Sunday, September 05, 2010

Umat dan Warga




Opini
Negara; antara Umat dan Warga
Seputar Indonesia, Sabtu, 4 September 2010
A. Bakir Ihsan
Demokrasi sejatinya menjadi ruang bersemainya kedamaian. Setiap potensi konflik selalu tersedia jalan keluar. Namun yang terjadi, demokrasi bagi sebagian warga menjadi jalan buntu. Atas nama mayoritas, minoritas dihakimi dan didiskriminasi. Minoritas dalam berbagai hal cenderung terancam oleh tindakan diskriminatif kelompok dominan dalam segala bentuknya.
Fenomena diskriminasi seakan menjadi potret buram harian yang mengiringi perjalanan hiruk pikuk politik di negeri ini. Setara Institute, beberapa waktu lalu merelease laporannya terkait kekerasan terhadap kelompok minoritas. Untuk bulan Januari-Juli 2010 eskalasi kekerasan terhadap kelompok minoritas meningkat dibandingkan pada bulan yang sama tahun lalu. (www.setara-institute.org).
Kekerasan dan diskriminasi tak pernah tuntas karena penyelesaiannya berhenti pada ranah prosedural semata. Kekerasan dilihat sekadar problem hukum (kriminal), tanpa transformasi pada akar persoalan yang berpijak pada kesadaran sebagai warga. Akibatnya atas nama hukum atau peraturan, orang atau kelompok mengadili kelompok lainnya. Kekerasan pun tak pernah usai. Pun kasus yang menimpa belasan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI), Bekasi, beberapa waktu lalu memperpanjang daftar diskriminasi dalam beragama. (Seputar Indonesia, 9/8).
Negara sebenarnya tidak tidur. Terbukti, tak lama setelah peristiwa itu, Presiden SBY menginstruksikan Menkopolhukam untuk melakukan tindakan kongkret, nyata, dan terukur untuk menyelesaikan peristiwa itu. Sejatinya instruksi tersebut tak perlu, bila aparat bertindak tangkas dengan melindungi masyarakat yang terancam.
Keberagamaan prosedural
Fenomena penghakiman terhadap kelompok lain merupakan puncak gunung es dari problem relasi keberagamaan. Fenomena serupa akan terus berulang apabila konstruksi kebangsaan tersubordinasi oleh primordialisme keagamaan. Dan pada titik tertentu, bisa meretakkan soliditas dan solidaritas sesama anak bangsa.
Perbedaan persepsi keagamaan merupakan keniscayaan sebagai sebuah dialektika sejarah. Sumber ketuhanan yang sama secara ontologis (esoteris) termanifestasi dalam ranah epistimologis (eksoteris) yang beragam (berbeda-beda). Perbedaan tersebut menjadi krusial ketika mengkristal menjadi keyakinan (personal) yang dipaksakan pada ranah publik dan abai terhadap eksistensi negara. Tolok ukur kebenaran komunal mengeliminasi kebenaran lain yang dianggap berbeda, karena ideologi negara terabaikan. Sehingga terjadi pengadilan terkait apa yang mereka anggap sebagai penghinaan, penistaan, pelecehan, dan segala bentuk gradasi keyakinan berdasarkan keyakinan subyektif komunalnya.
Fenomena ”pengadilan” keberagamaan merupakan konsekuensi lebih jauh dari sikap keberagamaan prosedural yang dijalankan secara eksklusif dan mencari pembenarannya pada ranah publik. Ironisnya, di alam demokrasi ini, pembenaran pada ranah publik tak jarang dilegitimasi melalui peraturan atau undang-undang yang menguntungkan mainstream. Akibatnya, minoritas selalu menjadi korban (terdakwa) dari tafsir kebenaran atas nama mayoritas.
Keberagamaan prosedural berpotensi memperhadapkan simbol-simbol keagamaan. Namun simbol tersebut tak berdampak apa-apa, kalau aspek simbolik tersebut tersubordinasi oleh nilai-nilai universal yang terkandung dalam semua agama. Penguatan pada nilai-nilai universal inilah yang sering terabaikan karena penekanan yang berlebih pada aspek prosedur-formal. Terlebih dengan adanya politisasi keagamaan, semakin meruncingkan perbedaan simbol-simbol.
Karena itu, pernyataan Presiden SBY tentang perlunya pemisahan persoalan agama, politik, dan hukum dalam merespon penangkapan Abu Bakar Ba'asyir beberapa waktu lalu sejatinya menjadi pijakan konkret dalam melihat secara jernih antara agama sebagai rujukan nilai agung dengan agama yang dijadikan topeng kepentingan untuk mengancam.
Umat dan warga
Sikap keberagamaan (keumatan) sulit dilepaskan dari masyarakat, karena negara mewajibkan warganya berketuhanan. Tapi sikap keberagamaan tersebut sejatinya berjalin kelindan dengan tata norma kenegaraan sebagai pemegang otoritas tunggal atas dinamika kehidupan sosial. Dengan pola pandang seperti ini, maka tak ada satu otoritas pun di luar negara yang bisa mengadili dan menghakimi terhadap kehidupan sosial warga negara.
Karena itu, problem relasi umat beragama harus ditarik pada dua ranah, yaitu ranah budaya dan ranah politik. Ranah budaya berpangkal pada kesadaran umat, sementara ranah politik berpijak pada tatakelola negara terhadap warganya. Keduanya tak bisa dipisahkan untuk ”mendamaikan” perbedaan-perbedaan simbolik yang pada titik tertentu bisa menjelma menjadi konflik.
Kesadaran umat merupakan tanggungjawab elite agama untuk mentransformasikan kesadaran beragama sebagai landasan bernegara. Sehingga setiap penganut agama menjadi berindonesia karena agamanya. Bukan sebaliknya, agama berlomba menggunakan negara untuk kepentingan kelompoknya. Kesadaran seperti ini memerlukan proses sekularisasi sehingga memberi jalan terang dan jelas antara persoalan keyakinan sebagai manifestasi keumatan dan amalan sebagai manifestasi kewargaan.
Dalam konteks politik, sekularisasi kesadaran ini berimplikasi pada berakhirnya obsesi agamaisasi negara. Negara merupakan ranah publik yang melayani semua keyakinan dan agama. Negara menjadi kawah candradimuka yang memberi kesejukan semua penganut agama tanpa kasta.
Sekularisasi kesadaran dalam konteks ini tak terkait langsung dengan diferensiasi struktural yang tumbuh seiring dengan proses modernisasi. Karena, sebagaimana Peter L. Berger dalam Religious America, Secular Europe? (2008) berkeyakinan bahwa modernisasi tak selalu berbuah sekularisasi. Departementasi keagamaan di dalam struktur kenegaraan bisa dimaknai sebagai bentuk sekularisasi formal (social institutions) yang tak selalu berjalin kelindan dengan transformasi (sekularisasi) kesadaran. Karena itu, kesadaran (budaya) sebagai penggerak institusi, memerlukan konstruksi yang tepat bagi kelangsungan kehidupan sosial yang kental dengan nuansa agama. Sekularisasi kesadaran tetap menjaga urgensi nilai-nilai agama bagi para pemeluknya (umat) sebagai landasan bagi terciptanya harmoni dalam interaksi dalam kehidupan sosial sebagai warga.*

Tuesday, August 24, 2010

Toleransi Plus




Opini

Tak Sekadar Toleransi
Koran TEMPO, Senin, 23 Agustus 2010
A. Bakir Ihsan

"Our capacity to show not merely tolerance, but respect to those who are different from us.." (Barack Obama, Jum'at, 13 Agustus 2010)

Keragaman tak hanya butuh toleransi. Penghormatan atas yang berbeda merupakan jalan lain mengharmonikan kemajemukan. Ungkapan Obama yang memberi dukungan terhadap pembangunan masjid di dekat Ground Zero yang ditentang sebagian warga Amerika, merupakan respon atas yang berbeda.

Penghormatan terhadap umat Islam sebagai minoritas (berbeda) di Amerika merupakan langkah berani di tengah trauma tragedi 11 September dan di sebuah negara yang terlanjur menstigma Islam sebagai ancaman. "As a citizen, and as president, I believe that Muslims have the same right to practice their religion as anyone else in this country," lanjut Obama.

Pernyataan Obama yang disampaikan saat iftar (dinner) menyambut Ramadhan di Gedung Putih, Amerika, itu merupakan tuturan ideal dalam konteks relasi mayoritas minoritas. Mayoritas sejatinya menjadi tumpuan minoritas untuk menggantungkan segala harap. Pun, di Indonesia yang mayoritas muslim ini, suara dan komitmen untuk menghormati yang berbeda seharusnya terdengar terang di antara keragaman umat beragama.

Problem sosio-politik
Menghargai yang berbeda menjadi kemestian semua agama. Secara historis, agama hadir sebagai "yang berbeda." Misi transformatif agama merupakan respon atas realitas sosial yang diskriminatif. Karena itu, kehadirannya menawarkan kesetaraan (equalitas) yang memberi ayoman bagi semua kelas.

Problem laten agama dalam konteks equalitas tersebut lebih pada hirarki kebenaran yang tak terbantahkan pada dirinya. Hirarki teologis ini berpotensi dijadikan legitimasi yang mendiskriminasi dalam segala bentuknya, termasuk hegemoni yang terlegitimasi atas nama teks-teks suci.

Problem ini bukan hanya milik agama. Demokrasi yang yang misi awalnya juga menekankan equalitas, berhadapan dengan realitas kelas dengan sistem nilai yang mengikatnya secara struktural (Leslie Lipson, 1964). Namun demokrasi selalu mampu membuka dan mengoreksi diri karena ranah legitimasinya pada rakyat yang relatif, bukan pada Tuhan yang mutlak.

Agama berhadapan dengan legitimasi teologis, sehingga melahirkan banyak ragam tafsir yang kadang "berbeda" satu dengan lainnya. Eksistensi kelompok literalis dan kontekstualis harus berhadapan dalam menafsir teks suci agama yang kemudian berdampak pada aspek sikap keberagamaan. Pada titik ini problem sosio-politik terjadi yang tak jarang berbuah konflik. Konflik merupakan aktualisasi dari perbedaan pada ranah tafsir, bukan pada esensi agama itu sendiri.

Kekerasan seakan terabsahkan atas nama (tafsir) ayat-ayat Tuhan. Kebenaran selalu dipahami sebagai realitas yang final, biner, linear dan menafikan kebenaran yang berbeda. Konsekuensinya, tak ada tempat bagi yang lain dan berbeda. Di sinilah toleransi menjadi penting sebagai landasan awal (batas) terciptanya harmoni.

Menghormati
Namun, toleransi bukanlah segalanya. Kalaupun dianggap sebagai kunci jawaban atas praktik diskriminasi, toleransi bisa menjebak pada ambigu dan ambivalensi. Bahkan secara tidak langsung toleransi berpotensi merawat dominasi mayoritas.

Harmoni dan stabilitas terjaga lebih karena minoritas tak berani berbeda. Minoritas mensubordinasi diri pada mayoritas. Pada titik ini, toleransi menjelma sebagai bentuk ketakberdayaan minoritas. Akibatnya, diskriminasi terhadap minoritas dalam segala bentuknya, termasuk dalam bentuk ungkapan yang melecehkan, tak mampu direspon secara setara oleh minoritas. Bahkan dalam hal tertentu, deviasi atas hak-hak minoritas diangggap wajar oleh kelompok mayoritas. Sikap mendiamkan apalagi mentolerir terhadap hegemoni mayoritas merupakan bentuk persetujuan atas deviasi hak-hak minoritas.

Kecenderung tersebut tumbuh subur seiring menggejalanya demokrasi mayoritarian. Demokrasi dimaknai sebagai ajang kebebasan yang tentu akan lebih banyak memberi keuntungan bagi kelompok mayoritas dan menyempitkan ruang minoritas. Minoritas menjadi realitas terancam atas nama demokrasi mayoritarian. Padahal minoritas secara esensial memiliki hak yang sama untuk hidup bersama dalam keragaman tanpa subordinasi apalagi hegemoni.

Karena itu, untuk memperkuat relasi mayoritas-minoritas diperlukan kehendak semua pihak, khususnya kelompok mayoritas, untuk beranjak dari ranah toleransi menjadi penghormatan (keberpihakan) terhadap yang berbeda (minoritas). Dalam lingkup yang lebih luas, perlu adanya pemberian ruang lebih pada minoritas baik secara ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya, untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai warga negara yang setara.

Diperlukan komitmen sosial dan politik yang kuat untuk menghormati yang berbeda (the others). Kalau tidak, minoritas akan terus tergilas oleh kesetaraan (equality) dan kebebasan (liberty) semu atas nama demokrasi. Ini membuktikan, toleransi dalam demokrasi tak cukup untuk merawat harmoni.*


