Monday, June 26, 2006

Opini

Pers, Demokrasi, dan Kepercayaan Publik
Indo Pos, Sabtu 24 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Siapa yang paling dipercaya masyarakat Indonesia saat ini? Pertanyaan ini penting diajukan di tengah gonjang-ganjing politik yang mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga politik. Padahal demokrasi mesyaratkan adanya trust (kepercayaan). Percaya bahwa demokrasi adalah mekanisme terbaik dalam tata sosial yang plural.

Baru-baru ini (Mei 2006) The Media Center, BBC, dan Reuters merilis hasil surveinya di sepuluh negara, termasuk Indonesia tentang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media, baik televisi, radio, maupun surat kabar. Hasilnya cukup mengagetkan. Bahwa media lebih dipercaya daripada pemerintah (media more trusted than governments). Dan Jawa Pos menjadi satu dari dua surat kabar yang dipercaya oleh masyarakat Indonesia.

Kalau demikian, runtuhkah kepercayaan masyarakat pada pemegang otoritas politik paling sah (parpol, DPR, maupuan eksekutif) dalam kehidupan bernegara? Bisa jadi benar. Namun ada satu faktor yang menyebabkan media menjadi pertaruhan kepercayaan masyarakat yang belum mampu disaingi oleh lembaga politik yang ada, yaitu intensitas komunikasi. Sebagaimana dimaklumi, intensitas komunikasi yang tinggi dapat mengubah kata-kata menjadi fakta dan imajinasi seakan-akan nyata. Media telah menempatkan dirinya sebagai tempat peraduan paling responsif sekaligus eksesif di tengah partai politik menjadi lembaga politik terburuk kinerjanya (Lembaga Survei Indonesia, Maret 2006), di tengah anggota DPR lebih suka berwacana daripada berbuat, dan di tengah elit politik lebih senang memprovokasi daripada mengayomi.

Eksistensi media massa sebagai media tepercaya sebenarnya bukan hal baru. Bahkan media sering diletakkan sebagai pilar keempat (fourth estate), setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun di saat involusi politik mewarnai legislatif, di tengah lambannya eksekutif akibat begitu besarnya problem sosial, dan di saat mafia peradilan menjadi pemicu hancurnya integritas dunia yudikatif, maka media massa menjadi pertaruhan kepercayaan terakhir bagi masyarakat.

Nasib Demokrasi
Kenyataan tersebut bisa berimplikasi pada konsolidasi demokrasi. Demokrasi di negeri ini dirayakan sebatas prosedur-prosedur. Partai politik tak terhitung, kebebasan tak terbendung, partisipasi dalam pemilu tak berbilang, rakyat menentukan sendiri pemimpinnya, dan lembaga tertinggi negara diruntuhkan. Rakyat betul-betul diagungkan. Vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan) sungguh terasa di negeri ini.

Namun semua itu hanya berlangsung layaknya sebuah ritual yang berjarak dengan jiwa demokrasi. Konsekuensinya kebebasan merangsang orang menghakimi orang lain, Pemilu dan Pilkada menjadi ajang pertarungan para pemilik modal, partai politik menjadi rumah petualang para elit, dan rakyat menjadi kekuatan untuk kepentingan orang-orang berduit. Sehingga sulit membedakan demokrasi, mobokrasi, oligarki, atau corporatocracy. Semua ini akibat demokrasi belum menjadi pijakan kultural masyarakat. Demokrasi dirayakan tanpa diiringi pemahaman dan akulturasi ke dalam kesadaran masyarakat.

Selama fenomena tersebut berlangsung dalam kehidupan demokrasi kita, maka sepanjang itu pula konsolidasi demokrasi hanya mimpi. Dan kita patut prihatian karena fakta membuktikan bahwa opini positif masyarakat terhadap demokrasi baru mencapai 72%, 12 angka di bawah rata-rata opini positif dunia yang mencapai 84% (Lembaga Survei Indonesia, 2006).

Melihat kenyataan tersebut, maka eksistensi media massa semakin penting bagi konsolidasi demokrasi dengan meyakinkan masyarakat bahwa demokrasi adalah sistem terbaik. Sebenarnya meyakinkan masyarakat tentang demokrasi ini merupakan tugas lembaga-lembaga politik seperti parpol atau lembaga legislatif sebagai bagian dari sosialisasi politik. Namun karena para politisi tidak mampu meyakinkan masyarakat tentang signifikansi demokrasi, maka media massa dapat berperan “memprovokasi” masyarakat untuk meyakini demokrasi sebagai sistem terbaik.

Memelihara Kepercayaan
Meyakinkan masyarakat bahwa demokrasi merupakan sistem terbaik tidaklah mudah di tengah masyarakat belum merasakan nikmatnya demokrasi. Justru dari beberapa kasus yang terjadi, dalam pemilihan kepala daerah misalnya, memunculkan citra bahwa demokrasi identik dengan anarki. Kerusuhan, pengrusakan, ancaman, dan munculnya raja-raja baru semakin kentara seiring dengan prosesi demokrasi dan otonomi.

Dalam kondisi demikian wajar apabila sebagian masyarakat mengidamkan suasana Orde Baru yang tenang. Bahkan sebagian masyarakat meyakini tentara lebih mampu menciptakan rasa aman dan tenang daripada sipil yang mengedepankan kepentingan kelompoknya (LSI, 2006). Kenyataan ini tak lepas dari perilaku politik sipil yang lebih mementingkan ambisi kekuasaan daripada menjadi penyambung lidah rakyat. Ini pula yang menjadi penghambat konsolidasi dan penguat involusi demokrasi.

Pers atau media dengan intensitas komunikasinya dapat menjadi peretas involusi demokrasi. Paling tidak dengan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap media dapat menjadi pintu masuk bagi upaya penguatan otonomi publik berhadapan dengan elit atau negara. Dengan penguatan ini, diharapkan masyarakat tidak mudah dimobilisir oleh intrik-intrik politik kaum elit yang sarat kepentingan sempit dan segmented.

Hal ini tentu harus didukung oleh sikap kaum politisi untuk merekonstruksi orientasi politik yang berorientasi pada kekuasaan semata. Sudah waktunya orientasi politik kerakyatan lebih dikedepankan demi keberdayaan masyarakat politik secara keseluruhan. Berharap penuh pada peran (baca: intervensi) negara, berarti secara tidak langsung menggadaikan otonomi publik yang seharusnya dikembangkan demi konsolidasi demokrasi.

Sambil penguatan otonomi publik berlangsung, negara harus didorong untuk semakin responsif dan cepat mengambil langkah recovery terhadap berbagai aspek kehidupan khususnya ekonomi dan peningkatan kesejahteraan yang belum juga membaik.

Dan semua ini akan terjadi apabila ada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan pemerintah terhadap masyarakat. Kepercayaan ini dapat dipelihara sekaligus diperkuat oleh peran media massa yang secara faktual mendapat tempat di hati masyarakat. Dan inilah yang hendak dituju oleh demokrasi yang terkonsolidasi, yaitu terciptanya sebuah tata sosial yang membagi peran secara tegas dan beradab antara negara (elit) dan rakyat.

Apabila kondisi ini tidak mampu dimanage secara baik, maka secara perlahan tapi pasti kepercayaan publik akan punah dan mereka akan bertindak menurut kepercayaannya masing-masing. Dan bila ini terjadi, maka republik ini tinggal menunggu ajalnya.*

No comments: