Thursday, October 15, 2009


Opini

Api Koalisi Super SBY
Koran Tempo, Kamis, 15 Oktober 2009

A. Bakir Ihsan

Momentum pelantikan presiden-wakil presiden pada Oktober ini penting karena menjadi titik awal terhimpunnya partai-partai politik ke dalam pangkuan kekuasaan. Kemenangan Aburizal Bakrie dalam Munas VIII Partai Golkar mengakhiri spekulasi manuver Partai Golkar (PG). Walaupun tak secara tegas menyatakan berkoalisi dengan pemerintah, namun melihat posisi dan kedekatan ketua umum PG dengan SBY, sulit berharap lain pada PG, kecuali berkoalisi.

Selain itu, secara historis PG lahir dan menginstitusi dari rahim kekuasaan. Realitas inilah yang banyak menentukan langkah PG. Dari dua kali Munas (2004 & 2009) PG sulit dilepaskan dari kekuasaan. Arus oposisi selalu terlumat oleh arus koalisi. Lengkaplah sudah koalisi super yang akan mengawal kepemimpinan Presiden SBY lima tahun ke depan. PDIP yang lima tahun terakhir dikenal sebagai oposisi mulai melunak dengan konsesi dukungan politik, salah satunya, ketua MPR RI.

Taktik parpol
Secara kalkulasi politik, koalisi besar yang akan dikomandani Partai Demokrat (PD) menjadi jalan lapang SBY untuk menjalankan pemerintahannya. Apalagi PD menjadi partai pemenang yang menempatkan kadernya di pimpinan DPR dan MPR RI serta di jajaran kabinet.

Meskipun demikian, koalisi besar ini tetap seperti api. Ia bisa menerangi, bisa juga memanaskan jalannya pemerintahan SBY. Paling tidak ada dua alasan. Pertama, kepemimpinan SBY saat ini merupakan periode terakhir, karena itu kalkulasi koalisi untuk “menjual” kembali SBY pada 2014 tak akan menjadi pertimbangan. Karena itu, kedua, masing-masing parpol koalisi akan mempersiapkan calonnya sendiri-sendiri, tanpa terikat oleh komitmen koalisi.

Pertimbangan taktis-pragmatis akan mewarnai perjalanan pemerintahan lima tahun ke depan. Bahkan secara eksplisit, ketua umum PG, Aburizal Bakrie menyebut koalisi dan oposisi hanya pilihan taktis, bukan ideologis. Partai, menurutnya, harus pandai melakukan manuver politik; merangkul dan menjauh, merebut dan berbagi tempat. (Kompas, 09/10/09)

Pertimbangan taktis-pragmatis ini saya kira akan dijalankan oleh semua partai. Karena itu, koalisi besar ini tak bisa dilihat sebagai kemanunggalan yang akan mendukung secara bulat pemerintahan SBY. Apalagi koalisi saat ini di bangun hanya pada level kabinet, bukan pada level wapres seperti pada koalisi lalu. Kenyataan ini sekaligus membantah kekhawatiran sebagian pengamat tentang kemungkinan mengguritanya kekuasaan SBY karena koalisi jumbo ini.

Langkah taktis
Karena itu, ada dua agenda penting SBY ke depan untuk menjaga soliditas koalisi sekaligus menjawab ekspektasi masyarakat terhadap kepemimpinan SBY. Pertama, ekstensifikasi komitmen sekaligus intensifikasi program-program pro rakyat. Sebagai masa akhir pengabdian SBY, komitmen kerakyatan tak hanya diwujudkan, tapi diperluas sehingga dapat menyentuh semaksimal mungkin jumlah masyarakat. Dengan begitu, SBY bisa mengakhiri kepemimpinannya secara baik dan dirasakan manfaatnya sebagai pemimpin yang dipilih langsung dan terpilih selama dua periode dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Kedua, pelibatan kabinet yang berintegritas dan punya kapabilitas. Ini penting karena SBY tak mungkin meninggalkan kader partai politik dalam kabinetnya dan tak mungkin pula membiarkan terjadinya pembusukan di dalam kabinetnya. Problemnya, partai politik punya calonnya sendiri, termasuk ketua umumnya, untuk kabinet. Di sinilah tantangan SBY untuk menunjukkan daya tawarnya terhadap partai politik demi kebaikan kinerja kabinet ke depan.

Walaupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tak melarang jabatan rangkap ketua umum parpol dengan jabatan kabinet, namun belajar pada koalisi lalu, SBY sejatinya menghindari hal tersebut. Kalaupun harus menempatkan ketua umum parpol, ia harus melepaskan jabatannya itu. Menempatkan ketua umum partai dalam kabinet, selain tak sepenuhnya memberi jaminan soliditas koalisi, juga memunculkan loyalitas ganda (split loyalty). Akibatnya mengganggu kinerja baik di parpol maupun di kabinet. Beberapa partai yang ketua umumnya duduk di kabinet lalu, gagal menaikkan perolehan suara partainya. Bahkan mengalami penurunan seperti yang dialami Partai Golkar, PPP, dan PBB. Pun kinerja di kabinet tak menunjukkan terobosan penting.

Atas kenyataan tersebut, Presiden SBY harus mempertimbangkan dua sisi sekaligus dalam koalisi super ini. Yaitu sisi efektifitas pemerintahan demi rakyat sekaligus penguatan loyalitas anggota kabinet pada negara seiring berakhirnya loyalitas mereka pada partai.

No comments: