Tuesday, August 24, 2010

Toleransi Plus




Opini

Tak Sekadar Toleransi
Koran TEMPO, Senin, 23 Agustus 2010
A. Bakir Ihsan

"Our capacity to show not merely tolerance, but respect to those who are different from us.." (Barack Obama, Jum'at, 13 Agustus 2010)

Keragaman tak hanya butuh toleransi. Penghormatan atas yang berbeda merupakan jalan lain mengharmonikan kemajemukan. Ungkapan Obama yang memberi dukungan terhadap pembangunan masjid di dekat Ground Zero yang ditentang sebagian warga Amerika, merupakan respon atas yang berbeda.

Penghormatan terhadap umat Islam sebagai minoritas (berbeda) di Amerika merupakan langkah berani di tengah trauma tragedi 11 September dan di sebuah negara yang terlanjur menstigma Islam sebagai ancaman. "As a citizen, and as president, I believe that Muslims have the same right to practice their religion as anyone else in this country," lanjut Obama.

Pernyataan Obama yang disampaikan saat iftar (dinner) menyambut Ramadhan di Gedung Putih, Amerika, itu merupakan tuturan ideal dalam konteks relasi mayoritas minoritas. Mayoritas sejatinya menjadi tumpuan minoritas untuk menggantungkan segala harap. Pun, di Indonesia yang mayoritas muslim ini, suara dan komitmen untuk menghormati yang berbeda seharusnya terdengar terang di antara keragaman umat beragama.

Problem sosio-politik
Menghargai yang berbeda menjadi kemestian semua agama. Secara historis, agama hadir sebagai "yang berbeda." Misi transformatif agama merupakan respon atas realitas sosial yang diskriminatif. Karena itu, kehadirannya menawarkan kesetaraan (equalitas) yang memberi ayoman bagi semua kelas.

Problem laten agama dalam konteks equalitas tersebut lebih pada hirarki kebenaran yang tak terbantahkan pada dirinya. Hirarki teologis ini berpotensi dijadikan legitimasi yang mendiskriminasi dalam segala bentuknya, termasuk hegemoni yang terlegitimasi atas nama teks-teks suci.

Problem ini bukan hanya milik agama. Demokrasi yang yang misi awalnya juga menekankan equalitas, berhadapan dengan realitas kelas dengan sistem nilai yang mengikatnya secara struktural (Leslie Lipson, 1964). Namun demokrasi selalu mampu membuka dan mengoreksi diri karena ranah legitimasinya pada rakyat yang relatif, bukan pada Tuhan yang mutlak.

Agama berhadapan dengan legitimasi teologis, sehingga melahirkan banyak ragam tafsir yang kadang "berbeda" satu dengan lainnya. Eksistensi kelompok literalis dan kontekstualis harus berhadapan dalam menafsir teks suci agama yang kemudian berdampak pada aspek sikap keberagamaan. Pada titik ini problem sosio-politik terjadi yang tak jarang berbuah konflik. Konflik merupakan aktualisasi dari perbedaan pada ranah tafsir, bukan pada esensi agama itu sendiri.

Kekerasan seakan terabsahkan atas nama (tafsir) ayat-ayat Tuhan. Kebenaran selalu dipahami sebagai realitas yang final, biner, linear dan menafikan kebenaran yang berbeda. Konsekuensinya, tak ada tempat bagi yang lain dan berbeda. Di sinilah toleransi menjadi penting sebagai landasan awal (batas) terciptanya harmoni.

Menghormati
Namun, toleransi bukanlah segalanya. Kalaupun dianggap sebagai kunci jawaban atas praktik diskriminasi, toleransi bisa menjebak pada ambigu dan ambivalensi. Bahkan secara tidak langsung toleransi berpotensi merawat dominasi mayoritas.

Harmoni dan stabilitas terjaga lebih karena minoritas tak berani berbeda. Minoritas mensubordinasi diri pada mayoritas. Pada titik ini, toleransi menjelma sebagai bentuk ketakberdayaan minoritas. Akibatnya, diskriminasi terhadap minoritas dalam segala bentuknya, termasuk dalam bentuk ungkapan yang melecehkan, tak mampu direspon secara setara oleh minoritas. Bahkan dalam hal tertentu, deviasi atas hak-hak minoritas diangggap wajar oleh kelompok mayoritas. Sikap mendiamkan apalagi mentolerir terhadap hegemoni mayoritas merupakan bentuk persetujuan atas deviasi hak-hak minoritas.

Kecenderung tersebut tumbuh subur seiring menggejalanya demokrasi mayoritarian. Demokrasi dimaknai sebagai ajang kebebasan yang tentu akan lebih banyak memberi keuntungan bagi kelompok mayoritas dan menyempitkan ruang minoritas. Minoritas menjadi realitas terancam atas nama demokrasi mayoritarian. Padahal minoritas secara esensial memiliki hak yang sama untuk hidup bersama dalam keragaman tanpa subordinasi apalagi hegemoni.

Karena itu, untuk memperkuat relasi mayoritas-minoritas diperlukan kehendak semua pihak, khususnya kelompok mayoritas, untuk beranjak dari ranah toleransi menjadi penghormatan (keberpihakan) terhadap yang berbeda (minoritas). Dalam lingkup yang lebih luas, perlu adanya pemberian ruang lebih pada minoritas baik secara ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya, untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai warga negara yang setara.

Diperlukan komitmen sosial dan politik yang kuat untuk menghormati yang berbeda (the others). Kalau tidak, minoritas akan terus tergilas oleh kesetaraan (equality) dan kebebasan (liberty) semu atas nama demokrasi. Ini membuktikan, toleransi dalam demokrasi tak cukup untuk merawat harmoni.*