Tuesday, February 12, 2013

Jurnal Titik-Temu



GERAK REFORMASI, ENERGI TANPA SINERGI:



Sebuah Catatan Tambahan

Maka dalam demokrasi seorang pemimpin hanyalah
“orang pertama dari yang sama” (primus inter pares).
(Nurcholish Madjid, 2001)

A. Bakir Ihsan

Reformasi belum mati, tapi jalannya belum presisi. Arah yang dituju hanya dalam memori dan teori, sementara pijakan sikap dan perilaku jauh panggang dari api. Inilah anomali dalam transisi yang lahir dari rahim reformasi. Deviasi dan distorsi agenda dan implementasi reformasi menyisakan wujud yang belum pasti. Potret ini terekam sangat baik dalam pidato Nurcholish Madjid (Cak Nur) lebih sepuluh tahun lalu.[1] Bangunan reformasi meriah secara formalistik, miskin secara substantif, ramai secara normatif, kering secara esensialistik. Masyarakat dan negara seakan-akan tak pernah punya cita-cita reformasi karena problem struktural dan kultural lebih eksesif daripada kehendak menegakkan reformasi. Langkah-langkah besar yang dirancang di awal reformasi menjadi bangunan tanpa isi. Ini semua terjadi karena reformasi dirancang tak lebih dari prosesi suksesi yang sekian lama terbungkam oleh rezim otoriter. Kegaduhan politik berlangsung hampir setiap saat dan memuncak menjelang kontestasi, namun nyaris tak terdengar setelahnya, khususnya bagi pembumian suara rakyat sebagai suara Tuhan. Kenyataan ini tidak terlepas dari cara pandang terhadap simpul-simpul reformasi.  Reformasi dimonumenkan pada berakhirnya kekuasaan sang penguasa, bukan pada transformasi kelembagaan sebagai penyangga kekuasaan tersebut.
Kejatuhan Soeharto dirayakan sebagai monumen reformasi yang akan mengubah tatakehidupan masyarakat secara keseluruhan. Personifikasi kekuasaan pada sosok Soeharto mengabaikan deviasi yang melembaga pada bangunan kekuasaan dan sosial. Akibatnya reformasi seakan-akan berhenti seiring berhentinya Soeharto. Pola pandang ini masih cukup dominan di tengah masyarakat, bahkan di sebagian cerdik cendekia,  dengan menempatkan pemimpin sebagai individu yang bisa bertindak semauanya dan menyelesaikan segalanya.[2] Padahal kalau berkaca pada sosok Soeharto yang otoriter sekalipun, gagal mempertahankan kekuasaannya di tengah keroposnya tiang-tiang kekuasaan. Keberadaan sosok Soeharto sebagai terdakwa tunggal atas segala sengkarut dan kebobrokan negara belum cukup untuk dijadikan legitimasi bagi terwujudnya pelaksanaan demokrasi yang lebih baik seiring berakhirnya kekuasaan Soeharto. Soeharto hanya simbolisasi dari otoritarianisme yang ditopang oleh, dan ini tak kalah pentingnya, birokrasi dan partai yang koruptif dalam segala bentuknya. Soeharto dengan masa kekuasaannya yang begitu panjang telah melembaga dengan segala bentuk penyimpangannya yang sistematis. Pada titik ini Orde Baru menjadi orde yang bukan sekadar dikendalikan oleh penguasa otoriter, namun telah menjadi apa yang disebut Guillermo O'Donell sebagai otoritarianisme birokratik (bureaucratic-authoritarianism).[3]


