Friday, June 30, 2006

Opini

Menimbang paradigma ekonomi-politik SBY
Bisnis Indonesia, Jum’at 30 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Beberapa hari di Batam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil langkah-langkah penting baik secara ekonomi maupun politik. Batam yang sejak awal dicitakan sebagai kota satelit ekonomi Indonesia, tampaknya mendapat perhatian serius dari SBY setelah sekian lama terkubur dalam angan-angan.

Beberapa kegiatan ekonomi yang dilakukan SBY adalah peresmian beberapa pabrik dan pangkalan logistik lepas pantai, fasilitas konstruksi penunjang operasi minyak dan gas bumi. Sebelumnya SBY juga menerima PM Singapura Lee Hsien Loong yang dilanjutkan dengan penandatanganan MoU tentang ditetapkannya Special Economic Zone atau Kawasan Ekonomi Khusus untuk tiga pulau, yaitu Batam, Bintan, dan Karimun.

Sementara secara politik langkah penting yang diambil SBY di Batam adalah menerima kunjungan PM Australia John Howard yang membahas tentang hubungan kedua negara. Dari sana diperoleh ketegasan dari Howard bahwa Australia sama sekali tidak mentolerir terhadap gerakan separatisme di Indonesia, termasuk gerakan Papua Merdeka. Menurut dia, Papua akan lebih baik masa depannya sebagai bagian dari NKRI. Bahkan Howard berjanji pemberian visa terhadap warga Papua tidak akan terulang lagi.

Terlepas dari tafsir politik atas langkah SBY di atas, ada hal yang menarik dianalisa dari pernyataan SBY di Batam. Dalam salah satu sambutannya SBY melontarkan konsep triple track strategies, yaitu tiga langkah strategis dalam pengembangan ekonomi Indonesia. Pertama, pertumbuhan (growth) yang dimotori oleh investasi dan ekspor. Pertumbuhan ini diyakini dapat memasok devisa negara yang tinggi sehingga dapat memperlancar pelaksanaan pembangunan.

Kedua, menggerakkan sektor riil di seluruh Indonesia yang meliputi pertanian dan jasa. Sektor riil ini, menurut SBY, harus bergerak di seluruh level ekonomi. Ia tidak hanya fokus di area ekonomi khusus. Dengan bergeraknya sektor riil ini, maka lapangan kerja akan tercipta dan pengangguran akan terkurangi.

Ketiga, peningkatan pembangunan pertanian dan pedesaan. Langkah ini, menurut SBY, penting dilakukan karena 68% orang miskin di Indonesia hidup di sektor pertanian dan pedesaan. Oleh karena itu pemerintah juga mengembangkan pembangunan pertanian dan pedesaan, baik melalui anggaran yang ada maupun bekerjasama dengan pihak swasta.

Konsep ekonomi politik SBY tersebut sesungguhnya tidaklah baru. Bahkan secara konseptual hal tersebut menjadi paradigma pembangunan yang digembar-gemborkan oleh pengagum modernisasi dengan segala konsekuensinya. Konsep ini menjadi menarik karena dilontarkan oleh seorang SBY yang bertanggungjawab atas laju ekonomi politik di tengah transisi saat ini.

Logika pertama
Dari konsep triple track strategies yang dilontarkan SBY terlihat jelas bahwa pertumbuhan menjadi logika pertama bagi lahirnya kematangan ekonomi politik masyarakat. Secara konseptual, teori pertumbuhan yang merujuk pada Teori Rostow tersebut telah berhasil mengantarkan pertumbuhan ekonomi beberapa negara. Namun pertumbuhan tersebut seringkali berhenti pada pertumbuhan itu sendiri. Ia gagal mengikuti tahapan-tahapan pertumbuhan ekonomi berikutnya (the stages of economic growth) yang justru berperan penting bagi kemajuan bangsa.

Pertumbuhan ekonomi seringkali memberi efek terbatas bagi masyarakat. Dari sejarah Orde Baru terlihat jelas bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai negara hanya berdampak pada segelintir orang. Kekayaan negara hanya mengalir di sekitar kekuasaan. Kue besar pembangunan yang dicapai oleh penguasa hanya dinikmati oleh kroni-kroni kekuasaan, sementara masyarakat kebanyakan tetap berada dalam kemiskinan. Di sinilah kesenjangan sebagai dampak dari paradigma pertumbuhan an sich hadir. Dalam jangka panjang hal tersebut dapat memantik konflik dan tindak kekerasan di dalam masyarakat.

Kondisi politik yang demokratis saat ini sebenarnya dapat menjadi modal bagi pengembangan ekonomi. Kontrol yang kuat terhadap kekuasaan dapat meminimalisasi kecenderungan deviasi pertumbuhan sebagaimana terjadi pada masa lalu. Namun di sisi lain, demokrasi menawarkan kebebasan yang sering 'mengancam' investasi karena lemahnya penegakan aturan main. Di sinilah paradigma ekonomi politik SBY diuji. Mampukah SBY menjalin relasi ekonomi politik dengan kerangka demokrasi yang mengedepankan kebebasan, kesetaraan, dan keadilan?

Kebebasan dapat menumbuhkan kreasi dan inovasi di bidang ekonomi, sementara kesetaraan dapat menguatkan kesamaan rasa sebagai sebuah bangsa, dan keadilan menjadi simbol pemerataan dan penegakan hukum. Namun semua ini belum sepenuhnya teraktualisasi.

Ranah prosedural
Kita masih berada di wilayah abu-abu. Basis budaya demokrasi dan fundamental ekonomi kita masih berada pada ranah prosedural dan konseptual yang teraktualisasi dalam bentuk platform yang baku dan jelas. Namun karena hal tersebut tidak ditunjang oleh basis kultural yang bagus dan kuat, konsepsi yang bagus tersebut sering terdistorsi dalam proses aplikasinya.

Begitu juga paradigma ekonomi politik yang ditawarkan SBY dengan strateginya yang sangat ideal yaitu strategi pro poor, pro growth, dan pro job melalui pengurangan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja sangatlah ideal. Namun stategi ini harus berhadapan dengan kenyataan budaya ekonomi-politik yang masih lemah. Masih kuatnya birokratisasi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi merupakan salah satu kendala paling nyata bagi proses perwujudan paradigma dan strategi tersebut.

Untuk itu diperlukan pendekatan komprehensif dalam pengembangan ekonomi politik yang tercermin dalam apa yang oleh Wolfgang Hein disebut sebagai integrated political approach. Perlu prioritas pembangunan dengan titik tolak pada pengentasan kemiskinan dengan tetap memperhatikan pemerataan di seluruh level kehidupan baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Sebagai penunjang kerangka besar tersebut, diperlukan kepastian hukum, rasa aman, dan pelayanan yang baik, cepat, mudah, dan murah. Inilah pijakan yang akan menentukan aktualisasi paradigma ekonomi politik SBY. Tanpa pijakan yang kuat, maka paradigma tersebut hanya menjadi bumbu-bumbu yang tak pernah menyedapkan rasa anak bangsa.*

Monday, June 26, 2006

Opini

Presiden dan Islamofobia
Republika, Sabtu 24 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Dalam pembukaan Konferensi Internasional Cendekiawan Muslim atau International Conference of Islamic Scholars (ICIS) II Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyorot fenomena Islamophobia sebagai agenda penting (an emerging issue) yang mendesak diselesaikan oleh umat Islam. Harapan ini berangkat dari asumsi bahwa ada problem mendasar pada tataran praktik keagamaan di kalangan umat Islam, sehingga melahirkan ketakutan-ketakutan di kalangan pihak lain. Paradigma ini lazim digunakan oleh kaum modernis (kultural) yang melihat akar persoalan pada aspek internal; budaya, nilai-nilai, dan sudut pandang individu atau kelompok sosial.

Paradigma kultural ini menjadi sangat strategis di tengah hegemoni kebenaran yang dipertontonkan oleh beberapa pemilik otoritas baik atas nama negara, agama maupun lainnya. Hegemoni kebenaran ini teraktualisasi dalam bentuk stigmatisasi antara kami (minna) sebagai pemilik kebenaran dan mereka (minkum) sebagai yang lain (the others) dan salah. Stigmatisasi ini pada akhirnya menawarkan penyelesaian problem sosial melalui penegasian terhadap kelompok di luar dirinya.

Dalam konteks sosial, fenomena tersebut terlihat dalam aktivitas ancam mengancam antara satu kelompok dengan kelompok lainnya atau antara satu negara dengan negara lainnya. Pada akhirnya hegemoni kebenaran ini berobsesi menyeragamkan semua potensi sehingga tidak muncul kelompok di luar dirinya karena dianggapnya sebagai kendala. Setiap perbedaan dianggapnya sebagai ancaman.

Sementara paradigma kultural justru melihat problem pada realitas internal, yaitu pada kualitas dan kemampuan diri. Sehingga penyelesaian problem adalah dengan merekonstruksi diri. Dan inilah paradigma yang dipakai oleh kaum modernis dan pembaru muslim seiring dengan hegemoni Barat saat itu.

Himbauan SBY di atas lebih merefleksikan pemahaman dirinya sebagai bagian dari umat Islam yang punya kepentingan untuk membebaskan Islam dari stigmatisasi akibat ulah umat Islam sendiri. Pola pandang ini sebenarnya bisa mengundang kontroversi apabila dilontarkan oleh orang non-muslim.

Hal tersebut tentu berbeda dengan, misalnya, ketika Sekjen PBB, Kofi Annan membuka seminar tentang Islam di Sekretariat PBB, New York, dua tahun yang lalu (Desember, 2004). Berbeda dengan SBY, Annan justru lebih menyorot persoalan Islamophobia sebagai akibat sudut pandang yang salah dari Barat terhadap Islam. Oleh karenanya, menurut Annan, masyarakat internasional harus meninggalkan Islamophobia dengan memahami Islam yang sesungguhnya. Menurutnya ada kesalahpahaman yang tersebar melalui media massa yang memperkuat Islamophobia tersebut. Relasi Barat dan Islam cenderung dipahami dalam konteks relasi Islam versus Kristen yang berakar pada perang salib. Pemahaman seperti ini, menurut Annan, telah melahirkan warisan kebencian antar peradaban.

Perbedaan sudut pandang kedua tokoh (Presiden SBY dan Kofi Annan) tersebut memperlihatkan problem Islamophobia pada dua aspek, yaitu aspek internal umat Islam yang “suka marah” dan aspek eksternal dunia Barat yang tak ramah.

Meretas Fobia
Fobia sebagai sebuah ekspresi ketakutan bisa lahir dari siapa saja yang merasa terancam. Secara faktual fobia terhadap Islam menguat pasca runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC) yang menjadi simbol kedigdayaan Amerika. Secara terminologis istilah fobia menguat pada akhir 1980-an khususnya ketika komunisme termakzulkan dan Islam dianggap sebagai “pendatang” baru yang akan memicu benturan baru.

Di sinilah kompleksitas dan penguatan fobia, baik di kalangan masyarakat Barat maupun muslim, semakin tak terelakkan. Fobia terhadap barat yang telah lama menggumpal semakin mendapat justifikasi melalui provokasi media yang sangat diskriminatif dan agitatif terhadap eksistensi Islam. Peristiwa WTC merupakan aktualisasi dari fobia terhadap Barat. Ekspresi dari fobia ini tentu dengan sendirinya semakin memperkuat Islamophobia yang sesungguhnya sudah ada benih-benihnya di kalangan masyarakat Barat.

Berangkat dari realitas tersebut, maka persoalan fobia tidak bisa diselesaikan secara internal melalui transformasi budaya semata, namun perlu diimbangi oleh rekonstruksi tata nilai global yang kondusif bagi mencairnya fobia tersebut. Langkah ini mengandaikan adanya pendekatan sintesis untuk menyelesaikan kecenderungan disharmoni antara Islam dan Barat yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Karena fobia, sebagaimana disinyalir para pakar psikopatologi, muncul dari proses belajar, baik karena adanya pengalaman traumatis, reaksi atas superioritas kelompok lain, maupun kombinasi keduanya. Oleh sebab itu, penyelesaian masalah fobia ini pun harus dilakukan melalui proses belajar untuk saling memahami.

Aspek terpenting dari proses pembelajaran ini adalah terkuaknya keragaman yang selama ini terdistorsi oleh generalisasi akibat sikap apriori dan hegemoni. Islamophobia muncul akibat generalisasi terhadap Islam sebagai agama yang tradisional, monolitik, radikal, dan arabsentris. Padahal Islam ada di mana-mana dengan corak dan potret yang beragam pula. Begitu juga Barat sering dicurigai dan diidentikkan dengan sikap pemerintah Amerika, Inggris, dan Australia yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok Islam. Padahal sebagian masyarakatnya banyak yang menentang dan menolak kebijakan negaranya yang diskriminatif terhadap negara-negara Islam.

Pilot project
Agenda terpenting untuk meretas menguatnya Islamophobia adalah komitmen untuk memulai. Siapa yang harus memulai? Di sinilah inklusivitas sikap dipertaruhkan. Selama masing-masing menganggap dan menuduh pihak lain sebagai orang yang harus memulai langkah untuk meretas menguatnya fobia, maka sepanjang itu pula fobia tidak akan pernah mencair.

Perlu langkah komprehensif dan simultan dari masing-masing pihak untuk mengakhiri ancaman fobia ini. Harapan Presiden SBY bahwa Islamophobia merupakan agenda umat Islam menunjukkan bahwa secara kultural umat Islam harus bisa memperlihatkan Islam yang damai dan ramah. SBY tentu sangat berkepentingan untuk mewujudkan hal tersebut, karena sebagai kepala negara ia punya tanggung jawab untuk menyemai kedamaian di atas keragaman yang begitu kuat di negeri ini. Lebih dari itu, Indonesia “terlanjur” dicitrakan sebagai negara muslim moderat terbesar yang prospektif bagi proses moderasi Islam di belahan dunia Islam lainnya. Paling tidak hal tersebut terkuak dalam beberapa kunjungan (pertemuan) pemimpin-pemimpin negara sahabat yang berharap akan peran Indonesia.

Sinyal positif atas perkembangan Islam di Indonesia disampaikan langsung oleh beberapa elit negara luar seperti Condoleezza Rice (Menlu AS), Tony Blair (PM Inggris), Prof Dr Jan Peter Balkanende (PM Kerajaan Belanda), dan John Howard (PM Australia). Bahkan ulama kharismatik yang juga ketua majelis fatwa muslim Eropa, Syekh Yusuf Qardhawi saat bertemu SBY di Qatar menyatakan optimismenya bahwa Indonesia bisa menjadi pemimpin dunia Islam, karena Indonesia berhasil menampilkan wajah Islam yang moderat, baik, dan tidak berlebihan.
Harapan tersebut tentu menjadi agenda penting bagi Indonesia untuk menampakkan Islam yang ramah pada ranah historis. Hal ini penting karena problem keagamaan selalu muncul pada realitas historis, bukan normatif. Aspek normatif agama yang ramah dan penuh damai tidak perlu diragukan lagi.

Menampilkan wajah Islam yang ramah dan damai tidak mesti dengan membungkam apalagi membubarkan lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok yang dianggap berbeda (ekstremis); baik pada sisi yang radikal maupun liberal. Justru di sinilah sinergi keragaman pemahaman keagamaan dipertaruhkan. Islam menjadi terasa hidup justru karena eksistensinya di tengah keragaman pemikiran dan gerakannya.

Namun satu hal yang tidak bisa dilanggar oleh semua kelompok dalam Islam adalah sikap untuk terbuka (inklusif) dan tampil sebagai gerakan paling bermanfaat bagi umat. Apalagi di tengah arus globalisasi yang memicu munculnya gerakan-gerakan sosial berbasis agama. Gerakan-gerakan sosial berbasis agama ini menjadi efektif apabila ia berhasil merangkai perbedaan dalam kesatuan tujuan bukan pada kesamaan simbol yang justru sering manipulatif dan distortif. Sembari gerakan sosial berbasis agama berjalan, perlu terus diupayakan ruang dialog yang sehat, rasional, interpersonal, dan terbuka oleh semua pemegang otoritas sehingga masing-masing terhindar dari lingkaran stigmatisasi yang tak jarang berbuah anarki. Langkah ini menjadi penting, karena Islamophobia bukan hanya lahir karena pemahaman (internal) agama yang eksklusif, tapi juga karena pemahaman yang distorsif dan simplistis kelompok lain (eksternal) terhadap Islam.*
Opini

Pers, Demokrasi, dan Kepercayaan Publik
Indo Pos, Sabtu 24 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Siapa yang paling dipercaya masyarakat Indonesia saat ini? Pertanyaan ini penting diajukan di tengah gonjang-ganjing politik yang mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga politik. Padahal demokrasi mesyaratkan adanya trust (kepercayaan). Percaya bahwa demokrasi adalah mekanisme terbaik dalam tata sosial yang plural.

Baru-baru ini (Mei 2006) The Media Center, BBC, dan Reuters merilis hasil surveinya di sepuluh negara, termasuk Indonesia tentang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media, baik televisi, radio, maupun surat kabar. Hasilnya cukup mengagetkan. Bahwa media lebih dipercaya daripada pemerintah (media more trusted than governments). Dan Jawa Pos menjadi satu dari dua surat kabar yang dipercaya oleh masyarakat Indonesia.

Kalau demikian, runtuhkah kepercayaan masyarakat pada pemegang otoritas politik paling sah (parpol, DPR, maupuan eksekutif) dalam kehidupan bernegara? Bisa jadi benar. Namun ada satu faktor yang menyebabkan media menjadi pertaruhan kepercayaan masyarakat yang belum mampu disaingi oleh lembaga politik yang ada, yaitu intensitas komunikasi. Sebagaimana dimaklumi, intensitas komunikasi yang tinggi dapat mengubah kata-kata menjadi fakta dan imajinasi seakan-akan nyata. Media telah menempatkan dirinya sebagai tempat peraduan paling responsif sekaligus eksesif di tengah partai politik menjadi lembaga politik terburuk kinerjanya (Lembaga Survei Indonesia, Maret 2006), di tengah anggota DPR lebih suka berwacana daripada berbuat, dan di tengah elit politik lebih senang memprovokasi daripada mengayomi.

Eksistensi media massa sebagai media tepercaya sebenarnya bukan hal baru. Bahkan media sering diletakkan sebagai pilar keempat (fourth estate), setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun di saat involusi politik mewarnai legislatif, di tengah lambannya eksekutif akibat begitu besarnya problem sosial, dan di saat mafia peradilan menjadi pemicu hancurnya integritas dunia yudikatif, maka media massa menjadi pertaruhan kepercayaan terakhir bagi masyarakat.

Nasib Demokrasi
Kenyataan tersebut bisa berimplikasi pada konsolidasi demokrasi. Demokrasi di negeri ini dirayakan sebatas prosedur-prosedur. Partai politik tak terhitung, kebebasan tak terbendung, partisipasi dalam pemilu tak berbilang, rakyat menentukan sendiri pemimpinnya, dan lembaga tertinggi negara diruntuhkan. Rakyat betul-betul diagungkan. Vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan) sungguh terasa di negeri ini.

Namun semua itu hanya berlangsung layaknya sebuah ritual yang berjarak dengan jiwa demokrasi. Konsekuensinya kebebasan merangsang orang menghakimi orang lain, Pemilu dan Pilkada menjadi ajang pertarungan para pemilik modal, partai politik menjadi rumah petualang para elit, dan rakyat menjadi kekuatan untuk kepentingan orang-orang berduit. Sehingga sulit membedakan demokrasi, mobokrasi, oligarki, atau corporatocracy. Semua ini akibat demokrasi belum menjadi pijakan kultural masyarakat. Demokrasi dirayakan tanpa diiringi pemahaman dan akulturasi ke dalam kesadaran masyarakat.

Selama fenomena tersebut berlangsung dalam kehidupan demokrasi kita, maka sepanjang itu pula konsolidasi demokrasi hanya mimpi. Dan kita patut prihatian karena fakta membuktikan bahwa opini positif masyarakat terhadap demokrasi baru mencapai 72%, 12 angka di bawah rata-rata opini positif dunia yang mencapai 84% (Lembaga Survei Indonesia, 2006).

Melihat kenyataan tersebut, maka eksistensi media massa semakin penting bagi konsolidasi demokrasi dengan meyakinkan masyarakat bahwa demokrasi adalah sistem terbaik. Sebenarnya meyakinkan masyarakat tentang demokrasi ini merupakan tugas lembaga-lembaga politik seperti parpol atau lembaga legislatif sebagai bagian dari sosialisasi politik. Namun karena para politisi tidak mampu meyakinkan masyarakat tentang signifikansi demokrasi, maka media massa dapat berperan “memprovokasi” masyarakat untuk meyakini demokrasi sebagai sistem terbaik.

Memelihara Kepercayaan
Meyakinkan masyarakat bahwa demokrasi merupakan sistem terbaik tidaklah mudah di tengah masyarakat belum merasakan nikmatnya demokrasi. Justru dari beberapa kasus yang terjadi, dalam pemilihan kepala daerah misalnya, memunculkan citra bahwa demokrasi identik dengan anarki. Kerusuhan, pengrusakan, ancaman, dan munculnya raja-raja baru semakin kentara seiring dengan prosesi demokrasi dan otonomi.

Dalam kondisi demikian wajar apabila sebagian masyarakat mengidamkan suasana Orde Baru yang tenang. Bahkan sebagian masyarakat meyakini tentara lebih mampu menciptakan rasa aman dan tenang daripada sipil yang mengedepankan kepentingan kelompoknya (LSI, 2006). Kenyataan ini tak lepas dari perilaku politik sipil yang lebih mementingkan ambisi kekuasaan daripada menjadi penyambung lidah rakyat. Ini pula yang menjadi penghambat konsolidasi dan penguat involusi demokrasi.

Pers atau media dengan intensitas komunikasinya dapat menjadi peretas involusi demokrasi. Paling tidak dengan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap media dapat menjadi pintu masuk bagi upaya penguatan otonomi publik berhadapan dengan elit atau negara. Dengan penguatan ini, diharapkan masyarakat tidak mudah dimobilisir oleh intrik-intrik politik kaum elit yang sarat kepentingan sempit dan segmented.

Hal ini tentu harus didukung oleh sikap kaum politisi untuk merekonstruksi orientasi politik yang berorientasi pada kekuasaan semata. Sudah waktunya orientasi politik kerakyatan lebih dikedepankan demi keberdayaan masyarakat politik secara keseluruhan. Berharap penuh pada peran (baca: intervensi) negara, berarti secara tidak langsung menggadaikan otonomi publik yang seharusnya dikembangkan demi konsolidasi demokrasi.

Sambil penguatan otonomi publik berlangsung, negara harus didorong untuk semakin responsif dan cepat mengambil langkah recovery terhadap berbagai aspek kehidupan khususnya ekonomi dan peningkatan kesejahteraan yang belum juga membaik.

Dan semua ini akan terjadi apabila ada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan pemerintah terhadap masyarakat. Kepercayaan ini dapat dipelihara sekaligus diperkuat oleh peran media massa yang secara faktual mendapat tempat di hati masyarakat. Dan inilah yang hendak dituju oleh demokrasi yang terkonsolidasi, yaitu terciptanya sebuah tata sosial yang membagi peran secara tegas dan beradab antara negara (elit) dan rakyat.

Apabila kondisi ini tidak mampu dimanage secara baik, maka secara perlahan tapi pasti kepercayaan publik akan punah dan mereka akan bertindak menurut kepercayaannya masing-masing. Dan bila ini terjadi, maka republik ini tinggal menunggu ajalnya.*

Wednesday, June 21, 2006

Opini

SBY dan Wacana Pluralitas
Seputar Indonesia
, Rabu 21 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Wacana kebhinnekaan kita mencuat kembali seiring menguatnya uniformitas yang teraktualisasi dalam pelbagai bentuk. Mulai pemaksaan dan tindakan anarkis terhadap kelompok yang berbeda (the others) sampai upaya penguatan perda-perda syariat Islam. Realitas tersebut mendapat respon beragam. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengupasnya masalah tersebut secara khusus dalam beberapa kesempatan.

Paling tidak pada tiga kali kesempatan yang berdekatan, SBY menyinggung tentang pentingnya penghargaan terhadap pluralitas dan kebhinnekaan bangsa. Di depan Kongres I Partai Indonesia Baru (27/5) SBY menyebut pluralisme sebagai konsensus kebangsaan yang tak mungkin diingkari, apalagi direpresi. Sementara pada acara penutupan syukuran 80 tahun Pondok Modern Darussalam Gontor, di Mantingan, Kab. Ponorogo (28/5) SBY menyampaikan tentang pentingnya prinsip berdiri di atas semua golongan. Substansi yang sama—tentang pluralitas—disinggungnya kembali pada acara peringatan hari lahir Pancasila 1 Mei 2006 di JCC Jakarta.

Pernayataan SBY tersebut menarik dicermati di tengah menguatnya konflik dan tindak kekerasan baik secara kultural maupun struktual. Terjadinya tindak kekerasan tersebut merupakan bukti rapuhnya kebhinnekaan bangsa yang sejak dulu dikumandangkan. Lebih jauh, fenomena kekerasan ini akan mengancam pluralitas dan kebhinnekaan yang menjadi khas sebuah negara bangsa (nation-state).

Perusakan dan ancaman merupakan bentuk eksesif dari pemahaman dan pandangan yang monolitik dan eksklusif. Yaitu sebuah pemahaman yang meyakini adanya monopoli kebenaran sehingga menutup ruang kebenaran bagi yang lain (the others). Secara faktual fenomena eksklusivitas dan monopoli kebenaran ini mendapat tempat subur di kalangan umat beragama karena klaim kebenaran teologis (atas nama Tuhan) menjadi klaim yang final dan tak bisa diganggu gugat. Itulah sebabnya kecenderungan terjadinya konflik atas nama agama menjadi sangat terbuka di kalangan umat beragama.

Kita patut bersyukur karena para founding father Republik ini berwawasan pluralis dan inklusif sehingga mampu mengubur potensi konflik tersebut. Paling tidak dalam sekian waktu lamanya potensi-potensi konflik atas nama agama tidak teraktualisasi secara eksesif. Persoalannya justru muncul di tengah reformasi dirayakan. Potensi-potensi konflik tersebut menguat kembali. Sekelompok masyarakat dengan mengatasnamakan agama dan keyakinannya mengadili kelompok lainnya dengan cara-cara anarkis. Apabila fenomena tersebut dibiarkan, tidak mustahil akan mengancam integrasi sosial yang sudah sekian lama kita pupuk bersama.

Atas dasar inilah, maka wacana pluralitas yang dilontarkan oleh Presiden SBY menjadi sangat signifikan. Paling tidak, dengan posisi SBY sebagai orang nomor satu di republik ini, wacana tersebut memiliki kekuatan politik yang strategis bagi tumbuh suburnya toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan keyakinan sehingga dapat meminimalisir tindakan anarki.

Citra Agama, Citra Negara
Pada dasarnya negara tidak punya otoritas untuk mencampuri atau mengintervensi urusan agama, karena negara tidak berdasarkan pada agama. Namun secara sosial negara berkewajiban untuk menata kehidupan umat beragama demi keharmonisan tata sosial yang plural dan heterogen. Lebih dari itu, secara konstitusional negara mewajibkan warganya untuk memeluk satu dari agama-agama yang diakui eksistensi di negeri ini, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Kenyataan ini dengan sendirinya memaksa negara untuk terlibat dalam menata aktualisasi ajaran agama.

Dalam konteks kehidupan negara bangsa (nation state) terdapat stratifikasi peran antara agama dan negara. Ada wilayah yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab umat beragama, ada wilayah yang menjadi otoritas negara. Dalam hal penafsiran dan pemahaman terhadap ajaran agama sepenuhnya menjadi wilayah privat, yaitu wilayah umat beragama yang tidak bisa diganggu gugat oleh negara. Dalam konteks ini negara hanya berperan sebagai mediasi agar pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran agama tersebut tidak menimbulkan ekses-ekses yang mengganggu ruang publik.

Di sinilah kerjasama antara tokoh (umat) agama dan pemerintah (negara) menjadi sangat penting. Negara berperan sebagai penata kehidupan nasional yang harmonis di atas pluralitas agama-agama yang ada, sementara tokoh agama berperan sebagai pewarta ajaran yang bijak, konstruktif, dan sinergis sehingga misi agama sebagai pencipta perdamaian betul-betul terasa bagi kehidupan bernegara. Dalam kondisi demikian, negara dan agama merupakan dua otoritas yang harus disinergikan demi kepentingan citra keduanya. Dengan kata lain, citra positif agama, melalui perilaku umat beragama yang toleran dan bijak, akan ikut menentukan terhadap citra positif negara, begitu juga sebaliknya.

Dimensi Spiritual dan Sosial
Indonesia sebagai negara yang mewajibkan penduduknya menganut salah satu agama seharusnya dapat menjadi modal transformatif bagi negara baik pada tataran spiritual maupun sosial. Dimensi spiritual yang terkandung dalam agama seharusnya mampu mentransendensikan beragam kepentingan dan perbedaan yang ada dalam masyarakat menuju kesamaan tujuan. Sementara dimensi sosial dapat menjadi kekuatan transformatif dan profetis bagi kontekstualisasi “ajaran langit” di bumi yang plural ini. Konsepsi ini seharusnya menjadi modal kuat bagi negara untuk menjadikan Indonesia sebagai miniatur surgawi atau bayangan surga di bumi melalui sikap keberagamaan yang moderat.

