Monday, December 04, 2006

Opini

Menyambung Tali Sejarah
Media Indonesia, Senin 4 Desember 2006

A. Bakir Ihsan

Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan sistem demokrasi mendapat pujian dunia. Bahkan George W. Bush dalam kunjungan singkatnya di Bogor beberapa waktu lalu menaruh harapan besar atas keberhasilan Indonesia menyemai demokrasi langsung dan menempatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden pertama pilihan langsung rakyat. And we appreciate your leadership, Mr. President your democracy is making Indonesia strong and better able to play possible ball South East Asia and the world. Demikian harapan Bush pada SBY saat konferensi pers di Istana Bogor, 20 November lalu.

Bush dan dunia pantas berharap, karena keberhasilan demokrasi langsung (direct democracy) pada level kepemimpinan nasional terus bersambut pada level kepala daerah. Prosesi demokrasi bersemi di tengah transisi reformasi.

Walaupun terjadi riak-riak ketidakpuasan, namun secara keseluruhan prosesi demokrasi, khususnya pada level lokal (daerah) cukup lancar. Paling tidak persoalan-persoalan terkait dengan Pilkada (kepemimpinan di tingkat daerah) bisa diselesaikan sesuai alur demokrasi. Misalnya, kasus Walikota Depok (Nur Mahmudi Ismail vs Badrul Kamal) dan Gubernur Lampung (Sjachroeddin ZP vs Alzier Dhianis Thabrani) yang menyita energi cukup melelahkan berhasil diselesaikan secara acceptable dan accountable.

Kudeta sejarah
Namun dari sekian prosesi demokrasi di negeri ini, selalu menyisakan sejarah yang gelap, sehingga menyebabkan terjadinya diskontinuitas sejarah. Diskontinuitas sejarah merupakan bentuk lain dari kudeta yang menyiratkan keterputusan masa lalu dengan masa kini. Kudeta tidak hanya terkait dengan peralihan kekuasaan secara paksa, tapi penegasian terhadap segala simbol kekuasaan sebelumnya. Akibatnya, ia selalu meninggalkan sisi gelap dari rangkaian babakan sejarah.

Secara politik, diskontinuitas sejarah ini berimplikasi pada personifikasi kekuasaan melalui agenda-agenda yang dibangun tanpa sebuah kesinambungan dan kebersamaan. Sehingga capaian yang dihasilkannya pun tidak maksimal. Pada titik ini demokrasi melahirkan sebuah ambigu. Ia hanya berhasil mengantarkan sebuah proses pergantian rezim, tanpa agenda bagaimana rezim ini harus melanjutkan kekuasaan. Kenyataan inilah yang menyebabkan terjadinya kudeta sejarah. Masing-masing rezim membangun sejarahnya sendiri, dan rezim berikutnya selalu merevisi bahkan membongkarnya.

Paling tidak itulah yang terjadi di republik ini. Sejarah kepemimpinan di negeri ini memperlihatkan potret yang tak pernah sempurna. Dari Soekarno sampai Megawati tak satu pun di antara mereka yang berhasil menyelesaikan masa kepemimpinannya secara paripurna.

Akibatnya suksesi di negeri ini selalu mewariskan negasi. Paling tidak penegasian terhadap kepemimpinan sebelumnya menjadi bukti tidak adanya harmoni antar generasi. Soeharto berdiri di atas hujatan terhadap Soekarno. Reformasi lahir dengan dendam yang begitu dahsyat atas Soeharto. Bahkan di saat reformasi pun, kita belum memiliki tradisi kepemimpinan yang naik dan turunnya secara regular. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati berbagi waktu secara tidak normal. Lima tahun yang tersedia harus berakhir sebelum waktunya. Ini pula yang menyebabkan negeri ini seperti tak memiliki banyak pemimpin bangsa walaupun kekuasaan sudah berganti sekian kali. Mereka “besar” pada zaman kekuasaannya, dan sesudah itu selesai.

Diskontinuitas atau kudeta sejarah ini bukan sebuah bentuk kegenitan idiomatik. Secara sosio-politik, ia berdampak pada stigmatisasi dan stratifikasi sosial yang rapuh karena tidak adanya kesinambungan visi dan misi kekuasaan dalam menata dan memberdayakan masyarakat dengan segala stratifikasinya dalam konteks negara-bangsa. Selama proses kepemimpinan masih berjalan menurut sejarahnya masing-masing, maka selama itu pula upaya rekonstruksi akan mengalami involusi.

Konsensus fundamental
Untuk mengatasi diskontinuitas tersebut, yang diperlukan bukan rekonsiliasi para (mantan) pemimpin negeri ini. Karena rekonsiliasi lebih bernuansa politis-formalistik. Namun lebih dari itu, adalah kepedulian semua pemimpin terhadap nasib negeri melalui beragam aksi namun dalam satu visi. Negara ini tidak bisa dipertaruhkan hanya pada satu pemimpin di suatu periode tertentu. Walaupun SBY dipilih langsung oleh rakyat, namun hal tersebut tidak cukup menjadi modal kuat apabila tidak didukung oleh pemimpin lainnya yang telah ikut berkontribusi bagi eksistensi negeri ini. Negara ini akan terus bergerak secara reguler apabila regenerasi kepemimpinannya mampu melanjutkan gerak positif kepemimpinan sebelumnya. Dan ini akan terjadi apabila proses regenerasi tersebut berlangsung secara reguler melalui demokrasi yang terkonsolidasi.

Salah satu syarat bagi konsolidasi demokrasi adalah adanya landasan kebangsaan yang mapan dan kuat (strenght). Selama ini Pancasila yang merupakan konsensus dasar (fundamental consensus) bagi eksistensi negeri ini sering terdistorsi oleh kepentingan kelompok tertentu, sehingga menghambat laju konsolidasi demokrasi. Akibatnya demokrasi yang hadir di negeri ini belum mampu menyentuh sisi substansi demokrasi sebagai sebuah wahana untuk menyuburkan keragaman tanpa dominasi apalagi represi.

Bahkan kini, di saat kita merayakan direct democracy, melalui pendirian lembaga-lembaga politik masih sering terjebak pada penguatan kepentingan sekelompok elit yang secara personal tidak memiliki akar pada level grassroot. Saling menyalahkan dan upaya menonjolkan kepentingan kelompoknya atas nama mayoritas atau lainnya lebih mengemuka daripada semangat untuk menata kehidupan berbangsa secara bersama. Negasi lebih dikedepankan daripada komunikasi. Demarkasi lebih kuat daripada negosiasi. Dari sini terlihat betapa orientasi kebangsaan yang mengagungkan kebersamaan dalam keragaman begitu rentan dan rapuh. Ini pula yang menyebabkan kita sering terjebak pada stigmatisasi sejarah (historic alienation) yang mencerai beraikan anak bangsa.

Dari kami ke kita
Orientasi kebangsaan sebagai cermin dari fundamental consensus sejatinya dapat meleburkan stigmatisasi dan negasi sekaligus memperkuat harmoni. Penegasian atas kelompok yang berbeda (the others) dan penguatan distingsi antara “kami” versus “mereka” baik secara politik, budaya, maupun ekonomi merupakan benih yang bisa memicu kudeta sejarah sebagaimana yang terjadi pada masa lalu. Untuk itu, segmentasi antara “kami” dan “mereka” yang akhir-akhir ini cenderung menguat kembali dalam berbagai bentuknya harus dieliminasi melalui transendensi dan transformasi yang mengedepankan kepentingan “kita.” Dalam term “kita”, distingsi “kami” dan “mereka” dapat melebur dan bersama.

Semua anak bangsa dari beragam suku dan latar belakang sejarah selama berada di ranah republik ini, harus diintrodusir dalam paradigma “kita”. Dengan demikian, kontinuitas sejarah akan terus mengalir dalam aras kebangsaan dan kebersamaan. Dalam rangka itu pula, Presiden SBY membuka pintu bagi para korban politik Gerakan 30 September yang ada di luar negeri untuk kembali ke pangkuan pertiwi. Bahkan SBY berjanji merekonstruksi sejarah 1965 yang penuh misteri dengan sejuta stigmatisasi. Langkah penting ini merupakan upaya menyambung kembali tali sejarah yang pernah terputus akibat kudeta antar anak bangsa. Semoga.

Friday, December 01, 2006

Opini

Menimbang Proposal Irak Yudhoyono
Koran Tempo, Kamis, 30 November 2006

A. Bakir Ihsan

Irak kembali berdarah. Tiga hari pasca tawaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Presiden George Walker Bush tentang penyelesaian Irak, 200-an orang meregang nyawa. Balas dendam pun tak terelakkan. Dua hari kemudian 80-an nyawa hilang sia-sia. Seakan mereka hendak menjawab bahwa Irak telah berubah menjadi ladang pembantaian (killing field) yang tidak bisa dibiarkan.

Tawaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bagi penyelesaian Irak (triple track solution) mengundang ragam wacana. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang setuju dengan proposal SBY ada juga yang menganggapnya sebagai upaya menghapus dosa-dosa Amerika dan sekutunya yang telah meluluhlantakkan Irak menurut kemauannya sendiri.

Terlepas dari ragam wacana tersebut, tulisan ini ingin melihat proposal Presiden Yudhoyono sebagai perwujudan dari komitmen kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh konstitusi. Bahwa nilai-nilai kemanusiaan tak boleh terluka, apalagi hancur, oleh alasan apapun. Karena itu mubazir rasanya apabila wacana yang berkembang lebih diarahkan pada untung rugi dari proposal tersebut. Dalam konteks penegakan perdamaian dan kemanusiaan segala upaya untuk itu jauh lebih bermakna daripada tidak berbuat sama sekali. Apalagi hanya mengumbar wacana yang justru mengaburkan substansi tegaknya perdamaian di muka bumi.

Tawaran Presiden Yudhoyono sesungguhnya bukan pada Amerika, tapi pada Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertanggung jawab atas eksistensi dan kedamaian sebuah negara, yaitu Irak. Kalau Irak dibiarkan menjadi ladang pembantaian sesama warga negara, maka tidak mustahil Irak sebagai sebuah negara bangsa akan terhapus dari catatan sejarah. Negara Irak bisa pecah terkapling berdasarkan kelompok-kelompok yang bertikai. Kalau ini terjadi, maka semakin kuat tesis bahwa sebuah negara bangsa berdiri bukan atas dasar kontrak sosial sebagaimana dikhutbahkan kaum fungsionalis. Negara tidak pula berdiri atas dasar kehendak Tuhan sebagaimana difirmankan kaum teolog. Tapi negara berdiri berdasarkan imajinasi yang rapuh dan penuh ancaman perpecahan. Dan imajinasi tidak bisa dipertahankan melalui senjata atau represi politik, karena ia merupakan realitas yang metaempirik. Senjata memiliki limit waktu, politik terkekang oleh ruang, sementara imajinasi melampauinya. Oleh sebab itu, imajinasi hanya bisa dipertahankan melalui pemberdayaan kesadaran tentang pentingnya negara bangsa (nation-state). Dan inilah yang kini hilang di bumi Irak.

Tawaran penyelesaian terhadap Irak secara tidak langsung membuktikan bahwa untuk kesekian kalinya cara-cara kekerasan (senjata) yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Justru ia memicu munculnya sel-sel kekerasan baru yang tak terperikan dan lebih menyakitkan. Kenyataan ini seharusnya menjadi ibrah (pelajaran) bagi Amerika dan sekutunya untuk tidak menggunakan kekerasan demi kepentingannya yang sering dibungkus atas nama hak asasi manusia, demokrasi, dan sejenisnya. Begitupun terhadap terorisme yang telah berhasil dilekatkan pada Islam. Kekerasan terhadap terorisme justru akan menyuburkan sel-sel baru terorisme yang tidak hanya terbatas pada teritori negara dan budaya tertentu, tapi pada siapapun yang merasa terancam. Dan akibatnya jauh lebih mahal dari uang yang harus dikeluarkan untuk perang. Terlalu banyak korban yang berjatuhan akibat senjata.

Makna solidaritas
Tawaran Presiden Yudhoyono dalam penyelesaian Irak yang meliputi tiga hal sejatinya bukan hal baru. Bahkan ia merupakan solusi umum dalam proses penyelesaian konflik yang melibatkan senjata antar warga bangsa. Namun konsep solutif tersebut seakan menjadi usang karena cenderung hanya dijadikan wacana tanpa makna. Negara sebesar Amerika yang memiliki sumberdaya dan sumber dana yang besar sudah sadar dan paham akan proses penyelesaian sebuah konflik. Namun konsep tersebut harus berhadapan dengan beragam kepentingan baik politik, ekonomi, dan sosial budaya termasuk arogansi Amerika sebagai negara adidaya yang tak beradab.

Sejak awal invasi Amerika dan sekutunya mendapat banyak resistensi. Namun dengan segala kesombongannya, Amerika menistakan resistensi dan menegasikan yang lain (the others). Di sini penegasian dan penistaan telah menyebabkan Amerika terjerembab dalam kenistaan yang tak kalah hinanya. Negara sedigdaya Amerika takluk di bawah konflik yang sulit diselesaikan di bumi Irak yang telah diembargonya. Bagaimana ia harus menawarkan solusi-solusi terhadap dunia internasional, sementara dirinya tidak mampu menyelesaikan negara sebesar Irak yang telah diembargo sekian lama kemudian dibombardir dengan senjata.

Ini membuktikan bahwa kedigdayaan tunggal (monopoli) tak akan banyak memberi makna, tanpa dibarengi kebersamaan (solidaritas). Inilah salah satu poin penting dari tawaran Presiden SBY tentang rekonstruksi Irak yang tidak bisa diselesaikan oleh satu atau dua negara, namun oleh dunia internasional yang peduli akan nasib kemanusiaan.

Kalau melihat tiga agenda penyelesaian Irak yang ditawarkan Presiden Yudhoyono terlihat bahwa keadaban dunia ditentukan oleh kebersamaan, bukan oleh kekuatan senjata. Itulah sebabnya dalam triple track solution bagi penyelesaian Irak lebih ditekankan pada kebersamaan baik dalam konteks internasional maupun nasional (lokal).

Pertama, perlunya rekonsiliasi nasional seluruh pihak yang bertikai dengan memberdayakan pemerintahan baru yang telah terbentuk, sehingga pemerintah mampu menyelesaikan sendiri permasalahannya.

Kedua, pengerahan pasukan internasional seiring dengan penarikan tentara Amerika dan sekutunya dari Irak untuk menciptakan stabilitas keamanan. Pasukan internasional ini melibatkan negara-negara yang steril dari pemihakan terhadap serbuan Amerika dan sekutunya terhadap Irak. Sebagaimana diketahui ada beberapa negara yang mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap invasi Amerika terhadap Irak. Kalau perlu dalam pasukan internasional ini dilibatkan negara-negara yang dianggap punya pengaruh terhadap dinamika kehidupan masyarakat Irak, seperti Iran sebagai basis syiah dan Yordania sebagai negara yang dianggap memiliki pengaruh terhadap kelompok sunni. Paling tidak keterlibatan kedua negara tersebut dapat mencarikan titik temu penyelesaian secara damai.

Ketiga, rekonstruksi dan rehabilitas pasca konflik. Pasukan internasional di samping berfungsi menjaga keamanan, juga mempercepat proses rekonstruksi dan rehabilitas terhadap korban-korban akibat konflik. Hal ini sebagaimana dilakukan terhadap negara-negara yang dilanda konflik, seperti di Bosnia, Checnya, dan Lebanon.

Responsi PBB dan Irak
Tawaran ini tentu akan efektif apabila mendapat respon dari PBB dan masyarakat Irak sendiri. Karena bagaimana pun, kehadiran pasukan internasional harus mendapat rekomendasi dari PBB sebagai mekanisme yang harus ditaati bersama. Inilah yang tidak ditaati Amerika dalam menginvasi Irak sehingga melahirkan dampak yang tidak diinginkan. Begitu pun respon rakyat Irak diperlukan, karena bisa jadi mereka sudah tidak percaya lagi terhadap PBB yang dianggap gagal membendung nafsu Amerika dan sekutunya untuk menyerang Irak.

Dalam kompleksitas persoalan dan upaya penyelesaian Irak, memang sulit untuk menemukan celah penyelesaian secara cepat. Namun daripada tidak bergerak sama sekali, maka langkah terbaik dari yang terjelek harus diambil, termasuk terus mewacanakan penghentian Irak menjadi ladang pembantaian sesama warga bangsa. Kalau tidak, bisa jadi Irak betul-betul dalam ancaman kepunahan sejarahnya akibat perang saudara. Dan kalau ini terjadi sungguh sangat disayangkan. Sebuah negara yang sempat menjadi pusat peradaban dunia harus hancur akibat hancurnya keadaban dunia yang dimotori oleh Amerika dan sekutunya.

Di sinilah urgensi triple track solution yang ditawarkan Presiden Yudhoyono. Kini tinggal bagaimana proposal tersebut terus diperjuangkan di berbagai kesempatan (forum) demi tegaknya perdamaian di bumi Irak khususnya, dan seluruh belahan bumi lainnya, tak terkecuali di sini dan kini.*

Friday, November 24, 2006

MASA DEPAN UIN, QUO VADIS?
Sebuah Otokritik


Oleh A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta
Mantan Pemred Majalah “Institut”

Persepsi menentukan eksistensi. Begitu pun UIN, eksistensinya ditentukan oleh bagaimana ia dipersepsi. Dari persepsi melahirkan aksi. Semakin banyak persepsi, semakin banyak pula aksi. Dan itulah yang tampaknya sedang terjadi di UIN Jakarta. Paling tidak hal tersebut terlihat dari dinamika kehidupan di UIN yang berwarna-warni. Bagi pejabat (birokrat) kampus, UIN sedang “dipersepsikan” menjadi world class university, sebuah cita yang begitu mewah dan megah, setelah sebelumnya dipersepsi sebagai research university. Pun bagi dosen. Ada beragam cita dan asa yang tumbuh dari persepsi dosen tentang masa depan UIN. Dan ini pula yang menggerakkan perilaku para dosen dalam 'mendekonstruksi' para mahasiswanya.

Semua persepsi dan obsesi bagi dinamika UIN ke depan merupakan tanggung jawab seluruh elemen, khususnya, di lingkungan internal UIN itu sendiri. Oleh sebab itu, eksistensi UIN tidak semata ditentukan oleh urun rembuk kaum birokrat, tapi juga oleh, dan ini yang terutama, mahasiswa dan dosen. Kedua komponen ini seharusnya menjadi sentral dari gerak UIN ke depan. Hal ini terkait dengan eksistesi kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang “dikendalikan” oleh mahasiswa dan ditunjang oleh kualitas dosen. Selebihnya berfungsi sebagai fasilitator bagi gerak dinamika intelektualitas dunia kampus.

Mengamati dinamika UIN yang berlangsung saat ini, upaya ke arah tersebut masih jauh panggang dari api. Mahasiswa dan dosen belum mampu melakukan akselerasi yang maksimal bagi dinamika kehidupan kampus. Bahkan mahasiswa menjadi level paling bawah yang selalu menjadi korban dari dinamika struktural kampus. Tentu banyak faktor yang menyebabkan belum maksimalnya dinamika intelektual di lingkungan UIN. Di antara faktor-faktor tersebut adalah pertama, paradigma para birokrat kampus yang terbelenggu dalam strata struktural yang kaku. Birokrasi kampus menempatkan dosen dan mahasiwa sebagai pelaksana kebijakan. Tak kurang dan tak lebih. Padahal sejatinya sebagaimana layaknya fungsi birokrasi, kaum birokrat menjadi public service bagi optimalisasi kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan.

Kedua, paradigma para dosen yang menempatkan dirinya sebagai pelaksana kebijakan dan menganggap pengetahuan bersifat final, sehingga tidak ada terobosan (aktualisasi dan kontekstualisasi) pengetahuan yang diajarkan. Di samping itu, tidak jarang dosen meletakkan mahasiswa sebagai botol kosong yang harus dijejali wacana tanpa dialog.

Ketiga, pragmatisme mahasiswa telah menyebabkan dinamika intelektual hanya menjadi suplemen yang dipakai secara temporal sesuai kebutuhan. Intelektualitas belum menjadi bagian yang inheren sebagai identitas dan nafas diri. Hal ini berkonsekuensi pada dinamika pengetahuan yang lamban bahkan involutif.

Menempatkan dosen dan mahasiswa sebagai pusat gerak dinamika intelektualitas kampus memiliki konsekuensi yang luas. Paling tidak diperlukan rekonstruksi yang komprehensif terhadap paradigma paternalistik yang terlanjur tertanam baik dalam benak birokrat kampus maupun di kalangan dosen itu sendiri. Pun di kalangan mahasiswa.

Rekonstruksi paradigma tersebut dengan sendirinya akan merevitalisasi peran dan fungsi seluruh elemen internal kampus. Termasuk bagian dari rekonstruksi tersebut adalah pemberdayaan dan peningkatan kualitas para dosen baik melalui pelatihan maupun peningkatan kemampuan yang dapat menunjang bagi akselerasi pengetahuan sehingga dapat menumbuhkan dinamika intelektualitas di kalangan mahasiswa. Mahasiswa dan dosen seperti dua sisi mata uang yang saling terkait bagi tumbuhnya atmosfir pengetahuan.

Kalau selama ini hal tersebut belum dirasa maksimal, maka diperlukan langkah evaluatif dengan melihat kekurangan, kelebihan, peluang, dan tantangan yang dihadapi oleh dosen maupun mahasiswa. Hal ini penting dilakukan terkait dengan berbagai rancangan masa depan yang hendak dicapai oleh UIN. Proses evaluasi yang intensif terhadap kualitas dosen dapat dilakukan baik oleh sebuah tim khusus maupun dari kalangan mahasiswa. Dari sana akan diketahui sejauhmana kompetensi dan kualitas dosen dalam proses pembelajaran.

Kualitas dosen tidak bisa semata dilihat dari otuput yang dihasilkan, misalnya dari nilai yang diperoleh mahasiswa dalam suatu matakuliah. Diperlukan evaluasi dua arah secara obyektif atas proses pembelajaran yang diberikan oleh dosen terhadap para mahasiswa dan mahasiswa terhadap dosen. Evaluasi ini bisa dijadikan standar universitas untuk memberikan reward and punishment terhadap dosen.

Semua upaya bagi perbaikan UIN ke depan merupakan harapan di tengah beragam persepsi tentang UIN. Keseragaman persepsi tentang masa depan UIN penting sebagai landasan dalam menggerakkan dinamika kehidupan kampus itu sendiri. Kesamaan persepsi tidak berarti penyeragaman langkah. Visi dan misi yang sama bisa dieksplorasi dalam langkah yang beragam. Selama persepsi tentang masa depan UIN beda, maka sepanjang itu pula UIN mengalami involusi. Termasuk persepsi tentang world class university yang hendak dikembangkan ke depan. Setiap persepsi harus punya kaki untuk mengaktualisasikannya. Dan kaki ini dapat berdiri kuat apabila persepsi itu bisa dipahami. Dipahami di sini tidak hanya dalam arti intelektual, tapi juga prasyarat bagi aktualisasi persepsi tersebut.

Seluruh proses rekonstruksi paradigmatik di atas akan bermakna ketika ditopang oleh sistem budaya kerja yang sinergis. Kalau tidak, maka persepsi akan selalu berbuah involusi, obsesi hanya berbuah mimpi.*

Wednesday, November 22, 2006

Opini

SBY dan standar hidup manusia Indonesia
Bisnis Indonesia, Rabu, 22 November 2006

A. Bakir Ihsan

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, eksistensi manusia berada dalam dilema. Satu sisi dia menjadi pertaruhan harapan masa depan, namun di sisi lain mencemaskan. Hal ini biasanya didasarkan pada kontradiksi antara kualitas dan kuantitas manusia, antara pertumbuhan dan pembangunan warga bangsa.

Inilah yang menjadi kegelisahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti yang disampaikan pada Kongres Nasional Manusia Indonesia 2006 beberapa waktu lalu. Menurut Kepala Negara, pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai ambang batas yang mengkhawatirkan.

Problem eksistensi manusia ini semakin berat akibat beragam bencana menyelimuti bangsa. Krisis eksistensi manusia ini dengan sendirinya mengancam seluruh modal baik berupa potensi alamiah yang tersedia maupun modal fisik (physical capital) yang sudah ada. Bahkan dalam jangka panjang dapat mengancam aspek social capital yang telah lama menjadi trade mark kita sebagai bangsa yang toleran, solider, dan menghargai perbedaan.

Krisis kemanusiaan yang terjadi saat ini merupakan muara dari sejarah kekuasaan yang totaliter, otoriter, dan sentralistik. Negara telah mendistorsi dan mengeksploitasi modal tersebut menjadi keuntungan bagi segelintir orang, bukan untuk seluruh masyarakat. Ini semua merupakan konsekuensi dari realitas politik kekuasaan yang, menurut Guillermo O'Donnell, bersifat otoritarianisme birokratik (bureaucratic authoritarianism).

Ini merupakan sistem kekuasaan yang dikendalikan melalui birokrasi yang mengabdi pada penguasa dan mengkooptasi seluruh kekuatan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat serta institusi kenegaraan lainnya seperti legislatif dan yudikatif.

Kenyataan tersebut membuktikan bahwa kekuasaan sangat menentukan kelangsungan nasib seluruh modal yang dimiliki oleh suatu negara. Ketika kekuasaan otoriter, maka segala modal akan hancur. Sebaliknya ketika kekuasaan berlangsung secara demokratis, idealnya pengembangan semua modal akan berlangsung secara efektif. Namun, bagaimana kenyataannya?

Beban alam
Menurut laporan bertajuk Human development report 2006 beyond scarcity: power, poverty, and the global water crisis, yang dilansir beberapa waktu lalu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2006 naik dua tingkat dari urutan 110 menjadi 108. Di tengah berbagai problem yang dihadapi oleh pemerintahan SBY baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya, kenaikan tersebut cukup memberi harapan.

Namun, kalau dibandingkan dengan negara Asean lainnya, IPM Indonesia masih tergolong paling rendah setelah Myanmar dan Kamboja. Kenyataan ini tentu menjadi keprihatinan SBY.

Secara politik, dengan modal kekuasaan langsung dari rakyat (direct democracy), SBY sejatinya memiliki kesempatan cukup luas untuk mengembangkan atau paling tidak mengembalikan sumber daya yang tersedia. SBY bisa memobilisasi seluruh kekuatan yang ada di masyarakat untuk bersama menggerakkan pelbagai sektor kehidupan.

Namun, modal politik saja tidak cukup karena realitas problem yang mendera negara saat ini sangat kompleks. Paling tidak langkah kerja SBY harus berhadapan dengan dua tantangan, yaitu beban sejarah yang distortif dan deviatif serta bencana yang eksesif.

Beban sejarah tidak bisa diselesaikan dalam hitungan periode kekuasaan, tapi generasi demi generasi. Otoritarianisme yang ditunjukkan oleh kekuasaan masa lalu telah menghancurkan modal dasar baik yang terkandung pada alam maupun SDM. Kehancuran tersebut begitu eksesif merusak sistem birokrasi dan merasuk ke ranah kultural. Salah satu hasilnya adalah korupsi yang tumbuh subur dan menjadi realitas sistemik.

Begitu parahnya warisan kekuasaan masa lalu, menyebabkan SBY tidak mudah untuk menyelesaikan agenda yang menjadi komitmen utamanya, yaitu pemberantasan korupsi. Resistensi dan perlawanan dengan berbagai cara yang dilakukan oleh para koruptor membuktikan bahwa korupsi telah menjadi bagian dari bawah sadar sebagian elit politik, sehingga mereka merasa risih dengan upaya pemerintah menciptakan clean government.

Sementara di sisi lain, pemerintahan SBY dihadapkan pada bencana yang tidak saja melahirkan korban nyawa dan harta, tapi juga menyedot anggaran negara yang tak terkira. Lebih dari itu, bencana telah menyebabkan hancurnya human capital. Potensi kecerdasan masyarakat hilang karena meninggal dunia maupun kekurangan gizi dan sulitnya mengenyam pendidikan akibat tak punya harta.

Soliditas & solidaritas
Di tengah kemiskinan dan krisis multidimensi melanda masyarakat, yang dibutuhkan adalah soliditas dan solidaritas. Inilah yang seharusnya menjadi standar kualitas hidup manusia Indonesia. Standar kualitas pembangunan manusia tidak bisa semata dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau standar fisik lainnya, tapi pada kesadaran dan kepedulian pada sesama.

Standar pembangunan manusia yang melulu didasarkan pada pendapatan per kapita dan kesejahteraan fisik lainnya secara tidak langsung ikut melanggengkan kesenjangan dan mengabadikan perbedaan. Diferensiasi antara kaya dan miskin, sejahtera dan melarat akan tetap terpelihara sepanjang dijadikan standar hidup tanpa dibarengi penguatan aspek lainnya yang jauh lebih substansial, yaitu penguatan soliditas dan solidaritas.

Di tengah anggaran negara yang sangat terbatas dan problem sosial yang tak kunjung selesai, penguatan soliditas dan solidaritas menjadi sangat strategis. Sayangnya kedua unsur ini semakin terkikis justru di saat negara membutuhkannya. Soliditas dan solidaritas hanya tumbuh di saat ada ancaman atau bencana melanda.

Soliditas dan solidaritas masih bersifat termporal dan seremonial. Padahal faktor inilah yang akan menjadi benteng eksistensi warga negeri yang pluralistik ini dari ancaman disintegrasi dan kepunahan.

Penguatan soliditas dan solidaritas ini penting, karena landasan berbangsa kita bukan tumbuh dari kesadaran tapi dari imajinasi (imagened communities). Imajinasi bisa tumbuh berkembang ketika terus dipupuk melalui kebersamaan, dan dia akan layu di saat tiap individu berfikir kepentingannya sendiri.

Tuesday, November 07, 2006

Opini

SBY dan Seribu Napas Korupsi
Seputar Indonesia, Selasa, 7 November 2006

A. Bakir Ihsan

ENTAH berapa banyak lagi energi yang harus terkuras di republik ini untuk mengenyahkan korupsi. Baru-baru ini (17/10), Kejaksaan Agung mengumumkan dan menayangkan wajah 14 koruptor yang dinyatakan buron.

Beberapa waktu sebelumnya tiga lembaga; Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bergandeng tangan untuk mempersempit ruang licik para koruptor. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seakan tak pernah lelah untuk ”membenci” korupsi.

Namun, usaha tersebut tak berjalin berkelindan dengan output yang dihasilkan. Korupsi yang melibatkan hampir seluruh ranah kehidupan, bergeming atas langkah jihad yang dikumandangkan SBY sejak awal kekuasaannya. Berbagai langkah antikorupsi di atas merupakan api yang bisa terus bersinar, tapi juga bisa padam ketika harus berhadapan dengan turbulensi konspirasi para koruptor yang tak sudi dijamah. Kenyataan ini telah memaksa pemerintah memutar otak untuk menjeratnya.

Komitmen pemerintah untuk tidak berkompromi dengan para koruptor tentu terkait dengan dampak destruktif korupsi yang mengancam bukan hanya dalam bentuk kerugian material, namun menodai moral (budaya) bangsa. Lebih dari itu, korupsi bisa menjelma secara terselubung dalam anggaran (kebijakan) yang dilegalkan. Pada titik ini korupsi tidak hanya terkait dengan pelanggaran terhadap aturan hukum (legal-formal), tetapi juga pada kerugian akibat kebijakan yang menyimpang.

Tiga Ranah Korupsi
Presiden SBY menyadari bahwa ketegasannya dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu menyebabkan munculnya kekhawatiran dan ketakutan di lingkungan aparatur negara untuk bertindak dan mengeluarkan kebijakan. Mereka khawatir terjebak dalam jaring-jaring korupsi. Kekhawatiran tersebut patut muncul karena korupsi telah menjadi realitas sistemis.

Bahkan tidak jarang, para pejabat terjerat dalam korupsi tanpa mereka sadari. Orang susah membedakan antara korupsi dan upeti, antara hadiah dan sogokan, antara keikhlasan dan kepura-puraaan. Korupsi telah menjadi simulakra yang menghegemoni sekaligus mencabik-cabik kesucian hati nurani tentang penyimpangan yang menyebabkan orang lain merugi. Kalau merujuk pada klasifikasi korupsi yang ditawarkan Syed Husein Alatas (1987), korupsi bisa dipilah dalam tiga bentuk.

Pertama, korupsi kelas teri; yaitu korupsi sebagai tindakan pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust). Korupsi pada level ini bisa terjadi pada siapa, kapan, dan di mana saja. Transformasi kultural menjadi kunci penyelesaian bagi penyakit korupsi stadium rendah ini. Namun kalau dibiarkan, penyakit ini bisa melahirkan sel-sel baru yang menyebabkan terjadinya pembusukan pada ranah struktural. Kedua, korupsi kelas menengah; yaitu penyimpangan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan diri maupun kelompoknya tanpa memperoleh keuntungan material.

Lobi-lobi via telepon atau memo yang dikirim anggota DPR untuk mengegolkan kepentingan kelompoknya, walaupun tanpa pamrih, merupakan bagian dari korupsi level menengah ini. Titik tekan korupsi level ini adalah pada penyalahgunaan kekuasaan, karena kekuasaan merupakan alat paling ampuh untuk menentukan baik buruknya sebuah tatanan sosial.

Ketiga, korupsi kelas berat; yaitu penyimpangan yang dilakukan penguasa untuk meraih keuntungan material (material benefit). Perselingkuhan kuasa dan harta bisa menjerumuskan bahkan menghancurkan sebuah bangsa. Inilah korupsi kelas berat yang tidak boleh ditolerir karena efeknya lebih dahsyat dari tsunami dan bencana alam lainnya.

Kemiskinan, kelaparan, hilangnya kesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai serta munculnya penyakit-penyakit sosial lainnya merupakan akibat dari penyimpangan kuasa dan harta negara. Lebih dari itu, korupsi pada level ini telah meruntuhkan martabat bangsa dan negara di mata dunia.

Kita boleh bangga atas keberhasilan merayakan demokrasi dan reformasi, tapi kita tak punya harga diri karena korupsi. Kita boleh bangga sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, tetapi kita patut malu sebagai negara terkorup. Karena dari sana, secara simplistis orang bisa menyimpulkan bahwa Islam dan demokrasi identik dengan korupsi.

Narasi Tanpa Transformasi
Tantangan terberat pemberantasan korupsi adalah belum optimalnya kebersamaan lembaga-lembaga negara untuk tidak melakukan korupsi. Bahkan, tebersit kesan bahwa pemberantasan korupsi seakan menjadi tanggung jawab Presien SBY (eksekutif) semata. Legislatif (DPR) dan yudikatif (MA) yang seharusnya menjadi pilar partner pemberantasan korupsi, tidak jarang menjadi bagian dari masalah. Inilah tantangan berat pemberantasan korupsi.

Sapu yang harus dipakai untuk membersihkan korupsi ternyata belum sepenuhnya berjalin berkelindan, sehingga kotoran korupsi belum juga hilang sepenuhnya. Paling tidak fenomena keterlibatan anggota DPR dalam tindak korupsi, termasuk percaloan dan pemerasan (extortive corruption) dan fenomena mafia peradilan, menjadi bukti bahwa antikorupsi hanya menjadi narasi yang tak pernah melahirkan transformasi.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi bukan persoalan political will semata. UU antikorupsi dan eksistensi lembaga pemberantasan korupsi baik lembaga pemerintah maupun LSM, sudah lebih dari cukup, namun korupsi jalan terus. Oleh sebab itu, perlu proses penyadaran yang intensif dan integratif tentang ancaman korupsi dan segala dampak negatifnya.

Proses penyadaran yang intensif dan kontinu ini hanya bisa dilakukan melalui proses transformasi kesadaran, yaitu edukasi antikorupsi. Edukasi antikorupsi merupakan proses penanaman nilai-nilai antikorupsi secara evolutif yang harus dilakukan secara kontinu, spesifik, dan empiris. Selama ini pendidikan moral atau akhlak masih bersifat normatif dan generatif, sehingga anak didik gagal merespons fenomena korupsi yang bersifat empiris dan spesifik.

Pendidikan moral yang bersifat normatif dan generatif hanya melahirkan anak didik yang gamang berhadapan dengan realitas penyimpangan sosial dalam berbagai bentuknya, seperti korupsi. Di sinilah pendidikan antikorupsi baik secara formal maupun informal penting diberikan pada warga bangsa mulai usia dini sampai perguruan tinggi. Tentu optimisme kita untuk mengeliminasi korupsi melalui pendidikan ini harus diletakkan dalam dua tanda kurung.

Efektivitas pendidikan antikorupsi ini bergantung pada banyak hal. Paling tidak lembaga pendidikan harus menjadi ranah paling awal yang bebas dari korupsi. Pendidikan antikorupsi tidak mungkin efektif di tengah lingkungan yang berkubang dengan korupsi dalam segala bentuknya. Merujuk pada empat pilar pendidikan yang dikeluarkan UNESCO, maka proses pendidikan antikorupsi akan efektif apabila didukung empat hal, yaitu proses internalisasi, proses aktualisasi, proses sosialisasi, dan proses menjadi.

Lembaga pendidikan tidak cukup memberi tahu (learning to know) peserta didik tentang antikorupsi, apalagi hanya bersifat normatif, tapi juga mampu mengaktualisasikannya (learning to do) dalam lingkungan (learning to live together) yang bebas korupsi. Dari sini diharapkan terbentuk (learning to be) generasi antikorupsi. Generasi yang puasa korupsi tidak hanya di bulan suci, tapi telah menjadi bagian dari integritas diri.

Dalam lingkup negara, keseriusan para pejabat baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk tidak melakukan tindak korupsi menjadi sangat penting agar upaya pembelajaran antikorupsi yang dilakukan secara bottom up dapat berlangsung secara efektif. Paling tidak, negara harus mampu menciptakan dirinya sebagai lingkungan yang kondusif bagi proses eliminasi tindak korupsi. Kalau tidak, upaya pemberdayaan antikorupsi melalui cara apa pun laksana menggarami air laut. (*)

Monday, November 06, 2006

Opini

Cermin Retak Presiden Yudhoyono
Republika, Senin, 6 Nopember 2006

A. Bakir Ihsan

Istana kembali menjadi sorotan. Kali ini terkait pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). Ada yang optimistis, ada pula yang pesimistis. Bahkan sebagian menganggapnya kontraproduktif. Seakan telah menjadi tradisi, setiap rezim memiliki logika untuk menambah atau membentuk lembaga penunjang di sekitarnya. Tampaknya di usia kekuasaannya yang genap dua tahun, Presiden Yudhoyono melihat ada kelemahan yang dapat menjadi duri bagi kinerja pemerintahannya, sehingga perlu ditutupi. Secara tidak langsung Yudhoyono menyadari bahwa pemerintahannya belum berjalanan maksimal.

Tulisan ini berusaha melihat prospek lembaga tersebut, begitu juga lembaga-lembaga negara lainnya, dalam sistem presidensial sebagai sistem yang konstitusional. Dalam sistem presidensial semua realitas sosial menjadi 'beban presiden'. Karena itu, sejatinya, presiden memiliki tanggung jawab sekaligus otoritas yang cukup besar.

Namun dalam praktiknya, sistem tersebut tersubordinasi oleh perilaku parlementaristik. Presiden dibuat 'terkekang' oleh sepak terjang politik Senayan sebagai representasi dari partai politik. Senayan adalah simbol kekuasaan yang sesungguhnya. Mereka adalah perwakilan partai politik yang menjadi pintu masuk satu-satunya untuk meraih kekuasaan. Dari jabatan bupati sampai presiden, harus seizin parpol untuk meraihnya.

Kenyataan tersebut menjadi beban tersendiri bagi langkah Yudhoyono. Kehati-hatian bahkan mungkin keragu-raguan Yudhoyono menjadi pilihan untuk 'menyenangkan' semua pihak. Dan tidak jarang keputusan harus diambil berdasarkan kepentingan elite partai, termasuk penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Konsekuensinya, loyalitas para anggota KIB bukan pada negara (presiden), tapi pada partai politik. Otomatis hal tersebut mengangkangi otoritas presidensial.

Dampak dari loyalitas kepartaian ini dirasakan betul oleh Yudhoyono. Garansi politik yang diberikan presiden takluk di bawah garansi partai politiknya. Ini tentu menjadi duri bagi langkah Yudhoyono. Tak berlebihan apabila anggota kabinet merasa punya posisi tawar dengan presiden yang mengangkatnya. Di sinilah problemnya. Satu sisi kebijakan pemerintah merupakan garansi sepenuhnya presiden, tapi di sisi lain kabinet bertindak berdasarkan kepentingan partainya. Wajar apabila dalam suatu kesempatan terbatas, Yudhoyono mengeluh karena salah satu menterinya masih menjadi kuda troya partai dan tidak seirama dalam mengambil kebijakan. Secara yuridis, fenomena tersebut merupakan sebuah bentuk pembangkangan terhadap presiden. Namun Yudhoyono, tampaknya tetap berpijak pada kalkulasi politik dalam mengambil tindakan terhadap anggota kabinetnya yang tidak loyal.

Belum lagi adanya lembaga-lembaga negara yang ditengarai sebagai negara dalam negara. Misalnya ada lembaga yang melantik dirinya sendiri dan mengabaikan presiden (Mahkamah Konstitusi), atau memperpanjang masa jabatannya tanpa bisa diganggu gugat oleh lembaga lainnya (Mahkamah Agung). Kenyataan ini tentu sedikit banyak memengaruhi kinerja maksimal dari sebuah sistem presidensial di alam reformasi. Selain persoalan mekanisme demokrasi tersebut, pemerintahan Yudhoyono juga dihadapkan pada problem sosial baik sebagai akibat kebijakan yang dibuatnya maupun warisan rezim sebelumnya.

Koreksi demokrasi
Demokrasi menawarkan kebebasan. Kebebasan untuk menentukan sikap dan kebebasan untuk membatasi sikap. Inilah dua fenomena yang mewarnai perjalanan demokrasi di negeri ini. Euforia kebebasan telah menyebabkan laju reformasi terhambat. Liberalisme pasar tampaknya betul-betul dipergunakan oleh berbagai elemen masyarakat untuk 'memasarkan' aspirasinya, sehingga terjadi involusi bahkan menjurus pada tindakan anarkhis.

Pada dasarnya demokrasi adalah lokalisasi aspirasi melalui konstitusi dan toleransi. Paling tidak prasyarat-prasyarat yang direkomendasikan bagi terwujudnya konsolidasi demokrasi, sebagaimana diajukan Juan J Linz dan Alfred Stepan, menandakan bahwa kebebasan harus dilokalisasi, sehingga tidak terjadi anarki.

Namun yang berkembang di era reformasi ini adalah sebuah paradoks. Sebagian masyarakat bernafsu memproduksi peraturan untuk melokalisasi kebebasan, sebagian lainnya berhasrat melepaskan segala aturan main karena dianggap mengekang ranah publik. Di sinilah otoritas negara dipertaruhkan: antara masyarakat yang menghendaki adanya campur tangan (intervensi) negara melalui pembuatan undang-undang, dan kelompok masyarakat yang mempertaruhkan otonomi (independensi) dirinya berhadapan dengan negara.

Cermin retak
Demokrasi bukanlah tujuan. Ia hanya jalan mencapai cita-cita negara ideal. Demokrasi mensyaratkan adanya stratifikasi dan distribusi peran. Distribusi peran ini penting ditegakkan dan ditaati agar mekanisme kenegaraan menjadi efektif dan kecenderungan koruptif di lingkungan elite dapat diminimalisasi.

Eksistensi lembaga-lembaga negara maupun sistem pemerintahan menjadi bermakna ketika berfungsi secara maksimal. Sehingga seluruh prosesi demokrasi bisa berlangsung secara fungsional dan tidak melahirkan letupan-letupan yang tidak perlu. Munculnya reaksi atas rancangan kebijakan maupun kebijakan pemerintahan membuktikan bahwa prosesi dan mekanisme demokrasi tersumbat.

Kondisi tersebut diperkeruh oleh orientasi kekuasaan yang lebih mengemuka di sebagian elite daripada mencari solusi demi kepentingan rakyat. Konsekuensinya kekuasaan menjadi ajang kritik dan perebutan wacana dan citra yang tidak bersentuhan langsung dengan substansi persoalan rakyat. Dalam jangka panjang fakta tersebut dapat mengancam konsolidasi demokrasi. Karena, sebagaimana dikatakan Adam Prezeworski (2006) bahwa konsolidasi demokrasi akan tercipta ketika semua orang bertindak menurut sistem demokrasi.

Di sini jelas bahwa kehendak untuk mengkonsolidasikan demokrasi ditentukan oleh kesediaan semua pihak untuk mengikuti prosedur demokrasi, yaitu suksesi melalui pemilu, kontrol melalui lembaga DPR, dan pengadilan melalui lembaga yudikatif. Dari sini kita bisa berharap konsolidasi demokrasi yang berpijak pada sistem presidensial secara konsisten akan mendorong kerja maksimal pemerintahan Yudhoyono. Jika tidak, maka pemerintahan akan menggali kuburnya sendiri.

Melihat kondisi sosial dan realitas politik yang masih jauh panggang dari api, sulit bagi kita untuk mendapatkan potret sempurna dari kinerja Presiden Yudhoyono. Kehendak-kehendak primordial yang melampaui altar kebangsaan, sedikit banyak memberi sumbangsih atas kinerja pemerintah selama ini. Belum lagi faktor pencitraan yang sangat memengaruhi opini publik yang menurut The Media Center, Amerika Serikat (Maret, 2006), 86 persen rakyat Indonesia lebih percaya media daripada pemerintah.

Untuk itu, negara dengan sistem presidensialnya akan tampil dalam potret sempurna apabila nafas kebangsaan mampu mengeliminasi nafsu-nafsu primordial. Kalau tidak, maka apapun usaha pemerintah saat ini, termasuk membentuk UKP3R, hanya menjadi serpihan dari cermin retak.

Tuesday, August 22, 2006

Opini

Indonesia Negeri Terkapling
Media Indonesia, Selasa 22 Agustus 2006

A. Bakir Ihsan

Negara sebagai sebuah teritorial sudah final. Gugusan pulau-pulau bersatu dalam sebuah ikatan yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun negara sebagai rangkaian dinamis sejumlah entitas sangatlah labil. Nation as imagined community semakin tua. Tua bisa menjadi simbol semakin dewasa, tapi juga simbol lupa karena renta. Keduanya tergantung pada cara memupuk ragam entitas yang hadir di negeri ini.

Semakin kuat transendensi primordialitas masing-masing entitas, menunjukkan negara ini berhasil memupuk warganya yang beragam. Sebaliknya ketika tuntutan-tuntutan primordialistik mencengkram, imagined community akan semakin terancam. Dalam kacamata demokrasi, kedewasaan sebuah bangsa ditentukan oleh sejauhmana negara mampu menyuburkan keragaman dalam bingkai kebersamaan dan menegakkan kebersamaan tanpa menyobek keragaman.

Proses pendewasaan yang salah kaprah terhadap negara dapat mempercepat kepikunan negara. Orde Baru memperlakukan negara sebagai monster yang totaliter demi stabilitas nasional. Hasilnya bukan stabilitas negara, justru menyiram bensin pada altar primordialisme. Tidak heran apabila lempengan primordial mulai bergerak mengancam negara saat euforia menjadi berhala.

Ada yang tergerak untuk menguatkan kembali eksistensi negara bangsa (nasionalisme), sebagian lagi begitu asyik membangun demarkasi berdasarkan kepentingan primordialnya. Primordialisme dan nasionalisme merupakan dua kata yang tak mungkin kompromi. Primordialisme mengacu pada eksklusivitas dan homogenitas, sementara nasionalisme mengagungkan inklusivitas dan pluralitas. Kompromi hanya mungkin melalui proses transendensi. Disinilah political will kebangsaan, sebagaimana digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi penting karena politik di negeri ini telah menorehkan sejarah yang centang perenang akibat personifikasi kekuasaan. Kebangsaan hanya menjadi khutbah yang dikumandangkan setiap Agustusan. Setelah itu kita seakan kembali hidup di negeri tak bertuan.

Lempengan primordial
Secara historis negeri ini berdiri di atas lempengan-lempengan primordialisme, baik atas nama suku, agama, maupun lainnya. Rekaman sejarah politik kita menunjukkan cita negara yang bersifat komunal-primordial, seperti negara Pasundan, Jawa, Madura, Borneo, Negara Islam Indonesia (NII), dan beberapa gerakan separatis lainnya.

Herbert Feith mengurai lempengan primordial yang menjadi pijakan bumi NKRI ini dalam tiga kelompok masyarakat, yaitu plural, mosaik, dan multigrup. Masyarakat plural ditandai oleh demarkasi yang begitu kuat antara warga asli dan keturunan; Cina, Arab, dan Eurasia. Masyarakat mosaik dicirikan oleh diversifikasi kelompok-kelompok etnis yang ratusan jumlahnya dengan identitas tradisionalitasnya. Sementara masyarakat multigrup ditandai oleh adanya kelompok-kelompok yang bersatu dalam lingkup yang lebih besar dengan keanggotan lebih besar pula. Lempengan primordial ini tidak mungkin dieliminier dari kesadaran kita, karena ia hadir sebelum republik ini lahir. Justru kemampuan mengelola keragaman tersebut dapat menjadi energi ekstra bagi eksistensi republik ini.

Di era reformasi lempengan-lempengan primordial tersebut mencair mengikuti genderang politik yang ditabuh kaum politisi. Otonomi daerah sebagai upaya penguatan daerah dijadikan ajang eksklusi daerah terhadap pusat. Menjamurnya peraturan daerah yang berdasarkan keyakinan tertentu merupakan bukti konkret yang dapat menenggelamkan imajinasi kebangsaan. Otonomi daerah yang seharusnya menjadi media aktualisasi potensi-potensi lokal, justru melahirkan raja-raja baru yang tak kalah eksploitatifnya dengan sistem yang sentralistik. Menguatnya semangat pengaplingan ini disebabkan oleh orientasi liar partai politik. Partai politik saat ini secara de facto tampil sebagai kekuatan sangat menentukan warna-warni kekuasaan. Di sinilah dilema muncul. Negara yang seharusnya berdiri kokoh di atas pluralitas tersegmentasi oleh kepentingan pragmatis partai politik. Munculnya perda-perda bercorak keagamaan lebih mencerminkan kepentingan pragmatis parpol untuk menarik simpati-emosional massa daripada upaya pemberdayaan politik secara rasional. Padahal keputusan tersebut menjadi lahan subur bagi eksklusivitas yang mengubur persamaan, menebalkan pengelompokan (kami) dan menegasikan yang lain (the others).

Partai politik telah membawa kebijakan otonomi sebagai kesempatan untuk mengebiri kekuasaan pusat. Otonomi daerah sering dipahami sebagai kebebasan memperjuangkan kepentingan melampaui altar kebangsaan. Konsekuensinya siapa mayoritas dialah yang menang. Fenomena ini dapat menjadi preseden buruk bagi kebersamaan dan pluralitas yang sampai saat ini mampu dipertahankan walau hanya melalui imajinisasi tentang negara bangsa.

Orientasi kekuasaan an sich
Eksistensi partai politik sejatinya menjadi garda terdepan bagi pemberdayaan politik yang merekatkan keragaman warga. Hal ini akan ditentukan oleh platform partai dan visibilitas aktualisasinya. Namun karena pertimbangannya adalah tingkat laku parpol, maka platform politik (political platform) di antara sekian parpol cenderung monolitik dan legalistik-formalistik. Mereka cenderung bergulat dalam isu-isu besar dan seragam yang dianggap laku. Konsekuensinya terjadi inflasi isu yang pada akhirnya melahirkan isu murahan. Keberanian untuk berbeda menjadi hantu bagi parpol karena khawatir tidak marketable dan acceptable. Pada titik ini parpol yang seharusnya menjadi pilar demokrasi yang berpijak pada penghargaan pluralitas, menjebak masyarakat untuk berpikir linear, pragmatis tanpa alternatif.

Belum ada parpol yang secara konsisten mengaktualisasikan platformnya yang bersifat spesifik, seperti masalah lingkungan, buruh, petani, atau identitas spesifik lainnya. Kalau pun ada parpol yang mengidentifikasi dirinya pada salah satu isu tersebut, biasanya lebih bersifat simbolik dan karitatif. Konsentrasi dan orientasinya tetap pada kekuasaan, bukan pada pemberdayaan isu-isu spesifik tersebut. Fakta politik di negeri ini menunjukkan orientasi kekuasaan lebih menonjol daripada orientasi kebangsaan. Paling tidak dari wacana yang sering dilontarkan oleh para politisi memperlihatkan bahwa kekuasaan adalah segalanya. Isu reshuffle kabinet (baik perampingan maupun penambahan menteri muda), perlunya perdana menteri, percepatan pemilu dan isu kekuasaan lainnya lebih dominan daripada wancana sosial kemasyarakatan. Bahkan warna-warni partai yang melingkupi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) ditengarai sebagai pemicu lambannya kinerja kabinet. Masing-masing terbebani oleh kepentingan partainya.

Lemahnya pijakan platform ini berimplikasi pada rentannya soliditas parpol. Parpol mudah pecah dan bergulat dalam konflik yang berkepanjangan. Dalam kondisi demikian, agenda pemberdayaan politik masyarakat jelas hanya mimpi. Wajar kiranya bila parpol sulit mendapat tempat di hati rakyat. Anehnya di tengah harga diri parpol terus menurun di mata rakyat, sebagian orang berlomba mendirikan partai politik atas nama kepentingan rakyat.

Kenyataan tersebut merupakan tantangan bagi konsolidasi demokrasi di negeri ini. Realitas parpol yang rapuh karena tidak berpijak di hati rakyat dapat mengancam eksistensi demokrasi. Belum lagi personifikasi kekuasaan (jabatan) yang dilakukan parpol. Terjadinya personifikasi jabatan berdasarkan parpol dapat mendistorsi public service sebagai misi utama jabatan. Dan hal ini tampaknya sulit dielakkan di tengah orientasi kekuasaan yang begitu kuat dan lemahnya visi kebangsaan. Apalagi menjelang pemilu 2009, konsolidasi kader partai baik yang ada di legislatif dan eksekutif akan gencar dilakukan untuk kepentingan mobilisasi massa. Paling tidak itulah yang dimulai oleh Megawati pada Mei lalu dengan mengundang 148 kepala daerah yang terpilih melalui PDIP ditambah 143 ketua DPRD untuk beraudiensi dengan tema sosialisasi platform perjuangan PDIP. Tentu ada korban dari konsolidasi seperti ini. Yaitu tersingkirnya kaum minoritas politik. Langkah ini sekaligus mempertegas kepentingan parpol di atas kepentingan warga bangsa.

Kenyataan tersebut patut kita khawatirkan, karena baru saja kita mengesahkan UU Kewarganegaraan yang oleh sebagian orang dianggap sebagai terobosan baru bagi eksistensi warga bangsa tanpa kasta. Namun semua produk ini akan sia-sia apabila partai politik masih memainkan primordialisme (kepentingan kelompok) sebagai basis kekuatan partainya.

Kapling politik yang dilakukan parpol ini menjadi pembuka bagi pengaplingan ranah publik lainnya. Masing-masing politisi berjuang untuk memperoleh sumber ekonomi sebesar-besarnya untuk kepentingan kelompoknya. Isu percaloan yang melibatkan beberapa anggota DPR merupakan puncak gunung es problem orientasi kebangsaan. Masing-masing menggerek bendera partai politiknya demi fasilitas kelompoknya. Akibat distorsi orientasi kebangsaan pula anggota DPR menggunakan dana serap aspirasi hanya untuk memperkuat konstituen partainya dan eksistensi dirinya, bukan untuk pemberdayaan politik warga bangsa tanpa kasta. Semakin lengkaplah pengaplingan negara ini. Mudah-mudahan ini bukan gejala munculnya Negara Kapling Republik Indonesia (NKRI).*

Wednesday, August 09, 2006

Opini

SBY dan Konflik Timur Tengah
Seputar Indonesia, Rabu 9 Agustus 2006

A. Bakir Ihsan

Perang adalah awal kekalahan dan penghinaan martabat kemanusiaan. Tak ada yang menang dalam perang. Korban manusia tak berdosa menjadi monumen hancurnya sisi paling suci aspek kemanusiaan. Manusia yang berakal, beradab, dan berbudaya runtuh di atas dentuman tank yang merenggut nyawa rakyat sipil tak berdosa. Apa pun alasannya perang tak pernah menyelesaikan masalah. Justru ia menjadi pemicu tumbuhnya sel-sel kekerasan baru yang terus memunculkan masalah.

Atas kenyataan itulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak detik pertama terjadinya serangan Israel terhadap Lebanon, langsung menyatakan kecewa sekaligus prihatin atas tata kelola dunia yang lebih mengedepankan perang (konflik) daripada perdamaian. Penyerbuan Israel terhadap Lebanon merupakan puncak gunung es dari krisis perdamaian yang sedang menghantui dunia. Arogansi negara maju tak jarang memicu gejolak negara berkembang sebagai bentuk reaksi atas hegemoni global.

Reaksi SBY atas meledaknya konflik di Timur Tengah tentu bukan pertimbangan politis apalagi teologis semata, namun lebih pada dimensi humanitas yang menjadi bagian bawah sadarnya. Keprihatinan atas tercabiknya nilai kemanusiaan menggungah SBY untuk berbuat agar tidak banyak memakan korban. Bukan hanya kali ini SBY terlibat dalam penyelesaian konflik di tingkat dunia. Peran SBY sebagai Military Chief Observer PBB di ladang pembantaian kemanusiaan, Bosnia Herzegovina, pada 1995 menjadi tonggak peran serta SBY dalam upaya perdamaian dunia. Peran diplomatis dan rekonsiliatif SBY di Bosnia tidak lama, karena perdamaian segera bersemi.

Potrem Buram Dunia
Penyerbuan Israel terhadap Lebanon dan Palestina dan fenomena kekerasan global lainnya mencerminkan potret buram dunia saat ini. Perdamaian menjadi barang mewah dan sangat mahal. Sementara tindak kekerasan dan konflik menjadi potensi yang siap mengancam umat manusia setiap saat.

Masing-masing negara hanya berpikir bagaimana melakukan ekspansi dan mengaktualisasikan ambisi politik globalnya demi eksistensi dirinya. Cita-cita agung kemanusiaan menjadi pertimbangan kesekian. HAM hanya menjadi komoditas dan tempat berlindung di balik operasi eksesif kepentingan negara-negara adikuasa. Inilah yang menyebabkan dunia semakin jauh dari cita perdamaian.

Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan dunia, khususnya Timur Tengah centang perenang dalam konflik kekerasan.

Pertama, tidak berfungsinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhadapan dengan kepentingan negara Amerika dan sekutunya, termasuk Israel. Serangan Amerika terhadap Afghanistan, Irak, dan ancaman terhadap Iran dan negara yang dianggap tidak kooperatif, menjadi bukti konkret arogansi dan dominasi Amerika di ranah percaturan global yang tidak mampu direspon secara efektif oleh PBB. Akibat lemahnya peran PBB tersebut mengakibatkan lahirnya faktor kedua, yaitu merangsang negara-negara lain untuk melakukan tindakan eksesif terhadap wilayah yang dianggapnya bermasalah. Serangan Israel ke Lebanon dan Palestina menjadi miniatur dari langkah eksesif yang dilakukan Amerika terhadap Irak dan Afghanistan. Dan tidak tertutup kemungkinan langkah ini akan dilakukan negara-negara sekutu Amerika lainnya, selama PBB belum mampu keluar dari impotensi dirinya.

Ketiga, lemahnya diplomasi negara-negara Islam, khususnya negara Timur Tengah, untuk menghentikan serangan Israel. Sebagai negara petro dolar yang kaya minyak dan kedekatannya dengan Amerika dan sekutunya, negara-negara Arab seharusnya bisa melakukan diplomasi yang efektif sehingga dapat menekan Israel untuk menghentikan serangannya. Namun yang terjadi, dunia Arab terpecah dalam menyikapi serangan Israel, sehingga korban terus berjatuhan tanpa kepedulian berarti. Kenyataan ini pula yang menyebabkan rentannya soliditas dan solidaritas di antara negara kaya Timur Tengah di tengah keterpurukan negara-negara muslim lainnya.

Tiga Langkah Strategis
Penyelesaian konflik Timur Tengah tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Konflik telah menjadi bagian dari akar sejarah yang sulit diurai. Perang menjadi puncak dari bara api sejarah yang selama ini dipendam tanpa upaya memadamkannya. Konflik Israel-Lebanon-Palestina yang sesungguhnya lebih bersifat politis telah merasuk ke ranah yang paling suci, yaitu ranah teologis. Di sinilah kompleksitas konflik yang menyelimuti Timur Tengah saat ini semakin menjadi.

Karena itu pula, langkah penyelesaian konflik tersebut harus dilakukan secara komprehensif dengan melihat berbagai pemantik konflik secara jernih. Paling tidak ada tiga strategi penyelesaian yang dilakukan SBY dalam upaya perdamaian Israel-Lebanon.

Pertama, langkah struktural. Tidak lama setelah Israel menyerbu Lebanon, Presiden SBY mengirim surat pada Sekjen PBB, Kofi Annan yang isinya meminta PBB mengambil langkah strategis dan efektif bagi penyelesaian gejolak Israel-Lebanon. Langkah ini ditempuh karena secara struktural, tata kelola dunia tetap berada di bawah tanggungjawab PBB. Efektif tidaknya langkah yang dimainkan PBB adalah persoalan internal PBB sendiri. Yang jelas Indonesia sebagai negara yang berkomitmen bagi perdamaian dunia, telah melakukan langkah dengan mendesak PBB menyelesaikan konflik Timur Tengah.

Kedua, memprakarsai pertemuan darurat OKI (munazhzhamah al-mu’tamar al-islamiy atau the organization of the islamic conference) di Malaysia yang ditindaklanjuti dengan pertemuan para menteri luar negeri di Lebanon. Prakarsa tersebut dilakukan SBY karena melihat langkah OKI belum maksimal di tengah korban sipil terus berjatuhan akibat keganasan senjata Israel. Pertemuan darurat OKI tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan SBY dengan Abdullah Ahmad Badawi sebagai Ketua OKI di Jakarta sesaat setelah penganugerahan gelar doktor honoris causa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari pertemuan OKI tersebut disepakati meminta PBB untuk memperluas mandat dan kapasitas pasukan perdamaian PBB (UNIFIL) yang ada di Lebanon dengan melibatkan negara-negara anggota OKI.

Ketiga, militery peacekeeping operation. Karena konflik Israel-Lebanon melibatkan pertempuran senjata, maka keterlibatan pasukan tentara perdamaian menjadi tak terelakkan. Sebagaimana diketahui Presiden SBY meminta TNI mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari peace keeping operation force di Timur Tengah apabila diminta oleh PBB. TNI telah mempersiapkan 3 pasukan Kostrad dan 1 pasukan marinir dengan total personil berjumlah 600 orang. Pasukan ini dilengkapi dengan kendaraan taktis, kendaraan tempur, serta kompi marinir dengan peralatan yang sama.

Ini merupakan langkah konkret yang ditawarkan Indonesia bagi penyelesaian konflik di Timur Tengah. Peran ini akan bermanfaat apabila PBB memberi lampu hijau sebagai bentuk pertanggungjawaban atas nasib dunia. Dari sini pula kita bisa membuktikan, apakah PBB betul-betul berkomitmen untuk menciptakan perdamaian dunia dengan membuka selebar-lebarnya keterlibatan para pecinta perdamaian, atau memperkuat identitas dirinya sebagai corong negara-negara maju.

Beberapa langkah penting yang dilakukan Presiden SBY di atas di samping sebagai bentuk keprihatinannya pada nasib dunia sekaligus bentuk akomodatif atas antusiasme masyarakat Indonesia bagi terciptanya perdamaian di Timur Tengah. Kalau kita bisa membangun soliditas dan solidaritas lintas suku, agama, dan budaya demi perdamaian dunia, kita tentu lebih bisa menyemai perdamaian di bumi pertiwi ini. Semoga.

Friday, July 28, 2006

Opini

SBY, Bencana, dan Takhayul Politik
Lampung Post
, Jum’at 28 Juli 2006

A. Bakir Ihsan

Sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi presiden, bencana datang silih berganti. Banyak paradigma ditebar untuk menjelaskan bencana dengan segala ragamnya. Ada apa dengan negeri ini. Kalau elite politik mencampakkan rakyatnya, kalau para pengusaha menggunduli hutan, kalau para penjarah mengeksploitasi alam, tetapi mengapa rakyat tak berdosa harus jadi korbannya?

Tanda tanya ini ekspresi dari kecemasan, mungkin, keputusasaan warga negara. Apalagi secara geografis negara ini berada di tiga lempeng benua, Eurasia, Indo Australia, dan Pasifik yang sangat potensial memicu gempa. Walaupun lempeng Eurasia merupakan lempeng yang stabil, kedua lempeng lainnya (Indo Australia dan Pasifik) terus bergerak dan berinteraksi sehingga menekan lempeng yang stabil (eurasia).

Akibatnya terjadi titik-titik tumbukan yang menjelma menjadi pusat gempa tektonik. Kenyataan ini dapat menambah ketakutan, bahkan keputusasaan.

Dalam kondisi demikian, masyarakat akan mudah terbawa ke alam dunia mistis, irasional, dan penuh takhayul. Karena intensitas bencana yang begitu tinggi terjadi pada masa kepemimpinan SBY, sebagian orang pun menafsirkannya sebagai ekspresi ketidaksetujuan alam terhadap posisi SBY tersebut. Inilah tafsir (takhayul) politik atas bencana berdasarkan halusinasi yang tumbuh subur di tengah impitan derita yang mendera rakyat tak berdosa.

Kalau kondisi ini dibiarkan dapat mengancam terhadap upaya rehabilitasi korban bencana. Konsentrasi pemerintah akan terpecah oleh agenda-agenda politik yang tak berpijak pada kepentingan riil masyarakat yang banyak menjadi korban bencana.

Matinya Solidaritas Sosial
Dengan merujuk pada pemikiran Mahatma Gandhi, Stephen R. Covey dalam Principle-Centered Leadership-nya menginventarisasi tujuh dosa besar yang menyebabkan carut-marutnya bumi saat ini.

Ketujuh dosa tersebut adalah kekayaan yang diperoleh secara tidak halal, kenikmatan yang diperoleh dengan mengingkari suara hati, pengetahuan tanpa etika, bisnis tanpa moral, ilmu pengetahuan tanpa nilai kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip.

Ketujuh dosa tersebut memperlihatkan satu substansi yang semakin langka dalam kehidupan sehari-hari, yaitu solidaritas sosial. Bahkan, agama yang sesungguhnya berdimensi sosial mengalami privatisasi bahkan alienasi yang mengerdilkan umatnya untuk berkorban. Dosa-dosa tersebut merupakan cermin dari kerakusan dan individualisme yang menutup kran solidaritas sosial.

Matinya solidaritas disebabkan banyak faktor. Salah satunya, kuatnya pemberhalaan terhadap eksistensi diri (eksistensialisme) dan kepemilikan akan materi (materialisme). Sebagaimana pepatah agung Sang Budha, "Orang menjadi cemas karena kehadiran gagasan 'saya' dan 'punya saya'". Eksistensialisme dan materialisme satu sisi dapat menggiring pada pengagungan diri dan materi dan di sisi yang lain dapat melahirkan kecemasan ketika berada dalam satu titik ekstrem yang tak terpecahkan.

Kenyataan ini memperlihatkan, eksistensialisme dan materialisme yang dikutuk kaum agamawan, ternyata menghunjam dalam kesadaran umatnya. Khotbah keagamaan yang diintroduksi setiap saat ternyata belum mampu menyentuh kesadaran yang telah terhegemoni oleh ideologi yang menafikan eksistensi di balik realitas (the others).

Paradigma inilah yang perlu direkonstruksi oleh para tokoh agama dan ilmuwan sehingga mampu menguak makna di balik realitas sekaligus dapat meminimalisasi kecemasan akibat kegagalan mengungkap makna di balik bencana.

Rasa cemas dan khawatir merupakan refleksi negatif yang muncul akibat pemahaman yang terbatas terhadap realitas. Rasa takut dan cemas inilah yang memicu lahirnya takhayul yang menutup logika dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient), sehingga orang mudah terjebak pada halusinasi yang menyesatkan.

Makna Profetis Bencana
Derita yang terus-menerus dirasakan masyarakat dapat melahirkan keputusasaan. Pesimisme akan masa depan karena ancaman bencana yang tak kunjung usai dapat menyebabkan negeri ini semakin terpuruk. Apalagi banyak generasi masa depan harus mendahului zamannya akibat bencana merenggut nyawanya. Dengan sendirinya kenyataan tersebut mengurangi potensi-potensi bagi kemajuan masa depan.

Namun, sebagai sebuah bangsa kita tidak ingin negara ini menjadi negara mati karena ancaman bencana yang tak terhindarkan. Justru di sinilah kita dituntut untuk memahami makna di balik bencana. Selama ini kita sangat dimanja oleh alam. Sumber daya alam dan sumber daya manusia yang banyak ternyata belum mampu dimanfaatkan secara maksimal demi kemakmuran bersama. Masing-masing kelompok berjuang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya masing-masing. Alam menjadi ajang perebutan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tapi juga politik.

Atas kenyataan itulah SBY dalam pembukaan muktamar Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) nasional mengajak masyarakat berpikir rasional terhadap bencana sambil memasrahkan diri pada Tuhan. Bahwa inilah realitas Indonesia yang secara geografis berada di antara tiga lempengan yang sewaktu-waktu memicu terjadinya gempa. Begitu juga dengan potensi bencana lainnya.

Alam dengan segenap hukum alamnya merupakan realitas yang given dan taken for granted yang tidak bisa direkayasa. Kita diberi energi intelektual untuk menatanya demi kepentingan bersama. Pada titik ini dunia takhayul dan irasionalitas lainnya sama sekali tak berguna. Jalan terbaik adalah memadukan sinergi antara potensi alam (natural capital) yang begitu luas dan potensi akal (human capital) yang tak terbatas.

Tidak kalah pentingnya keleluasaan logika tersebut harus dilandaskan pada nilai-nilai spiritual, sehingga tidak terjebak dalam kerakusan yang merusak solidaritas sosial dan tatanan alam semesta. Inilah aspek profetis bencana yang harus dikembangkan oleh semua pihak agar tidak berkubang dalam kecemasan dan keputusasaan yang merangsang lahirnya takhayul. Justru bencana harus menjadi pemicu kreativitas bagi kepentingan masa depan bangsa yang lebih tangguh dan bermartabat. Semoga.

Tuesday, July 25, 2006

Opini

SBY dan Tafsir Bencana atas Kekuasaan
Suara Pembaruan
, Selasa 25 Juli 2006

A Bakir Ihsan

Bencana di negeri ini bukan lagi wacana. Bencana telah menjadi nafas derita anak bangsa. Tsunami, sebuah kata yang pada mulanya bak cerita dari antaberantah, kini tak terbantah. Setelah Aceh dan Nias, kini pantai selatan pulau Jawa tempat singgah bencana yang sama. Ratusan nyawa melayang dan tempat tinggal hancur tak terbilang. Rangkaian bencana ini tentu sarat dengan beragam tafsir baik secara rasional, spiritual, maupun supranatural.

Tafsir rasional atas bencana gempa dipahami sebagai fenomena alam yang berlangsung secara periodik. Terjadinya benturan antar lempengan bumi menjadi pemacu gerakan bumi yang tak wajar dan memuncahkan goncangan.

Sementara tafsir spiritual melihat bencana sebagai cobaan, ujian, musibah, bahkan azab dari Tuhan. Tafsir spiritual ini melihatbencana sebagai bentuk intervensi Tuhan atas ulah umat manusia yang menyimpang. Tuhan, menurut tafsir ini, merasa berkepentingan untuk mengingatkan manusia agar kembali pada jalan-Nya yang lurus.

Sebaliknya tafsir supra natural lebih melihat segala bentuk bencana sebagai cermin dari disharmoni antara makrokosmos dan mikrokosmos. Disharmoni ini bisa dalam konteks relasi manusia dengan alam, maupun manusia dengan manusia dengan segala dimensinya, baik secara politik, ekonomi, budaya, hukum, dan sebagainya.

Setiap orang bisa meyakini tiga tafsir bencana di atas secara terpisah. Bisa juga meletakkannya secara saling terkait. Namun ketiga perspektif di atas menunjukkan satu titik temu dalam memahami bencana, yaitu ketidakpastian. Secara rasional, orang bisa berhitung periodeisasi bencana, namun belum ada satupun pengetahuan yang mampu menjelaskan secara rinci dan mendeteksi secara pasti tentang waktu terjadinya bencana.

Itulah sebabnya bencana selalu berada di luar jangkauan logika dan hadir secara tak terduga. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kehidupan ini tidaklah linier dan tak pasti, oleh karenanya tidak bisa diabsolutkan. Ada keragaman dan perbedaan yang memiliki hak yang sama untuk eksis.

SBY dan Alam yang Liar
Alam dengan segala keragamannya berada dalam sebuah harmoni. Begitu pun manusia. Namun mengapa alam tidak begitu ramah? Secara meta-politik, sebagian orang mengaitkannya dengan eksistensi kekuasaan Presiden SBY, karena sejak pelantikannya bencana seakan tak hendak sirna.

Seorang kiai di Jawa Timur, misalnya, mengaitkan fenomena ketidakramahan alam dengan hari pelantikan SBY yang, menurutnya, dilakukan pada saat yang tidak tepat. Bahkan orang sekaliber Gus Dur merasa perlu untuk melakukan ruwatan (istighasah) atas bencana yang silih berganti. Ruwatan Bumi Nusantara yang dilaksanakan di alun-alun Selatan Yogya pada Februari lalu dimaksudkan agar bumi Nusantara selamat dari pelbagai malapetaka, bencana, dan kesialan yang terus melanda. Inilah ragam pembacaan orang terhadap bencana alam yang tidak sepenuhnya rasional.

Relasi alam dengan manusia tentu tidak bisa disimplifikasi dalam konteks relasi seorang SBY dan alam. Walaupun SBY merupakan "pandito" negeri dengan seribu bencana ini, namun eksistensinya tak bisa dilepaskan dari restu langsung dari rakyat melalui kompetisi yang sangat demokratis.

Oleh sebab itu, segala bentuk perbaikan relasi antara manusia dengan alam seharusnya diletakkan dalam konteks perlakuan masyarakat terhadap alam. Bukan pada seorang SBY yang tak lebih sebagai personifikasi kuasa rakyat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa alam kita telah tereksploitasi sedemikian rupa. Kasus penambangan pasir dan emas liar, illegal logging, illegal fishing, illegal migrant, illegal mining, dan segala bentuk pemerkosaan lainnya terhadap alam menjadi sarapan (informasi) yang dihidangkan media setiap hari. Manusia menempatkan dirinya secara liar berhadapan dengan alam, sehingga alam dengan liar pula mengancam kehidupan umat manusia. Gempa yang tak terdeteksi, tsunami yang tak pilih kasih, banjir bandang dan longsor yang tak terperi, menjadi horor sekaligus teror baru bagi kehidupan anak adam.

Inilah potret relasi disharmonik antara manusia dengan alam. "Terorisme" yang ditebar oleh alam jauh lebih eksesif dibandingkan teror yang berlangsung antar sesama manusia. Alam tak mengenal wacana provokatif seperti yang terjadi dalam simulakra terorisme yang disebar oleh Amerika dan sekutunya. Alam hanya bertindak atas tindakan umat manusia yang pragmatis dan tanpa pikir panjang.

Inilah yang oleh Martin Heidegger (1966) disebut sebagai kondisi thoughtlessness yang melahirkan efek tak terduga.

Tafsir Bencana
Secara politik beragam bencana tersebut tentu menjadi beban tersendiri bagi SBY. Bencana yang seperti tak hendak hengkang di bawah kepemimpinan SBY dengan sendirinya telah menguras tenaga, pikiran, dan dana negara secara tak terduga bagi rehabilitasi korban bencana. Hal ini otomatis menyedot konsentrasi pemerintah dalam pengembangan aspek-aspek lainnya. Bahkan saat ini pemerintah sudah kehabisan dana bencana dari anggaran Rp500 milyar dalam APBN 2006.

Namun di balik bencana, ada makna yang cukup mendalam bagi pembelajaran politik yang gagal dijalankan oleh lembaga-lembaga politik, khususnya oleh partai politik selama ini. Karena sebagaimana hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) partai politik merupakan lembaga yang paling buruk kinerjanya dan gagal menjalankan fungsinya secara maksimal.

Paling tidak ada beberapa fenomena yang seharusnya dapat memperbaiki tata kehidupan masyarakat. Pertama, tumbuhnya kepedulian dan keprihatinan. Bencana yang silih berganti idealnya dapat memupuk keprihatinan sekaligus kepedulian yang sama terhadap sesama anak bangsa.

Namun, hal ini belum sepenuhnya terjadi. Beberapa tokoh politik malah lebih tertarik melontarkan kritik terhadap penanganan bencana daripada berbuat untuk para korban. Megawati, misalnya, di saat Yogya berkubang dalam duka bencana, ia melancong ke China dan melakukan kritik tentang penangan korban bencana yang dinilainya lamban dan tidak profesional dibandingkan dengan China. Sementara politisi lainnya yang biasanya bersuara lantang terhadap pemerintah seperti ditelan bumi justru di saat rakyat butuh simpati.

Kedua,merayakan simpati. Kebutuhan bantuan masyarakat korban bencana idealnya menggugah para politisi untuk menabur sejuta simpati pada masyarakat. Walaupun sebagian politisi mengambil langkah ini dengan menyumbangkan gaji ke-13, misalnya, namun secara keseluruhan belum sepenuhnya berbuat hal yang sama. Para politisi masih berhitung untung rugi bagi kepentingan pemilu 2009. Akibatnyasimpati para politisi tak sedahsyat bencana yang mendera rakyat.

Ketiga, bencana sebagai medium kedekatan penguasa dan rakyat. Bencana yang silih berganti memaksa Presiden SBY untuk lebih dekat dengan rakyatnya. Dan secara simbolik hal tersebut dilakukan SBY dengan turun langsung ke lapangan sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat. Hal tersebut bisa dijadikan simbol yang menggugah para elit lainnya untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pa- da upaya penyelesaian masalah yang dihadapi langsung oleh masyarakat.

Tafsir politik atas bencana ini secara tidak langsung merupakan gugatan dan sinyal alam agar kita semakin peduli pada sesama dan membangun harmoni dengan alam semesta. Inilah tafsir politik atas bencana yang harus dikembangkan oleh para elite politik di tengah transisi yang tak pasti.

Alam mengajari kita bahwa semua harus berjalan dalam kepastian berdasarkan hukum yang telah ada pada dirinya (sunnatullah). Sementara, kita sering melanggar aturan yang justru kita buat sendiri. Bukankah ini bentuk pelecehan kita terhadap diri sendiri? Mungkin itulah sebabnya mengapa alam "marah" pada kita.

Friday, July 21, 2006

Opini

Historia Konstitusi di Tengah Transisi
Sinar Harapan
, Jum’at 21 Juli 2006

A. Bakir Ihsan

Historia tak pernah mati. Bahkan di tengah hamparan himpitan, historia justru menjadi obsesi. Kenyataan inilah yang kita saksikan belakangan ini. Mulai upaya rejuvenasi Pancasila yang pernah dikutuk bersama sampai upaya kembali pada UUD 1945 asli. Bahkan mereka menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengeluarkan dektrit pemberlakuan kembali UUD 1945.

Hasrat untuk menghidupkan kembali warisan masa lalu merupakan bentuk historia karena beragam latar kepentingan. Ia muncul bisa sebagai ekspresi kekecewaan atas carut marut yang terjadi saat ini, bisa juga status quo oriented. Tidak heran apabila sebagian masyarakat mengidamkan hidup kembali seperti masa Orde Baru yang miskin gejolak dan separatisme.

Kini masyarakat dibawa pada suasana yang jauh berbeda, yaitu kebebasan yang berhasil “mengobrak-abrik” ranah struktural yang dianggap pro status quo. Ada yang terancam dan ada yang terpental. Mereka yang terancam, apalagi yang terpental, tentu merasa tidak nyaman dengan realitas yang dihidangkan reformasi. Itulah sebabnya, bagi sebagian orang reformasi adalah ancaman. Euforia justru memupuk gejolak dan merusak harmoni. Inilah agenda yang dihadapi konstitusi yang telah diamandemen dan tengah disosialisasikan.

Tiga Kelompok
Pada dasarnya konstitusi merupakan fondasi yang serba mencakup. Namun fondasi ini terlanjur diagungkan bukan disosialisasikan, diyakini bukan dipahami. Konsekuensinya ia selalu menjadi tempat berlindung sekaligus alat legitimasi beragam bentuk kekuasaan. Dan secara historis hal tersebut telah menyeret bangsa ini dalam potret suram sejarah akibat ulah penguasa yang otoriter dan sentralistik baik pada masa Soekarno maupun Soeharto.

Sakralitas konstitusi inilah yang mendorong dilakukannya amandemen UUD 1945. Jadi amandemen tidak hanya didasarkan pada fakta historis (kekuasaan) yang otoriter, namun sekaligus upaya desakralisasi konstitusi melalui rekonstruksi atas kekuasaan yang cenderung tak terbatas dan paradoks.

Selama ini ada tiga kelompok atau aliran dalam menyikapi konstitusi. Pertama, kelompok yang ingin mengembalikan UUD 1945 sebagaimana aslinya. Kelompok ini secara otomatis tidak menginginkan adanya amandemen apalagi sosialisasi hasil amandemen sebagaimana dilakukan oleh anggota MPR saat ini.

Kedua, kelompok yang menganggap amandemen sudah selesai dan kini waktunya sosialisasi hasil amandemen sehingga dapat dipahami oleh seluruh warga negara.

Ketiga, kelompok yang masih menganggap perlu amandemen tambahan. Hal ini diajukan oleh mereka yang merasa tidak terapresiasi dalam konstitusi seperti yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait perluasan wewenangnya.

Paradoks Sakralisasi
Ketiga kelompok tersebut ketika ditempatkan secara diametral sedikit banyak mengganggu proses pembumian konstitusi. Bahkan akan menjebak konstitusi tetap berada dalam sakralitasnya yang tidak berpijak pada realitas. Kelompok-kelompok tersebut, khususnya kelompok pertama dan ketiga, akan menyebabkan konstitusi berada dalam ambigu. Kelompok pertama yang jelas-jelas menolak terhadap amandemen menjadi ganjalan sekaligus menghambat proses sosialisasi konstitusi. Sementara kelompok ketiga bisa mementahkan proses amandemen yang sudah ada sekaligus dapat menyebabkan kerancuan pemahaman masyarakat terhadap konstitusi.

Yang menjadi korban atas perseteruan antara yang pro dan kontra amandemen konstitusi adalah masyarakat. Sosialisasi UUD hasil amandemen sesungguhnya dapat mendekatkan masyarakat terhadap konstitusi. Namun paradoksalitas paradigma di kalangan elit terkait eksistensi konstitusi menyebabkan konstitusi semakin tak tersentuh.

Problem kultural juga menjadi bagian yang tidak kalah problematisnya dalam masalah sosialisasi konstitusi. Masyarakat kita sudah terlanjur menjadikan UUD sebagai realitas yang mewah sekaligus sakral dan hanya menjadi konsumsi para elit politik. Sementara rakyat hanya menjadi obyek konstitusi. Konsekuensinya konstitusi terkesan lebih sebagai belenggu daripada tatacara hidup bernegara secara beradab. Kondisi ini tentu tidak terlepas dari represi kesadaran masa lalu yang memang menempatkan UUD layaknya “kitab suci” yang penuh ancaman. Masyarakat hanya diberi ruang untuk meyakini, bukan memahami.

Akumulasi dari perlakuan terhadap UUD yang menyimpang tersebut menyebabkan hancurnya aturan main masyarakat. Masyarakat atas nama otonomi dan kebebasan merasa berhak untuk berkreasi membuat konstitusi-konstitusi baru. Tumbuh suburnya peraturan daerah (Perda) yang “bersimpangan” dengan fondasi kenegaraan yang beragam menjadi salah satu bukti matinya konstitusi berhadapan dengan otonomi masyarakat lokal. Kenyataan ini merupakan potret nyata dari distorsi dan deviasi pemahaman elit politik lokal terhadap UUD sebagai landasan kebangsaan yang mengayomi seluruh anak bangsa.

Reformasi Simbolik
Kalau kita lihat secara jernih, akar kompleksitas responsi terhadap eksistensi konstitusi adalah tidak tersedianya pijakan kultural. Konstitusi sebagai simbol ekspresi nilai-nilai kebangsaan terdistorsi oleh sikap para elit yang lebih mengedepankan agenda politik daripada agenda kebangsaan. Kaum politisi yang bertanggungjawab atas kesadaran politik kebangsaan, justru meletakkan dirinya dalam sekat-sekat kepentingan politik praktis.

Keberadaan perda-perda syariat (keagamaan) di beberapa daerah menandakan pergulatan reformasi masih berhenti pada tataran simbolik. Perubahan sebagai bagian dari agenda reformasi berhenti pada amandemen konstitusi. Akibatnya perubahan sejati tak pernah terjadi. Paling tidak amandemen konstitusi belum mampu dipahami oleh pelbagai aparat yang seharusnya bertanggungjawab atas penegakan konstitusi dan nilai kebangsaan.

Di sinilah rekonstruksi kebangsaan harus dilakukan secara komprehensif melalui sinergi kultural dan struktural sekaligus. Penyakit yang terlanjur menyerang seluruh organ bangsa ini, baik berupa korupsi maupun politik primordial, tidak harus diselesaikan dengan mengamputasi seluruhnya. Karena kalau itu dilakukan berarti kita bunuh diri. Untuk itu perlu dilakukan detoksifikasi (meminjam istilah pengobatan secara internal) sekaligus rehabilitas bangunan sosial.

Amandemen merupakan bentuk paling sederhana rehabilitasi ranah struktural. Sementara detoksifikasi perlu dilakukan pada ranah kultural sehingga ada sinergi antara sistem yang baik dengan landasan budaya yang baik pula. Dalam paradigma sosial Peter L. Berger, konstitusi memerlukan internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi, sehingga segala bentuk perubahan mampu menjadi pijakan yang menggerakan seluruh tatanan kehidupan berbangsa. Selama berbagai aspek kehidupan bersimpang jalan, maka sepanjang itu pula reformasi mengalami involusi. Jadinya, kita selalu berada dalam historia sekaligus euforia yang tak jelas juntrungnya dan menyebabkan transisi reformasi menjadi tak pasti.*
Opini

Solidaritas Politik di Negeri Bencana
Koran Tempo, Jum’at 21 Juli 2006

A. Bakir Ihsan

Bencana telah menjadi bagian dari nafas kita. Longsor, banjir, tsunami, dan gempa bumi seperti tak hendak berhenti. Bencana alam menjadi pelengkap dari rangkaian bencana sosial baik politik, ekonomi, hukum, maupun budaya yang tak kunjung usai. Pelbagai teori dan paradigma runtuh tak berdaya mendiagnosa kedua bencana tersebut. Secara nalar tak ada relasi antara bencana alam dan bencana sosial. Namun dampaknya sama. Ada korban nyawa, harta, dan keluarga.

Selama ini terjadi diskriminasi paradigmatik terhadap kedua bencana –alam dan sosial—tersebut. Paling tidak respon dan solidaritas yang muncul dari kedua bencana itu sangatlah berbeda. Bencana alam selalu menghadirkan solidaritas kemanusiaan universal. Bencana alam mengantarkan manusia pada kesadaran fitrinya sebagai sosok yang dermawan, peduli, dan begitu simpati. Segala sekat kepentingan mencair dan menyatukannya dalam satu rasa; prihatin, duka, dan lara.

Sementara bencana sosial melahirkan solidaritas terbatas. Kebersamaan atas nama kemanusiaan maupun kebangsaan justru tercerai berai mengikuti kepentingan yang segmented, eksklusif, dan sempit. Masing-masing kelompok merasa paling benar sehingga saling menyalahkan serta melempar tanggung jawab pada pihak lain. Akibatnya sepanjang bencana sosial berlangsung, carut marut wacana dan pertarungan kepentingan begitu semarak yang justru memperlemah pilar rehabilitasi bencana itu sendiri.

Lebih Eksesif
Kalau ditelaah secara jernih bencana sosial memiliki dampak yang jauh lebih eksesif dibandingkan bencana alam. Kerusakan infrastruktur akibat bencana alam bisa direkonstruksi dalam hitungan waktu. Namun kerusakan akibat bencana sosial membutuhkan regenerasi bagi upaya pemulihannya. Orde Baru yang terlanjur menciptakan sistem totaliter dengan ekonomi yang sarat KKN belum mampu diselesaikan dalam satu windu reformasi. Sementara untuk rekonstruksi bencana alam seperti tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam yang terjadi tahun lalu, kini mulai memasuki tahap penyempurnaan.

Melihat kenyataan tersebut, perlu rekonstruksi paradigma dalam pembacaan terhadap bencana, sehingga bisa menumbuhkan solidaritas yang sama. Bahkan bencana sosial seharusnya memunculkan solidaritas yang lebih intens karena dampaknya yang lebih eksesif dan destruktif. Sehingga langkah-langkah recovery bagi problem kebangsaan (bencana sosial) yang sampai saat ini masih jauh panggang dari api dapat teratasi.

Hancurnya solidaritas dalam bencana sosial disebabkan oleh lemahnya landasan kebangsaan di satu sisi dan kuatnya ambisi politik di sisi yang lain. Masing-masing melihat persoalan ekonomi, politik, hukum, dan budaya sebagai alat merengkuh kekuasaan, sehingga bencana bukan untuk direhabilitasi tapi dieksploitasi. Kekuasaan tidak dipahami sebagai media artikulasi dan agregasi kepentingan seluruh anak negeri. Konsekuensinya terjadi persaingan abadi antara kompetitor kekuasaan khususnya terhadap pemenang pemilu. Tidak heran apabila SBY menengarahi adanya gerakan lawan politiknya yang kalah dalam Pilpres 2004 untuk menghambat laju kepemimpinannya.

Inilah problem kebangsaan kita saat ini sehingga menghambat langkah-langkah recovery dan perwujudan agenda-agenda reformasi. Kuatnya kepentingan kelompok (vested interest) dan obsesi untuk menempatkannya di atas kepentingan kelompok lain semakin memperpanjang masa emergency bencana sosial kita.

Sekat-Sekat Politik
Depolitisasi yang dipasarkan Orde Baru ternyata berbuah antusiasme politik di masa reformasi. Hampir semua kekuatan terseret dalam gelombang politisasi. Antusiasme politik ini bisa dilihat dalam dua fakta. Pertama, kuatnya perebutan kekuasaan. Pemilu menjadi ajang paling absah untuk meraih kekuasaan. Dan secara faktual terlihat bagaimana persaingan sengit bahkan mengarah pada pembunuhan karakter (character assassination) seakan dihalalkan demi kekuasaan. Kenyataan ini berdampak pada fakta kedua, yaitu kuatnya politisasi. Euforia politik mengarah pada politisasi yang lebih didasari kepentingan kelompok. Konsekuensinya semua elemen kehidupan ditarik ke dalam pertarungan politis demi keuntungan-keuntungan politis kelompoknya. Bahkan persoalan gempa bumi di Yogyakarta pun dieksploitasi demi kepentingan politik dengan mempersoalkan, misalnya, kehadiran SBY di Yogyakarta, perbedaan jumlah korban, sampai isu ketidakseriusan pemerintah merehabilitasi korban bencana. Padahal substansi persoalannya adalah bagaimana para korban dapat dibantu dan dipulihkan secepat mungkin. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa politik lebih dipahami sebagai ekspresi kebebasan untuk meraih profit politis bagi kelompoknya dengan mengabaikan konteks.

Menguatnya dua kecenderungan euforia politik di atas merupakan konsekuensi logis dari belum adanya pijakan kultural yang kuat untuk berdemokrasi. Landasan yang ada adalah nilai-nilai otoritarianisme dan totalitarianisme yang mendorong masing-masing kelompok menghegemoni kelompok lainnya. Konsekuensinya, agenda-agenda recovery bagi problem sosial baik di bidang ekonomi, politik, hukum, dan budaya terabaikan.

Di tengah tersedia prosedur-prosedur demokrasi dan membludaknya para pakar dan cerdik cendekia, idealnya beragam bencana sosial dapat diretas sehingga secara bersama-sama memberikan solusi bukan politisasi yang berbuah intimidasi dan tindak anarki.

Politisasi telah mempertebal pengelompokan kepentingan yang bermuara pada sekat-sekat sosial yang dibangun berdasarkan emosionalitas kelompok. Kontrol terhadap kekuasaan tidak berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang obyektif dan akurat, tapi lebih untuk mendelegitimasi kekuasaan dengan memobilisasi emosi massa. Konsekuensinya pertempuran kritik tanpa akhir antar elit mengalir sepanjang reformasi. Semakin hari reformasi semakin banyak melahirkan politisi yang apriori dan mengalienasi solidaritas sosial.

Kenyataan ini sungguh paradoks dengan keberhasilan masyarakat menyelenggarakan demokrasi langsung (direct democracy), baik pada Pilpres maupun Pilkada. Apabila fenomena ini dibiarkan akan menghancurkan keadaban politik yang pluralis dan inklusif. Politisi akan mengendalikan demokrasi dan masyarakat terus dijadikan kuda troya kaum elit. Inilah demokrasi yang oleh Olle Tornquist disebut sebagai demokrasi kaum penjahat (bad guy democracy). Yaitu demokrasi yang digerakkan oleh segerombolan orang yang mencampakkan nilai-nilai demokrasi.

Solidaritas Politik
Salah satu keputusan penting pertemuan Senior Official Meeting (SOM) atau pertemuan pejabat senior setingkat menteri, KTT Asia Afrika 2005 adalah terbentuknya solidaritas politik (political solidarity). Sebuah semangat merangkai beragam kepentingan politik untuk menjawab tindak kekerasan politik dan pelanggaran HAM yang marak belakangan ini. Keputusan ini tentu berdasarkan realitas politik yang memperlihatkan kuatnya politik kepentingan yang justru memupus efektivitas penyelesaian agenda kemanusiaan di masing-masing negara.

Solidaritas politik tidak berpretensi menyeragamkan kepentingan, tapi mengefektifkan perjuangan. Transisi reformasi menyediakan ruang berseminya beragam kepentingan yang dapat efektif apabila berada dalam sinergi kebersamaan yang teraktualisasi dalam bentuk solidaritas. Agenda tersebut tentu tidak bisa dijalankan di atas antagonisme politik dan di atas landasan politik negara yang rapuh. Indonesia yang secara politik sudah memenuhi standar formal demokrasi idealnya dapat mendorong tumbuhnya solidaritas politik yang pada akhirnya akan memacu proses pendalaman demokrasi (a deepening of democracy).

Bencana alam telah mengajari kita tentang pentingnya solidaritas kemanusiaan yang meretas sekat-sekat dan simbol-simbol sosial. Sementara bencana sosial justru mempertebal sekat-sekat massa dan membentuk ruang solidaritas kelompok berdasarkan kesamaan kepentingan. Di sinilah penguatan solidaritas politik menjadi sangat signifikan. Yaitu sebuah upaya mensinergikan (bukan menfusikan) seluruh kekuatan politik untuk memperkuat landasan partisipasi masyarakat bagi perbaikan tatanan kehidupan bernegara. Tanpa solidaritas politik, negara tidak akan mampu bekerja secara maksimal. Negara akan selalu disibukkan oleh langkah-langkah politiking, seperti ancaman impeachment dan percepatan pemilu, yang menjadi wacana dan agenda kaum politisi di Senayan maupun politikus lain yang tak pernah puas sebelum kekuasaan direngkuhnya. Inilah nasib solidaritas politik di negeri seribu bencana.*

Monday, July 17, 2006

Opini

Urgensi Dialog Antarmedia
Republika, Senin 17 Juli 2006

A Bakir Ihsan

Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg, menggagas penyelenggaraan Global Inter-Media Dialogue atau Dialog Antarmedia Global. Sebuah forum yang berupaya merangkai beragam perspektif dan pengalaman praktisi media massa dunia dalam memotret dan menyajikan sebuah fakta ke ranah media massa. Menurut rencana forum ini akan dihadiri 82 tokoh-tokoh media utama 40 negara dari Asia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, Amerika Serikat, dan Amerika Latin.

Forum ini sebenarnya merupakan aktualisasi dari gagasan SBY yang dilontarkannya tak lama setelah mencuatnya kontroversi pemuatan kartun Nabi Muhammad di media Denmark, Jyllands-Posten. Ide ini diilhami oleh forum dialog antariman (interfaith dialogue) yang sering diselenggarakan oleh lembaga-lembaga keagamaan dan dianggap cukup efektif. Namun yang menarik dari dialog antarmedia ini adalah bahwa peran media selama ini tidak hanya menjadi corong berita, namun telah sampai pada penciptaan citra.

Peran media massa sebagai pencipta citra tak diragukan. Survei The Media Center, BBC, dan Reuters pada Mei 2006 di sepuluh negara, termasuk Indonesia, mendapati media lebih dipercaya daripada pemerintah. Peran signifikan ini dapat menyebabkan eksistensi media dalam dua wajah yang paradoks. Dari pencitraan media, konflik bisa lahir, tapi kedamaian juga bisa hadir. Kasus kartun Nabi Muhammad yang dilansir media massa Barat telah menyulut amarah umat Islam di penjuru dunia. Namun berkat media massa pula ulah Zinedine Zidane yang menyeruduk Marco Materazzi dalam final Piala Dunia 2006 mendapat simpati.

Melihat peran strategis media, tak heran bila kedua pemimpin menaruh harapan cukup besar terhadap peran media massa internasional. Paling tidak media dapat mendorong tumbuhnya toleransi tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi, sehingga lahir harmoni. Bukti pengakuan SBY bahwa media sangat menentukan tata interaksi sosial baik pada tataran nasional maupun global adalah responsinya terhadap pemuatan karikatur Nabi Muhammad melalui artikelnya, ''Let's Try to Get Beyond Caricatures'', yang dimuat harian International Herald Tribune (10 Februari 2006).

Media dan civil society
Dialog antarmedia merupakan pengejawantahan dari tradisi media massa yang selalu menyediakan ruang check and balances. Kalau selama ini media mampu menjadi lembaga yang menyediakan ruang hak jawab --walaupun terkadang tidak proporsional-- maka dialog ini lebih mengedepankan kesamaan persepsi tanpa adanya dominasi. Kalau selama ini media menjadi lembaga yang cukup dominan bahkan hegemonik dalam simulakra wacana, maka dialog ini menarik garis lurus dan sejajar tentang pentingnya kesamaan persepsi untuk memperkuat civil society, demokrasi, dan perdamaian.

Tidak adanya kesamaan persepsi tentang civil society telah menyebabkan media massa terbuai dalam kebebasan yang justru kontraproduktif bagi penegakan civil society. Kontroversi kartun Nabi Muhammad menunjukkan ada perbedaan persepsi tentang kebebasan berekspresi yang justru berdampak pada mencuatnya tindakan anarki. Dalam batas-batas inilah dialog menjadi sangat signifikan apalagi bagi media yang sangat impresif dalam membentuk wacana dalam masyarakat. Lebih dari itu, dialog antaramedia dari berbagai negara ini dapat menjadi ajang sharing nilai-nilai dan budaya yang bisa jadi berbeda, sehingga melahirkan perspektif berbeda pula dalam memotret fenomena sosial. Itulah sebabnya tingkat representasi keterwakilan pelbagai negara dalam dialog ini menjadi cukup penting. Dengan semakin melibatkan banyak unsur dalam dialog, maka kualitas dialog makin representatif. Paling tidak, representasi tersebut dapat memperkecil kesenjangan pemahaman antarmedia massa yang ada di dunia.

Dialog antarmedia ini dapat meretas sekat-sekat kreativitas yang terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang realitas. Belum lagi tingkat hegemoni media massa Barat yang sering menjadi referensi pengetahuan dunia berkembang tanpa reserve. Paling tidak dialog ini dapat meminimalisasi anarkisme dalam segala bentuknya. Baik akibat misunderstanding terhadap wacana yang disebarkan oleh media massa maupun akibat informasi yang diproduksi secara provokatif dan diskriminatif.

Misi profetis
Media tidak bisa dibaca sebagai 'kekuatan liar' dengan segudang idealisme. Media massa tetap sarat dengan kepentingan dan keberpihakan. Dalam konteks dialog antarmedia, keberpihakan pada penguatan civil society merupakan bagian dari misi profetis media. Tanpa keberpihakan pada civil society, media hanya berjuang untuk kepentingan eksistensi dirinya. Padahal eksistensi media tidak bisa dilepaskan dari eksistensi masyarakat. Mencari titik temu persepsi melalui dialog, baik pada tataran budaya, politik, ekonomi maupun lainnya antarmedia massa tidak berarti mematikan keragaman perspektif. Titik temu persepsi hanya dimungkinkan pada tataran ''epistimologi'' sebuah realitas yang dapat mencegah terjadinya distorsi dan deviasi informasi. Pengungkapan kasus korupsi, diskriminasi, dan pelanggaran lainnya harus dilandasi oleh misi profetis yang meletakkan media tidak sekadar sebagai corong berita, namun mampu mengusut tuntas secara informatif terhadap pelbagai kasus pelanggaran.

Banyak contoh yang memperlihatkan peran profetis pers yang berhasil membongkar kebobrokan sebuah sistem atau birokrasi pemerintahan. Bahkan tidak jarang media massa ikut andil dalam pelengserean sebuah kekuasaan. Peran inilah yang meletakkan media massa sebagai watch dog yang terus membuat gelisah para pelaku korupsi atau pelanggaran lainnya. Di tengah pasar informasi yang begitu eksesif bahkan cenderung massif, peran profetis ini bisa jadi tergusur oleh pragmatisme publik. Keseriusan media massa dalam menginvestigasi sebuah fakta bisa jadi menjemukan pembaca. Kejenuhan dan kejemuan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya karena apatisme masyarakat terhadap penyelesaian problema sosial yang diangkat oleh media. Oleh sebab itu, partisipasi lembaga-lembaga terkait menjadi sangat signifikan bagi aktualisasi misi profetis media massa.

Persoalannya kemudian, adakah kehendak untuk memperkuat misi profetis media massa? Pertanyaan ini harus dijawab secara holistik dan komprehensif, sehingga tidak terjadi upaya lempar batu sembunyi tangan. Namun melihat komitmen Presiden SBY khususnya dalam upaya membangun dialog antarmedia internasional bagi penguatan civil society (masyarakat berkeadaban), maka kini kartu truf ada pada media massa dan masyarakat pembaca. Apakah media massa akan dibiarkan sekadar sebagai alat resonansi dan corong informasi yang merayakan sensasi, atau sebagai kekuatan yang berpihak pada demokrasi dan civil society.