[1] Nurcholish Madjid, Pidato disampaikan dalam Dialog yang diselenggarakan oleh Koordinatoriat Wartawan DPR/MPR RI dan Forum Komunikasi Massa, di Ruang Pustakaloka, Gedung DPR RI, Jakarta, 17 Januari 2001. Semua kutipan tentang Cak Nur dalam tulisan ini didasarkan pada pidato ini.
[2]  Salah satu pandangan yang melihat Soeharto sebagai pusat sengkarut kenegaraan adalah R. William Liddle. “Otak di balik perangkat politik yang rumit ini, pikiran tunggal yang membangun dan memeliharanya, dan menjaganya supaya tetap stabil dan menguasai seluruh masyarakat selama lebih dari tiga puluh tahun, ialah Soeharto.” Baca; R. William Liddle, Rezim: Orde Baru, dalam Donald K. Emmerson (Ed.), Indonesia Beyond Soeharto, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 200, hal. 78-79.
[3] Salah satu karakteristik otoritarianisme birokratik adalah; “it is, primarily and fundamentally, the aspect of global society that guarantees and organizes the domination exercised through a class structure subordinated to the upper fractions of a highly oligopolized and transnationalized bourgeoisie.” Sebagai sebuah sistem politik, ia bercirikan; it is a system of political exclusion of a previously activated popular sector, which is subjected to strict controls designed to eliminate its earlier presence in the political arena. This is achieved by coercion, as well as by the destruction or strict governmental control of the resources (especially those embodied in class organizations and political parties or movements) that sustained this activation. Such exclusion is guided by the determination to impose “order” on society and to ensure its future viability.” Guillermo O'Donell, Bureaucratic Authoritarianism, California; University of California Press, 1988, hal. 31-32

Pemimpin Dipuji, Pemimpin Dicaci




Prolog

PEMIMPIN ITU DIPUJI DAN DICACI



Kritik itu laksana obat. Kalau obat itu benar sesuai dengan jenis penyakit yang diobati dan dosis yang tepat, itu bikin sehat. Tapi kalau obatnya keliru, dosisnya tidak tepat, tidak menyehatkan, malah menambah sakit.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


Layaknya siang dan malam dalam kehidupan, pujian dan cacian bagian tak terpisahkan dari kepemimpinan. Posisi pemimpin yang menjadi pusat sorot dari seluruh penjuru harapan melahirkan banyak penilaian.
Puja puji dan caci maki seperti dua sisi mata uang dalam hidup seorang pemimpin. Keduanya menjadi raport nilai keberhasilan dan kegagalan pemimpin. Hal ini berlaku bagi semua pemimpin di dunia. Di negara otoriter maupun demokratis, monarki maupun republik, negara maju maupun berkembang. Sejarah para Nabi pun tak lepas dari pujian dan cacian, bahkan ancaman pembunuhan. Semua ini terjadi karena pemimpin adalah pusat sorotan dan harapan.
Sorotan terhadap pemimpin tergantung pada sistem yang melingkupinya. Di dalam sistem demokrasi, segala langkah pemimpin terlihat terang dan jelas seiring transparansi dan keterbukaan yang tersedia, sehingga rakyat bisa mengamati dan mengevaluasi gerak gerik pemimpin setiap saat. Dan darinya rakyat memuji atau mencaci.  Namun dalam sistem otoritarian, pemimpin tak bisa disorot. Pemimpin tak tersentuh (untouchable). Panggung kekuasaan dibuat sedemikian rupa agar jarak pandang rakyat terbatas, bahkan tertutup, dan karenanya rakyat hanya bisa menilai berdasarkan panggung yang tampak.
Masing-masing sistem punya konsekuensi berbeda. Sistem tertutup (otoriter) mungkin terkesan stabil, karena semua peran terbungkus rapi, termasuk penyimpangan di dalamnya. Sebaliknya sistem terbuka (demokrasi) terkesan liar dan tak beraturan, karena masing-masing bersuara dan menyikapinya sesuai kemampuan dan kepentingannya, karenanya suasana menjadi gaduh.  
Kita punya sejarah kepemimpinan dengan model panggung (sistem) yang berbeda dan akibat yang berbeda pula. Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya mengakhiri kepemimpinannya secara tidak wajar. Presiden Soeharto dengan demokrasi sentralistiknya juga harus berhenti di tengah jalan.
Era reformasi memberi peluang agar kepemimpinan berjalan secara reguler sesuai dengan mekanisme demokrasi. Namun fakta berbicara lain. Setelah Presiden BJ Habibie ditolak pertanggungjawabannya oleh MPR RI, Presiden Abdurrahman Wahid juga harus berhenti melalui Sidang Istimewa MPR RI, dan dilanjutkan oleh Megawati Soekarnoputri yang waktu itu sebagai wakil presiden.
Proses pergantian kepemimpinan dengan beragam caranya tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, kepemimpinan menjadi pusat segala perhatian dan harapan. Pemimpin menjadi pusat sorotan karena dipahami sebagai penentu segala persoalan. Kedua, sistem rotasi atau pergantian kepemimpinan belum berjalan secara wajar. Pegantian kepemimpinan secara reguler dan periodik lima tahunan belum dijalankan secara konsisten. Periode kepemimpinan yang sudah ditetapkan selama 5 tahun cenderung diutak-atik agar berhenti di tengah jalan untuk kemudian digantikan oleh mereka yang kalah dalam pemilihan.
Presiden SBY menyadari betul konsekuensi dari kepemimpinan nasional yang diembannya. Satu sisi keterbukaan dan kebebasan sebagai sebuah keniscayaan dalam demokrasi tak bisa diingkari. Setiap orang bisa menyampaikan aspirasinya agar direspon oleh pemerintah. Karena itu, sekeras apapun aspirasi dan protes yang disampaikan masyarakat, SBY tak pernah mengabaikannya. "Silakan kritik. Kritikan itu adalah obat, setiap unjuk rasa saya selalu melihat temanya apa, bagaimana masukannya. Sebagai pemimpin, masukan itu dibutuhkan," ujar Presiden saat membuka pameran inovasi pelayanan aparatur negara di Jakarta, 27 Juni 2008...Selengkapnya, baca buku di atas. Salam

Monday, February 04, 2013

Post 2015 Development Agenda





Opini

Urgensi Pembangunan Pasca 2015

Jurnal Nasional, Senin, 4 Februari 2013

A. Bakir Ihsan


Judul artikel ini seakan lari dari kenyataan hari ini. Kita masih berada di tahun 2013 dengan segala problematikanya, tapi sudah berbicara agenda pembangunan pasca 2015. Inilah bentuk perhatian dunia terhadap masa depan umat manusia. Tujuan pembangunan milenium (MDGs) yang digagas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan berakhir pada 2015. Karena itu, jauh-jauh hari PBB ingin melihat sejauhmana capaian agenda MDGs tersebut dan apa langkah-langkah yang perlu diambil untuk terus mengawal warga dunia semakin menikmati hak-hak hidupnya yang sejahtera, adil, dan damai pasca 2015.
Dalam konteks itulah High Level Panel (panel tingkat tinggi) yang beranggotakan 27 negara menjadi penting. Dan tak kalah pentingnya adalah peran Indonesia di dalam panel tersebut karena posisi Presiden SBY sebagai co-chair bersama Perdana Menteri Inggris, David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf. Posisi Presiden SBY tersebut bukan sekadar penghargaan bagi Indonesia, namun juga menjadi pintu masuk untuk memposisikan Indonesia semakin penting di dunia internasional melalui gagasan dan misi yang dibawanya bagi kepentingan nasional dan internasional.
Sebagai co-chair, Presiden SBY membawa misi, gagasan, dan agenda penting untuk pembangunan pasca 2015. Salah satunya adalah penghapusan kemiskinan dengan tetap mendorong pencapaian agenda-agenda lainnya yang telah dicanangkan dalam MDGs. Masalah penghapusan kemiskinan ini sangat urgen ditekankan di tengah ancaman krisis global yang pada titik tertentu melahirkan warga dunia miskin baru.
Di satu sisi, kerangka penghapusan kemiskinan ini mensyaratkan adanya kerja sama global. Dengan relasi internasional yang semakin kompleks dan saling terkait, kemiskinan merupakan bagian dari ekses ekonomi global yang rapuh. Namun di sisi lain, langkah tersebut mengharuskan kerja keras masing-masing negara untuk mengembangkan terobosan konkret bagi penghapusan kemiskinan.

Sinergi relasi
Penghapusan kemiskinan dalam konteks global tidak bisa dilepaskan dari relasi dan kerja sama antar negara. Relasi antar negara mensyaratkan adanya kesetaraan dalam berbagai bidang, sehingga kerja sama bisa menghasilkan target yang saling menguntungkan. Faktanya dunia masih bergulat dalam ketimpangan baik dalam hal politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Secara struktural di dalam lingkup Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagaimana disinggung Presiden SBY di depan Sidang Umum PBB beberapa waktu lalu, masih memperlihatkan adanya ketimpangan peran. Adanya hak veto yang dikendalikan oleh negara-negara tertentu menunjukkan adanya ketakseimbangan (inequality).
Pada ranah ekonomi, beberapa negara maju masih mengedepankan “untung-rugi” dalam membangun relasi dengan negara lain yang secara ekonomi masih tergolong lemah. Dalam kondisi yang tidak seimbang, keberadaan negara-negara kaya semakin kaya dan negara miskin tak juga mampu berdiri tegak dan sejajar. Bahwa untung-rugi merupakan kodrat ekonomi, memang sulit dimungkiri. Namun kebijakan negara kaya untuk membantu negara miskin melalui kerjasama ekonomi sejatinya diarahkan untuk memberi ruang lebih dalam konteks mengurangi kemiskinan dan ketertinggalan negara-negara miskin. Dengan kerangka demikian, maka kerja sama ekonomi tidak sekadar berkutat pada jumlah dana yang diinvestasikan atau dipinjamkan, tapi bagaimana masyarakat semakin berdaya dengan kerja sama tersebut.
Dalam konteks itulah, kebijakan Presiden SBY, khususnya dalam hal investasi terus dikembangkan untuk memastikan formula yang lebih memberdayakan dan menguntungkan bagi kepentingan ekonomi nasional. Bukan hanya pada tingkat global, kebijakan ekonomi nasional juga ditekankan dan diarahkan pada pertumbuhan yang bertemali dengan pemerataan.
Langkah-langkah tersebut dilakukan Presiden SBY dalam konteks kepentingan bangsa melalui pendekatan soft power yang mengedepankan dialog dengan para stakeholder. Pendekatan soft power yang dikembangkan Presiden SBY ini terbukti berhasil meretas kebuntuan tidak hanya dalam hal ekonomi, tapi juga dalam konteks politik dan relasi internasional. Tentu implementasinya tak semudah membalikkan telapak tangan. Pro dan kontra dari stakeholder merupakan konsekuensi yang pada titik tertentu menghambat dalam implementasinya.

Pasca 2014
Agenda penghapusan kemiskinan yang ditawarkan Presiden SBY dalam HLP untuk pembangunan pasca 2015 bukan agenda mudah. Selain persoalan struktural global yang masih timpang, juga agenda pembangunan nasional pasca 2014 belum sepenuhnya menjadi jaminan untuk menempatkan masalah penghapusan kemiskinan sebagai prioritas utama.
Sebagaimana kita maklumi, Presiden SBY harus mengakhiri masa kepemimpinan pada 2014 setelah dua periode dilaluinya. Bahwa masalah kemiskinan menjadi bagian dari agenda pembangunan nasional tentu tak perlu kita khawatirkan. Namun sejauhmana komitmen terhadap penghapusan kemiskinan tersebut mendapatkan porsi yang sama bahkan lebih maksimal dari apa yang diperjuangkan SBY. Ini penting ditelaah karena kecenderungan umum menunjukkan adanya penekanan yang berbeda dalam setiap kepemimpinan.
Di tengah atmosfir politik yang semakin menghangat menjelang 2014, kita semua bersama untuk tetap fokus pada agenda pemberdayaan masyarakat dengan semakin meminimalisasi jumlah orang miskin. Karena itu, penekanan SBY pada para kabinetnya untuk bekerja maksimal di sisa waktu yang tersedia merupakan bagian dari upayanya memastikan pencapaian maksimal, khususnya dalam hal pengurangan kemiskinan.
Masyarakat juga bisa melihat sekaligus mengukur keseriusan para calon presiden 2014, baik yang secara eksplisit sudah dicalonkan oleh partai maupun yang belum, pada track recordnya dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan upayanya menghapuskan kemiskinan. Hal ini penting agar agenda pembangunan khususnya dalam hal penghapusan kemiskinan tidak berhenti pada level wacana dan cuap politik, namun secara konkret sudah dilaksanakan dan dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, agenda pembangunan pasca 2015 akan terus bersinergi sekaligus menempatkan Indonesia semakin penting pada ranah global karena keberhasilannya menuntaskan agenda-agenda MDGs, khususnya dalam hal menghapus kemiskinan.*