Secara sosio-politik kita telah memiliki modal ke arah tersebut yang sedikit banyak telah memberikan citra positif bagi negara. Modal tersebut adalah terselenggaranya prosesi demokrasi secara langsung dan damai. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa pluralitas kepentingan tidak menjadi penghalang bagi berseminya kebersamaan. Citra positif ini jangan sampai tercemar oleh intoleransi sebagian kelompok masyarakat di tengah pilar demokrasi sedang ditegakkan. Oleh karena itu, negara harus mampu mengelola keragaman tanpa harus menyeragamkan. Keragaman dan pluralitas harus disinergikan sehingga membawa manfaat bagi negara. Dari sini sinergi keberagamaan akan membawa dampak berupa citra positif negara di mata dunia internasional.

Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan rekonstruksi paradigmatik baik dalam konteks relasi sosial maupun relasi agama dan negara.

Pertama, rekonstruksi paradigmatik keagamaan dari kebenaran monopolisitik menuju kebenaran relatif. Dengan paradigma ini toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan agama dan perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama dapat terwujud. Hal ini sekaligus akan menghancurkan stigmatisasi kami (minna) dan mereka (minkum).

Kedua, rekonstruksi metodologis penyebaran ajaran agama. Selama ini ada kecenderungan agama berlomba untuk mengumpulkan umat sebanyak mungkin. Orientasi semacam ini dapat mengancam terhadap peningkatan kualitas (internal) umat. Lebih dari itu, orientasi tersebut dapat memicu terjadinya benturan antara umat beragama.

Ketiga, keteladanan tokoh agama. Munculnya kelompok-kelompok sempalan disebabkan oleh krisis keteladanan di dalam agama, sehingga mereka mencari atau membentuk kaukus alternatif yang dalam batas ekstrem mengkristal menjadi sebuah kepercayaan atau agama baru.

Agenda-agenda tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Interaksi sosial baik dalam lingkup nasional maupun global tetap berpijak pada otoritas negara. Oleh sebab itu, Presiden SBY dengan paradigma pluralitasnya dapat menjadi mediator bagi tegaknya toleransi beragama dengan mengambil sikap tegas terhadap segala bentuk kekerasan dan intoleransi yang mencederai kebhinnekaan kita.

Kalau sejak awal Presiden SBY menyatakan perang melawan korupsi dan terorisme, maka kini Presiden SBY perlu menabuh genderang perang melawan intoleransi yang memicu sikap anarki. Melawan intoleransi dan anarki tidak perlu dengan kekerasan karena akan melahirkan kekerasan yang baru. Salah satu langkah yang cukup penting adalah menegakkan rambu-rambu kebangsaan yang plural dan heterogen melalui aturan main yang sudah baku.

Sembari penegakan hukum dilakukan, perlu ditumbuhsuburkan toleransi di tengah reformasi yang mengagungkan liberasi dan moderasi. Liberasi dan moderasi tidak akan pernah lahir selama intoleransi dan anarki menjadi panglima yang menghegemoni kesadaran masyarakat. Rekonstruksi dan transformasi kesadaran masyarakat menjadi penting karena variabel penentu eksistensi sebuah negara, sebagaimana disinyalir Antonio Gramsci, adalah masyarakat itu sendiri.

Dengan langkah-langkah tersebut, kita berharap kedamaian dapat hadir di atas realitas pluralitas sosial. Kalau tidak, konflik dan tindak kekerasan akan berjalin berkelindan bersama romantisme kebhinnekaan yang selama ini kita dengungkan. Masih adakah ruang aktualisasi pluralitas dan kebhinnekaan kita di tengah demokrasi mendekati kematangannya? Sejarahlah yang akan membuktikan.*

Tuesday, June 13, 2006

Opini

Delegitimasi Elitisme Demokrasi
Media Indonesia
, Selasa 13 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Sewindu reformasi, demokrasi tak mati. Tapi eksistensinya belum banyak memberi arti. Demokrasi hanya menjadi konsumsi sekelompok petinggi negeri. Kebebasan dirayakan, dan setiap penghambat kebebasan dilecehkan. Bahkan negara pun “terancam” atas nama kebebasan. Setiap orang bisa melakukan apa saja sesuai dengan persepsi dan paradigma dalam memahami demokrasi. Inilah simulakra demokrasi yang menjadikan semua wacana seakan menjadi nyata dan benar adanya. Dan inilah yang menyebabkan demokrasi di negeri ini masih berada di bawah rata-rata demokrasi di dunia.

Dari serangkaian survei opini publik secara nasional sejak 1999-2006, nilai demokrasi Indonesia masih berada di angka rata-rata 72 persen dari angka rata-rata dunia yang berada di titik 84 persen. (Saiful Mujani, 2006). Persentase tersebut bersifat fluktuatif tergantung pada kinerja lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, DPR, maupun presiden. Semakin tinggi persepsi baik masyarakat terhadap demokrasi, maka demokrasi semakin terkonsolidasi. Sebaliknya semakin rendah persepsi baik tersebut, maka semakin runtuh nasib demokrasi.

Agar fluktuasi demokrasi tidak cenderung melemah, maka evaluasi terhadap kinerja lembaga-lembaga demokrasi menjadi sebuah kemestian. Paling tidak evaluasi tersebut dapat mengeliminir onak duri yang menyebabkan demokrasi terjebak dalam involusi.

Elitisme Demokrasi
Wacana reformasi dan demokrasi sampai saat ini masih sangat elitis. Sama elitisnya dengan wacana nasionalisme yang menguat dalam imajinasi tapi tak berakar dalam aksi. Hal ini terjadi karena masyarakat belum pernah merasakan langsung nikmatnya demokrasi. Demokrasi layaknya sebuah kue yang hanya dinikmati oleh elit politik baik yang masih aktif maupun para mantan pejabat yang masih menyisakan citra politisnya. Hal ini terjadi di samping karena tidak tersedianya basis kultural yang kuat, juga karena secara struktural lembaga-lembaga demokrasi masih bersifat semu. Konsekuensinya demokrasi hanya berjalan secara prosedural dan tidak menyentuh sisi substantif demokrasi itu sendiri.

Elitisme demokrasi juga terlihat dari otorisasi penafsiran demokrasi. Pemaknaan dan penafsiran demokrasi sepenuhnya menjadi otoritas sekelompok orang yang memasarkannya melalui pendekatan a top-down manner. Kenyataan ini tidak jauh berbeda dengan rezim Orde Baru ketika demokrasi ditafsirkan secara monolitik, sentralistik, dan paternalistik. Reformasi hanya menampilkan pergeseran otoritas penafsiran dari otoritas monolitik negara pada para elit.

Kenyataan ini bisa menjadi onak duri bagi demokrasi ketika rakyat hanya dijadikan ajang legitimasi oleh elit. Padahal demokrasi mengandaikan adanya transformasi otoritas dari elitis ke populis dari penguasa kepada rakyat. Namun yang terjadi, wacana politik dan carut marut perpolitikan kita masih berputar di lingkaran elit, sementara masyarakat tetap saja berkubang dalam derita politik dan ekonomi. Dalam kondisi demikian, tidak berlebihan apabila rakyat merasa muak dengan demokrasi dan menganggap rezim Soeharto sebagai paling baik di antara presiden lainnya (Lingkaran Survei Indonesia, April 2006).

Prosedur Demokrasi
Dalam transisi saat ini semua kemungkinan bisa terjadi. Namun satu hal yang tak bisa dimungkiri bahwa ada semangat untuk menata kehidupan bernegara menjadi lebih baik dari sebelumnya. Keinginan ini seharusnya diserahkan pada negara untuk mengelolanya. Karena ketika otoritas politik telah diserahkan pada negara melalui mekanisme demokrasi, maka negara memiliki hak untuk menata sesuai dengan konstitusi yang ada.

Masalahnya menjadi rumit ketika sebagian elit masyarakat merasa punya hak yang sama untuk menata negara, sehingga benturan wacana dan kepentingan bahkan mengarah pada pergerakan massa tak terelakkan. Dalam kondisi demikian seharusnya masing-masing pihak menyadari bahwa ada mekanisme dan prosedur demokrasi yang harus ditaati ketika kita semua betul-betul berkomitmen untuk menegakkannya.

Komitmen untuk menaati prosedur demokrasi inilah yang akan memperkuat tali kebersamaan. Bahwa ada kesepakatan untuk menegakkan demokrasi dengan cara memberi peluang pada pemerintah mengaktualisasikan planning dan program kerjanya. Agar dalam proses aktualisasi tersebut tidak terjadi deviasi, maka keberadaan lembaga kontrol, seperti DPR, sangat vital. Kontrol ini tidak hanya terkait dengan kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah, namun termasuk evaluasi terhadap kinerja pemerintah. Dan lembaga kontrol ini sesungguhnya memiliki power yang cukup kuat dengan otoritas impeachmen terhadap presiden apabila dianggap melanggar konstitusi.

Namun yang terjadi saat ini adalah semangat kontrol politik terhadap kekuasaan lebih besar daripada kontrol obyektif atau paling tidak kontrol yang seimbang antara keberhasilan dengan kegagalan. Sehingga masyarakat dipaksa terlibat dalam pertarungan politik kekuasaan yang absurd, bukan pada pemberdayaan untuk memenuhi kebutuhan praktis masyarakat.
Tampaknya kaum elit tak sabar untuk mengikuti prosedur-prosedur demokrasi. Mereka ingin tampil layaknya lembaga kontrol yang memaksa negara memenuhi keinginannya secara instan. Kenyataan ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama, lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga DPR sebagai kontrol kekuasaan. Ketika masyarakat, termasuk para elitnya, lebih suka melakukan kontrol langsung terhadap pemerintah bisa jadi lembaga kontrol yang ada sudah tidak berfungsi.

Kedua, taktik politis. Kontrol langsung terhadap pemerintah tentu memiliki dampak politis lebih eksesif dibandingkan melalui mekanisme prosedural yang cenderung bertele-tele dan lambat. Inilah sebabnya Amien Rais Cs, misalnya lebih suka menohok langsung kekuasaan SBY-JK daripada menyerahkan masukan-masukannya langsung pada pemerintah atau kepada lembaga DPR.

Ketiga, kepentingan politis. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa langkah-langkah elit politik dalam mengontrol pemerintah sarat dengan kepentingan dan kalkulasi politik. Paling tidak secara tidak langsung mereka menempatkan dirinya sebagai orang yang merasa memiliki status, pengaruh, dan massa untuk melakukan bargaining dengan pemerintah.

Delegitimasi Demokrasi Elit
Melihat fenomena sepak terjang politik para elit berhadapan dengan pemerintah memunculkan satu asumsi bahwa standar demokrasi ditentukan oleh sejauhmana kekuasaan mengakomodir aspirasi segelintir elit tersebut. Baik tidaknya pengelolaan kehidupan tata kenegaraan seakan ditentukan oleh masukan yang diberikan sekelompok elit. Bahkan sebagian elit tersebut seakan menjadi kekuatan paling absah untuk mengevaluasi kinerja SBY.

Ini tentu merupakan distorsi terhadap demokrasi yang meletakkan seluruh masyarakat sebagai realitas yang harus dihargai. Paradigma elit ini pula yang menyebabkan munculnya kategorisasi-kategorisasi sempit dan distortif tentang tokoh reformis. Mereka yang bersuara vokal dan kritis terhadap kebijakan pemerintah identik dengan reformis, sementara mereka yang berdarah-darah bahkan berkalang tanah, seperti para mahasiswa dan masyarakat luas, hanya dianggap pendukung yang sering tak tersisa dalam kenangan. Sungguh kategorisasi yang distortif dan penuh kesombongan.

Dalam kondisi transisional saat ini yang diperlukan adalah bagaimana mengawal reformasi agar tidak menjadi media pertarungan segelintir elit yang kemungkinan distortifnya sangat terbuka lebar. Rakyat hanya dijadikan tameng atas nama demokrasi, sementara rakyat sendiri merasa terasing dengan demokrasi yang mereka perjuangkan.

SBY dan para elit politik adalah aset penting bagi negeri ini. Namun mereka bukan malaikat tanpa cacat. Negara ini tidak membutuhkan malaikat yang suci tapi tidak berani berimprovisasi, juga tidak membutuhkan setan yang selalu berusaha menjerumuskan. Negara ini membutuhkan manusia yang kepeduliannya pada bangsa lebih dikedepankan daripada memproduksi wacana-wacana yang membuat gundah kelana masyarakat yang sedang dilanda beragam bencana.

Negara ini membutuhkan orang-orang yang mau bekerjasama untuk kepentingan bersama. Negara ini bukan milik siapa-siapa, tapi milik semua untuk kepentingan semua dan yang menentukan adalah kita semua. Dan kita semua telah sepakat untuk membangun negeri ini dalam koridor demokrasi dengan segala perangkat mekanisme dan prosedurnya. Ini penting ditekankan agar demokrasi yang kita bangun tidak menjadi demokrasi yang menghamba pada tuan-tuan yang sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing.*

Monday, June 12, 2006

Opini

Harga Ideologi di Tengah Pasar Globalisasi
Bisnis Indonesia, Sabtu 10 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Wacana tentang ideologi mencuat kembali seiring dengan arus globalisasi yang dianggap mengancam terhadap eksistensi nation-state. Di tanah air, nasib ideologi Pancasila mengalami pasang surut. Ia sempat disakralkan, tapi kemudian dicampakkan. Karena itu pula, Pancasila tak membumi bagi kehidupan bangsa. Sakralisasi telah menyebabkan Pancasila seperti benda museum yang berjarak dari generasi anak bangsa. Akibat itu pula Pancasila tidak berharga dan dianggap barang langka yang tak menarik untuk diaktualisasikan. Ini terbukti dari semakin sulitnya mencari generasi muda yang, paling tidak, tahu lima sila Pancasila. Beberapa televisi pernah menayangkan wawancara mendadak dengan sejumlah generasi mudah dari kalangan siswa sampai mahasiswa. Sebagian besar mereka tak bisa menyebutkan isi Pancasila. Ini menjadi indikator sederhana dari semakin terasingnya Pancasila dari nafas kehidupan anak bangsa.

Pada peringatan hari lahir Pancasila semua orang tersentak untuk merejuvenasi Pancasila. Semua, terutama elit politik, merasa paling prihatian terhadap nasib Pancasila tanpa menyadari bahwa dirinya telah menjadi bagian dari penyebab “matinya” Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila hanya dijadikan payung penyelamat untuk kepentingan politik kaum elit. Pancasila seperti agama. Ia dikhutbahkan di mimbar-mimbar politik citra sebagai benteng atas ancaman terhadap diri dan kelompokya untuk kemudian mencari simpati agar diklaim sebagai sosok Pancasilais.

Kenyataan ini semakin menjauhkan Pancasila dari generasi muda di tengah globalisasi yang tak henti-hentinya menghampiri. Dan tidak berlebihan apabila seorang intelektual seperti Daniel Bell mengumandangkan ikrar “the end of ideology”.

“Memasarkan” Pancasila
Dalam pidato memperingati hari lahir Pancasila, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak untuk berhenti memperdebatkan tentang Pancasila sebagai dasar negara. Kini saatnya menjadikan Pancasila sebagai rujukan, sumber inspirasi, dan jendela solusi untuk menjawab segala tantangan.

Pernyataan SBY tersebut merupakan langkah awal bagi upaya menghidupkan kembali Pancasila setelah sekian lama dikebumikan. Bahkan keberanian SBY untuk menjadikan Pancasila sebagai living ideology merupakan fenomena yang cukup unik di tengah hampir seluruh anak bangsa teralienasi dari Pancasila dan sebagian elit merasa sungkan untuk “memasarkan” Pancasila.

Sejak Presiden BJ Habibie membuka kran ideologi selain Pancasila sebagai asas organisasi, eksistensi Pancasila semakin terperosok. Bahkan di tengah hujatan terhadap segala atribut Orde Baru, Pancasila betul-betul berada di titik nadir. Hal ini terlihat dari TAP MPR RI nomor 18/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR nomor 2/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Setelah itu, Pancasila ramai-ramai dikubur dan para penggagas reformasi merasa berdosa untuk menyebutkannya. Pancasila ditahbiskan sebagai monumen anti reformasi. Ini pula yang memperpanjang listing kegagalan para pemimpin di negeri ini untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan kebangsaan yang marketable bagi rakyatnya.

Kenyataan ini secara tidak langsung menjadi ancaman bagi upaya revitalisasi dan rejuvenasi
Pancasila sebagai way of life. Di samping itu, tantangan lain dari revitalisasi dan rejuvenasi ideologi adalah terbukanya tawaran ideologi luar yang menyatu dalam arus globalisasi. Di tengah open market democracy tawaran ideologi semakin terbuka dan semuanya menjanjikan kesejahteraan. Di sinilah Pancasila dipertaruhkan. Kalau secara historis bangsa Indonesia tidak pernah merasakan kesejahteraan dan kedamaian di bawah naungan ideologi Pancasila, maka secara logika, ia tidak akan menarik bagi kalangan generasi bangsa. Bahkan dalam bentuk yang ekstrem bisa muncul kesadaran bahwa negara tanpa ideologi pun tetap eksis.

Dalam kondisi demikian, yang dibutuhkan bukan proses doktrinasi apalagi ideologisasi Pancasila. Pancasila harus dijadikan medium paling mudah untuk merekat kebersamaan yang akhir-akhir mulai retak. Layaknya makanan cepat saji, Pancasila harus diturunkan menjadi tata cara hidup yang mudah (cepat) dipahami dan enak (corfortable) dilaksanakan. Dan hal ini bisa dilakukan melalui keteladanan para pemimpin dalam mengelola negeri ini secara bermartabat. Langkah ini memang tidak mudah, karena para pemimpin negeri ini belum mampu mewariskan Pancasila sebagai way of life. Mereka berhenti pada proses ideologisasi, sakralisasi, dan berakhir dengan politisasi.

Globalisasi dan Politik Endism
Arus globalisasi dengan segala muatannya sebenarnya merupakan proses ideologisasi baru. Hal ini biasanya diiringi dengan politik endism. Yaitu sebuah tesis tentang matinya ideologi-ideologi besar dunia akibat gerusan kapitalisme yang tak tertandingi. Negara maju dengan kapitalismenya menyusup melalui stigma endism. Kenyataan inilah yang dipromosikan oleh para pemikir endist yang tertuang dalam pelbagai karyanya, seperti the end of ideology (Daniel Bell) dan the end of history (Francis Fukuyama), the end of the nation state (Kenichi Ohmae atau Jean-Marie Guehenno), dan lainnya.

Dengan kata lain, ideologisasi globalisasi merupakan bentuk paling nyata dari upaya pengakhiran ideologi-ideologi lainnya, termasuk Pancasila (the end of the Pancasila?) sehingga memperlancar hegemoni negara maju. Dan tidak tertutup kemungkinan Pancasila pada akhirnya mati di tengah globalisasi akibat ketakberdayaan anak bangsa merespon berbagai godaan global.

Di tengah pasar ideologi yang semakin terbuka saat ini, eksistensi Pancasila sangat rentan terjangkit penyakin endism. Untuk itu, perlu langkah-langkah strategis dan konstruktif dengan memanfaatkan seluruh potensi dan peluang (opportunity) yang ada dalam masyarakat. Salah satu peluang tersebut adalah adanya potensi-potensi “perlawanan” terhadap arus globalisasi yang belakangan marak terjadi khususnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Fenomena ini biasanya diiringi oleh keinginan untuk menumbuhkan kembali budaya lokal (local wisdom) khas Indonesia yang plural dan toleran. Inilah modal penting dan cukup strategis bagi pembumian nalai-nilai Pancasila dalam kehidupan warga negara tanpa doktrinasi yang sering berbuah alienasi.

Peluang tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan cara mengembalikan Pancasila sebagai wacana publik yang toleran dan aktual, diiringi kebijakan dan prilaku politik yang inklusif dan artikulatif. Semoga.
Opini

Rapor SBY di Tengah Bencana
Investor Daily, Sabtu 10 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Di saat negara dikepung beragam bencana, muncul pertanyaan dalam benak kita; apa yang salah dari negeri ini? Pelbagai analisa pun bermunculan menurut perspektifnya masing-masing. Mulai dari perspektif politik sampai antropologis, dari analisa empirik-rasional sampai analisa supranatural.

Beberapa waktu yang lalu, sebuah lembaga survei merelease hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa negara ini sedang mengalami penurunan kinerjanya, khususnya dalam bidang ekonomi. Bahkan dalam tataran demokrasi yang tercermin dalam pelaksanaan Pilkada pun menunjukkan fenomena yang tidak jauh berbeda. Terbukti, sebagaimana hasil pengamatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) menunjukkan bahwa legitimasi hasil Pilkada masih rendah, sehingga ancaman instabilitas politik yang berujung pada konflik dan tindakan anarkis sangat terbuka lebar. (Investor Daily, 8/6). Kemudian apa korelasi antara bencana dengan kinerja negara yang cenderung menurun?

Memang tidak ada korelasi faktual antara bencana alam dengan kinerja negara, apalagi dengan demokrasi. Namun munculnya bencana telah memaksa negara untuk membagi perhatian dan anggarannya bagi rehabilitasi korban bencana. Hal ini berdampak pula pada terhambatnya penyelesaian problem sosial lainnya. Ini pula yang memperlebar jarak antara harapan dan kenyataan.

Tingkat ekspektasi yang begitu tinggi terhadap SBY pada awal pemerintahannya (79,7%) harus mengalami penurunan yang cukup signifikan akibat faktor-faktor “tak terpikirkan” seperti bencana dan sebagainya. Termasuk faktor-faktor tak terpikirkan (invisible hands) adalah intrik-intrik politik yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada kepentingan nasional. Kenyataan ini telah memecah upaya negara dalam mengaktualisasikan dan mewujudkan agenda-agenda penyelesaian krisis multidimensi. Mau tidak mau hal tersebut ikut mempengaruhi citra SBY.

Pencitraan terhadap kinerja SBY tentu tidak hanya karena hasil survei, tapi juga cara media massa memotret, memoles, dan mengemas hasil survei tersebut untuk disajikan pada pembacanya. Ketika media massa hanya memotret satu sisi (one side) gelap dari hasil survei, maka citra negatif pun akan mencuat dan secara politik dapat merugikan SBY. Padahal ada sisi positif yang juga penting diungkap agar menjadi modal bagi peningkatan kinerja SBY, paling tidak untuk mengimbangi sisi negatifnya.

Dalam kasus survei terhadap kinerja Presiden SBY yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (PT LSI) misalnya, walaupun menunjukkan penurunan kinerja ekonomi SBY, namun survei tersebut juga memperlihatkan bahwa lima bidang lainnya, yaitu politik, sosial, keamanan, hukum dan hubungan internasional menunjukkan kinerja yang sangat memuaskan. Bahkan secara personal SBY dianggap sebagai sosok lebih baik (14.5%) dalam menyelesaikan masalah pengangguran dan pemberian lapangan kerja dibandingkan Megawati (7.0%), Abdurrahman Wahid (1.4%), dan BJ Habibie (3.6%). Sisi positif lain dari SBY, menurut hasil survei tersebut, adalah dalam hal penanganan masalah korupsi dan penyelesaian konflik di Aceh. Dalam hal ini Presiden SBY adalah yang terbaik (59.8% & 56.6%) dibandingkan empat presiden lainnya (Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati).

Sayangnya sisi-sisi positif dari kinerja SBY tidak disajikan secara seimbang (cover both side), sehingga pembacaan terhadap hasil survei pun tidak balance (one side) dan distorsif. Padahal media massa, sebagaimana tesis David M. Ryfe, Associate Professor of Journalism di Middle Tennessee State University, merupakan alat yang sangat menentukan tinggi rendahnya pencitraan publik terhadap institusi atau otoritas politik. Media tidak hanya menjadi government watch, tapi memiliki hegemoni pencitraan yang luar biasa.

Evaluasi Reformasi
Evaluasi terhadap kinerja pemerintahan menjadi sangat penting karena akan menjadi titik tolak untuk menemukan solusi bagi problem kebangsaan. Terlepas dari efek pencitraan terhadap pemerintah, evaluasi dapat menjadi pijakan dalam merespon persoalan yang dihadapi masyarakat secara cepat dan tepat. Termasuk langkah-langkah strategis bagi penanggulangan bencana. Kalaupun harapan yang begitu besar yang dipertaruhkan terhadap SBY tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang dirasakan, seharusnya memicu seluruh aparatur negara untuk semakin serius mendekatkan harapan dengan kenyataan.

Begitu pun sebaliknya. Banyaknya peristiwa yang membebani kinerja pemerintah di luar agenda dan kalkulasi kebijakannya, harus mendorong masyarakat untuk ikut terlibat secara intensif dalam meminimalisir hambatan-hambatan tersebut. Bencana alam mengajarkan pada kita bahwa kerja individual tak akan mampu mengimbangi kehancuran massal. Oleh karena itu, evaluasi terhadap kinierja SBY harus dijadikan media bersama untuk mencari solusi, bukan untuk saling mencurigai apalagi mencaci maki sesama anak bangsa.

Kalau dilihat secara umum ada dua tantangan yang lahir di luar kalkulasi politik SBY yang ikut membebani percepatan perwujudan agenda-agenda reformasi. Pertama, adanya warisan pemerintahan sebelumnya baik berupa kebijakan yang tidak kondusif (kontraproduktif) seperti UU Ketenagakerjaan maupun agenda reformasi yang tak tersentuh, seperti pemberantasan korupsi yang terlanjur berurat akar.

Kedua, adanya peristiwa-peristiwa alam yang tingkat akumulatifnya cukup tinggi dibandingkan pada masa pemerintahan sebelumnya. Mulai bencana tsunami di Aceh, tanah longsor, banjir, penyakit flu burung, gempa bumi, letusan gunung merapi yang memaksa pemerintah untuk menyisihkan perhatiannya secara ekstra bagi penanganan masalah tersebut.

Dalam kondisi demikian, langkah yang diperlukan Presiden SBY bukan bagaimana mengembalikan citra seperti pada awal berkuasa, tapi bagaimana mengambil langkah penting dan strategis sehingga dapat memperkecil jarak antara ekspektasi masyarakat pada awal kepemimpinan SBY yang begitu tinggi dengan kenyataan yang dirasakan masyarakat saat ini. Pemerintah harus bisa menjelaskan secara transparan pelbagai problem yang dihadapi negara yang menyebabkan terhambatnya agenda-agenda perbaikan bidang ekonomi dan optimalisasi agenda lainnya.

Sinergi untuk Ekonomi
Problem krusial yang dihadapi SBY adalah masalah ekonomi. Kalau pun secara makro, ekonomi nasional mengalami perbaikan dan peningkatan, namun hal tersebut dianggap “fatamorgana” karena tak berdampak langsung pada masyarakat bawah. Sementara ekspektasi yang cukup besar terhadap peran SBY justru ada di level bawah, sehingga ketika kebijakan atau keberhasilan tidak dirasakan oleh level mayoritas tersebut, maka keberhasilan dianggap angin lalu.

Masyarakat hanya melihat dan mempersepsi terhadap apa yang dirasakan, bukan pada sesuatu yang diasumsikan. Selama ini dengan pertumbuhan ekonomi nasional diyakini dapat terjadi trickle down effect. Namun keyakinan tersebut harus runtuh seiring dengan perputaran ekonomi yang tak kunjung merembes ke bawah, namun ke samping atau lingkungan sekitar.
Terjadinya bencana seperti gempa yang melanda Yogyakarta dengan sendirinya semakin menambah beban tidak hanya pada pemerintah, tapi juga pada masyarakat. Hancurnya sentra-sentra ekonomi dan tempat usaha semakin memperpanjang antrean jumlah pengangguran dan bertambahnya jumlah penduduk miskin.

Dalam kondisi demikian, di samping terus mengupayakan perbaikan ekonomi dan keterpurukan akibat bencana, pemerintah dapat memaksimalkan aspek lainnya yang cukup qualified, seperti politik (partisipasi), kepastian hukum, terjaminnya keamanan, dan jaringan internasional untuk memperkuat titik pijak bagi perbaikan ekonomi. Karena logika pasar ekonomi mengandaikan adanya relasi yang intens dengan bidang lainnya. Pasar tidak hanya mengedepankan liberasi, tapi juga moderasi, relasi, security, dan konstitusi.

Rapor SBY yang tercermin dari hasil survei dan pelbagai analisa di atas merupakan bagian dari potret perjalanan reformasi. Kesempurnaan potret reformasi tidak tergantung pada SBY semata, tapi pada komitmen kita semua dan para elit politik negeri ini untuk bersama-sama mewujudkan reformasi bagi kepentingan bangsa apalagi di tengah bencana yang tiada henti. Tanpa kerjasama, apalagi hanya menggantungkan pada seorang SBY, laju reformasi hanya mimpi. Dan ia akan semakin memperpanjang daftar bencana di negeri ini.*