Sunday, May 30, 2010

Warna Warni Demokrasi



Opini
Demokrasi Thailand dan Konsolidasi Kita
Koran TEMPO, Sabtu, 29 Mei 2010
A. Bakir Ihsan
Ada fenomena politik menarik antara kita (Indonesia) dan Thailand. Politik di Thailand tak pernah lelah bergolak dan berkonfrontasi, sementara politikus di negeri ini cenderung mengedepankan kompromi dan "transaksi". Sampai saat ini, kelompok demonstran Kaus Merah bergeming, walaupun puluhan korban meregang nyawa. Dialog antara PM AbhisitVejjajiva dan demonstran buntu.
Terlalu riskan bagi Abhisit memenuhi tuntutan para pendukung Thaksin untuk membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu segera. Apalagi KPU Thailand membubarkan Partai Demokrat, partai yang dipimpin Abhisit Dalam kebuntuan politik sipil, "tradisi" politik Thailand memancing militer untuk pro atau kontra terhadap pemerintah atau demonstran belum juga terlihat jelas. Ini berbeda dengan demonstrasi 2006, yang menyatukan napas militer dengan demonstran Kaus Kuning untuk mengkudeta pemerintah Thaksin Shinawatra.
Bagi Thailand, kudeta seperti politik harian. Menurut catatan Chairat Charoensin-o-lam (John Funston, 2009), sampai saat ini sudah 18 kali kudeta dengan segala implikasinya, termasuk pembatalan konstitusi dan pembubaran parlemen seperti yang terjadi pada 2006. Yang menarik dari politik Thailand, pergantian kekuasaan yang tiba-tiba (kudeta) ini tidak menyebabkan Thailand runtuh. Negara tetap berjalan dalam politik yang gonjang-ganjing sekalipun. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Salah satunya, transformasi birokrasi berjalan tanpa terjebak oleh gonjang-ganjing politikus. Stabilitas birokrasi ini berdampak pada minimnya tingkat penyimpangan akibat intervensi politikus. Paling tidak dalam hal korupsi akibat birokrasi, tingkatan Thailand masih lebih rendah dibanding Indonesia.
Demokrasi dan korupsi
Meski demikian, korupsi tampaknya menjadi isu dominan di negara-negara ASEAN, seperti Thailand dan Indonesia. Perbedaannya pada penyikapan terhadap korupsi. Di Thailand, korupsi menjadi pemicu ancaman yang sangat kuat bagi kekuasaan. Bahkan tak jarang korupsi menjadi isu efektif bagi pergantian kekuasaan.termasuk melalui kudeta. Kudeta Thaksin, pembubaran partai Thai Rak Thai (2006) dan partai partai penggantinya, Phak Palang Prachachon (2008), pergantian PM di tengah jalan, sampai larangan PM Somchai Wongsawat berpolitik selama 5 tahun, merupakan konsekuensi dari demokrasi ala Thailand (democratic polity) yang mensyaratkan transparansi, walau tak selalu dijawab dengan kudeta.
Tampaknya hal ini berdampak pada tingkat korupsi di Thailand yang relatif rendah dibandingkan dengan di beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia. Seperti dilansir .Transparency International, 2009, Indeks Persepsi Korupsi (TPK) Thailand 3,3 lebih tinggi dibanding Indonesia, yang 2,8. Hal tersebut berkaitan dengan kualitas birokrasi yang mulai berfungsi secara baik. Sedangkan Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) terhadap 1.000 ekspatriat di Asia selama 1997-2005, selalu masuk dalam lima besar keburukan di birokrasinya.
Democratic polity menjadi simbol perubahan sekaligus kontrol birokrasi Thailand terhadap korupsi atau tindak penyimpangan kekuasaan. Isu korupsi menjadi ancaman bagi kekuasaan. Ancaman ini, di satu sisi, bisa menjadi shock therapy bagi perilaku dan budaya birokrasi dan politikus untuk tidak korupsi, tapi di sisi lain bisa menjadi bom waktu bagi stabilitas politik. Untungnya, ancaman stabilitas di Thailand terkendali oleh, salah satunya, eksistensi raja, yang secara budaya masih "dipanuti".
Transformasi korupsi
Sementara itu, di Indonesia, dalam beberapa kasus, demokrasi melahirkan transformasi korupsi dalam birokrasi. Terungkapnya megakorupsi yang dilakukan oleh pejabat rendahan di Direktorat Pajak menjadi bukti betapa korupsi tetap menemukan bentuknya di alam demokrasi. Ini sebuah paradoks. Demokrasi yang menawarkan transparansi justru tak mampu menembus strategi birokrasi dalam mentransformasi tindak korupsi.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga, lembaga-lembaga yang berdiri mengawal pemberantasan korupsi sejatinya bisa semakin terkonsolidasi, karena ia lahir dari rahim demokrasi. Namun, secara faktual, konsolidasi ini sulit terjadi di tengah lembaga-lembaga penegak hukum yang justru berkubang dalam korupsi. Karena itu, kita berharap pengungkapan kasus-kasus penyimpangan di lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum, seperti di kepolisian, menjadi jalan baru untuk tidak terjebak dalam jalan yang sama.
Selama komitmen Susilo Bambang Yudhoyono masih bisa diharapkan, terkuaknya borok-borok lembaga penegak hukum akanmenjadi proses penyembuhan. Karena itu, pembongkaran tindak korupsi tak boleh berhenti, lantaran akan menjadi luka dalam yang bisa membusukkan tubuh lembaga-lembaga antikorupsi.Belajar dari democratic polity Thailand, reformasi birokrasi menjadi sebuah kemesti-an dengan mentransformasikan alat kontrol yang lebih efektif. Kontrol kuat atas korupsi tak harus hadir di jalanan dengan korban nyawa, apalagi kudeta. Pemberdayaan dan penegakan hukum yang intens akan lebih efektif. Kita memiliki modal yang lebih baik dibanding Thailand, khususnya dalam proses demokrasi yang tak melalui kudeta. Namun modal tersebut tak akan efektif bila berhenti pada aspek prosedur atau perundang-undangan yang tak berpijak pada perilaku.
Efektivitas birokrasi Thailand sampai saat ini belum sepenuhnya berjalan efektif dan maksimal karena masih terbukanya tindak penyimpangan, seperti korupsi dan kolusi, yang tidak jarang mengakibatkan bergolak-nya protes dan unjuk rasa. Namun hal tersebut terkoreksi oleh birokrasi yang lebih baik, yang menutup ruang intervensi politikus.Hal inilah yang belum terlihat dalam birokrasi kita. Justru birokrasi menjadi ajang konsolidasi korupsi dalam beragam bentuknya, baik atas nama pribadi maupun kepentingan politik. Thailand memang belum bebas dari korupsi, tapi ia memulai derjgan birokrasi yang lebih bersih. Gonjang-ganjing politik bisa terus berjalan seperti saat ini, tapi korupsi harus berhenti, paling tidak termi-nimalkan. Sementara itu, para politikus di negeri ini cenderung menjauhi gonjing-gan-jing politik, tapi dengan korupsi yang terus terjadi. Karena itu, kita patut khawatir sekaligus berharap jangan sampai minimalisasi gonjing-ganjing politik di negeri ini menjadi persembunyian baru bagi aksi korupsi.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/05/29/ArticleHtmls/29_05_2010_010_018.shtml

Thursday, May 20, 2010

PD




Opini

Simpang Jalan Partai Demokrat
Seputar Indonesia, Kamis, 20 Mei 2010

A. Bakir Ihsan

Kongres Partai Demokrat (PD) II kali ini sangat penting karena empat alasan. Pertama, usia partai yang relatif muda. Usia muda memerlukan landasan pijak yang kuat sehingga memiliki peluang yang lebih kokoh untuk menorehkan makna dalam sejarah kepartaian di Indonesia. Kedua, dalam usia yang relatif muda, ternyata PD bisa menjadi partai terbesar dalam pemilu kedua yang diikutinya. Ketiga, keberadaan PD selama ini lebih menyerupai apa yang oleh Norberto Bobbio & Maurizio Viroli (2003, p.67) disebut sebagai partai personal (personal party). Yaitu partai yang bergantung pada sosok tertentu, dalam hal ini SBY. Karena itu, keempat, seiring dengan periode terakhir eksistensi SBY sebagai presiden, akan mempengaruhi terhadap kelanjutan eksistensi PD.

Alasan-alasan tersebut sejatinya menjadi pertimbangan serius PD dalam kongres. Dinamika politik kepartaian akan banyak bermakna ketika ia tak terjebak dalam perebutan kuasa atau bagaimana menempatkan sosok tertentu dalam struktur kepartaian semata. Apalagi PD sedang berusaha menjadi partai modern yang terlepas dari jejaring personifikasi dengan segala konsekuensinya. Upaya ini memerlukan komitmen dan kesabaran mengikuti proses transformasi dari partai personal ke impersonal.

Partai personal layaknya makanan instan. Partai tak perlu mengeluarkan banyak energi dan keringat untuk meraih suara. Ia terkatrol oleh modalitas personal. Mesin politik, kalau pun berjalan hanya menghaluskan jalan untuk mempercepat kemenangan. Tapi ketika sang sosok mulai memudar modalitasnya, partai pun akan mudah memendar. Kecuali ia cepat berevolusi menjadi pantai modern (impersonal).
Menjadi partai modern memerlukan proses dan tahapan. Lebih-lebih di tengah realitas kepartaian yang mengedepankan popularitas daripada kualitas; pragmatisme daripada idealisme, pencitraan daripada kerja kerakyatan. Dalam partai modern logika utama yang terbangun bukan pada siapa yang akan memimpin, tapi bagaimana platform dan struktur dibentuk dan dijalankan secara konsisten bagi kepentingan konstituen (masyarakat). (Moshe Maor, 1997)

Modalitas
Transformasi menjadi partai modern memerlukan modalitas impersonal. Karena itu, PD harus memperkuat modalitas yang selama ini belum termaksimalkan, karena ketergantungannya pada sosok SBY. Di antara modalitas itu. Pertama, penegasan implementasi ideologi. Dengan mentahbiskan dirinya sebagai partai nasionalis religius, PD sedang menyiapkan diri menjadi partai inklusif. Ideologi inklusif ini akan bermakna ketika mampu diwujudkan secara konsisten dengan meminimalkan kriminalisasi akibat eksklusivitas pemahaman agama yang terselubung. Baik dalam peraturan atau dalam domain masyarakat sebagai konstituennya.
Dalam hal ideologi, PD, sebagaimana hasil survei Kompas (29/3/10), dianggap yang paling jelas dan konsisten mempertahankan ideologinya. Persepsi ini seharusnya berbanding lurus dengan realitas sosial sebagai basis massa partai. Namun secara faktual, kekerasan ideologis paham keagamaan masih terjadi dan bisa mengancam kebersamaan. Inilah ambiguitas partai secara umum di tengah kepentingan antara meraup suara (pragmatis) dan menegakkan kemaslahan konstituennya.

Kedua, memperkuat kaderisasi. Salah satu problem dari partai personal adalah lemahnya kaderisasi. Kaderisasi bukan hanya pada level (pergantian) ketua, tapi proses pemahaman yang utuh terhadap platform partai sehingga PD bergerak sesuai ideologinya. Lebih dari itu, kaderisasi bisa menjadi jalan masuk impersonalisasi partai, sebagai ciri partai modern. Ini penting karena kaderisasi sering terjegal oleh kepentingan elite partai, yang berdampak pada memudarnya mekanisme partai. Keberhasilan kaderisasi menunjukkan berjalannya mekanisme kepartaian modern sebagaimana diinginkan SBY pada PD.

Jembatan Transisi
Pemilu 2014 merupakan pertarungan terakhir PD sebagai partai personal seiring berakhirnya eksistensi SBY sebagai orang nomor satu di republik ini. Karena itu, tuntutan modernisasi PD yang dilontarkan SBY memiliki korelasi dan signifikansi. Kinerja SBY sampai 2014 akan menjadi salah satu modal PD untuk meraup ekspektasi dari masyarakat. Berhasil tidaknya SBY memimpin negeri ini sampai 2014 akan ikut mempengaruhi citra PD. Apalagi, menurut rencana, dari kongres II kali ini akan dibentuk lembaga baru, semacam majelis tinggi, dengan otoritas lebih dan akan dipimpin oleh SBY. Kalau ini terjadi, maka peran dan citra SBY masih cukup menentukan terhadap eksistensi PD.
Namun demikian, upaya menjadi partai modern akan tetap hadir selama otoritas yang dimiliki SBY ditransformasikan dan didistribusikan ke dalam mekanisme internal partai sebagai kekuatan kolektif. Dengan tetap adanya peran SBY, upaya transformasi dan modernisasi PD memerlukan jembatan transisi yang kuat yang bisa membawa PD menjadi partai modern tanpa mengabaikan landasan historis yang sudah ditorehkan SBY.

Karena itu, siapa pun yang terpilih menjadi ketua umum PD pada kongres II ini, ia memiliki tugas ganda sekaligus; mentransformasi PD menjadi partai modern (impersonal) dan merawat keberhasilan yang tertoreh berkat citra sosok (personal) yang ada pada SBY. Ia harus memiliki kemampuan organisatoris sekaligus bisa memahami pemikiran SBY sebagai bagian dari landasan gerak PD selama ini. Kedua tugas tersebut diperlukan agar PD menjadi partai yang kuat (terinstitusionalisasi) dengan ideologinya yang khas dan setia dijalankan.

Upaya modernisasi PD ini akan terjawab, salah satunya, dalam pemilu 2014 nanti. Apakah PD berhasil mempertahankan perolehan suaranya, atau malah naik, atau justru terpuruk. Kalau pada 2014 perolehan suara PD terjun bebas, orang akan semakin yakin kemenangan PD karena dua hal. Pertama, katrol kebesaran nama SBY sebagai incumbent, dan kedua, karena cara-cara yang tidak lazim. Tapi kalau PD bisa bertahan, apalagi naik perolehan suaranya, orang akan semakin yakin atas jalan lapang PD menjadi partai modern. Inilah simpang jalan yang akan menentukan eksistensi PD ke depan.*

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/325518/

Saturday, February 20, 2010

Ekonomi Politik



Opini
MASA SENJA PANSUS CENTURY
Seputar Indonesia, Sabtu, 20 Februari 2010

A. Bakir Ihsan
Mendekati tenggat kerja Pansus Bank Century (BC) beragam respon bermunculan; pesimis, optimis, dan khawatir. Sejak awal, dengan berbekal desakan kuat dari beberapa elemen masyarakat, dukungan penuh anggota DPR, dan support media massa menyebabkan optimisme mensubordinasi pesimisme. Bahkan Presiden SBY pun secara eksplisit mendorong agar pansus bisa mengungkap kebenaran secara terang benderang.
Optimisme yang terlampau besar itu ternyata tak berbanding lurus dengan fakta-fakta yang sejatinya diperlihatkan oleh anggota pansus pada publik. Munculnya gagasan agar temuan pansus segera diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dilontarkan, salah satunya, oleh Indonesia Corruption Wacth (ICW) menunjukkan sebuah kekhawatiran. Kemungkinan terjadinya deviasi dalam upaya mencari kejernihan dari karut marut BC dan terjadinya politik transaksional dalam proses pengungkapan fakta menjadi alasan kekhawatiran tersebut.
Kekhawatiran ini merupakan sintesa dari optimisme dan pesimisme terhadap kinerja Pansus. Penyelidikan pansus DPR terhadap orang-orang yang dianggap terkait dengan kasus BC telah memberikan banyak data. Bahkan dari pertemuan konsultasi pansus dengan pimpinan lembaga terkait BC seperti BI, PPATK, BPK, KPK, bahkan dengan nasabah, persoalan data sudah “selesai”. Masalahnya kemudian bagaimana data tersebut harus ditafsirkan. Inilah yang sejak awal menjadi akar perdebatan, sebagaimana perdebatan terhadap tafsir kata “sistemik”.
Ragam kesimpulan sementara pansus menunjukkan bahwa data yang tersedia dapat melahirkan banyak penafsiran sesuai kepentingan politik anggota Pansus. Dalam tafsir tak ada yang absolut. Relativitas tafsir mencair sesuai kepentingan dan dalam titik tertentu bisa mengaburkan substansi yang hendak dicapai dari pansus BC.
Tafsir data
Kegagalan menemukan substansi kasus BC menunjukkan kompleksitas persoalan BC. Karena itu, kasus BC tidak bisa dipahami dan diselesaikan secara parsial. Kalau kita lihat, sampai saat ini upaya mencari titik simpul kasus BC masih berkutat pada dua pendekatan. Yaitu, pendekatan hukum yang dilakukan KPK dan pendekatan politik yang digelar DPR melalui hak angket. KPK berkonsentrasi pada kemungkinan terjadinya penyimpangan penggunaan dana negara, sementara DPR lebih menyoroti kemungkinan deviasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Walaupun fokus pendekatannya berbeda, namun proses yang dilaluinya berpijak pada logika biner; salah-benar, korupsi-bersih, dan menyimpang atau tidak.
Ada dua konsekuensi (kelemahan?) dalam logika biner. Pertama, ia menutup kemungkinan adanya yang lain (the others). Kasus BC hanya digeledah dan ditafsirkan dalam dua ranah ekstrem; salah atau benar. Bahkan dengan berdasarkan pada hasil audit BPK, sejak awal DPR menempatkan kasus penyelematan BC sebagai realitas yang salah. Akibatnya pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pansus hak angket cenderung menutup atau membatasi ruang bagi munculnya alasan dan penjelasan di luar yang dipersepsi anggota dewan. Pansus berkutat pada proses transaksi (mekanisme-prosedural) yang sudah menginstitusi dalam pikirannya. Padahal tidak tertutup kemungkinan adanya deviasi logika pada proses penafsiran terhadap data-data terkait BC, termasuk yang dilakukan oleh BPK. Lebih dari itu, tidak menutup kemungkinan kasus BC lahir karena adanya keterlibatan kolektif dan sistemik antar lembaga negara terkait. Inilah yang seharusnya mendapat perhatian sehingga pansus BC tidak terjebak pada ekstremitas wacana politis dan mengabaikan ujung (substansi) dari benang kusut BC.
Kedua, logika biner selalu mengarah superioritas diri dan inferioritas pada pihak luar sebagai yang tertuduh (salah). Ia mengabaikan realitas diri yang sejatinya memiliki kemungkinan yang sama untuk salah. Tertuduh adalah orang lain, sementara diri, baik sebagai individu maupun lembaga, menjadi terbebas dari segala kemungkinan keterkaitan, dan karenanya menjadi suci. Padahal kalau membaca kembali proses pengambilan kebijakan penyelamatan BC, terlihat jelas adanya keputusan kolektif yang juga melibatkan dukungan DPR pada periode sebelumnya (Koran Tempo, 7/1/10).
Problem sistemik
Kalau dipahami lebih teliti, mencuatnya kasus BC bukan pada problem politik, karenanya penyelesaian melalui DPR tidak akan banyak memberi harapan. Problem politik hanya efek domino dari hasil audit (teks) BPK yang kemudian dijadikan rujukan DPR untuk melakukan angket. Kalau dilacak lebih jauh, hasil audit yang dikeluarkan BPK merupakan penafsiran terhadap teks-teks yang lain, yang di antaranya, laporan hasil rapat yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai oleh Menteri Keuangan. Dari sekian teks yang ditafsirkan oleh BPK yang kemudian menjadi salah satu dasar masalah adalah kata “dampak sistemik”. Dampak sistemik pula yang menjadi alasan pemerintah untuk menyelamatkan BC dengan mengucurkan dana Rp 6 triliun lebih.
Dalam kacamata posmodernisme, pembacaan terhadap kasus BC dapat dilacak dengan mendekonstruksi teks-teks (alasan) yang diberikan pemerintah dalam penanganan atau penyelesaian kasus BC. Karena, menurut Jacques Derrida, teks-teks tidak berdiri sendiri. Ia saling terkait dan sarat kepentingan (kuasa).
Karena itu, mencari titik jernih dari persoalan BC dengan bertumpu pada pendekatan politik atau hukum semata tidak akan berhasil menemukan substansi masalah secara komprehensif. Apalagi keterangan yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap tahu atau terlibat kasus BC dalam hal-hal tertentu menyiratkan ketidaksinambungan. Kalau pun pada akhirnya "terselesaikan", kasus BC tidak akan menjadi akhir dari problem dunia perbankan, karena akar persoalan yang sistemik belum tersentuh.
Dekonstruksi
Karena itu diperlukan dekonstruksi dengan mengaitkan dokumen-dokumen, baik berupa hasil audit atau kesaksian, pada konteks kelembagaan yang saling terkait. Dalam konteks ini, kasus BC harus dibaca sebagai problem kolektif lembaga-lembaga yang ada, termasuk DPR sebagai kontrol yang seharusnya secara konsisten dilakukan, termasuk terhadap BI. Dan pemahaman ini akan dimungkinkan apabila masing-masing lembaga menempatkan diri secara equal dan menafikan pemaknaan tunggal terhadap sebuah kebijakan.
Apalagi secara konstitusi tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang dalam praktiknya sering menjelma menjadi kekuatan hegemonik dengan segala penyimpangannya. Hal ini semakin memperkuat pentingnya pembongkaran logika biner yang dalam titik tertentu dapat menghambat proses konsolidasi demokrasi. Melalui dekonstruksi, kita diajak untuk membaca dan memahami fakta sebagai realitas yang memiliki korelasi dan konteks, sehingga memungkinkan terjadinya banyak pemaknaan untuk mendekati kebenaran (substansi).
Hal ini terlihat jelas dalam pemaknaan kata “dampak sistemik” yang menjadi sumbu mencuatnya kasus BC. Dengan alasan “dampak sistemik” negara menggelontorkan dana triliunan, dari “dampak sistemik” pula DPR mencurigai pemerintah dan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas penggelontoran bantuan likuiditas tersebut. Ini menunjukkan bahwa ketika sebuah kebijakan (teks) dipublikasi, maka ia menjadi arena permainan publik yang menawarkan banyak makna dan “tercerabut” dari makna primordial (ursinn). Bahkan penulis teks (pembuat kebijakan), tidak bisa mengontrol alasan "dampak sistemik" tersebut. Masing-masing elemen pembaca memiliki kemungkinan yang sama untuk menafsirkan teks tanpa terjebak pada rezim wacana yang totaliter.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/305756/

Friday, January 15, 2010

Politik Hukum



Opini

Penjara & Politik Kemewahan
Koran Tempo, Jum'at, 15 Januari 2010
A. Bakir Ihsan
Negara ini memang surga. Bukan hanya tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Rumah tahanan (rutan) pun bisa jadi hotel idaman. Rutan yang sejatinya menjadi kawah kembalinya nilai-nilai kemanusiaan yang setara di antara para penghuninya, ternyata mempertontonkan diskriminasi dan kesenjangan status sosial ekonomi. Rutan yang idealnya menjadi ajang pemasyarakatan menjelma menjadi monumen pengokohan status sosial dan "surga" bagi segelintir orang.
Deviasi fungsi rutan merupakan rangkaian dari deviasi-deviasi lembaga terkait lainnya. Rutan bukan kawah yang bebas nilai. Ia merupakan bagian dari bangunan besar bernama birokrasi negara yang, menurut Emile Durkheim, dalam titik tertentu bisa bermuara pada kelaliman birokrasi.
Fasilitas mewah yang dinikmati oleh segelintir orang membuktikan adanya diskriminasi yang tidak hanya melibatkan narapidana dan sipir. Ia bukan sekadar hasil sebuah upaya dua atau tiga orang. Ia melibatkan pemihakan dan kehendak dari yang punya kuasa baik modal maupun jabatan.
Fenomena kemewahan
Fenomena pemberian fasilitas mewah (surga) yang tak wajar bukan kali ini saja. Dua pekan lalu kita dipertontonkan mobil mewah para petinggi negeri. Tak ada reaksi balik para petinggi atas pandangan kritis masyarakat, kecuali pembenaran-pembenaran atas fasilitas mewah itu. Potret empati dan simpati begitu kabur dalam frame elite negeri ini.
Simplifikasi terhadap fakta sosial yang kompleks, menggerus empati dan simpati elite. Mobil mewah dianggap wajar di tengah ekonomi masih banyak bertopang pada utang. Belum selesai tanda tanya mobil mewah pejabat, muncul kasus fasilitas mewah lainnya.
Rutan yang dihuni oleh orang-orang yang dianggap melakukan penyimpangan, justru diperlakukan dengan cara yang menyimpang. Rutan sebagai milik publik, diperlakukan layaknya properti yang dilepas di pasar bebas. Siapa yang berduit, ia dapat fasilitas. Aturan mati justru di dalam lembaga yang bertanggungjawab bagi pembinaan hukum. Penghargaan terhadap nilai kemanusiaan yang setara ambruk di bawah departemen yang bersimbolkan HAM. Lebih miris mendengar pernyataan pejabat terkait yang menganggap fasilitas tersebut wajar (Koran Tempo, 12/01/2010). Entah apa pembanding kewajaran itu. Inilah paradoks di tengah karut marut hukum dan keadilan melanda negeri ini.
Fasilitas "surga" bukan hal yang haram. Bahkan penghargaan terhadap para narapidana sejatinya diperbaiki. Namun bagaimana dan dimana fasilitas itu harus digunakan, inilah yang sering diabaikan oleh pemangku otoritas (kekuasaan) terkait.
Panoptisisme
Kekuasaan pada dasarnya untuk mendisiplinkan. Begitu pun rutan. Ia merupakan wujud kontrol kekuasaan untuk "mendisiplinkan" penghuninya yang dianggap menyimpang. Proses pendisiplinan ini akan efektif bila ada pengawasan total yang digambarkan Michel Foucault (1977) seperti tahanan Panopticon. Sebuah desain tahanan Jeremy Bentham (1785) yang dibuat sedemikian rupa agar pengawasan berlangsung setiap saat tanpa sang penghuninya merasa diawasi. Dengan demikian, mekanisme dan aturan main bisa berjalan sesuai yang diharapkan.
Problem yang terjadi pada kasus Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur justru pada pemilik kontrol. Otoritas yang dimiliki untuk mendisiplinkan justru menjelma menjadi media perselingkuhan yang dapat dipastikan berdampak diskriminatif pada yang lain. Belum lagi, hirarki otoritas itu sendiri merupakan kawah untuk menstabilisasi dominasi bahkan hegemoni terhadap lapisan struktur di bawahnya.
Dalam konteks birokrasi negara, fakta "perselingkuhan" di rutan merupakan rangkaian dari struktur yang lebih besar. Karena itu, tak aneh mendengar komentar petugas LP yang menganggap fasilitas mewah untuk orang tertentu di rutan itu sesuatu yang wajar dengan merefer pada perilaku aparatur negara secara umum. Inilah distorsi dan deviasi birokrasi negara.
Akibatnya impersonalitas yang melekat dalam birokrasi modern hancur. Birokrasi kita layaknya sebuah bangunan yang dikendalikan oleh individu-individu dengan memaksimalkan hirarki otoritas personalnya untuk mendominasi. Inilah yang disesali Max Weber karena birokrasi ternyata menjelma menjadi organ yang mekanistik dominatif yang mempersempit nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itu, diperlukan revitalisasi dan refungsionalisasi birokrasi, khususnya pada aspek efisiensi untuk mencegah menjamurnya fenomena pamer kemewahan sebagai bentuk deviasi. Dalam konteks rutan, efisiensi dapat dilakukan melalui apa yang oleh Foucault disebut panoptisisme yang mensistematisasi kontrol berfungsi secara otomatis, efisien, dan optimal. Negara tidak membutuhkan birokrasi atau lembaga-lembaga yang banyak yang justru membuka peluang lebih luas bagi terjadinya deviasi.
Dalam konteks kenegaraan, panoptisisme dapat menstimulasi kesadaran para elite baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif sebagai sosok yang selalu merasa dikontrol dan diawasi setiap saat oleh rakyat, tanpa harus didemo setiap hari. Dari sini, sikap dan perilaku elite diharapkan terhindar dari unsur-unsur yang berlebihan (mewah), melampaui wewenangnya. Semoga.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/01/15/ArticleHtmls/15_01_2010_012_002.shtml?Mode=1