Tuesday, July 25, 2006

Opini

SBY dan Tafsir Bencana atas Kekuasaan
Suara Pembaruan
, Selasa 25 Juli 2006

A Bakir Ihsan

Bencana di negeri ini bukan lagi wacana. Bencana telah menjadi nafas derita anak bangsa. Tsunami, sebuah kata yang pada mulanya bak cerita dari antaberantah, kini tak terbantah. Setelah Aceh dan Nias, kini pantai selatan pulau Jawa tempat singgah bencana yang sama. Ratusan nyawa melayang dan tempat tinggal hancur tak terbilang. Rangkaian bencana ini tentu sarat dengan beragam tafsir baik secara rasional, spiritual, maupun supranatural.

Tafsir rasional atas bencana gempa dipahami sebagai fenomena alam yang berlangsung secara periodik. Terjadinya benturan antar lempengan bumi menjadi pemacu gerakan bumi yang tak wajar dan memuncahkan goncangan.

Sementara tafsir spiritual melihat bencana sebagai cobaan, ujian, musibah, bahkan azab dari Tuhan. Tafsir spiritual ini melihatbencana sebagai bentuk intervensi Tuhan atas ulah umat manusia yang menyimpang. Tuhan, menurut tafsir ini, merasa berkepentingan untuk mengingatkan manusia agar kembali pada jalan-Nya yang lurus.

Sebaliknya tafsir supra natural lebih melihat segala bentuk bencana sebagai cermin dari disharmoni antara makrokosmos dan mikrokosmos. Disharmoni ini bisa dalam konteks relasi manusia dengan alam, maupun manusia dengan manusia dengan segala dimensinya, baik secara politik, ekonomi, budaya, hukum, dan sebagainya.

Setiap orang bisa meyakini tiga tafsir bencana di atas secara terpisah. Bisa juga meletakkannya secara saling terkait. Namun ketiga perspektif di atas menunjukkan satu titik temu dalam memahami bencana, yaitu ketidakpastian. Secara rasional, orang bisa berhitung periodeisasi bencana, namun belum ada satupun pengetahuan yang mampu menjelaskan secara rinci dan mendeteksi secara pasti tentang waktu terjadinya bencana.

Itulah sebabnya bencana selalu berada di luar jangkauan logika dan hadir secara tak terduga. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kehidupan ini tidaklah linier dan tak pasti, oleh karenanya tidak bisa diabsolutkan. Ada keragaman dan perbedaan yang memiliki hak yang sama untuk eksis.

SBY dan Alam yang Liar
Alam dengan segala keragamannya berada dalam sebuah harmoni. Begitu pun manusia. Namun mengapa alam tidak begitu ramah? Secara meta-politik, sebagian orang mengaitkannya dengan eksistensi kekuasaan Presiden SBY, karena sejak pelantikannya bencana seakan tak hendak sirna.

Seorang kiai di Jawa Timur, misalnya, mengaitkan fenomena ketidakramahan alam dengan hari pelantikan SBY yang, menurutnya, dilakukan pada saat yang tidak tepat. Bahkan orang sekaliber Gus Dur merasa perlu untuk melakukan ruwatan (istighasah) atas bencana yang silih berganti. Ruwatan Bumi Nusantara yang dilaksanakan di alun-alun Selatan Yogya pada Februari lalu dimaksudkan agar bumi Nusantara selamat dari pelbagai malapetaka, bencana, dan kesialan yang terus melanda. Inilah ragam pembacaan orang terhadap bencana alam yang tidak sepenuhnya rasional.

Relasi alam dengan manusia tentu tidak bisa disimplifikasi dalam konteks relasi seorang SBY dan alam. Walaupun SBY merupakan "pandito" negeri dengan seribu bencana ini, namun eksistensinya tak bisa dilepaskan dari restu langsung dari rakyat melalui kompetisi yang sangat demokratis.

Oleh sebab itu, segala bentuk perbaikan relasi antara manusia dengan alam seharusnya diletakkan dalam konteks perlakuan masyarakat terhadap alam. Bukan pada seorang SBY yang tak lebih sebagai personifikasi kuasa rakyat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa alam kita telah tereksploitasi sedemikian rupa. Kasus penambangan pasir dan emas liar, illegal logging, illegal fishing, illegal migrant, illegal mining, dan segala bentuk pemerkosaan lainnya terhadap alam menjadi sarapan (informasi) yang dihidangkan media setiap hari. Manusia menempatkan dirinya secara liar berhadapan dengan alam, sehingga alam dengan liar pula mengancam kehidupan umat manusia. Gempa yang tak terdeteksi, tsunami yang tak pilih kasih, banjir bandang dan longsor yang tak terperi, menjadi horor sekaligus teror baru bagi kehidupan anak adam.

Inilah potret relasi disharmonik antara manusia dengan alam. "Terorisme" yang ditebar oleh alam jauh lebih eksesif dibandingkan teror yang berlangsung antar sesama manusia. Alam tak mengenal wacana provokatif seperti yang terjadi dalam simulakra terorisme yang disebar oleh Amerika dan sekutunya. Alam hanya bertindak atas tindakan umat manusia yang pragmatis dan tanpa pikir panjang.

Inilah yang oleh Martin Heidegger (1966) disebut sebagai kondisi thoughtlessness yang melahirkan efek tak terduga.

Tafsir Bencana
Secara politik beragam bencana tersebut tentu menjadi beban tersendiri bagi SBY. Bencana yang seperti tak hendak hengkang di bawah kepemimpinan SBY dengan sendirinya telah menguras tenaga, pikiran, dan dana negara secara tak terduga bagi rehabilitasi korban bencana. Hal ini otomatis menyedot konsentrasi pemerintah dalam pengembangan aspek-aspek lainnya. Bahkan saat ini pemerintah sudah kehabisan dana bencana dari anggaran Rp500 milyar dalam APBN 2006.

Namun di balik bencana, ada makna yang cukup mendalam bagi pembelajaran politik yang gagal dijalankan oleh lembaga-lembaga politik, khususnya oleh partai politik selama ini. Karena sebagaimana hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) partai politik merupakan lembaga yang paling buruk kinerjanya dan gagal menjalankan fungsinya secara maksimal.

Paling tidak ada beberapa fenomena yang seharusnya dapat memperbaiki tata kehidupan masyarakat. Pertama, tumbuhnya kepedulian dan keprihatinan. Bencana yang silih berganti idealnya dapat memupuk keprihatinan sekaligus kepedulian yang sama terhadap sesama anak bangsa.

Namun, hal ini belum sepenuhnya terjadi. Beberapa tokoh politik malah lebih tertarik melontarkan kritik terhadap penanganan bencana daripada berbuat untuk para korban. Megawati, misalnya, di saat Yogya berkubang dalam duka bencana, ia melancong ke China dan melakukan kritik tentang penangan korban bencana yang dinilainya lamban dan tidak profesional dibandingkan dengan China. Sementara politisi lainnya yang biasanya bersuara lantang terhadap pemerintah seperti ditelan bumi justru di saat rakyat butuh simpati.

Kedua,merayakan simpati. Kebutuhan bantuan masyarakat korban bencana idealnya menggugah para politisi untuk menabur sejuta simpati pada masyarakat. Walaupun sebagian politisi mengambil langkah ini dengan menyumbangkan gaji ke-13, misalnya, namun secara keseluruhan belum sepenuhnya berbuat hal yang sama. Para politisi masih berhitung untung rugi bagi kepentingan pemilu 2009. Akibatnyasimpati para politisi tak sedahsyat bencana yang mendera rakyat.

Ketiga, bencana sebagai medium kedekatan penguasa dan rakyat. Bencana yang silih berganti memaksa Presiden SBY untuk lebih dekat dengan rakyatnya. Dan secara simbolik hal tersebut dilakukan SBY dengan turun langsung ke lapangan sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat. Hal tersebut bisa dijadikan simbol yang menggugah para elit lainnya untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pa- da upaya penyelesaian masalah yang dihadapi langsung oleh masyarakat.

Tafsir politik atas bencana ini secara tidak langsung merupakan gugatan dan sinyal alam agar kita semakin peduli pada sesama dan membangun harmoni dengan alam semesta. Inilah tafsir politik atas bencana yang harus dikembangkan oleh para elite politik di tengah transisi yang tak pasti.

Alam mengajari kita bahwa semua harus berjalan dalam kepastian berdasarkan hukum yang telah ada pada dirinya (sunnatullah). Sementara, kita sering melanggar aturan yang justru kita buat sendiri. Bukankah ini bentuk pelecehan kita terhadap diri sendiri? Mungkin itulah sebabnya mengapa alam "marah" pada kita.

No comments: