Thursday, July 02, 2009


Opini

Meritokrasi dalam Pilpres
Seputar Indonesia
, Kamis, 2 Juli 2009

A. Bakir Ihsan

Beberapa hasil survei terkait elektabilitas capres-cawapres belakangan ini menunjukkan pasang surut. Ada yang naik, turun, dan stagnan. Hasil survei LSI yang dilansir Rabu, 24 Juni lalu, misalnya, menunjukkan kenaikan pasangan JK-Wiranto, penurunan pada SBY-Boediono, dan stagnasi pada pasangan Mega-Prabowo.

Dinamika tingkat elektabilitas tersebut secara faktual berjalin seimbang dengan “manuver” yang dilakukan oleh masing-masing pasangan, termasuk atmosfir awal pasangan itu dideklarasikan. Sebagai pasangan yang mendeklarasikan paling awal, JK-Wiranto punya momentum lebih panjang untuk mensosialisasikan dirinya. SBY-Boediono menyusul dan Mega-Prabowo, deal-nya di babak akhir masa pendaftaran di KPU.

Walaupun deklarasi SBY-Boediono belakangan, namun SBY punya modal awal yang cukup menjanjikan. Paling tidak dari beragam survei sebelumnya, eksistensi SBY sebagai capres mengungguli capres lainnya.

Namun di sisi lain, pendeklarasian SBY-Boediono membawa beban dengan penyematan isu neoliberalisme. Isu ini mungkin tidak terlalu seksi bagi masyarakat kebanyakan. Namun isu ini, membuat gamang koalisi partai pendukunga SBY-Boediono. Sehingga soliditas dukungan partai koalisi tidak bulat. Hal ini bisa dilihat dari gairah dukungan parpol koalisi untuk, paling tidak, mempertahankan tingkat elektabilitas awal SBY yang sempat mencapai 70%.

Mengikis Pragmatisme
Terlepas dari dinamika elektalibatas SBY yang labil itu, ada satu prinsip yang sejatinya menjadi titik perhatian, khususnya capres-cawapres, dalam konteks pembangunan demokrasi. Yaitu pilihan pasangan berdasarkan kualitas (meritokrasi). Tampaknya ini yang dikedepankan SBY dalam memilih Boediono.

Pilihan SBY atas Boediono sebagai cawapresnya merupakan pertaruhan di tengah menguatnya pragmatisme politik. Pertimbangan koalisi banyak dilatari oleh kalkulasi dan transaksi politik untung rugi. Boediono sebagai profesional (taknokrat) bukan pilihan prospektif, populer, apalagi pragmatis politis bagi SBY. Bahkan SBY mengakui, modal pilihan terhadap Boediono bukan aspek politik-pragmatis, tapi lebih pada kompetensi dan integritasnya sebagai seorang muslim yang lurus, jujur, berkompeten, tidak punya konflik kepentingan politik dan bisnis.

Secara politik, modal tersebut tidak cukup untuk mendulang dan menaikkan tingkat elektabilitas SBY sebagai capres. Apalagi menurut survei, keberadaan Boediono sebagai cawapres SBY tidak memberi nilai tambah, walaupun juga tak memberi nilai minus (LSI, Mei 2009). Pertaruhan Boediono ini tentu bukan tanpa alasan. Pengalaman koalisi masa lalu (postfactum) menyebabkan SBY hanya dikesankan sebagai orang yang, menurut Eep Saefulloh Fatah, mengambil keuntungan dari apa yang tidak diperbuatnya. Atau dalam bahasa yang lebih ekstrem, seperti diiklankan Syafii Maarif, SBY beruntung karena JK. Kesan dan citra ini tidak bisa dilepaskan dari faktor kalkulasi dominatif politik daripada kemestian dan fatsun politik.

