Tuesday, February 12, 2013

Pemimpin Dipuji, Pemimpin Dicaci




Prolog

PEMIMPIN ITU DIPUJI DAN DICACI



Kritik itu laksana obat. Kalau obat itu benar sesuai dengan jenis penyakit yang diobati dan dosis yang tepat, itu bikin sehat. Tapi kalau obatnya keliru, dosisnya tidak tepat, tidak menyehatkan, malah menambah sakit.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


Layaknya siang dan malam dalam kehidupan, pujian dan cacian bagian tak terpisahkan dari kepemimpinan. Posisi pemimpin yang menjadi pusat sorot dari seluruh penjuru harapan melahirkan banyak penilaian.
Puja puji dan caci maki seperti dua sisi mata uang dalam hidup seorang pemimpin. Keduanya menjadi raport nilai keberhasilan dan kegagalan pemimpin. Hal ini berlaku bagi semua pemimpin di dunia. Di negara otoriter maupun demokratis, monarki maupun republik, negara maju maupun berkembang. Sejarah para Nabi pun tak lepas dari pujian dan cacian, bahkan ancaman pembunuhan. Semua ini terjadi karena pemimpin adalah pusat sorotan dan harapan.
Sorotan terhadap pemimpin tergantung pada sistem yang melingkupinya. Di dalam sistem demokrasi, segala langkah pemimpin terlihat terang dan jelas seiring transparansi dan keterbukaan yang tersedia, sehingga rakyat bisa mengamati dan mengevaluasi gerak gerik pemimpin setiap saat. Dan darinya rakyat memuji atau mencaci.  Namun dalam sistem otoritarian, pemimpin tak bisa disorot. Pemimpin tak tersentuh (untouchable). Panggung kekuasaan dibuat sedemikian rupa agar jarak pandang rakyat terbatas, bahkan tertutup, dan karenanya rakyat hanya bisa menilai berdasarkan panggung yang tampak.
Masing-masing sistem punya konsekuensi berbeda. Sistem tertutup (otoriter) mungkin terkesan stabil, karena semua peran terbungkus rapi, termasuk penyimpangan di dalamnya. Sebaliknya sistem terbuka (demokrasi) terkesan liar dan tak beraturan, karena masing-masing bersuara dan menyikapinya sesuai kemampuan dan kepentingannya, karenanya suasana menjadi gaduh.  
Kita punya sejarah kepemimpinan dengan model panggung (sistem) yang berbeda dan akibat yang berbeda pula. Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya mengakhiri kepemimpinannya secara tidak wajar. Presiden Soeharto dengan demokrasi sentralistiknya juga harus berhenti di tengah jalan.
Era reformasi memberi peluang agar kepemimpinan berjalan secara reguler sesuai dengan mekanisme demokrasi. Namun fakta berbicara lain. Setelah Presiden BJ Habibie ditolak pertanggungjawabannya oleh MPR RI, Presiden Abdurrahman Wahid juga harus berhenti melalui Sidang Istimewa MPR RI, dan dilanjutkan oleh Megawati Soekarnoputri yang waktu itu sebagai wakil presiden.
Proses pergantian kepemimpinan dengan beragam caranya tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, kepemimpinan menjadi pusat segala perhatian dan harapan. Pemimpin menjadi pusat sorotan karena dipahami sebagai penentu segala persoalan. Kedua, sistem rotasi atau pergantian kepemimpinan belum berjalan secara wajar. Pegantian kepemimpinan secara reguler dan periodik lima tahunan belum dijalankan secara konsisten. Periode kepemimpinan yang sudah ditetapkan selama 5 tahun cenderung diutak-atik agar berhenti di tengah jalan untuk kemudian digantikan oleh mereka yang kalah dalam pemilihan.
Presiden SBY menyadari betul konsekuensi dari kepemimpinan nasional yang diembannya. Satu sisi keterbukaan dan kebebasan sebagai sebuah keniscayaan dalam demokrasi tak bisa diingkari. Setiap orang bisa menyampaikan aspirasinya agar direspon oleh pemerintah. Karena itu, sekeras apapun aspirasi dan protes yang disampaikan masyarakat, SBY tak pernah mengabaikannya. "Silakan kritik. Kritikan itu adalah obat, setiap unjuk rasa saya selalu melihat temanya apa, bagaimana masukannya. Sebagai pemimpin, masukan itu dibutuhkan," ujar Presiden saat membuka pameran inovasi pelayanan aparatur negara di Jakarta, 27 Juni 2008...Selengkapnya, baca buku di atas. Salam

No comments: