Friday, January 15, 2010

Politik Hukum



Opini

Penjara & Politik Kemewahan
Koran Tempo, Jum'at, 15 Januari 2010
A. Bakir Ihsan
Negara ini memang surga. Bukan hanya tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Rumah tahanan (rutan) pun bisa jadi hotel idaman. Rutan yang sejatinya menjadi kawah kembalinya nilai-nilai kemanusiaan yang setara di antara para penghuninya, ternyata mempertontonkan diskriminasi dan kesenjangan status sosial ekonomi. Rutan yang idealnya menjadi ajang pemasyarakatan menjelma menjadi monumen pengokohan status sosial dan "surga" bagi segelintir orang.
Deviasi fungsi rutan merupakan rangkaian dari deviasi-deviasi lembaga terkait lainnya. Rutan bukan kawah yang bebas nilai. Ia merupakan bagian dari bangunan besar bernama birokrasi negara yang, menurut Emile Durkheim, dalam titik tertentu bisa bermuara pada kelaliman birokrasi.
Fasilitas mewah yang dinikmati oleh segelintir orang membuktikan adanya diskriminasi yang tidak hanya melibatkan narapidana dan sipir. Ia bukan sekadar hasil sebuah upaya dua atau tiga orang. Ia melibatkan pemihakan dan kehendak dari yang punya kuasa baik modal maupun jabatan.
Fenomena kemewahan
Fenomena pemberian fasilitas mewah (surga) yang tak wajar bukan kali ini saja. Dua pekan lalu kita dipertontonkan mobil mewah para petinggi negeri. Tak ada reaksi balik para petinggi atas pandangan kritis masyarakat, kecuali pembenaran-pembenaran atas fasilitas mewah itu. Potret empati dan simpati begitu kabur dalam frame elite negeri ini.
Simplifikasi terhadap fakta sosial yang kompleks, menggerus empati dan simpati elite. Mobil mewah dianggap wajar di tengah ekonomi masih banyak bertopang pada utang. Belum selesai tanda tanya mobil mewah pejabat, muncul kasus fasilitas mewah lainnya.
Rutan yang dihuni oleh orang-orang yang dianggap melakukan penyimpangan, justru diperlakukan dengan cara yang menyimpang. Rutan sebagai milik publik, diperlakukan layaknya properti yang dilepas di pasar bebas. Siapa yang berduit, ia dapat fasilitas. Aturan mati justru di dalam lembaga yang bertanggungjawab bagi pembinaan hukum. Penghargaan terhadap nilai kemanusiaan yang setara ambruk di bawah departemen yang bersimbolkan HAM. Lebih miris mendengar pernyataan pejabat terkait yang menganggap fasilitas tersebut wajar (Koran Tempo, 12/01/2010). Entah apa pembanding kewajaran itu. Inilah paradoks di tengah karut marut hukum dan keadilan melanda negeri ini.
Fasilitas "surga" bukan hal yang haram. Bahkan penghargaan terhadap para narapidana sejatinya diperbaiki. Namun bagaimana dan dimana fasilitas itu harus digunakan, inilah yang sering diabaikan oleh pemangku otoritas (kekuasaan) terkait.
Panoptisisme
Kekuasaan pada dasarnya untuk mendisiplinkan. Begitu pun rutan. Ia merupakan wujud kontrol kekuasaan untuk "mendisiplinkan" penghuninya yang dianggap menyimpang. Proses pendisiplinan ini akan efektif bila ada pengawasan total yang digambarkan Michel Foucault (1977) seperti tahanan Panopticon. Sebuah desain tahanan Jeremy Bentham (1785) yang dibuat sedemikian rupa agar pengawasan berlangsung setiap saat tanpa sang penghuninya merasa diawasi. Dengan demikian, mekanisme dan aturan main bisa berjalan sesuai yang diharapkan.
Problem yang terjadi pada kasus Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur justru pada pemilik kontrol. Otoritas yang dimiliki untuk mendisiplinkan justru menjelma menjadi media perselingkuhan yang dapat dipastikan berdampak diskriminatif pada yang lain. Belum lagi, hirarki otoritas itu sendiri merupakan kawah untuk menstabilisasi dominasi bahkan hegemoni terhadap lapisan struktur di bawahnya.
Dalam konteks birokrasi negara, fakta "perselingkuhan" di rutan merupakan rangkaian dari struktur yang lebih besar. Karena itu, tak aneh mendengar komentar petugas LP yang menganggap fasilitas mewah untuk orang tertentu di rutan itu sesuatu yang wajar dengan merefer pada perilaku aparatur negara secara umum. Inilah distorsi dan deviasi birokrasi negara.
Akibatnya impersonalitas yang melekat dalam birokrasi modern hancur. Birokrasi kita layaknya sebuah bangunan yang dikendalikan oleh individu-individu dengan memaksimalkan hirarki otoritas personalnya untuk mendominasi. Inilah yang disesali Max Weber karena birokrasi ternyata menjelma menjadi organ yang mekanistik dominatif yang mempersempit nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itu, diperlukan revitalisasi dan refungsionalisasi birokrasi, khususnya pada aspek efisiensi untuk mencegah menjamurnya fenomena pamer kemewahan sebagai bentuk deviasi. Dalam konteks rutan, efisiensi dapat dilakukan melalui apa yang oleh Foucault disebut panoptisisme yang mensistematisasi kontrol berfungsi secara otomatis, efisien, dan optimal. Negara tidak membutuhkan birokrasi atau lembaga-lembaga yang banyak yang justru membuka peluang lebih luas bagi terjadinya deviasi.
Dalam konteks kenegaraan, panoptisisme dapat menstimulasi kesadaran para elite baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif sebagai sosok yang selalu merasa dikontrol dan diawasi setiap saat oleh rakyat, tanpa harus didemo setiap hari. Dari sini, sikap dan perilaku elite diharapkan terhindar dari unsur-unsur yang berlebihan (mewah), melampaui wewenangnya. Semoga.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/01/15/ArticleHtmls/15_01_2010_012_002.shtml?Mode=1