Thursday, February 26, 2015

Quasi-Ideology



Kolom

Quasi-Ideologi Partai Politik
Majalah GATRA, Edisi 12, 22 Januari 2015

A. Bakir Ihsan

Eksistensi partai politik di negeri ini cenderung bergerak sentrifugal. Perilaku partai cenderung menjauh dari titik ideologisnya. Konflik partai bukan hanya mencerminkan kegagalan fungsinya, tapi memonumenkan pragmatisme di atas segalanya. Konflik internal partai, seperti yang sedang melanda Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) maupun antar partai seperti antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), hanya puncak dari gunung es kegagalan partai melembagakan diri nir-ideologi. Konflik tersebut merupakan rangkaian antagonisme kepentingan tanpa manajemen pengelolaan organisatoris di tengah nafsu elite partai yang liar.
Mengabaikan fungsi ideologi yang sejatinya menjadi pijakan orientasi, eksplanasi sekaligus diferensiasi, dan evaluasi mengantarkan partai berkubang dalam konflik kepentingan jangka pendek dan recehan. Konflik instan dan murahan karena berebut kursi dan posisi tanpa ikatan ideologis. Fungsi-fungsi ideologi didistorsi oleh amalan berjarak bahkan terpisah dari ideologi. Inilah yang melahirkan potret partai kita saat ini. Kalau demikian, masih adakah harapan peran ideologis partai?

Gairah Ideologi
Sepak terjang partai politik di era reformasi memperlihatkan dinamika yang komplek. Hal ini bisa disebabkan oleh proses pencarian di tengah kegamangan antara kemestian mengartikulasi kepentingan publik dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya, antara kepentingan ideologis dan kepentingan pragmatis.
Di awal reformasi irisan ideologi partai relatif terlihat. Paling tidak dari beberapa fakta menunjukkan adanya kontestasi ideologis khususnya antara partai Islam dengan partai lainnya. Pertama, pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai presiden yang dimunculkan oleh partai-partai Islam dengan menamakan diri poros tengah. Kedua, adanya usulan pembahasan kembali Piagam Jakarta dalam proses amandemen UUD 1945 pada tahun 2002. Usulan tersebut digagas oleh tiga fraksi partai politik Islam di MPR, yaitu Fraksi PPP, Fraksi PBB, Fraksi Perserikatan Daulatul Umat dan mendapat dukungan dari partai politik Islam yang bergabung dengan Fraksi Reformasi, yaitu Partai Keadilan. Ketiga, pembahasan undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) yang terkait dengan pasal 12 ayat 1a tentang pelajaran agama yang harus diberikan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama.
Bagitu pada periode 2004-2009, sebagaimana temuan dalam penelitian disertasi saya 12 Januari lalu, warna ideologi  masih tecermin dalam perdebatan legislasi dengan intensitas dan formulasi yang beragam. Dalam pembahasan 3 RUU di DPR pada periode tersebut, RUU Pornografi, RUU Kesehatan, dan RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (PDRE) menunjukkan adanya relasi ideologis, khususnya PPP sebagai partai berasaskan Islam. Paling tidak hal tersebut didasarkan pada dua konsep formulasi nilai-nilai Islam (tathbiq al-syari’ah) sebagai landasan perjuangan PPP.
Pertama, nilai-nilai Islam universal yang diyakini tidak hanya oleh umat Islam, tapi juga umat manusia secara keseluruhan. Nilai-nilai tersebut seperti keadilan, kejujuran, kebersamaan, persatuan, kesetaraan di depan hukum, dan HAM. Nilai-nilai ini lebih bersifat substantif dan universal.
Kedua, nilai-nilai yang hanya diyakini oleh seluruh umat Islam. Hal ini terkait dengan hukum fiqih, seperti larangan memamerkan aurat di ranah publik, larangan perzinahan, haramnya minuman keras, dan lainnya. Nilai-nilai ini lebih bersifat simbolik dengan mengacu pada standar verbal di dalam Alquran, hadis, maupun ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Dua formulasi ini merupakan bagian dari ideologi yang menurut Maurice Duverger (2005) sebagai upaya rasionalisasi dan sistematisasi yang mencerminkan perkembangan (kebutuhan) zamannya. Ideologi dapat eksis melalui aktualisasi dan kontekstualisasi makna tanpa kehilangan esensi Islam sebagai ideologi PPP.

Struktur Minus Kultur
Konstruksi pada ranah legislasi maupun institusi relatif lebih semarak di era reformasi. Bahkan agenda terbesar pertama di awal reformasi yang menyedot banyak perhatian, selain pemilihan presiden, adalah amandemen konstitusi yang memakan waktu dan perdebatan relatif lama. Perdebatan ideologis lebih terlihat pada sisi Islam berhadapan dengan ideologi yang lain dalam beberapa proses rekonstruksi institusi atau struktur. Pada titik ini, ideologi sebagai ikon yang “khas” dan pembeda (diferensiasi), sebagaimana dikonsepsi Roy C. Macridis (1983), Terence Ball dan Richard Dagger (1991), berlaku dalam konteks “pertemuan” antara partai agama (Islam) dengan partai sekuler. Hal ini dimungkinkan karena adanya landasan yang khas, yaitu kaitan nilai-nilai Islam bahkan dengan legitimasi teologisnya dalam perdebatan dalam rancangan undang-undang.
 Kerja-kerja pada ranah legislasi atau institusi dengan segala kekhasannya tersebut belum berbanding lurus dengan konstruksi pada ranah kultural sebagai landasan kerja institusi. Akibatnya bangunan yang tersedia, termasuk dalam membangun rumah besar umat Islam sebagai ikon PPP, gagal menjadi magnitud umat. Pada level konstestasi, perjuangan nilai-nilai Islam sebagai implementasi ideologis pada ranah legislasi gagal membawa dampak elektoral karena berhenti pada ranah struktur, institusi, dan catatan suci dalam proses legislasi.
Hal tersebut merupakan gejala umum sejak reformasi bergulir dengan dalih  rekonstruksi institusi akan mengubah segala bentuk distorsi orde sebelumnya yang represif dan hegemonik. Bangunan dan beragam institusi yang dibangun di era reformasi dengan segala asesoris dan keindahannya tak berjalin kelindan dengan sikap dan perilaku tuan rumahnya. Kasus korupsi, kolusi, konflik, kinerja buruk, dan pilihan koalisi berbasis kursi adalah rangkaian bukti berjaraknya aksi dengan visi, institusi dengan ideologi. Bahkan beberapa institusi terpaksa dilikuidasi Presiden Jokowi karena tak lebih dari pelebaran birokrasi tanpa isi.

Nafas Ideologis
Sisi signifikansi ideologi menjadi pertaruhan bagi institusionalisasi (pelembagaan) dan stabilisasi partai. Ideologi menjadi bermakna, termasuk berdampak pada sisi elektoral partai ketika ia menjadi nafas dari gerak partai secara komprehensif. Hal ini karena partai politik, sebagaimana konsepsi Scott Mainwaring (2005), merupakan penjabaran dari ide-ide sistematis yang terkonstruksi dalam ideologi. Orang melihat partai berbeda (baca; lebih jelas) dibandingkan dengan partai lainnya dan karenanya orang tertarik menentukan pilihannya. Penjelas sekaligus pembeda ini merupakan bagian fungsi ideologi. Dengan kata lain, ketika publik gagal membuat pembeda dan penjelas terhadap partai politik, berarti partai gagal mengaktualisasikan ideologinya.
Begitu juga “keberhasilan” partai Islam, seperti PPP, dalam memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam rancangan undang-undang tidak bermakna ideologis ketika gagal menggerakkan seluruh sisi sikap dan perilaku partai, termasuk perilaku para kadernya sebagai aparatus ideologi (ideological party apparatus). Inilah yang disebut sebagai quasi-ideologi (quasi-ideology) yang menempatkan ideologi seolah-olah baik karena pengabaian pada substansi ideologi. Atau sebagaimana Paul M. Sniderman (1991) definisikan sebagai ideologi sekadar wacana tanpa makna, konstruksi tanpa substansi (having a legal status only by operation or construction of law and without reference to intent). Inilah yang menyebabkan ideologi sebagai nafas partai semakin terasing dalam percaturan kontestasi.
Fakta tersebut sekaligus menjadi agenda untuk memastikan institusionalisasi partai politik berlangsung di atas pijakan ideologinya. Pertama, pentingnya revitalisasi sistem kepartaian. Mekanisme partai harus dijalankan secara konsisten berdasarkan nilai-nilai ideologi yang dianutnya. Perdebatan dalam proses pembahasan undang-undang, sebagaimana dilakukan PPP dengan nilai-nilai Islamnya dalam beberapa RUU, merupakan bagian dari ideologisasi partai. Namun hal tersebut belum menjadi bagian dari sistem kepartaian, karena pada ranah lain, nilai-nilai Islam belum terlihat utuh.
Kedua, penerjemahan ideologi (teks) berdasarkan konteks (ideological linkage). Slogan-slogan ideologis, seperti Islamisme, marhaenisme, nasionalisme, dan sebagainya harus dipijakkan pada pemahaman dan kebutuhan masyarakat. Ideologi sebagai konseptualisasi kaum elit, sering berjarak dengan massa. Dalam hal nilai-nilai Islam misalnya,  harus diterjemahkan berdasarkan kebutuhan konkret masyarakat, sehingga partai Islam seperti PPP tidak terasing di tengah umat Islam sebagai konstituennya. “Rumah besar umat Islam” tak bermakna ketika “rumah sederhana” saja tidak dimiliki rakyat dan tidak tercermin dalam perilaku elit. Karena itu, diperlukan langkah ketiga, yaitu penguatan aparatus ideologi. Aparatus ideologi mencakup semua kader yang tak sekadar memahami, tapi mempraktikkannya. Untuk itu, kerja partai tak sekadar mencari anggota, pengurus, atau caleg sebanyak-banyaknya dengan mengedepankan figuritasnya, tapi memaksa kader-kadernya untuk mentransformasi dan menginstitusionalisasi kesadarannya pada nilai-nilai ideologi partai. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan partai pada figuritas, dan beralih pada sisi ideologis partai.
Dengan langkah-langkah tersebut, memudahkan masyarakat mengidentifikasikan diri dan menentukan pilihannya. Pasar ideologi antar partai yang “serba remang-remang” (quasi-ideologi) saat ini hanya menguntungkan partai besar yang didukung oleh kekuatan modal. Nilai lebih yang sejatinya dimiliki partai politik dengan ideologinya yang khas, seperti Islam, tergerus oleh tawaran konkret partai besar dan sekuler. Karena itu, ketika ideologi diyakini sebagai kekuatan dasar partai, tak ada jalan lain kecuali memastikannya mudah dipahami dan bersinergi dengan kebutuhan konkret masyarakat, sehingga dihasrati dan diganderungi. Dengan demikian, peran ideologis partai adalah kemestian.*