karena itu, apapun upaya pemerintah untuk “meninabobokan” rakyat, sebagaimana ditudingkan, termasuk melalui pemberiaan beasiswa bagi mahasiswa tidak akan bisa menutupi beban hidup dan kritisisme mahasiswa.

Pada titik ini secara tidak langsung SBY menunjukkan dirinya bahwa bukan pencitraan yang ia bangun, tapi logika-logika kebijakan yang tentu menurut pertimbangannya lebih besar manfaatnya daripada membiarkan (tidak menaikkan) demi citra. Hal ini dengan sendirinya menegasikan segala bentuk politisasi dalam menaikkan harga BBM.

Dan yang menuai untung dalam konteks pencitraan dari kenaikan tersebut adalah lawan-lawan politiknya yang akan bertarung pada pemilu 2009, seperti Wiranto dan Megawati. Bahkan Megawati secara terus terang melarang pendukungnya menerima bantuan langsung tunai. Kalau ini terjadi, proses delegitimasi terhadap pemerintah semakin kuat.

Ini semua merupakan efek dari tafsir politik (politisasi?) terhadap sebuah kebijakan. Tentu sejarahlah yang akan menjawab apakah kebijakan tersebut lebih membawa madarat atau justru menambah manfaat bagi kemandirian rakyat.*


Opini

Kritik Kebudayaan atas Korupsi Sistemik
Koran Tempo, Sabtu, 7 Juni 2008

A. Bakir Ihsan

Hiruk-pikuk kenaikan harga BBM seakan menghapus masalah lainnya yang jauh lebih mengakar dan sistemik, yaitu korupsi. Kita bahkan dunia mengakui negara ini adalah negara korup. Kalau mau jujur, inilah salah satu pangkal dari krisis yang mengangkangi uang negara yang sering menjadi alasan tak langsung dinaikkannya BBM.

Upaya yang dilakukan untuk mematikan api korupsi pun terus dilakukan. Namun, api korupsi tak juga mati. Bahkan jilatannya menyambar ke berbagai penjuru. Korupsi yang dulunya menghegemoni ranah birokrasi, kini menyeruak di lembaga para politisi bertahtakan suara rakyat. Anehnya lembaga wakil rakyat itu merasa kebakaran jenggot oleh ulah anggotanya sendirinya. Miris rasanya, sebuah bangsa yang merdeka dan sedang merenda demokrasi tak juga lekang dari korupsi. Demokrasi dan korupsi seperti dua sisi yang bersinergi.

Demokrasi telah meniscayakan terbangunnya lembaga-lembaga antikorupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan dari sana para koruptor terkuak di depan publik. Bahkan di antara mereka adalah orang yang ikut, paling tidak, bertanggungjawab atas kelahiran dan kelangsungan lembaga antikorupsi tersebut. Mereka yang memulai membuat aturan anti-korupsi, tapi mereka pula yang menyelewengkannya. Apa yang ada dalam kata-kata tak berpijak pada fakta (perilaku).

Tata aturan untuk menertibkan perilaku koruptif dikoyak oleh perilaku elite yang kehilangan budaya malunya. Budaya suka menerabas (cutting-corner attitude) sudah dianggap lazim sehingga korupsi menjadi tradisi. Korupsi menjadi bagian (inheren) dalam kegiatan sehari-hari dan terbawa kemana posisi diduduki. Inilah problem korupsi yang tak lapuk oleh aturan main, karena dipermainkan oleh para pembuat aturan main itu sendiri.

Di sinilah perlu pembacaan ulang atas upaya pemberantasan korupsi yang banyak berkutat pada formalitas aturan main dan penindakan. Akibatnya satu koruptor tertangkap, koruptor lain bangkit. Banyak celah mereformulasi tindakan korupsi seiring gencarnya pemberantasan korupsi itu sendiri. Para menteri bisa menyucikan diri dari korupsi, tapi birokrasi di bawahnya siapa bisa mengawasi. Karena itu, diperlukan landasan budaya antikorupsi yang kokoh agar bangunan pemberatasannya tak koyak oleh birokrasi yang terlanjur berbasis korupsi.

Kritik kebudayaan
Pengabaian atas landasan budaya menyebabkan involusi pada berbagai tataran kehidupan. Demokrasi tanpa sikap demokratis melahirkan pseudo-democracy. Kebebasan menjadi milik kelompok yang mengancam kelompok lainnya. Begitu pun pemberantasan korupsi tanpa kesadaran antikorupsi hanya berujung pada adu argumentasi dan gengsi posisi.

Pendidikan sebagai kritik kebudayaan sejatinya menjadi landasan minimalisasi nilai-nilai menyimpang. Pendidikan bukan sekadar mengenalkan konsepsi, tapi sebagai langkah kritis terhadap the dominant ideology yang menyebabkan massifikasi korupsi.

Di sinilah perlunya pendidikan khusus antikorupsi. Sebuah proses penyadaran secara spesifik yang berlandaskan pada ontologi, epistemologi, dan aksiologi antikorupsi. Pendidikan antikorupsi memberi kejernihan secara ontologis dan epistemologis sehingga para peserta didik bisa membedakan dan menjauhi tindakan koruptif. Begitu juga penyadaran tentang dampak eksesif dan massif dari korupsi sehingga muncul rasa benci dan alergi terhadap segala bentuk korupsi.

Pendidikan antikorupsi berbeda dengan pendidikan moral yang ranahnya lebih general tentang perilaku menyimpang. Spesifikasi antikorupsi ini penting karena pada kenyataannya korupsi terjadi tidak semata kesengajaan dan keterpaksaan. Tapi juga karena pemahaman yang lemah terhadap tindakan-tindakan yang tergolong korupsi atau tindakan yang menyebabkan suburnya korupsi. Itulah sebabnya dalam acara pembukaan konvensi hukum nasional beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan urgensi sosialisasi hukum, sehingga masyarakat tidak terjebak dalam tindakan menyimpang yang tidak dipahaminya. Bahwa korupsi tidak hanya terkait penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), atau meraup keuntungan material (material benefit) yang bukan haknya, tapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust).

Bebas korupsi
Mendambakan “bebas korupsi” dari dunia pendidikan mungkin seperti kodok mendambakan bulan. Pendidikan sebagai proses pembebasan (dari tindak korupsi) harus berhadapan dengan karut marut sistem pendidikan itu sendiri. Sementara pendidikan antikorupsi mensyaratkan adanya kesinambungan aspek kognitif, afektif, dan konasi sehingga pendidikan antikorupsi tidak sekadar disiplin pengetahuan yang diajarkan, tapi terkoneksi dengan kenyataan (multicommunication).

Untuk itu, merujuk Gustavo GutiƩrrez Merino (1971), maka pendidikan antikorupsi mengharuskan adanya tiga langkah. Pertama, pembebasan politik dan sosial yang mengukuhkan tindak korupsi. Kedua, emansipasi dan partisipasi seluruh masyarakat sebagai korban tindak korupsi untuk membenci dan mengalienasi para koruptor. Ketiga, pembebasan dari egoisme dan dosa dengan mendekatkan Tuhan ke bumi. Hal ini penting, karena negara ini terlanjur mentahbiskan agama (religiusitas) sebagai identitas warganya.
Secara formal, kita baru melakukan sebagian dari langkah pertama. Hadirnya lembaga-lembaga antikorupsi merupakan buah dari kehendak politik (political will). Namun peran dari lembaga-lembaga tersebut akan seperti lilin yang cahayanya meredup bila tidak didukungan seluruh lapisan sosial. Dengan kata lain, pendidikan antikorupsi akan optimal ketika ia menjadi kehendak budaya dan didukung oleh realitas struktural yang menghasrati pembebasan negara dari segala tindak korupsi.*

Friday, June 06, 2008



Opini

Pertaruhan Ekonomi-Politik SBY
Seputar Indonesia, Jum’at, 6 Juni 2008

A. Bakir Ihsan

Akhirnya pemerintah menaikkan harga BBM 28,7%. Walaupun kenaikannya tidak sebesar kenaikan 2005 yang mencapai lebih 100%, namun kegaduhan dan reaksi politiknya lebih besar. Inilah realitas politik yang semakin panas menjelang Pemilu dan Pilpres 2009.

Tampaknya SBY hadir sebagai presiden di saat yang “kurang beruntung”. Hampir seluruh perjalanan pemerintahannya diwarnai oleh bencana dan krisis yang hadir tak terduga. Tak lama setelah dilantik sebagai presiden (akhir Oktober 2004), tsunami menghadang dan duniapun berkabung. Bencana mahadahsyat ini seakan menjadi pembuka dari rangkaian bencana termasuk krisis harga pangan dan minyak yang memaksa pemerintah memutar sejuta cara agar negara tetap berjalan.

