Tuesday, October 27, 2009

Koalisi Basa Basi



Opini
Etika Koalisi Kabinet SBY
Media Indonesia, Selasa, 27 Oktober 2009

A. Bakir Ihsan
Layaknya sebuah kapal, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono sudah berlayar. Kapal yang dinakhodai SBY-Boediono ini didukung para anak buah kapal, yaitu para menteri sebagai pembantunya. Berbeda dengan anak buah kapal dalam pelayaran konvensional, para pembantu yang didominasi kader partai politik ini memiliki daya tawar tersendiri. Oleh karena itu, SBY merasa perlu membuat kontrak politik di antara partai koalisi. Tujuannya jelas, agar koalisi bukan sekadar berbagi kursi, melainkan komitmen agar tak ada dusta di antara partai koalisi seperti yang terjadi pada koalisi lalu.
Sebagai sebuah kontrak, ia mengikat sekaligus menjadi standar etika (fatsun) koalisi. Ia mengikat seluruh elemen yang melakukan kontrak. Dalam hal ini, PKS, PPP, PKB, PAN, Partai Demokrat, dan Partai Golkar berada dalam ikatan komitmen yang sama dalam merawat pemerintahan lima tahun ke depan.
Bahkan untuk memperkuat kontrak tersebut, SBY merasa perlu menekankan kembali seusai melantik 34 menterinya untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan partai politik, kelompok, atau golongan. Penekanan itu menunjukkan sebuah kekhawatiran, terutama berdasarkan pengalaman koalisi lalu, atas konsistensi koalisi parpol yang tergabung dalam KIB II.

Kontrak kekuasaan
Kontrak politik merupakan kontrak kekuasaan. Ia melekat sekaligus mengikat elite-elite kekuasaan untuk menjaga kepentingan mereka bersama. Kontrak itu bersifat terbatas dan elitis. Ia tak memiliki kaitan langsung dengan publik. Karena itu, kebijakan yang diambil elite-elite kekuasaan bisa dijalankan berdasarkan kesepakatan di antara mereka, tanpa harus terikat atau terpengaruh oleh aspirasi yang berkembang di ranah publik.
Persoalannya, kontrak politik antarparpol tersebut dibuat elite-elite partai yang eksistensinya tergantung pada suara rakyat, kecuali anggota kabinet yang jelas-jelas tidak dipilih rakyat pada pileg lalu. Sejauh mana legalitas kontrak politik tersebut harus dipertahankan bila berhadapan dengan problem rakyat yang telah menyerahkan suaranya kepada elite tersebut dalam pemilu lalu? Pertanyaan ini penting diajukan karena fungsi partai politik tidak sekadar penempatan kader-kadernya di tampuk kekuasaan (G Sartori; 1976), juga sebagai pertalian (linkage) antara masyarakat dan pembuat kebijakan (Epstein dan Lawson; 1980).
Kalau kontrak politik diarahkan untuk mengamankan kebijakan pemerintah dengan dukungan para kader parpol koalisi di DPR, ia akan memperkuat paternalisme kekuasaan (elitisme politik). Penekanan pada pendekatan top down akan menguat dan menempatkan aspirasi masyarakat sebagai realitas sekunder. Padahal yang diperlukan saat ini adalah semakin kuatnya daya ingat kekuasaan (negara) terhadap kontrak sosial sehingga masyarakat semakin merasa berkepentingan terhadap partai politik dan elite kekuasaan.

Kontrak sosial sebagai basis eksistensi partai politik dan seluruh elemen politik kekuasaan, mengharuskan adanya political will pada kepentingan (kontrak) sosial daripada keharusan mempertahankan kepentingan (kontrak) politik yang terbatas dan elitis. Dengan demikian, partai koalisi tak terjebak pada oligarki yang berpotensi muncul di tengah koalisi jumbo.

Kontrak sosial
Dalam sistem demokrasi, modal dasar kontrak sosial adalah dukungan yang diberikan masyarakat dalam pemilu. Suara rakyat bukan hadiah gratis dalam proses demokrasi. Ia merupakan ekspresi harapan yang begitu besar bagi kenyamanan hidup sebagai warga bangsa.
Harapan kolektif masyarakat yang tercermin dalam dukungannya terhadap partai politik dalam pemilu merupakan kontrak sosial yang tak bisa dikalahkan kontrak-kontrak lainnya, termasuk kontrak politik. Dan itulah basis ikatan sekaligus ranah etika partai politik dan kader-kadernya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat.

Ketika terjadi pertentangan antara kontrak politik dan kontrak sosial, realitas sosial harus dikedepankan daripada realitas politik. Hal itu karena kekuasaan politik bertopang pada kedaulatan rakyat (government by the consent of the people). Dengan pertimbangan itu, kontrak politik hanya mengikat selama kekuasaan berjalan kelindan dengan kepentingan masyarakat. Pertimbangan sosial yang dimaksud di sini terkait dengan kepentingan masyarakat luas, bukan kepentingan segelintir orang dengan modal besar.

Memperkuat otoritas
Jika melihat komposisi kabinet 2009-2014 dengan dominasi partai politik, memang sangat diperlukan kontrak politik. Ia menjadi detak nadi soliditas kabinet dan stabilitas kebijakan. Walaupun SBY memiliki modal kuat dengan dukungan partai yang dominan dan kemenangannya dalam pilpres dengan sekali putaran, tampaknya modal tersebut tak bisa digunakan sepenuhnya. Itu sekaligus menjadi sinyal awal betapa kuatnya kepentingan partai politik berhadapan dengan kekuasaan dan, tak menutup kemungkinan, akan mewarnai perjalanan pemerintahan SBY ke depan.
Walaupun dalam perjalanannya nanti terjadi reshuffle, penggantiannya pasti mempertimbangkan asal parpol kabinet yang dirombaknya. Di sinilah dilema koalisi. Satu sisi, koalisi dengan kontrak politiknya mengikat parpol, tapi di sisi lain ia mengekang prerogatif presiden dalam menentukan kabinetnya. Oleh karena itu, tanpa mengurangi kekuatan kontrak politik koalisi, Presiden bisa memperkuat otoritas dan legitimasi kebijakannya melalui komunikasi dan interaksi dengan partai politik lainnya yang tidak berkoalisi, kekuatan-kekuatan civil society, dan masyarakat luas, terutama dengan para pemilihnya.
Hal tersebut sangat mungkin dilakukan karena dua pertimbangan. Pertama, ekspektasi masyarakat yang masih tinggi. Menurut sebuah survei, ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahan SBY-Boediono mencapai 87,1% (Kompas, 19/10/09). Ekspektasi itu merupakan ekspresi optimisme terhadap pemerintahan kedua SBY berdasarkan track record yang lalu. Kedua, persentase pilihan masyarakat secara langsung pada pilpres lalu dengan sekali putaran merupakan modal legitimatif-formal yang cukup kuat dan absah bagi perjalanan pemerintahan SBY.
Semua ini kembali pada Presiden untuk memaksimalkan atau tidak terhadap hak prerogatifnya dalam menakhodai pemerintahannya. Dan yang lebih penting lagi, Presiden harus memastikan bahwa pilihan rakyat terhadap dirinya pada pilpres lalu tak salah atau terselewengkan. Hanya dengan itu, kapal pemerintahan SBY-Boediono akan berlabuh di hati rakyat. Semoga.

Thursday, October 15, 2009


Opini

Api Koalisi Super SBY
Koran Tempo, Kamis, 15 Oktober 2009

A. Bakir Ihsan

Momentum pelantikan presiden-wakil presiden pada Oktober ini penting karena menjadi titik awal terhimpunnya partai-partai politik ke dalam pangkuan kekuasaan. Kemenangan Aburizal Bakrie dalam Munas VIII Partai Golkar mengakhiri spekulasi manuver Partai Golkar (PG). Walaupun tak secara tegas menyatakan berkoalisi dengan pemerintah, namun melihat posisi dan kedekatan ketua umum PG dengan SBY, sulit berharap lain pada PG, kecuali berkoalisi.

Selain itu, secara historis PG lahir dan menginstitusi dari rahim kekuasaan. Realitas inilah yang banyak menentukan langkah PG. Dari dua kali Munas (2004 & 2009) PG sulit dilepaskan dari kekuasaan. Arus oposisi selalu terlumat oleh arus koalisi. Lengkaplah sudah koalisi super yang akan mengawal kepemimpinan Presiden SBY lima tahun ke depan. PDIP yang lima tahun terakhir dikenal sebagai oposisi mulai melunak dengan konsesi dukungan politik, salah satunya, ketua MPR RI.

Taktik parpol
Secara kalkulasi politik, koalisi besar yang akan dikomandani Partai Demokrat (PD) menjadi jalan lapang SBY untuk menjalankan pemerintahannya. Apalagi PD menjadi partai pemenang yang menempatkan kadernya di pimpinan DPR dan MPR RI serta di jajaran kabinet.

Meskipun demikian, koalisi besar ini tetap seperti api. Ia bisa menerangi, bisa juga memanaskan jalannya pemerintahan SBY. Paling tidak ada dua alasan. Pertama, kepemimpinan SBY saat ini merupakan periode terakhir, karena itu kalkulasi koalisi untuk “menjual” kembali SBY pada 2014 tak akan menjadi pertimbangan. Karena itu, kedua, masing-masing parpol koalisi akan mempersiapkan calonnya sendiri-sendiri, tanpa terikat oleh komitmen koalisi.

Pertimbangan taktis-pragmatis akan mewarnai perjalanan pemerintahan lima tahun ke depan. Bahkan secara eksplisit, ketua umum PG, Aburizal Bakrie menyebut koalisi dan oposisi hanya pilihan taktis, bukan ideologis. Partai, menurutnya, harus pandai melakukan manuver politik; merangkul dan menjauh, merebut dan berbagi tempat. (Kompas, 09/10/09)

Pertimbangan taktis-pragmatis ini saya kira akan dijalankan oleh semua partai. Karena itu, koalisi besar ini tak bisa dilihat sebagai kemanunggalan yang akan mendukung secara bulat pemerintahan SBY. Apalagi koalisi saat ini di bangun hanya pada level kabinet, bukan pada level wapres seperti pada koalisi lalu. Kenyataan ini sekaligus membantah kekhawatiran sebagian pengamat tentang kemungkinan mengguritanya kekuasaan SBY karena koalisi jumbo ini.

Langkah taktis
Karena itu, ada dua agenda penting SBY ke depan untuk menjaga soliditas koalisi sekaligus menjawab ekspektasi masyarakat terhadap kepemimpinan SBY. Pertama, ekstensifikasi komitmen sekaligus intensifikasi program-program pro rakyat. Sebagai masa akhir pengabdian SBY, komitmen kerakyatan tak hanya diwujudkan, tapi diperluas sehingga dapat menyentuh semaksimal mungkin jumlah masyarakat. Dengan begitu, SBY bisa mengakhiri kepemimpinannya secara baik dan dirasakan manfaatnya sebagai pemimpin yang dipilih langsung dan terpilih selama dua periode dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Kedua, pelibatan kabinet yang berintegritas dan punya kapabilitas. Ini penting karena SBY tak mungkin meninggalkan kader partai politik dalam kabinetnya dan tak mungkin pula membiarkan terjadinya pembusukan di dalam kabinetnya. Problemnya, partai politik punya calonnya sendiri, termasuk ketua umumnya, untuk kabinet. Di sinilah tantangan SBY untuk menunjukkan daya tawarnya terhadap partai politik demi kebaikan kinerja kabinet ke depan.

Walaupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tak melarang jabatan rangkap ketua umum parpol dengan jabatan kabinet, namun belajar pada koalisi lalu, SBY sejatinya menghindari hal tersebut. Kalaupun harus menempatkan ketua umum parpol, ia harus melepaskan jabatannya itu. Menempatkan ketua umum partai dalam kabinet, selain tak sepenuhnya memberi jaminan soliditas koalisi, juga memunculkan loyalitas ganda (split loyalty). Akibatnya mengganggu kinerja baik di parpol maupun di kabinet. Beberapa partai yang ketua umumnya duduk di kabinet lalu, gagal menaikkan perolehan suara partainya. Bahkan mengalami penurunan seperti yang dialami Partai Golkar, PPP, dan PBB. Pun kinerja di kabinet tak menunjukkan terobosan penting.

Atas kenyataan tersebut, Presiden SBY harus mempertimbangkan dua sisi sekaligus dalam koalisi super ini. Yaitu sisi efektifitas pemerintahan demi rakyat sekaligus penguatan loyalitas anggota kabinet pada negara seiring berakhirnya loyalitas mereka pada partai.

Friday, October 09, 2009


Opini

DPR-ku, DPR-mu, DPR RI
KOMPAS
, Jumat, 9 Oktober 2009

A. Bakir Ihsan

Keberadaan lembaga DPR merupakan representasi terbaik dalam sistem demokrasi perwakilan. Ia menjadi jembatan yang bisa meminimalisasi kesenjangan aspirasi antara rakyat dan pemimpinnya. Namun, harapan ideal itu tampaknya harus berhenti sejenak oleh sikap lembaga perwakilan itu sendiri.

Alih-alih menjadi jembatan aspirasi, DPR mempertontonkan tradisi yang tak merepresentasikan aspirasi rakyat. Tunggakan agenda legislasi yang tak mampu diselesaikan oleh DPR lama (2004-2009) dan anggaran berlimpah yang harus dihabiskan untuk pelantikan DPR baru (2009-2014) menjadi lonceng duka rakyat atas para wakilnya.

Kenyataan ini merupakan problem klasik DPR yang seakan terlalu sulit untuk diselesaikan, tetapi terlalu mudah dilakukan dan diulangi. Apalagi di tengah kepentingan pragmatis partai politik untuk berbagi dan merasakan bersama manisnya kekuasaan semakin kuat saat ini.

Personifikasi kepentingan
Menguatnya pragmatisme politik didorong oleh banyak faktor. Salah satunya adalah sirkulasi kepentingan partai politik yang begitu dominan sehingga menempatkan para kader partai di legislatif tak lebih sebagai corong partai, bahkan tak jarang menjadi corong kepentingan pribadi. DPR menjadi ranah yang tersekat oleh kepentingan personal (DPR-ku), kepentingan komunal (DPR-mu), bukan kepentingan kita semua warga republik bernama Indonesia (DPR RI).

Di sinilah terjadi proses personifikasi kepentingan, baik dalam skala individu maupun partai politik, dengan segala konsekuensinya. Pelaksanaan hak interpelasi dan angket yang tak jelas juntrungnya serta keterlibatan anggota DPR dalam tindak korupsi dan perilaku tak terpuji lainnya pada DPR lalu adalah bukti nyata.

Personifikasi kepentingan dengan beragam skalanya itu akan terus berlangsung selama partai politik masih menempatkan diri sebagai dalang. Partai yang hanya berpikir membesarkan dirinya dengan agenda kepentingan elitis dan tak bersenyawa dengan harapan rakyat menyebabkan pengambangan peran substantif DPR. Hal ini diperparah oleh disorientasi sebagian anggotanya. Inilah bagian dari yang oleh Michael Mann (2005) disebut sisi gelap demokrasi. Persamaan (equality) yang inheren dalam demokrasi berdiri sejajar dengan diskriminasi (inequality) atas nama mayoritas (demos) yang menganeksasi minoritas (ethnos).

Dua ranah
Karena itu, diperlukan transformasi pada dua ranah yang selama ini jadi problem anggota Dewan. Pertama, transformasi intelektual. Hal ini terkait dengan kemampuan DPR membuat kebijakan (legislasi) yang bisa dipertanggungjawabkan konsistensinya. Paling tidak produk legislasi yang dihasilkan DPR tak selalu dianulir Mahkamah Konstitusi akibat kontradiksi (kontroversi) dan lemahnya logika hukum di dalamnya. Padahal, legislasi, menurut Jean-Jacques Rousseau, merupakan titik tertinggi kesempurnaan bakat manusia. Karena itu, kata Rousseau, legislator adalah sosok yang cerdas (a man of superior intelligence).

Kedua, transformasi moral terkait penyimpangan dan terputusnya ikatan moral anggota DPR dengan rakyat yang diwakilinya. Inilah yang dari awal menjadi sorotan Plato ketika ia menganggap demokrasi sebagai pesta pora orang-orang miskin. Miskin di sini bisa sebagai simbol rapuhnya kualitas intelektual dan moral para wakil demos.

Problem intelektual dan moral tak sepenuhnya berkorelasi dengan tingkat pendidikan dan identitas sosial anggota DPR, tetapi juga pada komitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan mempertaruhkan integritas dirinya sebagai orang yang dipercaya rakyat. Apalagi, menurut hasil survei Kompas (28/9/2009), tingkat ekspektasi rakyat semakin tinggi terhadap anggota DPR baru.

Dengan modal pendidikan yang lebih bagus, usia yang relatif muda, dan ekspektasi masyarakat yang kuat, DPR baru seharusnya dapat mempertaruhkannya dengan kerja-kerja yang berlandaskan pada input rakyat sehingga melahirkan output yang prorakyat, juga agar lembaga DPR betul-betul terhormat di mata rakyat.

Modal intelektual dan moral menjadi semakin penting di DPR. Kita berharap parpol bisa memanfaatkan koalisi besar sebagai jalan mudah para wakilnya di Senayan untuk memberikan input sekaligus kontrol yang efektif terhadap pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang bersinergi dengan aspirasi rakyat. Di sinilah peran DPR RI sebagai kader partai politik sekaligus jembatan amanat rakyat menjadi semakin penting.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/09/03005427/dpr-ku.dpr-mu.dpr.ri

Thursday, July 02, 2009


Opini

Meritokrasi dalam Pilpres
Seputar Indonesia
, Kamis, 2 Juli 2009

A. Bakir Ihsan

Beberapa hasil survei terkait elektabilitas capres-cawapres belakangan ini menunjukkan pasang surut. Ada yang naik, turun, dan stagnan. Hasil survei LSI yang dilansir Rabu, 24 Juni lalu, misalnya, menunjukkan kenaikan pasangan JK-Wiranto, penurunan pada SBY-Boediono, dan stagnasi pada pasangan Mega-Prabowo.

Dinamika tingkat elektabilitas tersebut secara faktual berjalin seimbang dengan “manuver” yang dilakukan oleh masing-masing pasangan, termasuk atmosfir awal pasangan itu dideklarasikan. Sebagai pasangan yang mendeklarasikan paling awal, JK-Wiranto punya momentum lebih panjang untuk mensosialisasikan dirinya. SBY-Boediono menyusul dan Mega-Prabowo, deal-nya di babak akhir masa pendaftaran di KPU.

Walaupun deklarasi SBY-Boediono belakangan, namun SBY punya modal awal yang cukup menjanjikan. Paling tidak dari beragam survei sebelumnya, eksistensi SBY sebagai capres mengungguli capres lainnya.

Namun di sisi lain, pendeklarasian SBY-Boediono membawa beban dengan penyematan isu neoliberalisme. Isu ini mungkin tidak terlalu seksi bagi masyarakat kebanyakan. Namun isu ini, membuat gamang koalisi partai pendukunga SBY-Boediono. Sehingga soliditas dukungan partai koalisi tidak bulat. Hal ini bisa dilihat dari gairah dukungan parpol koalisi untuk, paling tidak, mempertahankan tingkat elektabilitas awal SBY yang sempat mencapai 70%.

Mengikis Pragmatisme
Terlepas dari dinamika elektalibatas SBY yang labil itu, ada satu prinsip yang sejatinya menjadi titik perhatian, khususnya capres-cawapres, dalam konteks pembangunan demokrasi. Yaitu pilihan pasangan berdasarkan kualitas (meritokrasi). Tampaknya ini yang dikedepankan SBY dalam memilih Boediono.

Pilihan SBY atas Boediono sebagai cawapresnya merupakan pertaruhan di tengah menguatnya pragmatisme politik. Pertimbangan koalisi banyak dilatari oleh kalkulasi dan transaksi politik untung rugi. Boediono sebagai profesional (taknokrat) bukan pilihan prospektif, populer, apalagi pragmatis politis bagi SBY. Bahkan SBY mengakui, modal pilihan terhadap Boediono bukan aspek politik-pragmatis, tapi lebih pada kompetensi dan integritasnya sebagai seorang muslim yang lurus, jujur, berkompeten, tidak punya konflik kepentingan politik dan bisnis.

Secara politik, modal tersebut tidak cukup untuk mendulang dan menaikkan tingkat elektabilitas SBY sebagai capres. Apalagi menurut survei, keberadaan Boediono sebagai cawapres SBY tidak memberi nilai tambah, walaupun juga tak memberi nilai minus (LSI, Mei 2009). Pertaruhan Boediono ini tentu bukan tanpa alasan. Pengalaman koalisi masa lalu (postfactum) menyebabkan SBY hanya dikesankan sebagai orang yang, menurut Eep Saefulloh Fatah, mengambil keuntungan dari apa yang tidak diperbuatnya. Atau dalam bahasa yang lebih ekstrem, seperti diiklankan Syafii Maarif, SBY beruntung karena JK. Kesan dan citra ini tidak bisa dilepaskan dari faktor kalkulasi dominatif politik daripada kemestian dan fatsun politik.

Karena itu, pilihan Boediono bisa jadi sebagai antitesa dari praktik dwitunggal sebelumnya yang memunculkan kesan tumpang tindih kerja presidensialisme. Kehadiran Boediono yang lebih didasarkan pada aspek kualitas diharapkan terjadi pembagian dan pelaksanaan tugas yang jelas dengan tetap berpijak pada sistem presidensial. Dengan begitu, dapat menghindari duplikasi dan overlaping peran antara presiden dan wakilnya seperti terjadi pada masa sebelumnya. Apalagi Boediono tidak punya modal politik baik untuk bermanuver bagi kepentingan jangka pendek; pencitraan diri, maupun jangka panjang; kontestasi capres 2014. Namun di sisi lain, faktor ini pula menjadi titik krusial bagi SBY dalam kontestasi pilpres apabila tidak didukung oleh koalisi yang solid dengan kontrak politik yang jelas serta program yang dapat diandalkan untuk dijalankannya.

Meritokrasi
Pilihan berdasarkan kualitas dalam pemilihan capres atau cawapres harus dimulai. Apalagi pada pemilu 2014 nanti, regenerasi mulai berlangsung. Regenerasi berdasarkan meritokrasi tidak hanya pada tataran kepemimpin di eksekutif. Partai politik yang menjadi jembatan aspirasi rakyat sejatinya mulai memperkuat sistem meritokrasi dalam rekruetmen dan kaderisasi kepemimpinannya.

SBY sangat punya peluang untuk merangkul cawapres dari partai besar, seperti Golkar. Bahkan pasca pengumuman kemenangan Partai Demokrat, JK bolak balik ke Cikeas untuk membangun koalisi. Tampaknya SBY tidak tergoda untuk memupuk pragmatisme politik. Tentu langkah ini dilakukan karena SBY merasa cukup punya dukungan dari masyarakat dalam Pilpres. Apalagi PD yang mengusungnya menjadi pemenang dalam pileg.

Karena itu, pilihan meritokratis dalam menggandeng cawapresnya, SBY lebih mengandalkan “nilai jual” yang ada pada dirinya. Ini berbeda dengan capres-cawapres lainnya yang bisa menjual representasi sosio-geografis; Jawa-luar Jawa; representasi gender, atau representasi identitas; nasionalis-agamis. Bahkan jauh sebelumnya, capres-cawapres selain SBY-Boediono mensosialisasikan dirinya sebagai capres.

Sebagai incumbent, SBY tentu memiliki modal lebih untuk memaksimalkan dukungan pemilih. Persepsi positif atas program pro rakyat dan pemberantasan korupsi merupakan modal yang sulit dilepaskan dari SBY sebagai presiden. Namun yang lebih penting dengan modal yang dimilikinya adalah menjadikan kontestasi pilpres ketiga di era reformasi ini sebagai kompetisi yang memperjelas arah penguatan konsolidasi demokrasi demi kesejahteraan rakyat. Ini sejatinya menjadi pertaruhan, karena SBY tidak memiliki modal untuk mengeksploitasi sentimen representasi sosio-geografis atau sosio-ideologis maupun teologis; nasionalis-agamis. Apalagi di tengah masyarakat berharap perwujudan kesejahteraan dan manfaat substantif demokrasi dalam keragaman.

Karena itu, isu sentimen kedaerahan dan keagamaan walaupun untuk sebagian masih ada, justru akan menjadi kontraproduktif bagi konsolidasi demokrasi yang mulai bersemi. Apalagi di tengah masyarakat muslim Indonesia, sebagai mayoritas, mulai meyakini demokrasi sebagai sistem terbaik. Karena itu, keyakinan ini bisa menjadi rapuh apabila elite politik, khususnya para konstestan Pilpres masih memainkan isu SARA, khususnya masalah agama dan kedaerahan.

Tampaknya inilah salah satu alasan (pertaruhan) SBY dalam memilih wakilnya dengan segala konsekuensinya, termasuk menurunnya tingkat elektabilitasnya. Sejatinya aspek inilah yang perlu terus dimaksimalkan oleh tim sukses SBY-Boediono. Kalau pun hasilnya tak seperti yang diharapkan, paling tidak SBY memulai tradisi baru dalam kontestasi demokrasi dengan mengedepankan meritokrasi dan meminimalisasi sentimen primordial yang dalam titik ekstrem, bila dibiarkan, melahirkan diskriminasi.*

Thursday, May 14, 2009



Opini

Ambiguitas Partai Islam
Koran Tempo, Kamis, 14 Mei 2009

A. Bakir Ihsan

Problem laten partai Islam di Indonesia adalah minimnya perolehan suara di tengah Islam sebagai agama mayoritas. Data mutakhir dari penghitungan manual KPU untuk pemilu legislatif lalu perolehan suara partai berasas/berbasis Islam tidak ada yang masuk tiga besar. Bahkan 5 partai lainnya; PBB, PBR, PKNU, PPNUI, dan PMB, tak mampu memenuhi batas minimal parliamentary treshold. Fakta ini sering menjadi tanda tanya karena adanya asumsi korelasi antara keberagamaan dengan pilihan politik. Eksistensi partai Islam diyakini sebagai muara seluruh suara umat Islam.

Dan asumsi inilah yang merawat imajinasi elite politik muslim untuk mempertahankan partai Islam di tengah realitas perolehan suara yang tak pernah menggembirakan. Waham mayoritarianisme Islam masih begitu kuat, sehingga melalaikan fakta politik muslim yang mengalami transformasi orientasi. Ini sekaligus membantah tesis para pengamat muslim yang menganggap tingkat partisipasi muslim cenderung kuat apabila terkait dengan Islam. Sebagaimana dalam beberapa survei, pilihan politik umat Islam tidak sepenuhnya berdasarkan ikatan emosional keagamaan. Bahkan kecenderungan tersebut terus menurun seiring menguatnya kesadaran (orientasi) sekularistik di kalangan umat Islam yang merelatifkan relasi Islam dan politik.

Kenyataan tersebut merupakan efek domino dari perdebatan panjang relasi Islam dan politik yang sedikit banyak memberi pilihan-pilihan paradigmatik alternatif di kalangan umat Islam. Lebih-lebih hal tersebut diinstitusionalisasi oleh orde baru dalam bentuk depolitisasi (deideologisasi) Islam. Karena itu, era reformasi menjadi masa tuai deideologisasi Islam yang merelatifkan Islam politik. Wajar bila mayoritas warga Muslim pasca orde baru tak merasa “asing” dengan Pancasila, konstitusi, dan demokrasi.

Ranah ambiguitas
Problem partai Islam sebenarnya merupakan bagian dari problem besar sistem kepartaian kita terkait pola rekrutmen, kaderisasi, dan platform yang kabur. Di dalam diri partai Islam terdapat cermin retak (ambiguitas) dalam tiga ranah. Pertama, ranah ideologi. Partai berasas Islam sejatinya memiliki kekhasan platform yang diperjuangkan dan disosialisasikan secara konsisten. Kekhasan platform tersebut terimplementasi dalam program dan agenda partai yang “menguntungkan” bagi kepentingan umat Islam. Namun yang terjadi, partai Islam setali tiga uang dengan partai sekuler. Akibatnya agenda-agenda yang ditawarkan mengaburkan identitasnya sebagai partainya umat Islam.

Kedua, ranah teologi. Islam yang diyakini sebagai pemersatu tak mampu diwujudkan oleh partai Islam. Kuatnya kepentingan kelompok lebih mengemuka dibandingkan mempersandingkan kesatuan ideologis sebagai manifestasi dari misi teologis yang mengedepankan kesatuan (tauhid). Alih-alih membangun koalisi (poros Islam), partai politik Islam berjalan sendiri-sendiri dan melepaskan identintas asas kepartaiannya demi pilihan pragmatis politisnya. Wajar apabila partai Islam lebih memilih mendorong SBY dan berkoalisi dengan Partai Demokrat daripada mengajukan capresnya sendiri. Padahal secara kalkulasi suara, mereka punya peluang mengajukan calon sendiri apabila mau bersama.

Ketiga, ranah kultural. Ideologisasi Islam merupakan wajah lain dari homogenisasi kultural. Dalam masyarakat majemuk secara budaya, nilai, dan pemahaman homogenisasi tersebut merupakan problem besar. Ragam pemahaman keagamaan internal umat Islam tidak bisa diseragamkan. Apalagi menyangkut keragaman agama. Polarisasi pemahaman Islam tidak jarang teraktualisasi dalam kontradisi-kontradiksi yang bila ditarik pada ranah politik bisa meruncing menjadi konflik horisontal.

Melihat ketiga problem tersebut, eksistensi partai politik Islam saat ini tak lebih simbolisasi (formlisasi) Islam tanpa akar. Keberadaannya hanya melanjutkan imajinasi keislaman yang diyakini serba mencakup (kaffah) tanpa konstruksi yang pasti bagi aspirasi umat Islam. Dan bila ini dipertahankan tak akan banyak merevitalisasi eksistensi partai Islam kecuali sekadar untuk hidup secara subsisten.

Dua pilihan
Kecenderungan longgarnya ikatan warga terhadap partai politik menunjukkan modal sosial parpol yang semakin lemah. Dari hasil survei (LSI, 2006), hanya 13 persen yang mengaku merasa dekat dengan parpol sekuler. Dan masing-masing hanya 5 persen yang mengaku dekat dengan parpol berbasis ormas Islam atau berplatform Islam. Fakta ini sejatinya mendorong langkah reformulasi parpol agar terbangun ikatan warga yang kuat terhadap parpolnya.

Dalam konteks ini, ada dua pilihan bagi partai berasaskan Islam. Pertama, memperkuat segmentasi corak keberagamaan. Penguatan segmentasi ini terkait dengan optimalisasi kaderisasi melalui komunikasi, agregasi, dan artikulasi partai Islam terhadap aspirasi umat Islam. Keberhasilan Partai Keadilan Sejahtera menaikkan perolehan suara dari 7,20% atau 8,18% kursi pada 2004 menjadi 7,88% suara atau 10,54% kursi pada 2009 sedikit banyak dipengaruhi oleh segmentasi melalui kaderisasi yang intensif. Sesama partai Islam, PKS menjadi paling fenomenal karena mampu menaikkan suaranya di tengah partai Islam lainnya menurun.

Kedua, meleburkan diri menjadi partai terbuka tanpa basis massa yang segmented. Ia harus melepaskan secara total identitas keberagamaannya sehingga identifikasi partai Islam tidak menjadi pembatas bagi warga lain untuk mendukungnya. Hal ini tampaknya yang hendak dilakukan PAN dengan membuka komunikasi dan rekrutmen lintas ormas dan profesi. Namun langkah ini akan efektif apabila diiringi terobosan-terobosan apresiatif dan respon konstruktif terhadap isu-isu yang muncul di tengah masyarakat. Dan hal ini belum dilakukan PAN.

Kedua pilihan tersebut tentu mengandung kekurangan dan kelebihannya. Pilihan pertama akan melahirkan partai dengan kader yang solid, namun dengan massa “terbatas”. Sebaliknya pilihan kedua akan memunculkan partai terbuka dengan kemungkinan banyak massa tapi sangat longgar, seperti yang dialami oleh Golkar dan PDIP. Namun sebagai upaya penguatan sistem kepartaian, pilihan-pilihan tersebut harus diambil dengan pertimbangan yang matang, bukan pertimbangan pragmatis yang justru mengaburkan identitas kepartaian.

Dalam konteks yang lebih luas, kedua pilihan tersebut dapat mengerucut menjadi dua kubu koalisi dalam sistem kepartaian kita ke depan. Sehingga tak perlu politik zigzag akibat pragmatisme seperti yang kita saksikan saat ini. Semoga.*

Tuesday, May 05, 2009


Opini

Merawat Pemilu Kita
Seputar Indonesia, Selasa, 5 Mei 2009

A. Bakir Ihsan

Sehari pasca hari pencontrengan 9 April lalu gugatan terhadap kecurangan pemilu begitu menggema. Bahkan gugatan itu begitu dramatis dan cenderung bombastis. Dramatis karena pernyataan tersebut telah menyedot perhatian banyak kalangan. Tak kurang Presiden SBY meresponnya sebagai gugatan (pernyataan) yang menyakitkan.

Bombastis karena sampai saat ini indikator terburuk itu belum bisa dibuktikan secara hukum. Pemantik wacana itu adalah Kelompok Teuku Umar yang dimotori PDIP, Hanura, dan Gerindra.

Ada implikasi yang begitu menghujam dari pernyataan tersebut. Pertama, penilaian pemilu 2009 sebagai pemilu terburuk secara tak langsung mengabaikan tetesan keringat rakyat yang mendatangi 500 ribuan lebih TPS di seluruh Indonesia. Dan 100 jutaan lebih pemilih yang menggunakan hak pilihnya seakan menjadi tak bermakna.

Kedua, pada level tertentu pernyataan tersebut memprovokasi pemilu yang berlangsung damai menjadi gaduh. Fenomenanya terlihat dari munculnya tindakan-tindakan intimidatif oleh beberapa oknum caleg dan tim sukses sebagai ekspresi ketidakpuasan atas hasil yang didapatkan.

Tak menutup kemungkinan intimidasi tersebut terlegitimasi oleh pernyataan pemilu terburuk itu. Tuntutan beberapa kelompok untuk menganulir pemilu bahkan memboikot pemilu presiden mendatang merupakan implikasi lebih jauh dari pernyataan tersebut.

Seburuk itukah pemilu 9 April lalu sehingga melahirkan efek domino yang sejatinya tak perlu? Pertanyaan ini penting untuk melihat secara jernih dan komprehensif problem yang melanda pemilu ketiga di era reformasi ini.

Sudut pandang yang diperlukan bukan sekadar kemampuan mengkalkulasi pelanggaran, juga kecerdasan mengungkap potensi-potensi yang menyebabkan pelanggaran itu ada. Pemilu tak hanya dilihat pada aspek kuantifikasi jumlah pemilih dan segala pelanggarannya. Ia terkait motivasi yang melandasi kehendak untuk berpartisipasi. Ini perlu dilihat karena pemilu sebagai perangkat demokrasi melibatkan kepercayaan antar sesama warga (interpersonal trust).

Kepercayaan ini terekpresikan dalam bentuk dukungan dan koreksi secara kolektif untuk mencari penyelesaian terbaik. Dari sini akan terjawab apakah pemilu terburuk itu akibat problem teknis atau bahkan rekayasa sistematis (problem struktural), sebagaimana dituduhkan, atau sebuah kemestian akibat problem kultural masyarakat dalam memandang (bepersepsi atas) pemilu.

Hegemoni negara
Tuduhan kecurangan pemilu secara sistematis yang menyebabkan puluhan juta rakyat kehilangan hak pilihnya mengarah pada adanya intervensi dan rekayasa pemerintah (negara). Tuduhan ini seakan mendapatkan pembenarannya dengan kemenangan 300 kali lipat Partai Demokrat sebagai partai utama pemerintah.

Tuduhan ini secara eksplisit menempatkan pemerintah sebagai kekuatan eksesif dan hegemonik. Pemerintah dengan semua kaki tangannya bekerja secara sistematis dan membuat yang lain (the others) tak berdaya.

Ini mengingatkan kembali pada negara orde baru yang ditopang oleh sistem kepartaian tunggal (single majority) yang dimainkan Golkar saat itu. Dengan didukung oleh kekuasaan otoritarianisme birokratik, bureaucratic-authoritarian state, (Guillermo O’Donnell, 1973), Golkar bisa menang sebelum pemilu dilangsungkan.

Namun dalam sistem multi partai dan dalam sistem yang semakin terbuka serta kontrol masyarakat yang semakin kuat, ruang hegemoni negara semakin sempit. Lebih-lebih dalam pemerintahan yang dibangun berdasarkan koalisi banyak partai seperti saat ini.

Kalaupun mereka sepakat untuk melakukan rekayasa, maka sejatinya semua partai koalisi pemerintah mendapatkan suara signifikan. Namun pada kenyataannya tak demikian. Hanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang mengalami kenaikan suara, selebihnya justru mengalami penurunan.

Apalagi melihat proses penyusunan DPT melibatkan pemerintah daerah. Maka sejatinya partai yang punya banyak kader (kepala) daerah lah, seperti PDIP dan Golkar, yang punya banyak peluang mengontrol dan memenangkan partainya dengan beragam cara.

Namun kedua partai tersebut justru mengalami penurunan. Pada titik ini wacana kecurangan pemilu menjadi simulakra yang mengaburkan subyek dan obyek, penuduh dan tertuduh, pelaku dan korban. Karena itu, wajar bila Presiden SBY merasa terzalimi ketika PDIP, Hanura, dan Gerindera mengarahkan karut marut dan kecurangan pemilu pada pemerintah dan KPU.

Di sinilah pentingnya pembuktian pelanggaran pemilu melalui prosedur legal yang tersedia agar terlihat jelas batas-batas antara intervensi dan kemestian keterlibatan negara dalam pemilu. Bila tidak, maka masalah pelanggaran dan kecurangan tak lebih wacana politis yang dapat mengabaikan substansi persoalan pemilu itu sendiri.

Kekitaan
Wacana pemilu terburuk dan gugatan pelanggaran itu, kini, nyaris tak terdengar seiring kesibukan partai berkoalisi. Komitmen dan konsistensi mengawal hak-hak suara warga dalam pemilu seakan menjadi angin lalu.

Karenanya wacana pemilu terburuk bisa dipersepsi sekadar komoditas politik. Padahal sebagai bagian dari pilar demokrasi, masalah pelanggaran dalam pemilu harus diselesaikan bila memang dapat dibuktikan. Tidak saja pada aspek pelanggaran hukum, tapi substansi dari pelanggaran itu sendiri akan menentukan kualitas pemilu.

Karena itu, ada dua agenda mendesak bagi berlangsungnya pemilu yang berkualitas. Pertama, untuk jangka pendek, upaya minimalisasi pelanggaran dan kecurangan harus dilakukan dengan penegakan mekanisme sesuai undang-undang.

Penegakan ini tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, juga konsistensi partai politik untuk mengawal pemilu sebagai agenda bersama demi bangsa. Bukan agenda kelompok atau sekumpulan partai untuk meraih kepentingannya.

Kedua, dalam jangka panjang perlu membongkar akar (substansi) pelanggaran yang cenderung menjadi laten dan seakan menjadi keniscayaan sejarah (historical inevitability) pemilu kita. Dalam konteks ini pelanggaran merupakan sikap menyimpang (distorsi) dari kehendak kolektif. Yaitu kehendak baik yang terbangun dari rasa saling percaya antar sesama warga sebagai modal sosial (Robert Putnam, 2002).

Pelanggaran dalam pemilu berarti ancaman terhadap modal sosial (kekitaan) yang merupakan landasan bagi konsolidasi demokrasi. Hampanya kepercayaan antar warga, menguatnya egosentrisme baik individu maupun kelompok merupakan kendala utama menguatnya akar kekitaan. Dan itu pula yang menyebabkan maraknya pelanggaran dalam pemilu.

Apalagi dengan penerapan suara terbanyak. Aspek kekitaan sebagai landasan utama kolektivitas warga negara menjadi sangat longgar. Persaingan internal partai menjadi alasan untuk menodai kekitaan. Yang muncul adalah egosentrisme yang mengedepankan ke-aku-an (intern partai), dan ke-kami-an atau ke-mereka-an (antar partai).

Secara kultural akar kekitaan kita sebenarnya masih kuat. Terbukti dalam kerja-kerja sosial, kolektivitas masih terlihat jelas. Karena itu, modal sosial ini jangan sampai ternodai oleh kepetingan segelintir elite. Inilah yang diwanti-wanti dalam mendorong tercapainya konsolidasi demokrasi. Demokrasi akan tumbuh apabila kepentingan sektoral itu tersubordinasi di bawah komitmen kekitaan (bersama).

Kekitaan merupakan kesadaran yang sejatinya menjadi penggerak kompetisi. Kursi legislatif atau presiden hanyalah ”tujuan antara” demi menguatnya kekitaan dalam koridor kebangsaan. Karena itu, pemilu sebagai proses inheren dalam demokrasi sejatinya menjadi agenda kita bersama. Bukan justru membangun dikotomi antagonisme; kita dan mereka, yang dapat merapuhkan kesalingpercayaan antar warga negara. Dan dalam jangka panjang, modal sosial inilah yang akan mengawal sekaligus merawat demokrasi menemukan ranah konsolidasinya.*

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/235660/

Tuesday, February 17, 2009



Opini

Simplifikasi Demokrasi
Koran Tempo, Selasa, 17 Februari 2009

A. Bakir Ihsan


Transisi demokrasi sejatinya bergerak ke arah konsolidasi. Tapi fakta-fakta justru terjebak pada simplifikasi yang berbuah distorsi, bahkan anarki. Inilah yang kita saksikan atas peristiwa tewasnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat akibat brutalitas demonstran. Walaupun hasil visum dokter menunjukkan faktor meninggalnya adalah serangan jantung, aksi demonstrasi tetap menjadi bagian dari pemicunya. Namun, fakta tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk mengekang kebebasan sebagai salah satu landasan demokrasi. Yang bisa kita lihat dari realitas tersebut adalah terjadinya simplifikasi atas demokrasi. Demokrasi diperlakukan sebatas kepentingan. Dalam beragam bentuknya, gejala simplifikasi ini bisa dilihat dari deviasi prosesi demokrasi yang melibatkan elite politik dan publik.

Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa terganggu dengan pengeras suara demonstrasi yang membuat gaduh Istana. Sejak itu, polisi memperketat penggunaan pengeras suara para demonstran di depan Istana. Sepintas kenyataan tersebut memperlihatkan paradoksalitas di tengah euforia kebebasan. Demokrasi yang menyuguhkan ruang kebebasan menjadi gaduh dan menyebabkan orang lain terganggu. Dan, atas alasan ini, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 membenarkan pelarangan atas kegaduhan itu.

Pada level bawah, masyarakat digaduhkan oleh kontestasi yang semakin memanas menjelang hari H Pemilihan Umum 2009. Sebagian kontestan melakukan segala cara, termasuk pelanggaran mencuri start, untuk meraih simpati. Bahkan, dengan penerapan suara terbanyak, kegaduhan semakin intens seiring dengan persaingan di antara kontestan dalam satu partai sekalipun. Kenyataan ini bila dibiarkan dapat menyulut potensi anarkisme aksi (Kompas, 30 Desember 2008).

Kenyataan di atas merupakan rangkaian dari euforia demokrasi yang melibatkan kepentingan elite dan rakyat. Demokrasi memberi ruang yang sama untuk saling memahami dan menghargai aspirasi. Kegaduhan terjadi ketika salah satu komponen bersikap eksklusif dan mengabaikan aspirasi yang lain. Inilah yang menyebabkan demokrasi melahirkan efek domino yang tak jarang bertolak sisi dengan substansi demokrasi itu sendiri, seperti anarkisme dan barbarisme.
Demokrasi lahir dalam dua sisi sekaligus: kebebasan sekaligus ketaatan. Setiap orang punya peluang (kebebasan) yang sama untuk mengaktualisasikan aspirasinya. Kebebasan ini dimaksudkan sebagai medium kesederajatan warga negara.

Kesederajatan teraktualisasi ketika hukum ditaati. Dengan kata lain, demokrasi tanpa (ketaatan) hukum, akan menjadi lahan penyelewengan kebebasan. Itulah yang terjadi dalam aksi-aksi yang anarkistis. Atas nama kebebasan, kesetaraan menjadi mati. Ketika aturan main ditetapkan, maka ketaatan pada aturan main menjadi ujung napas demokrasi. Tanpa itu, maka demokrasi akan menjadi alat legitimasi (baca: simplifikasi) sekelompok orang (elite) untuk meraih keuntungan berdasarkan kepentingan masing-masing.

Demokrasi sebagai medium aktualisasi aspirasi mengharuskan adanya proses (evolusi) yang efektif. Sehingga aspirasi dapat dipahami dan diterima tanpa pemaksaan apalagi tindak kekerasan. Substansi sebuah aksi adalah ekspresi aspirasi agar diapresiasi. Apalagi dalam demokrasi perwakilan (indirect democracy), penyampaian aspirasi bertumpu pada bagaimana aspirasi diartikulasi, diapresiasi, dan diterima oleh lembaga perwakilan. Bukan pada bagaimana aspirasi didistribusikan (disalurkan) dan diekspresikan, karena saluran suara sudah dilembagakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat.

Itulah sebabnya, salah satu prasyarat penting dalam demokrasi adalah pelembagaan (institusionalisasi ) unsur-unsur demokrasi. Pelembagaan tersebut menyangkut penguatan peran dan fungsi masing-masing lembaga, sehingga semua mekanisme demokrasi dapat dijalankan secara maksimal dan substantif. Munculnya demonstrasi dengan segala cara, termasuk cara-cara anarkistis, merupakan efek dari tidak optimalnya fungsi pelembagaan suara rakyat. Proses penguatan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, misalnya, berhenti pada aspek simbolis dan prosedur semata. Akibatnya, kecenderungan distorsi peran dan ambiguitas fungsi kelembagaan menjadi menonjol.

Sejak reformasi, eksistensi dan peran yang dimainkan DPR bukan memperkuat fungsi kelembagaannya, melainkan lebih pada penguatan kepentingan partai (primordial) dan pribadi (individual) . Beberapa kasus korupsi yang menimpa anggota Dewan dan peningkatan tunjangan di tengah kinerja yang buruk merupakan bukti dari distorsi fungsi tersebut. Apalagi di tengah gurita peran DPR yang cenderung melampaui wewenang konstitusi yang bertumpu pada sistem presidensial.

Dalam kondisi demikian, sejatinya DPR bisa lebih mudah mengontrol kebijakan pemerintah bagi kepentingan rakyat. Namun, alih-alih memperjuangkan aspirasi rakyat, beberapa keputusan yang dikeluarkan anggota Dewan justru kental dengan kontradiksi, sehingga tidak jarang harus diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi. Pelembagaan fungsi aparatur negara secara ideal dapat mengurangi kegaduhan dalam demokrasi. Paling tidak "mempersempit" ruang apologi untuk melantangkan suaranya, apalagi bertindak anarkistis, yang dapat mengganggu kepentingan publik. Lebih dari itu, pelembagaan tersebut dapat meminimalisasi upaya simplifikasi persaingan elite yang mengorbankan rakyat.