Karena itu, pilihan Boediono bisa jadi sebagai antitesa dari praktik dwitunggal sebelumnya yang memunculkan kesan tumpang tindih kerja presidensialisme. Kehadiran Boediono yang lebih didasarkan pada aspek kualitas diharapkan terjadi pembagian dan pelaksanaan tugas yang jelas dengan tetap berpijak pada sistem presidensial. Dengan begitu, dapat menghindari duplikasi dan overlaping peran antara presiden dan wakilnya seperti terjadi pada masa sebelumnya. Apalagi Boediono tidak punya modal politik baik untuk bermanuver bagi kepentingan jangka pendek; pencitraan diri, maupun jangka panjang; kontestasi capres 2014. Namun di sisi lain, faktor ini pula menjadi titik krusial bagi SBY dalam kontestasi pilpres apabila tidak didukung oleh koalisi yang solid dengan kontrak politik yang jelas serta program yang dapat diandalkan untuk dijalankannya.

Meritokrasi
Pilihan berdasarkan kualitas dalam pemilihan capres atau cawapres harus dimulai. Apalagi pada pemilu 2014 nanti, regenerasi mulai berlangsung. Regenerasi berdasarkan meritokrasi tidak hanya pada tataran kepemimpin di eksekutif. Partai politik yang menjadi jembatan aspirasi rakyat sejatinya mulai memperkuat sistem meritokrasi dalam rekruetmen dan kaderisasi kepemimpinannya.

SBY sangat punya peluang untuk merangkul cawapres dari partai besar, seperti Golkar. Bahkan pasca pengumuman kemenangan Partai Demokrat, JK bolak balik ke Cikeas untuk membangun koalisi. Tampaknya SBY tidak tergoda untuk memupuk pragmatisme politik. Tentu langkah ini dilakukan karena SBY merasa cukup punya dukungan dari masyarakat dalam Pilpres. Apalagi PD yang mengusungnya menjadi pemenang dalam pileg.

Karena itu, pilihan meritokratis dalam menggandeng cawapresnya, SBY lebih mengandalkan “nilai jual” yang ada pada dirinya. Ini berbeda dengan capres-cawapres lainnya yang bisa menjual representasi sosio-geografis; Jawa-luar Jawa; representasi gender, atau representasi identitas; nasionalis-agamis. Bahkan jauh sebelumnya, capres-cawapres selain SBY-Boediono mensosialisasikan dirinya sebagai capres.

Sebagai incumbent, SBY tentu memiliki modal lebih untuk memaksimalkan dukungan pemilih. Persepsi positif atas program pro rakyat dan pemberantasan korupsi merupakan modal yang sulit dilepaskan dari SBY sebagai presiden. Namun yang lebih penting dengan modal yang dimilikinya adalah menjadikan kontestasi pilpres ketiga di era reformasi ini sebagai kompetisi yang memperjelas arah penguatan konsolidasi demokrasi demi kesejahteraan rakyat. Ini sejatinya menjadi pertaruhan, karena SBY tidak memiliki modal untuk mengeksploitasi sentimen representasi sosio-geografis atau sosio-ideologis maupun teologis; nasionalis-agamis. Apalagi di tengah masyarakat berharap perwujudan kesejahteraan dan manfaat substantif demokrasi dalam keragaman.

Karena itu, isu sentimen kedaerahan dan keagamaan walaupun untuk sebagian masih ada, justru akan menjadi kontraproduktif bagi konsolidasi demokrasi yang mulai bersemi. Apalagi di tengah masyarakat muslim Indonesia, sebagai mayoritas, mulai meyakini demokrasi sebagai sistem terbaik. Karena itu, keyakinan ini bisa menjadi rapuh apabila elite politik, khususnya para konstestan Pilpres masih memainkan isu SARA, khususnya masalah agama dan kedaerahan.

Tampaknya inilah salah satu alasan (pertaruhan) SBY dalam memilih wakilnya dengan segala konsekuensinya, termasuk menurunnya tingkat elektabilitasnya. Sejatinya aspek inilah yang perlu terus dimaksimalkan oleh tim sukses SBY-Boediono. Kalau pun hasilnya tak seperti yang diharapkan, paling tidak SBY memulai tradisi baru dalam kontestasi demokrasi dengan mengedepankan meritokrasi dan meminimalisasi sentimen primordial yang dalam titik ekstrem, bila dibiarkan, melahirkan diskriminasi.*