Krisis dan bencana ini sejatinya menjadi keprihatinan kita semua. Setegas dan sekuat apapun seorang presiden tidak akan kuasa menghadapi semua itu tanpa kesadaran kolektif kita sebagai bangsa. Di sinilah soliditas dan solidaritas kebangsaan dipertaruhkan. Krisis menjadi ajang konsolidasi anak bangsa untuk kebaikan bersama. Kita malu pada dunia ketika bencana tsunami melanda, dunia internasional bersatu membantu. Bahkan dua mantan presiden Amerika Serikat yang beda partai (George Bush & Bill Clinton) bersatu untuk membantu korban bencana tsunami. Namun di negeri ini yang terjadi justru sebaliknya. Krisis dan bencana menjadi ajang eksploitasi untuk kepentingan kelompok dan mengalienasi kepentingan masyarakat banyak. Obsesi kekuasaan menjadi ajang yang menghapus memori kolektif sebagai landasan berbangsa.

Bahwa kekuasaan harus diawasi dan dikritisi agar tidak terjerembab dalam deviasi adalah hal yang pasti. Namun logika-logika kebijakan yang dibuat pemerintah demi bangsa harus juga diapresiasi. Di sinilah check and balances seharusnya diberlakukan. Sebagai pemegang pucuk kekuasaan, SBY pasti menyadari manfaat chek and balances ini sebagai ajang evaluasi dan introspeksi diri. Bahkan dalam sebuah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Jakarta awal tahun 2008 yang lalu, SBY mengatakan bahwa dirinya harus ikhlas menerima dan menghadapi berbagai kritik, kecaman dan serangan dari banyak pihak karena, kenyataanya, ia sedang menjalankan amanah. Tidak ada pintu untuk mengadu dan mengeluh. Semua harus diterima dan dihadapi apa adanya.

Logika ekonomi
Sejak awal 2008 ini SBY kembali menghadapi persoalan yang maha berat. Indonesia, sebagaimana negara-negara lain, ditimpa dua “krisis” yang datang sekaligus, harga minyak dan harga pangan dunia. Meskipun pemerintahan yang dipimpinnya ingin mencari solusi yang tidak membebani masyarakat, dan secara sosial-politik tidak berisiko tinggi, yaitu dengan tidak menaikkan harga BBM, opsi itu tidak dimungkinkan. Hingga selesainya APBN-P 2008, meskipun tidak ideal dan banyak mengundang kritik, sebenarnya SBY tetap bertahan untuk tidak menaikkan harga BBM. Ia ingin para menteri dan pembantu-pembantunya memikirkan dan melaksanakan langkah-langkah lain dulu. Menaikkan harga BBM adalah “jalan terakhir”. Inilah yang dalam bentuk ekstrem terekspresi dalam pernyataan; “tidak ada opsi kenaikan BBM” yang kemudian menjadi ajang eksploitasi lawan-lawan politik SBY.

Tetapi, setelah semua opsi dipertimbangkan dan upaya dijalankan, tampaknya APBN 2008 (baca; ekonomi nasional) akan terancam jika BBM tidak dinaikkan sama sekali. Dalam keadaan nyaris “pasrah” dan harus siap menghadapi segala risiko yang paling besar, SBY akhirnya sepakat kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 28,7%. Besaran kenaikan ini didasarkan pada berbagai pertimbangan dan masukan dari banyak pihak. Lebih dari itu, kenaikan tersebut diberlakukan dengan catatan program bantuan untuk kaum miskin betul-betul diberikan dan dirasakan langsung. Program bantuan tersebut sebenarnya tidak hanya dalam bentuk bantuan tunai langsung (BLT) yang sering diasosiakan sebagai ikan, tapi juga berupa kail dalam bentuk program nasional pemberdayaan masyarakat dan kredit usaha rakyat yang sudah dijalankan pemerintah.

Karena itu, pemberlakuan kenaikan BBM per 24 Mei ini beriringan dengan pemberian bantuan langsung dan penguatan pemberdayaan masyarakat melalui beragam program pemerintah untuk golongan tidak mampu. Proses pemberdayaan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat atau presiden semata. Justru dengan otonomi daerah, proses pemberdayaan masyarakat seharusnya semakin kuat di daerah. Karenanya terasa aneh ketika beberapa kepala daerah menolak menyalurkan bantuan tunai langsung yang merupakan hak warganya sebagai kompensasi dari kenaikan BBM.

Logika politik
Euforia politik melahirkan banyak ekspresi dan ambisi. Inilah yang sering mengaburkan eksistensi rakyat dari tanah demokrasi. Perhelatan politik hanya menyedot obsesi segelintir elite untuk mencari jalan selamat dengan mengeksploitasi rakyat. Karenanya kebijakan tidak populer SBY dengan menaikkan harga BBM, dinikmati betul oleh para petualang kekuasaan untuk mendelegitimasi kepemimpinan SBY melalui berbagai cara. Bahkan dengan cara mendistorsi wacana agar rakyat bersimpang makna. Dalam kamus politik kekuasaan, semua itu menjadi niscaya.

Sebagaimana dimaklumi beberapa elite politik sudah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden pada Pilpres 2009 mendatang. Megawati Soekarnoputri, Wiranto, dan Sutiyoso adalah di antara elite yang terus terang dan beberapa orang lainnya masih sebatas wacana dan “cari angin”. Dan di antara calon yang paling getol mengkampanyekan dirinya dengan menjual sisi lemah kekuasaan adalah Megawati dan Wiranto. Dua calon ini merupakan pesaing SBY pada pemilu lalu yang ternyata tak juga memupus obsesi untuk berkompetisi pada pilpres nanti.

Semua orang punya hak yang sama untuk meraih kekuasaan. Namun semua itu harus tetap berada dalam fatsoen politik kebangsaan. Yaitu sebuah upaya nyata untuk menjadikan politik sebagai alat pemberdaya, bukan pemerdaya, rakyat. Melalui fatsoen politik kebangsaan inilah seharusnya political capital dipupuk agar tumbuh apresiasi dari lubuk hati terdalam masyarakat. Political capital yang dibangun melalui proses pencitraan bisa melahirkan kepemimpinan yang imitatif dan imaginatif yang penuh deviasi dan distorsi. Dia dikenang dalam memori, tapi tak menyentuh hati.

Political capital para calon presiden ini bisa dilihat dari cara dan langkah yang dilakukan untuk meraih kemenangan politik. Kalau Megawati banyak bermain pada untaian kata-kata dalam mengkritik kekuasaan, seperti tebar pesona, janji setinggi langit capaian di kaki bukit, dan tarian poco-poco, maka Wiranto lebih agresif dengan menggunakan media publik untuk mengiklankan diri, tentu dengan biaya yang cukup tinggi. Bahkan iklannya lebih sering muncul daripada sorotan media atas kegiatan SBY yang berkaitan langsung dengan program kerakyatan.

Di sinilah perang citra berlangsung di tengah problem besar melilit bangsa, seperti kemiskinan, kenaikan harga pangan dan BBM. Setiap pemimpin pasti dan harus berjanji memberikan kebijakan terbaik untuk rakyatnya, termasuk pengentasan kemiskinan dan stabilitas harga. Janji adalah komitmen dan harapan untuk diwujudkan. Namun apapun usaha yang dilakukan toh akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan yang bisa jadi jauh dari harapan. Inilah yang dihadapi SBY saat ini di tengah gejolak harga minyak tak terduga. Dan hal ini juga terjadi pada nasib reformasi. Di tengah bangsa berbekal optimisme tentang reformasi dan demokrasi, ternyata harus berhadapan dengan ambisi kekuasaan segelintir elite dengan mengeksploitasi rakyat. Ambisi kekuasaan di tengah kultur patrimonial dan paternalistik, termasuk seniority complex, telah memetamorfose demokrasi menjadi grontokrasi. Inilah kenyataan tak terduga akibat ambisi kekuasaan elite politisi.

Kalau SBY mempertimbangkan ambisi itu, kebijakan tidak populer ini pasti dinafikan. Logika politik kekuasaan untuk mempertahankan status quo diabaikan SBY justru beberapa bulan menjelang Pemilu dan Pemilihan Presiden berlangsung di Indonesia. Karenanya sungguh iba dengan pernyataan SBY yang jujur dan apa adanya bahwa ia siap menerima risiko politik apapun atas pilihan dan kebijakan pemerintah ini, daripada harus menghitung untung-rugi bagi karir politiknya. SBY telah menetapkan sikap dan posisi yang termasuk “langka” dalam dunia politik. Sejarahlah yang akan mencatat, apa yang akan terjadi dengan SBY menyusul pilihannya itu. Paling tidak ia telah punya pendirian dan keberanian untuk berbuat sesuatu yang sangat tidak populer dan mengabaikan politik citra sesaat, demi manfaat yang, insya Allah, lebih banyak.*

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/pertaruhan-ekonomi-politik-sby-2.html