Jalan tengah
Kegaduhan dalam demokrasi merupakan keniscayaan. Ini terjadi karena demokrasi hadir di bumi manusia bukan di kota Tuhan (city of God). Manusia dengan segala kepentingan dan aspirasinya bisa mengarah pada penguatan state of nature ala Hobbesian. Demokrasi hadir sebagai jalan tengah antara idealisme ketuhanan (nilai-nilai universal) dan pragmatisme keduniaan (nilai-nilai relatif). Karena itu, demokrasi hadir sebagai tata nilai sintesis agar kehidupan teratur tanpa menisbikan ragam kepentingan.

Itulah sebabnya, aturan dalam demokrasi mensyaratkan keteraturan. Mekanisme harus ditegakkan di antara ekstremitas kepentingan. Dan hal tersebut harus dilalui melalui proses yang berkelanjutan. Demokrasi bukanlah realitas yang given. Ada proses transisi untuk memperkuat arah menuju konsolidasi. Perjuangan untuk menyejajarkan martabat kemanusiaan yang sering terdistorsi oleh ambisi primordial sejatinya begitu kuat selama transisi. Di sinilah kearifan kita semua diperlukan untuk menyadari bahwa kita ada karena orang lain ada. Kita adalah manusia yang penuh kepentingan yang melalui demokrasi diajak untuk mengerti kepentingan "yang lain". Kalau tidak, transisi akan memperpanjang simplifikasi atas demokrasi dengan segala konsekuensinya, termasuk anarki.

Thursday, February 05, 2009



Opini

SBY & Isu “ABS”
Seputar Indonesia
, Rabu, 4 Februari 2009

A. Bakir Ihsan

Beberapa waktu lalu (29/1), Presiden SBY melontarkan dua isu terkait Pilpres 2009. Pertama, isu kampanye “ABS” alias asal bukan capres “S” yang dilakukan oleh petinggi TNI AD. Karena yang mengucapkan adalah SBY, maka “S” dimaksud tentu mengarah pada dirinya. Berbeda bila yang melontarkan isu tersebut Sutiyoso atau Sri Sultan Hamengku Buwono X yang juga berawalan “S” dan capres 2009. Isu tersebut tentu mengarah pada diri kedua capres tersebut.

Kedua, isu keterlibatan petinggi Polri menjadi tim sukses capres tertentu. Keterlibatan ini tentu bukan dalam tim sukses SBY. Di samping SBY sendiri belum membentuknya, juga naif bila SBY melemparkannya ke ranah publik sebelum jadwal kontestasi Pilpres dimulai.

Kedua isu yang dilontarkan SBY di depan peserta Rapim TNI dan Rakor Polri sejatinya dipahami berdasarkan kalkulasi strategis dan konstruktif. Bukan tafsir simplistis apalagi politis terkait eksistensi TNI dan Polri menghadapi kontestasi 2009 ini.

Kepentingan incumbent
Sebagai sebuah isu, kebenaran kedua isu di atas menjadi nisbi. Apalagi SBY sendiri tidak yakin dengan isu tersebut. Karena itu, pertanyaan terpenting kemudian adalah mengapa SBY melemparkan dua isu itu?

Pertanyaan ini penting karena pertama, sebagai incumbent, SBY sebenarnya memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan capres lain untuk menggunakan TNI dan Polri bagi pemenangan Pilpres 2009. Hal ini sebagaimana terjadi pada pemilu 2004 lalu yang secara kasat mata sebagian oknum TNI dan Polri mendukung incumbent Megawati Soekarnoputri. Karena itu pula, tidak sepenuhnya benar kalau isu yang dilontarkan SBY sebagai bentuk kekhawatiran atas capres lainnya yang berasal dari militer, yaitu Wiranto, Prabowo, dan Sutiyoso.

Kedua, semua capres, baik incumbent maupun bukan, punya peluang untuk mencari dukungan dari TNI dan Polri. Sebagaimana Pilpres 2004 lalu, capres selain incumbent, menggunakan dukungan logistik (transportasi) TNI dalam proses pencoblosan. Kalau mau, SBY yang notabene incumbent dan masih bagian dari keluarga besar TNI bisa menggunakannya tanpa harus mendedah isu “ABS” ke ranah publik.

Berdasarkan dua argumentasi tersebut, terlalu simplistis bila pelontaran isu “ABS” oleh SBY dianggap sebagai bentuk kepanikan, upaya politisasi, apalagi modus terzalimi. Sebagai incumbent SBY punya tanggungjawab yang lebih berat untuk tidak menjebak TNI dan Polri dalam jejaring politik praktis. Apalagi SBY termasuk di antara penggagas awal reformasi TNI.

Netralitas
Secara semantik, term ABS atau “asal bukan” merupakan kontrademokrasi. Ia mengandung penegasian sekaligus penafian kesempatan untuk berkompetisi dan berkontestasi. Dalam konteks demokrasi, isu ABS merupakan paradoks dan karenanya harus dicairkan melalui penguatan lembaga-lembaga negara, termasuk memperkuat netralitas dan profesionalitas dua lembaga strategis, yaitu TNI dan Polri. Inilah agenda klasik TNI dan Polri di alam demokrasi.

Seperti mencerabut pohon yang sudah berurat akar dalam tanah politik, menetralkan TNI dan Polri dari tanah politik tak semudah yang diidealkan. Dan ini merupakan fenomena umum dalam proses transisi. Godaan politik bagi institusi pertahanan dan keamanan tak sepenuhnya lekang. Namun dari beberapa transformasi struktural yang berlangsung di tubuh TNI dan Polri, terlihat adanya langkah-langkah ke arah profesionalitas tersebut. Tinggal apakah kecenderungan struktural tersebut bergayung sambut dengan dukungan sipil.

Cepat lambatnya proses pencerabutan akar politik TNI dan Polri tak lepas dari, meminjam Samuel P Huntington, kontrol sipil obyektif. Kontrol sipil ini tidak hanya terkait dengan kehendak kolektif masyarakat untuk mendukung dan mengawal profesionalitas tentara, tapi juga semakin lemahnya afiliasi pascakedinasan tentara dengan lembaga tentara itu sendiri. Sebagaimana diketahui, relasi pascakedinasan cenderung terawat karena kuatnya patronase senioritas. Inilah yang memicu kuatnya seniority complex di tubuh tentara pascakedinasan, tak terkecuali dalam kontestasi antar kandidat berlatarbelakang tentara.

Dalam konteks itu, pemunculan isu “ABS” oleh SBY yang notabene pascakedinasan bisa ditafsirkan sebagai upaya penguatan kontrol sipil obyektif tersebut. Secara personal, ikatan emosional SBY dengan TNI apalagi dengan posisinya sebagai panglima tertinggi saat ini, sangat kuat, sehingga lebih mudah untuk menempatkan TNI sesuai kepentingannya. Namun secara struktural, dan dalam sistem presidensial, justru SBY punya tanggungjawab konstitusional mempertaruhkan profesionalitas TNI yang sejak awal digagasnya sehingga tidak tercemar oleh politisasi segelintir perwira tinggi.

Namun demikian, agenda tersebut tak bisa diserahkan sepenuhnya pada Presiden. Kehendak internal (struktural dan kultural) tentara dan polisi sejatinya berjalin kelindan dengan arah politik partai dengan perwakilannya di legislatif. Lebih-lebih di tengah kecenderungan hegemoni legislatif atas eksekutif. Inilah pertaruhan partai politik menjelang pemilu saat ini. Apakah dengan segala kekuatannya, parpol mampu menahan nafsunya dan membiarkan TNI dan Polri bergulat dengan netralitas dan profesionalitasnya. Atau justru berusaha dengan segala cara menjebaknya demi kepentingan pragmatis partainya.

Kehendak kolektif
Demi demokrasi, merawat netralitas dan profesionalitas TNI-Polri adalah kemestian. Kepentingan politik menjelang kontestasi menjadi pertaruhan sekaligus godaan. Politisi, tentara, dan polisi bukan malaikat. Mereka zon politicon yang punya hasrat dan naluri politik yang akan muncul bila ada peluang.

Di sinilah kehendak kolektif menjadi penentu. Kehendak untuk konsisten pada fungsi masing-masing sebagai bentuk pengawalan atas agenda reformasi baik di ranah sipil maupul tentara. Kehendak kolektif untuk terus mendorong dan merawat profesionalitas TNI dan Polri akan memberi ruang obyektif yang kuat bagi ranah “bermain” para pemegang sah senjata itu.

Dalam konteks itulah, isu ABS sejatinya dipahami. Bukan mengeruhkannya melalui penafsiran-penafsiran politis dan simplistis yang justru bisa mengambangkan dan mengotori altar reformasi TNI dan Polri. Semoga.*

Friday, January 02, 2009



Opini

Politik Cepat Saji
Seputar Indonesia, Kamis, 1 Januari 2009

A. Bakir Ihsan

Demokrasi sejatinya sebuah proses. Tapi di negeri ini demokrasi dihasrati seperti makanan cepat saji (fast food). Hal ini terlihat dari menjamurnya iklan-iklan politik para calon legislatif dan presiden menjelang pemilu, dengan harapan dapat mendulang suara secara instan. Tak berlebihan bila masyarakat merasa jengah dengan semua itu. Fenomena tingginya swing voter (LSI, 2008) dan munculnya generasi apolitis di tengah membanjirnya iklan-iklan politik menunjukkan lemahnya ikatan psikopolitik pemilih dengan para calon yang diusung partai.

Fenomena tersebut merupakan efek dari politik cepat saji yang lebih mementingkan hasil daripada proses. Munculnya “mendadak politisi” merupakan bukti matinya proses dan tahapan dalam pembentukan kader politik. Sehingga lahir politisi-politisi tanpa identitas politik. Inilah ciri pertama politik cepat saji.

Ciri kedua, spekulatif. Politik cepat saji seperti berjudi. Ia penuh spekulasi dan karenanya sangat rentan, labil, dan rapuh. Koalisi partai di kabinet saat ini dan rencana-rencana koalisi yang digagas partai menjelang pemilu tanpa mempertimbangkan benang merah visi dan platform menunjukkan langkah-langkah spekulatif. Akibatnya koalisi tidak berfungsi efektif untuk mengawal kebijakan (kepentingan) kolektif partai atau kabinet.

Maraknya inisiatif penggunaan hak interpelasi dan hak angket oleh partai koalisi di DPR berhadapan dengan pemerintah (kabinet) yang notabene berasal dari partai politik koalisi yang sama menunjukkan labilitas koalisi partai. Begitu juga manuver-manuver politik anggota kabinet yang menjaring capres alternatif di tengah koalisi dengan Presiden SBY.

Ketiga, biaya mahal. Politik cepat saji membutuhkan biaya besar. Paling tidak ia lebih mahal dibandingkan kerja-kerja politik yang dibangun melalui proses yang berkesimbungan dan dalam waktu yang panjang. Wajar bila para politisi (parpol) harus mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan dukungan dalam waktu singkat.

Keempat, menisbikan mekanisme kelembagaan (institusionalitas). Politik cepat saji menyebabkan ikatan-ikatan kelembagaan begitu mencair, sehingga sulit dikontrol dan diarahkan. Tingkat inisiatif personal lebih menonjol dibandingkan mekanisme institusional. Itulah yang tergambar dalam politik akomodatif SBY dalam meretas ketegangan relasi kelembagaan khususnya antara legislatif dan eksekutif di tengah beragam kepentingan partai.

Dalam beberapa kasus, inisiatif personal ini berhasil meretas ketegangan institusional. Namun layaknya makanan cepat saji, langkah ini cepat memberi manfaat, tapi tidak awet karena sangat bergantung pada kemampuan (kehendak dan inisiatif) individu yang sangat temporal dan cenderung “liar”.

Elektabilitas minus kepercayaan
Politik cepat saji menguat seiring transisi demokrasi. Lemahnya institusionalisasi demokrasi menyebabkan elektabilitas menjadi pertaruhan utama politisi dan partai untuk meraih keuntungan politik. Inilah yang harus diantisipasi dalam upaya konsolidasi demokrasi. Karena menekankan aspek elektabilitas semata berakibat pada pengabaian kualitas para kontestan. Itulah sebabnya demokrasi tidak hanya mengacu pada elektabilitas, tapi, dan ini sangat penting, kepercayaan publik (Larry Diamond, 1996).

Elektabilitas tak sepenuhnya berkorelasi dengan kepercayaan (trust). Elektabilitas banyak ditentukan oleh aspek pencitraan (keterkesanan) bukan kepercayaan. Terpilih tidaknya kader partai dalam kontestasi demokrasi di tengah transisi tidak sepenuhnya karena ia dipercaya atau tidak dipercaya, tapi karena pesona dan kesannya yang kuat atau lemah. Menguatnya aspek elektabilitas minus kepercayaan ini bisa dilihat dari sikap kontestan yang menyandarkan keputusan untuk ikut atau tidak ikut dalam kontestasi pada pencitraan semata. Inilah yang kita lihat dari fluktuasi iklan politik di media massa.

Elektabilitas bertopang pada untung rugi individual. Bila dari prosesi pencitraan dianggap tidak menguntungkan lagi, maka upaya berjuang untuk rakyat, sebagaimana sering digembar-gemborkan dalam iklan politik, dianggap selesai. Inilah nafas pendek demokrasi yang bertumpu pada elektabilitas semata. Karena itu, elektabilitas harus menjadi representasi dari kepercayaan. Dan hal tersebut hanya bisa dicapai apabila seleksi para kontestan didasarkan pada kapasitas, kualitas, dan integritas yang semakin langka di tengah paradigma market (profit-pragmatis) lebih menguat dalam transaksi politik saat ini.

Memperkuat daya ingat
Munculnya politik cepat saji berjalin kelindan dengan rendahnya daya tahan untuk menjalani proses dalam segala aspek. Hampir semua masalah ingin diselesaikan secara instan, sehingga muncul istilah “tidak tegas” untuk menggambarkan berlarut-larutnya sebuah kebijakan.

Pada ranah sosial, lemahnya daya ingat kolektif atas problem sosial menjadi penopang kuatnya politik cepat saji. Korupsi yang bersemi di semua lembaga negara baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif tak dilihat sebagai ancaman sistemik. Tapi lebih sebagai kasus biasa yang dapat diselesaikan sepenuhnya oleh pengadilan dan penjara. Akibatnya tak ada sanksi sosial yang membuat para koruptor jera dan malu. Korupsi belum menjadi sanksi yang meruntuhkan integritas.

Begitu juga, kinerja buruk anggota DPR tak membekas dalam memori kolektif sehingga tak menjadi penghalang penting bagi anggota dewan untuk terus bergulat dalam kontestasi tanpa penekanan pada substansi. Sikap pragmatis para elite politik ini dikhawatirkan memperpendek nafas dukungan masyarakat terhadap demokrasi yang menurut survei LSI 2006 mulai tumbuh 72%.

Dukungan (kepercayaan) masyarakat terhadap demokrasi sebagai sistem politik terbaik menjadi modal penting bagi konsolidasi demokrasi. Dan hal tersebut tergantung pada bagaimana sosial-ekonomi dikelola, sehingga rakyat bisa makan layak, bisa bekerja, dan bersekolah (Adam Przeworski, 2000). Tampaknya hal ini disadari betul oleh para politisi, sehingga isu-isu yang diangkat selalu dikaitkan dengan masalah sosial-ekonomi, mulai pembukaan lapangan kerja, pendidikan gratis, sampai sembako murah.

Namun sayang, semua itu ditempatkan dalam konteks politik cepat saji yang segera menguap pasca kontestasi. Janji-janji politik di tengah menguatnya politik cepat saji bisa menjadi “junkfood” yang meracuni kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Karena itu, ajang kontestasi dalam demokrasi semestinya dijalani melalui proses kerja-kerja politik yang berkelanjutan yang dengan begitu kita sedang menyicil langkah menuju konsolidasi demokrasi.*