Friday, September 23, 2011

Reshuffle, Quo Vadis?



Opini

Reshuffle Berbasis Kompetensi
Investor Daily, Jum’at, 23 September 2011

A. Bakir Ihsan

Di hadapan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memastikan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pada Oktober mendatang. Pernyataan Presiden tersebut menjawab pertanyaan Apindo yang meminta kejelasan atas gonjang-ganjing isu reshuffle yang berhembus di media massa. Apindo menganggap wacana reshuffle menyebabkan ketidakpastian di sektor ekonomi. (Investor Daily, 21/9).

Di ranah lain, wacana reshuffle mengundang kalkulasi-kalkulasi prediktif terkait sosok yang akan diganti. Para analis dan politisi berbagi dan bersilang analisa, walaupun Presiden yang punya kuasa. Sementara rakyat terus bergulat dengan nafas kehidupannya tanpa peduli ada reshuffle atau tidak. Kita sadar bahwa reshuffle bukan segalanya, apalagi KIB II berbasis partai politik. Wajar bila orang bilang; reshuffle lebih menyangkut hidup mati kepentingan partai politik.  

Isu reshuffle tak berhembus kali ini saja. Beberapa bulan lalu, reshuffle juga membahana di media massa, tapi tak kunjung nyata. Pemicu reshuffle tak lepas dari hasil evaluasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) atas kinerja kabinet yang menunjukkan rapor merah beberapa kementerian saat itu.

Reshuffle kali ini seakan mendapat momentumnya seiring kinerja pemerintahan yang belum juga memuaskan. Hasil beberapa survei menunjukkan turunnya kepuasan publik atas kinerja pemerintah. Lingkaran Survei Indonesia, 18 September lalu, misalnya, merilis hasil surveinya tentang kepuasan publik atas tahun kedua masa pemerintahan SBY-Boediono. Menurut hasil survei, kepuasan publik atas pemerintah tinggal 37,7 persen. Angka terendah dibandingkan dengan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono yang masih berkisar 52,3 persen, atau pada satu tahun pemerintahannya yang berkisar pada 46,5 persen.

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan SBY-Boediono tentu tidak hadir begitu saja. Ia merupakan akumulasi dari rasa dan respon masyarakat terhadap kinerja kabinet yang didominasi oleh kader partai politik. Ketidakpuasan terhadap kinerja para menteri berakibat pada kekecewaan yang memuncah terhadap Presiden SBY yang selama ini menjadi sasaran ajang kritik.

Dilema Partai Dilema Menteri

Bangunan KIB II yang didominasi kader partai layaknya mata pedang. Ia bisa memuluskan kerja pemerintah, tapi bisa juga menjadi duri yang menghambat laju realisasi program pemerintah. Adanya beberapa kasus yang mengait dengan menteri dari partai politik menjadi beban tersendiri bagi Presiden SBY. Belum lagi problem internal yang dihadapi partai politik yang pada titik tertentu berdampak terhadap kinerja KIB II.

Dampak domino dari citra partai politik terhadap pemerintahan SBY-Boediono merupakan konsekuensi logis dari keterlibatan partai di dalam kabinet. Partai politik sebagai sumber legitimasi para kader partai di kabinet berdampak pada citra Presiden SBY sebagai pemegang hak prerogatif atas keberadaan menteri. Problem dan citra negatif yang mendera partai politik akibat ulah menyimpang kadernya di lembaga publik, seperti korupsi dan tindak asusila lainnya, secara tidak langsung juga menjadi “beban” dalam pelaksanaan tugas di kementerian. Belum lagi tingkat identifikasi atau kedekatan pemilih dengan partai politik (partyID) yang tergolong rendah. Seperti dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI), kedekatan pemilih dengan partai politik hanya berkisar 20 persen. Selebihnya merasa tidak punya kedekatan dengan partai politik. Fakta ini merupakan problem tersendiri, ketika kabinet dibangun berdasarkan koalisi partai politik. Hal ini yang akan dirasakan dalam tarik menarik reshuffle KIB II.

Walaupun secara yuridis, presiden memiliki hak prerogatif untuk membongkar pasang kabinetnya, namun pertimbangan partai politik akan tetap menjadi poin penting. Karena itu, reshuffle terhadap kader partai politik di kabinet tidak akan lepas dari “untung rugi” partai yang mengusungnya dan jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Ini merupakan konsekuensi logis dari kabinet berbasis partai politik dengan ongkos yang ditanggungnya.
 
Reshuffle untuk apa?

Di sisi lain, problem sosial yang menghampar di negeri ini memerlukan kerja keras untuk mengatasinya. Selain penyakit akut korupsi, kemiskinan, dan pengangguran, juga ada eskalasi kekerasan pada ranah sosial yang siap meledak sewaktu-waktu. Klaim kebenaran atas nama kelompok yang bermuara pada tindakan sepihak atau konflik antar kelompok, akan terus menjadi ancaman yang secara langsung mendegradasi kinerja pemerintah.

Eskalasi kekerasan ini terjadi karena pengabaian atas urgensi kesadaran berbangsa. Ironisnya para elite politik tak banyak menyentuh persoalan ini karena disibukkan oleh kepentingan pribadi (vested interest) maupun kelompoknya. Bahkan sebagian elite menunjukkan tingkah laku politik yang kontradiktif bagi upaya penguatan berbangsa. Berbangsa bukan sekadar menumbuhkan rasa bersama sebagai warga, tapi sikap dan perilaku yang menunjang bagi terwujudnya kehidupan yang adil dan sejahtera, yaitu hidup tanpa korupsi dan diskriminasi.

Konsentrasi elite bagi kepentingan kelompoknya, baik dalam konteks partai politik maupun kepentingan sektarian lainnya, ikut memperparah problem sosial yang terjadi. Dalam konteks ini, reshuffle bukan lagi berkutat pada siapa diganti siapa, tapi untuk apa? Reshuffle bukan hanya mengganti atau menggeser sosok, tapi terkait landasan dibalik pergantian, misi yang hendak dijalankan, dan tujuan yang harus dicapai.

Pertaruhan Sejarah

Pilihan Presiden SBY membangun KIB II berbasis partai politik sudah menjadi fakta. Merombak basis tersebut akan memunculkan kegaduhan politik baru yang justru bisa berdampak pada instabilitas kepemimpinan Presiden SBY dalam mengakhiri masa pengabdiannya. Karena itu, dari perjalanan KIB II selama dua tahun ini, Presiden SBY sejatinya memahami betul karakter masing-masing partai politik melalui kader-kader di kabinet yang dipimpinnya.

Kalau berpijak pada problem akut yang berlangsung saat ini, seperti korupsi, kemiskinan, dan rendahnya toleransi di dalam kehidupan masyarakat, maka reshuffle sejatinya bisa menjawab hal tersebut dengan mengedepankan sosok-sosok yang memiliki kapabilitas, integritas, dan kompetensi yang diterima masyarakat dan didukung oleh partai politik. Sosok yang tampil tak harus berasal dari partai politik, tapi mendapat apresiasi dari partai politik karena dinilai punya sinergi dan kompetensi. Paling tidak, eksistensinya tak diganggu gugat oleh partai politik, sehingga bisa bekerja maksimal untuk kementerian yang dipimpinnya.

Kalau berhitung masa kerja SBY yang tersisa 3 tahun lagi, di akhir masa pengabdiannya sebagai presiden, maka memuaskan publik lebih mendesak untuk dijawab daripada memenuhi kepentingan jangka pendek partai politik yang sangat mencair. Walaupun reshuffle kabinet bukan segalanya di dalam kehidupan bernegara, paling tidak ia bisa menghadirkan optimisme baru di tengah menurunnya harapan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan demikian, reshuffle kabinet bisa mengurangi kesan elitisme kekuasaan akibat transaksi politik partai yang lebih mementingkan logistik daripada aspirasi rakyat. Inilah pertaruhan reshuffle KIB II yang akan mengantarkan purna tugas SBY dalam catatan hitam putih sejarah.

Monday, September 12, 2011

















Opini

Berindonesia Karena Beragama
KORAN TEMPO, Jum’at, 9 September 2011

A. Bakir Ihsan

Suasana keberagamaan dan kebangsaan kita dikesankan begitu mengait karena, salah satunya, adanya kebersinggungan secara simbolik antara peristiwa kemerdekaan dengan bulan suci umat Islam. Persis sebagaimana peristiwa yang sama 66 tahun lalu. Begitu juga sumbangsih umat Islam dalam melahirkan Indonesia sebagai negara bangsa, bukan negara agama. Tampaknya kaitan simbolik tersebut kehilangan substansinya karena sampai saat ini Indonesia (negara) dan Islam (agama) masih menyisakan beberapa agenda.

Pertama, agenda kebangsaan tampaknya belum sepenuhnya terpatri dalam hati anak bangsa. Berbangsa masih dipahami sebagai kemestian sejarah, tanpa mengerti mengapa harus berbangsa. Kesadaran berbangsa ini penting diaktualisasikan karena berdampak pada perangai kehidupan berpolitik, ekonomi, hukum, dan lainnya. Problem yang menjejal negara saat ini, karena kebangsaan terdistorsi oleh kepentingan kelompok, golongan, dan entitas primordial lainnya.

Kedua, agama sebagai ruh warga negara dalam beberapa hal mengalami penguatan simbolik. Hasrat untuk simbolisasi agama pada ranah publik (negara) oleh sebagian orang dianggap sebagai sebuah keniscayaan atas nama demokrasi. Konsekuensinya, energi anak bangsa terkuras oleh problem simbolik yang sejatinya sudah terselesaikan dengan ideologisasi Pancasila.

Ketiga,  Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk belum sepenuhnya diejawantahkan sebagai sebuah kesenyawaan dalam berbangsa. Agama (Islam) masih ditempatkan sebagai ritual yang berdimensi ketuhanan terpisah dari akar kebangsaan. Konsekuensinya, berbangsa tak berkorelasi dengan keberagamaan atau sebaliknya.


Semangat kewargaan

Karena itu, perlu peretasan dikotomi kebangsaan (berindonesia) versus keberagamaan (berislam). Secara historis, agama dan negara memang lahir dari rahim yang berbeda. Agama berdimensi supranatural, sementara negara (bangsa) natural. Namun dalam praktiknya, keduanya tak bisa dipisahkan. Agama membutuhkan negara untuk menguatkan eksistensinya dan negara membutuhkan agama sebagai pandu nilai. Pun yang terjadi di negeri ini. Pergulatan panjang relasi antara agama dan negara yang berlangsung pada awal kemerdekaan, seharusnya memperkuat ruang konvergensi bagi rancang bangun kebangsaan yang semakin sublim.

Yang muncul saat ini justru penguatan dikotomik antara agama dan negara difasilitasi oleh beragam kepentingan pragmatis. Sejak reformasi bergulir, masing-masing orang atas nama kelompok mendedahkan dirinya dalam distingsi keagamaan. Kekerasan antar umat beragama seakan tak terbendung karena masing-masing menafsirkan eksistensinya berdasarkan agama. Di sinilah pentingnya tafsir kebangsaan dalam setiap problem yang dihadapi anak bangsa.

Tafsir kebangsaan tidak bisa dibiarkan mengalir di antara ragam kepentingan. Sebagai sebuah wacana, tafsir agama tetap niscaya di ranah publik, tapi hal tersebut harus didasarkan pada semangat kewargaan (spirit of citizenship). Semangat yang, dalam perspektif Dennis W. Organ (2006), didasarkan pada ketaatan, loyalitas, dan partisipasi. Ketiga hal ini semakin langka justru di tengah reformasi dan demokrasi bergulir.

Karena itu diperlukan penguatan perspektif terkait wacana dan sikap keberagamaan dalam konteks keindonesiaan. Pertama, wacana dan sikap keberagamaan harus didasarkan pada upaya peneguhan ketaatan warga pada tatatertib bernegara. Bukan sebaliknya, memicu ketegangan dan kekerasan antara atau intern umat beragama yang mengancam stabilitas.

 Kedua, dalam konteks loyalitas, wacana keagamaan harus dimunculkan sebagai wujud hasrat untuk mengorbankan kepentingan pribadi atau kelompok bagi kepentingan publik atau kelangsungan negara. Bukan sebaliknya, wacana keagamaan dimunculkan untuk mensubordinasi kehendak publik atau negara.

Ketiga, wacana dan sikap keberagamaan harus dibangun sebagai bentuk “pengorbanan” umat bagi negara. Diperlukan kemauan umat untuk aktif (partisipatif) dalam kehidupan bernegara sebagai ekspresi dari keberagamaannya.


Peran sinergis

Aktualisasi spirit kewargaan ini sangat memungkinkan sekaligus urgen karena realitas dinamika kehidupan warga negara yang diliputi oleh situasi paradoks. Yaitu antara surplus kebebasan sebagai imbas demokrasi di satu sisi, dan kecenderungan eksklusivitas dan ketidaktaatan di sisi lain.

Atas nama kebebasan sebagian orang, bahkan lembaga publik merasa paling berwenang dan mengabaikan wewenang lembaga lainnya. Atas nama otonomi daerah, misalnya, daerah mengabaikan pusat, gubernur mengabaikan presiden, dan rakyat pun mengabaikan pemerintah daerah. Masyarakat dan negara bergerak secara diametral.

Dalam kondisi demikian, agama sebagai sumber nilai sejatinya menjadi pijakan yang secara konsisten (istiqamah) menopang eksistensi warga dalam bernegara. Bukan malah sebaliknya, memprovokasi warga untuk mengintervensi atau bahkan menolak negara. Karena itu, elite agama maupun negara sejatinya bergandeng tangan menyapa warga secara egaliter sebagai warga bangsa, bukan sebagai pemeluk agama. Ini agenda yang tidak mudah di tengah sikap keberagamaan elit yang demi kepentingan pragmatis tertentu memperkokoh isu-isu berlabel agama.

Dengan demikian, agama betul-betul menjadi sumber nilai, bukan pijakan simbolik bagi kepentingan pragmatis sekelompok atau segolongan orang. Hal ini yang seharusnya dipelopori oleh umat Islam sebagai mayoritas yang secara langsung maupun tidak langsung, memegang kendali atas ruang publik. Di sinilah kebangsaan sejatinya tumbuh sebagai ekspresi keberagamaan. Bahwa semakin tinggi tingkat keberagamaan (keislaman) seseorang, seharusnya semakin dalam keterlibatannya dalam memperkuat pilar kebangsaan.

Tuesday, June 21, 2011

Problem Ekonomi Politik TKI


Opini

Problem Ekonomi Politik TKI

Investor Daily, Selasa, 21 Juni 2011

A. Bakir Ihsan

We have therefore taken institutional, administrative and legal steps, to protect and empower our migrant workers.” Demikian penggalan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan Konferensi Organisasi Buruh Internasional (ILO), di Geneva, Swiss, 14 Juni lalu.

Pidato tersebut menawarkan optimisme terhadap nasib para pekerja, termasuk para pekerja migran. Namun, belum sepekan pidato itu dilansir, Ruyati binti Satubi, penata laksana rumah tangga meregang nyawa akibat dihukum pancung di Arab Saudi. Menurut data Migrant Care, masih terdapat 23 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati di negeri monarki itu.

Sementara itu, menurut data Kemenlu, sejak 1999 sampai saat ini, terdapat 303 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri. Sebuah angka yang sangat menggetirkan karena menyangkut nyawa anak bangsa yang berjuang membiayai hidupnya di luar negeri.

Kalau begitu, apa yang salah dengan negeri ini? Pertanyaan ini sangat penting karena dua hal. Pertama, secara politik, sudah kesekian kalinya Presiden SBY memberi perhatian terhadap nasib TKI. Bahkan tidak lama setelah terpilih menjadi presiden pada 2004, SBY memberikan perhatian khusus dan berdialog langsung dengan TKI. Waktu itu, SBY menyebut TKI sebagai pahlawan karena mampu meretas problem pengangguran yang masih cukup tinggi di Tanah Air. Namun, sepanjang itu pula, persoalan TKI tamapk belum beranjak jauh.

Kedua, secara ekonomi, keberadaan TKI memberikan sumbangsih yang cukup signifikan terhadap perekonomian dalam negeri. Perjuangan hidup para TKI di luar negeri menghasilkan devisa yang tidak kecil. Menurut data Bank Indonesia (BI), hingga akhir September 2010, kiriman uang dari TKI mencapai US$ 5,03 miliar dan terbesar kedua berasal dari TKI di Arab Saudi. Ini merupakan sumbangsih dari keringat TKI untuk negara. Sebagian TKI berhasil mengangkat perekonomian keluarganya, tapi sebagian lainnya sekadar untuk membiayai hidup subsisten.

Problem Struktural

Kalau dilihat secara struktural, rekonstruksi terhadap beragam kendala bagi dunia tenaga kerja tak sedikit yang sudah dilakukan. Revisi undang-undang, perbaikan sistem, rekonstruksi kelembagaan terkait TKI, bahkan memorandum of understanding (MoU) antara negara sudah ditandatangani. Namun, rekonstruksi pada tataran struktural itu tak berdampak maksimal terhadap nasib tenaga kerja. Paling tidak perubahan pada tataran struktural tersebut tak dirasakan langsung oleh para tenaga kerja itu sendiri. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

Pertama, rekonsktruksi dilakukan hanya didasarkan pada “kesepakatan” sepihak antara eksekutif dan legislative tanpa melibatkan secara maksimal tenaga kerja sebagai stakeholder. Terbukti berbagai proses rekonstruksi pada tataran sistem tersebut ternyata belum mampu memberi jawaban yang memuaskan terhadap persoalan ketenagakerjaan.

Kedua, masalah tenaga kerja rupanya bukanlah masalah “seksi”, sehingga tidak menarik perhatian secara politik bagi para anggota DPR. Anggota dewan rupanya lebih banyak bergulat dengan persoalan “proyek basah,” seperti masalah anggaran. DPR sebagai penyambung lidah sekaligus kontrol rakyat terhadap Negara tak menunjukkan kegigihannya memperjuangkan suara konstituennya di luar negeri, kecuali hanya bersikap reaktif dengan berjemaah mengutuk tanpa upaya konkret. Padahal, pertahanan terakhir yang sah bagi perjuangan nasib tenaga kerja pada level nasional adalah para wakil rakyat di DPR.

Di sisi lain, perlakuan semena-mena terhadap TKI oleh negara lain menunjukkan lemahnya posisi tawar sekaligus kedaulatan negara. Keberadaan lembaga terkait, seperti kementerian luar negeri, kementerian tenaga kerja dan transmigrasi, serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), seolah tak punya apa-apa untuk TKI. Padahal, mereka sejatinya menjadi garda terdepan untuk menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan sebagaimana sering digembar- gemborkan oleh Presiden SBY.

Potret Retak

Persoalan TKI bukan sekadar menunjukkan problem diplomasi, tapi juga menyangkut potret ekonomi-politik yang selama ini sering dibanggakan karena klaim keberhasilan. Dalam hal politik, misalnya, negara Indonesia selama ini dianggap sebagai Negara muslim terbesar yang berhasil menerapkan demokrasi.

Sementara dalam hal ekonomi, Indonesia termasuk negara yang mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Bahkan Bank Dunia memprediksi Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya selama dua tahun ke depan, yaitu dari 6,1% pada 2010 menjadi 6,4% pada 2011 dan meningkat lagi menjadi 6,7% pada 2012.

Namun, potret keberhasilan dalam ekonomi dan politik tersebut ternyata tak berbanding lurus apabila dikaitkan dengan nasib TKI. Keberadaan TKI menunjukkan adanya problem ekonomi yang melanda sebagian masyarakat, sehingga mereka pun mencoba mencari nafkah sampai ke luar negeri.

Namun demikian, “mengais” rejeki di negeri orang tak berarti kita harus menggadaikan kedaulatan dan martabat bangsa demi meraup keuntungan ekonomi. Karena kalau ini terjadi, berarti kita melanggengkan sejarah pengiriman tenaga kerja yang dilakukan oleh kolonial pada abad ke-19. Saat itu, pengiriman TKI dilakukan oleh Belanda untuk menjadi kuli kontrak di Suriname, New Calidonia, Siam, dan Sarawak. Pengiriman tenaga kerja ini sebagai bagian dari eksploitasi untuk kepentingan ekonomi penjajah.

Sekarang, tak boleh ada lagi Negara atau pemerintah mana pun yang memperlakukan warganya atau warga negara lain seperti ketika zaman kolonial. Karena itulah, sebagai bangsa berdaulat, pemerintah/negara harus menjaga dan meningkatkan martabat warga negaranya di mata dunia.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan kehidupan demokrasi yang bertumbuh subur, pemerintah kita sejatinya sudah punya modal kuat untuk memartabatkan warga negara di mata dunia. Apalah arti pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pembangunan demokrasi yang berhasil bila negara tak mampu mendaulatkan anak bangsa.

http://www.investor.co.id/opini/problem-ekonomi-politik-tki/14509

Friday, March 25, 2011

Open Society & Krisis Ekonomi Politik Global


Opini

Open Society & Krisis Ekonomi Politik Global

Jurnal Nasional, Jum’at, 25 Maret 2011

A. Bakir Ihsan

Dunia dirundung duka. Gonjang-ganjing politik di kawasan Timur Tengah tak juga usai. Bahkan duka itu menebar ancaman bagi ekonomi politik global. Harga minyak mentah dunia terus menanjak naik. Krisis di Libya yang berdampak pada naiknya harga minyak dunia, menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, menjadi “lampu kuning” bagi APBN 2011.

Krisis politik yang menjalar di antara negara-negara muslim ini patut menjadi perhatian bersama. Bukan sekadar karena dampaknya bagi perekonomian dunia saat ini, tapi dalam jangka panjang krisis yang dihadapi negara-negara Islam itu tidak selesai dengan jatuhnya para diktator. Problem yang lebih besar masih menghantui negara-negara yang mayoritas bertumpu pada kekayaan minyak itu.

Beberapa waktu lalu, lembaga riset Pew Forum on Religion & Public Life (http://pewforum.org) melansir temuannya terkait pertumbuhan penduduk muslim di dunia. Menurut hasil riset yang bertajuk; The Future of the Global Muslim Population ini, pada 2030 jumlah penduduk muslim dunia akan mengalami peningkatan. Saat ini (2010) jumlah muslim dunia adalah 1,6 miliar dan akan bertambah menjadi 2,2 miliar pada 2030.

Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari pertumbuhan penduduk muslim yang tersebar di berbagai negara, baik di negara (berideologi) Islam, negara (berpenduduk) muslim, maupun negara sekuler dengan tingkat persentase yang beragam. Yang menarik, kalau selama ini Indonesia menjadi negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, pada 2030 akan tergeser oleh Pakistan. Umat Islam di Indonesia, dua puluh tahun mendatang diperkirakan bertambah menjadi 238.833 juta, tertinggi kedua setelah Pakistan 256.117 juta. Apa yang menarik kita baca dari data yang di-release 27 Januari lalu itu?

Efek domino

Peningkatan jumlah penduduk muslim, sebagaimana pertumbuhan penduduk lainnya, selalu memunculkan dua efek. Selain jumlah penduduk dapat menguatkan eksistensi, juga secara ekonomi-politik kuantitas bisa mempengaruhi arah kebijakan politik. Dalam kontestasi politik misalnya, kuantitas jumlah suara akan sangat menentukan bagi terpilih atau tidaknya kontestan. Dalam hal ini kuantitas suara memiliki daya tawar (bargaining position) yang signifikan. Begitu juga secara ekonomi, jumlah penduduk juga ikut menentukan terhadap akumulasi modal yang beredar di tengah masyarakat. Namun demikian, jumlah penduduk juga punya konsekuensi lain.

Akhir Januari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan peserta pertemuan World Economic Forum (WEF) di Kongresszentrum, Davos, Swiss mengingatkan tentang dampak “ledakan” penduduk dunia pada 2045. Menurut data yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 30 atau 40 tahun yang akan datang jumlah penduduk dunia akan mencapai 9 miliar dengan beragam konsekuensinya baik pada tataran global maupun nasional.

Pertumbuhan penduduk tersebut memiliki efek domino bagi kehidupan global. Pertumbuhan yang terus meningkat sementara persediaan alam terbatas, bahkan terus berkurang bisa memicu konflik dalam perebutan sumberdaya yang langka. Pertumbuhan tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan kebutuhan manusia. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) PBB, kebutuhan dunia terhadap pangan akan meningkat 70% dari kebutuhan sekarang. Sementara kebutuhan energi akan meningkat 60% dari yang dikonsumsi dewasa ini. Ini memiliki makna dan konsekuensi yang luas, dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia sejagad.

Dampak tersebut dengan sendirinya akan dirasakan oleh umat Islam sebagai bagian dari penduduk dunia. Kalau kita lihat keberadaan umat Islam saat ini baik secara politik maupun ekonomi masih berada di bawah rata-rata. Negara-negara Islam di Timur Tengah walaupun menjadi sumber utama minyak dan energi dunia, tetapi geopolitiknya dihantui oleh kerawanan konflik yang siap meledak setiap saat, sehingga mengganggu perekonomian nasional dan global. Belum lagi, sistem politik di beberapa negara muslim masih jauh dari sistem keterbukaan dan karenanya menyimpan potensi-potensi gejolak yang siap meledak setiap saat. Begitu juga potensi-potensi konflik komunal, baik etnis maupun madzhab, yang bisa menghambat soliditas dan solidaritas keummatan. Dan problem tersebut akan semakin kompleks seiring dengan pertumbuhan penduduk dengan beragam efeknya.

Open Society

Karena itu, pertumbuhan penduduk menuntut adanya pengelolaan yang efektif. Keragaman paham, madzhab, dan etnis akan menjadi kendala apabila tidak diikuti oleh pengelolaan yang baik oleh negara. Konflik komunal akan berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk dengan segala keragaman dan kompleksitasnya. Apalagi bila konflik tersebut bertalitemali dengan politik kekuasaan. Ia tak hanya mengancam solidaritas keummatan, tapi juga kemanusiaan.

Fenomena konflik dan tindak kekerasan yang belakangan ini terjadi di berbagai belahan negara merupakan rangkaian dari kegagalan pengelolaan terhadap keragaman. Pengelolaan yang diperlukan bukan sekadar aturan main, tapi keterbukaan yang ditandai oleh kesediaan untuk saling menghargai perbedaan. Karena itu, diperlukan sistem politik yang memungkinkan adanya negosiasi dan koreksi. Kekerasan yang terjadi di Mesir, Tunisia, Sudan, Libya, Bahrain, dan beberapa negara lainnya menunjukkan matinya keterbukaan (open society) yang mengunci negosiasi dan koreksi.

Ini merupakan agenda yang tidak kalah beratnya karena kebanyakan negara-negara muslim, sebagaimana temuan teranyar Freedom House (2011), masih berkubang dalam otoritarianisme. Terkait hak-hak politik dan kebebasan sipil, dalam release yang bertajuk Freedom in the World 2001, Freedom House menunjukkan bahwa negara-negara muslim, khususnya di Timur Tengah dan Afrika Utara, 78% masih tergolong sangat rendah (not free). Konflik dan kekerasan cenderung menjadi catatan harian umat Islam.

Dalam kondisi demikian, pertumbuhan penduduk muslim dengan tingkat keragamannya akan menambah kompleksitas peta konflik di kalangan umat Islam sendiri. Di tengah sistem dunia yang semakin mengglobal ini, konflik dan problem sebuah entitas akan berdampak pada negara lainnya. Karena itu, keterbukaan (open society) yang ditandai oleh kultur dan struktur yang toleran, transparan, inklusif, dan responsif menjadi keharusan. Hanya dengan itu, pertumbuhan penduduk muslim akan menjadi faktor signifikan bagi pembumian misi profetik damai untuk semesta (rahmatan lil alamin). Semoga.

Thursday, March 10, 2011

Reshuffle Kabinet & Efektivitas Kebijakan



Opini


Reshuffle Kabinet dan Efektivitas Kebijakan
Investor Daily, Kamis, 10 Maret 2011


Ahmad Bakir Ihsan


Reshuffle kabinet merupakan jalan akhir untuk merapikan koalisi yang sedang rapuh. Koalisi yang rapi diharapkan menjadi jalan mulus bagi terciptanya kinerja pemerintahan yang lebih baik. Namun demikian, tak ada jaminan bahwa reshuffle akan menjadi jalan terbaik untuk menekan maneuver politik.


Kritik dan serangan dari berbagai arah mata angin terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan ada problem dalam bangunan pemerintahannya, pun dalam koalisi. Problem ini tak dimungkiri oleh Presiden SBY sendiri.


Dalam rapat kerja pemerintah dengan pemerintah daerah dan BUMN di Istana Bogor, 21 Februari lalu Presiden mengeluhkan adanya hambatan dalam percepatan pembangunan karena ulah birokrasi pada level eselon I dan II yang mementahkan keputusan pusat. Begitu juga program-program pembangunan di tingkat daerah tak lebih sebagai pepesan kosong.


Fakta tersebut menunjukkan bahwa problem kenegaraan kita saat ini bergerak di antara dua kutub, yaitu problem birokrasi (kelembagaan) yang tak sinergis sehingga menghambat terhadap percepatan pembangunan sebagai landasan bagi pertumbuhan ekonomi, dan problem politik yang rapuh yang berakibat pada lambannya proses kinerja pemerintahan.


Kehadiran koalisi, yang sejatinya menjadi jalan lapang bagi stabilitas kinerja pemerintahan, ternyata hampir seperti pepesan kosong. Warna-warni partai koalisi ternyata tak seindah warnanya. Adagium “tak ada kawan dan lawan abadi” tampaknya lebih kuat daripada kehendak bekerja sama dalam koalisi.


Komitmen berkoalisi begitu mencair dan kesepakatan (kontrak politik) diperlakukan sesuai selera. Koalisi tak lebih simbol politik basabasi. Mengapa ini terjadi? Selama ini penyelesaian terhadap berbagai problem politik kebangsaan selalu didekati melalui pendekatan kelembagaan.


Tidak heran bila pascareformasi bermunculan beragam lembaga bak kecambah di musim hujan. Begitu pun dalam koalisi kepartaian. Terbentuknya sekretariat gabungan (Setgab) merupakan perpanjangan dari kehendak untuk “melembagakan” koalisi. Namun, seperti lembaga-lembaga lainnya, keberadaan Setgab gagal menjaga soliditas koalisi dan mendukung program pemerintah.


Sikap sebagian parpol koalisi yang berseberangan dengan pemerintah memperjelas segmentasi loyalitas parpol koalisi. Apa pun alasannya, sikap Partai Golkar dan PKS yang berseberangan dengan sikap partai koalisi, baik dalam Pansus Pajak maupun Century, merupakan tindakan — meminjam istilah Amien Rais — menusuk pinggang pemerintahan SBY. Penguatan Lembaga Realitas hiruk pikuk politik merupakan permukaan dari problem procedural yang menggurita seiring keniscayaan demokrasi di negeri ini.


Demokrasi, sebagaimana didedah Robert Dahl, tak pernah hampa dari problem. Bukan hanya pada tataran prosedural, pada ranah substansi pun khususnya terkait liberty (kebebasan) dan equality (kesetaraan), demokrasi terkadang terjebak dalam ironi. Namun dari problem itu, demokrasi terus mencari solusi melalui eksperimentasi- eksperimentasi sosiopolitik.


Karena itu, kisruh koalisi maupun dinamika politik lainnya, termasuk reshuffle kabinet, harus diletakkan sebagai proses dan upaya penyempurnaan atas “ironi-ironi” demokrasi, termasuk upaya penguatan lembaga-lembaga demokrasi.


Sulit dimungkiri, mekanisme kelembagaan politik kita masih jauh panggang dari api. Partai politik terkadang berwujud sekadar gerombolan kepentingan daripada jembatan bagi pengentasan apirasi rakyat. DPR sebagai epicentrum politik kepartaian dan kerakyatan tak jarang menjadi pasar transaksi kelompok atau bahkan pribadipribadi.


Akibatnya, keberadaan DPR sebagai lembaga perwakilan dan kontrol tak pernah dirasakan oleh rakyat sebagai stakeholder. Penguatan lembaga menjadi sangat penting, karena kekuatan yang bertumpu pada individu-individu tak akan menghasilkan terobosan substantif dalam proses penguatan demokrasi. Inilah yang diwanti-wanti oleh Gunnar Myrdal (Asian Drama, vol. I, 1968) ketika melihat masa gelap negara-negara Asia tahun 1960-an termasuk Indonesia.


Menurut Myrdal, problem yang dihadapi oleh sebuah negara bukan pada pemimpin yang lembek, tapi pada efektivitas kebijakan dan langkah yang diambil dalam proses kenegaraan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi tak bermakna karena tak mampu menstabilisasi lembaga Negara dan mendisiplinkan warganya, sehingga menjadi lahan subur korupsi dan menjamurnya kemiskinan. Itulah yang Myrdal sebut sebagai soft state.


Menimbang Reshuffle

Karena itu, agenda terpenting dari pemerintahan SBY dalam menyelesaikan problem bernegara, termasuk kisruh koalisi adalah penguatan lembaga. Problem koalisi lebih pada mekanisme (manajemen) yang seharusnya bergerak sesuai kontrak politik yang dibuat.


Manajemen tersebut terkait pula dengan reward and punishment yang diberlakukan tanpa tebang pilih. Reward and punishment tak bisa diserahkan pada partai terdakwa (menyimpang), tapi harus ditegakkan berdasarkan komitmen yang telah disepakati bersama.


Karena itu, reshuffle hanya bisa dilandaskan pada evaluasi kerja yang dipertanggungjawabkan pada publik. Dengan demikian, reshuffle akan meringankan kerja presiden dan jajarannya. Namun, bila reshuffle didasarkan pada transaksi politik, ia akan menjadi beban tambahan bagi pemerintahan SBY. Apalagi bila reshuffle hanya mengganti sosok dan menggeser partai tanpa integritas dan kapabilitas yang memadai. Ia bukan hanya menjadi beban bagi presiden, tapi juga berdampak pada terbengkalainya agenda percepatan dan perluasan pembangunan.


Stabilitas kerja pemerintahan akan selalu dirongrong oleh kepentingan transaksi politik. Karena itu, respons konkret dan logis dari Presiden sebagai pemegang hak prerogatif atas kabinet yang ditopang oleh partai koalisi menjadi pertaruhan bagi cepat lambatnya pembangunan untuk bangsa.


http://www.investor.co.id/opini/reshuffle-kabinet-dan-efektivitas-kebijakan/7352

Thursday, February 24, 2011

Me-Mesir-kan Indonesia?



Opini

Me-Mesir-kan Indonesia?
Jurnal Nasional, Kamis, 24 Februari 2011

Ahmad Bakir Ihsan


Ada pernyataan menarik dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi komentar beberapa pengamat dan politisi yang menganggap Indonesia bisa seperti Mesir. Yaitu didemo besar-besaran oleh rakyatnya dan menyebabkan presidennya terguling. Menurut Presiden SBY, Mesir adalah masa lalu Indonesia. Indonesia sudah melewati fase itu. Saat ini justru Mesir bisa belajar dari Indonesia yang lebih dulu mengalami reformasi.

Respon ini menarik karena peristiwa politik di Mesir oleh sebagian kalangan ditengarai akan berimbas ke Indonesia. Sebagaimana Mesir bergolak sebagai imbas dari penggulingan kekuasaan di Tunisia. Imbas ini dimungkinkan karena adanya beberapa indikator yang mendekatkan Indonesia dengan Mesir. Persoalan kemiskinan, pengangguran, dan korupsi merupakan prasyarat bagi munculnya pergolakan sosial.

Ada satu hal yang dilupakan dan justru menjadi faktor dominan bagi pergolakan di Mesir. Problem Mesir bukan sekadar Husni Mubarak sebagai sosok. Bukan sekadar kemiskinan atau pengangguran. Tapi kekuasaan otoriter yang bertahta begitu lama dan korup. Begitu juga Tunisia dan beberapa negara tetangga mereka. Mesir, sebagaimana dilansir Freedom House 2011, merupakan negara dengan sistem kekuasaan tak terbatas (otoriter) dengan segala konsekuensinya.

Dalam kekuasaan yang otoriter, kaidah dan fakta politik menengarai akan selalu berhilir pada korupsi. Sebagaimana ditulis Lord Acton dalam suratnya untuk Uskup Mandell Creighton tertanggal 3 April 1887, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men."

Sistemik

Mesir adalah sistem yang rusak. Sama seperti Indonesia periode lalu. Sistem dirusak oleh kekuasaan tak terbatas. Sistem hanya menjadi pengatur (regulasi) untuk melanggengkan kekuasaan. Semua organ bergerak sesuai dengan irama kekuasaan. Organ-organ sosial dikendalikan atau dikerdilkan. Dalam konteks Indonesia, semua bentuk tafsir atas negara ditentukan oleh penguasa. Kaidah berpikir dibuat agar cara pandang warga tak sampai pada limit subversif yang membuat kekuasaan tersinggung. Dengan demikian, stabilitas kekuasaan tak terusik. Akibatnya kekuasaan lupa diri dan melanggengkan diri hingga 30 tahun lebih.

Kekuasaan absolut ini tak menyisakan ruang koreksi. Apalagi ancaman penggulingan atau tuduhan kebohongan yang sangat personal. Partai politik dan Pemilu hanya pewarna agar negara bisa berlindung atas nama demokrasi. Personifikasi kekuasaan begitu eksesif dan massif melalui doktrinasi atasnama ideologi.

Kini kebobrokan sistemik itu hendak dikubur. Konstitusi diamandemen, beragam aturan dibongkar sekaligus disusun kembali. Orang bebas berekspresi, kekuasaan dibatasi. Pemilu digelar secara reguler, pemimpin dipilih langsung. Partai tumbuh bak kecambah di musim hujan. Kritik pun mengalir setiap saat.

Kebebasan pasca otoritarianisme ini ternyata bukan hanya meruntuhkan limit subversif yang dibangun era sebelumnya. Dalam batas tertentu cenderung menjadi kontraproduktif ketika di antara komunitas menjadi eksklusif atas nama kebebasan. Masing-masing komunitas mengadili "yang lain" dan menghakimi yang berbeda. Kekerasan pun mudah tersulut atas nama kebebasan dan kebenaran eksklusif.

Ini merupakan titik balik yang seharusnya dimoderasi oleh kekuatan yang komit pada pengejawantahan agenda reformasi dan demokrasi. Konkretnya, dalam sistem politik yang semakin demokratis, penguatan kelembagaan menjadi prasyarat mutlak bagi optimalisasi fungsi demokrasi. Bukan sebaliknya, menggerogoti lembaga demokrasi. Inilah yang membedakan kita dengan Mesir yang bergolak. Kita sudah memperbaiki konstitusi. Beragam undang-undang dibuat dan bermacam lembaga dibentuk sebagai implementasi agenda reformasi. Tinggal bagaimana semua lembaga dan kekuatan politik bersinergi sesuai fungsi bagi penguatan demokrasi.

Merawat Sejarah
Kita sudah membuat sejarah. Sementara Mesir sedang membuat sejarah. Sejarah yang mengubah masa lalu kelam dengan membongkar segala sistem yang hegemonik. Bahkan pada awal reformasi, semua anasir masa lalu dianggap berbahaya, karenanya harus dienyahkan. Kebaikan masa lalu tergerus akibat kekuasaan otoriter yang menistakan demokrasi.

Dalam sejarah negara-negara di belahan dunia, masa lalu selalu menyimpan dua sisi sejarah; terang dan kelam. Begitupun Mesir dan Indonesia. Karenanya, energi yang dibutuhkan dalam konteks kekinian adalah kecerdasan untuk memilah dua sisi itu dan kemampuan memilih yang terang untuk disinergikan bagi kepentingan masa depan. Dan ini memerlukan kesinambungan (kontinuitas) sejarah.

Kontinuitas sejarah yang sedang kita bangun akan semakin kuat apabila pilar-pilar demokrasi kita jaga. Pilar demokrasi bukan pada sosok pemimpin, tapi pada sistem yang melahirkan kepemimpinan efektif dan berkembangnya masyarakat yang beradab (civilized society).

Demokrasi dipilih bukan sekadar antitesa dari otoritarianisme masa lalu. Tapi juga karena adanya kehendak untuk terus memperbaiki kekurangan dan meningkatkan kesempurnaan. Karena itu, kesinambungan sejarah merupakan kemestian.

Kebesaran sejarah masa lalu, seperti yang dimiliki Mesir dan Indonesia atau sejarah peradaban spektakuler lainnya, tak akan bermakna, apabila kontinuitas sejarah terputus oleh nafsu politis primordial. Dan kita menyaksikan negara-negara yang pernah menjadi imperium peradaban dunia runtuh akibat kepentingan politis yang lebih mengemuka daripada merawat dan terus mengembangkan kesuksesan yang ada dalam genggaman.

Kita sedang menggenggam kebebasan yang sangat mahal pada masa lalu. Kebebasan ini harus dirawat dan diorientasikan untuk menjawab problem, bukan menjadi bagian dari problem, apalagi menjadi problem baru. Kebebasan yang terdistorsi oleh kepentingan kelompok akan mengulang kegelapan sekaligus menjadi ancaman bagi kontinuitas sejarah demokrasi yang sedang kita bangun.

Saya yakin kita bukan bangsa keledai yang harus terperosok pada jurang kegelapan yang sama. Kita bangsa yang pernah besar, pernah terperosok, dan mudah-mudahan kesadaran berbangsa kita memperkuat upaya untuk terus bangkit dari keberhasilan yang sedang kita cicil. Bukankah lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan? Semoga.

Sunday, February 06, 2011

Etika Politik



Opini
Menyemai Politik Berkarakter
Jurnal Nasional, Sabtu, 5 Februari 2011


Ahmad Bakir Ihsan
Altar politik di Republik ini disesaki oleh hiruk pikuk kepentingan simbolik. Yaitu kepentingan yang lebih mengedepankan hasrat (simbol) kelompok. Ironisnya masing-masing kekuatan politik tersandera oleh kepentingan simbolik itu dan mengorbankan kepentingan kolektif bangsa.
Kasus Gayus, reaksi atas bantuan buku Presiden, dan koin untuk gaji Presiden SBY didistorsi menjadi permainan politik simbolik yang mengaburkan substansi persoalan. Kasus Gayus, misalnya, terjebak pada perseteruan dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sebagai lembaga yang bertugas melawan mafioso. Padahal di balik kasus Gayus ada problem mafia pajak dan mafia peradilan yang perlu dibongkar.
Begitu juga, reaksi terhadap pembagian buku Presiden SBY di beberapa sekolah menengah (SMP). Wacana yang dimunculkan lebih pada silang sengkarut politik pencitraan yang dialamatkan pada Presiden. Padahal buku itu hadir melalui mekanisme aturan yang sudah ada dan melibatkan banyak buku lainnya.
Begitu pun, gerakan koin untuk gaji Presiden, khususnya yang dilakukan anggota DPR. Tindakan tersebut bukan saja meneladankan etika murahan, tapi juga merupakan respon distortif atas substansi wacana yang dilontarkan Presiden SBY. Wacana yang dikembangkan menyimpang dari substansi awal, sehingga membentuk berantai kesalahan respon.
Itu hanya beberapa fakta distorsi politik akibat arogansi kepentingan simbolik yang mengambangkan substansi persoalan. Akibatnya persoalan hanya menjadi wacana antagonis yang tak pernah sampai pada titik konklusi. Satu kasus menguap ketika kasus lain muncul. Padahal problem mendasar dari kasus-kasus yang terjadi adalah minimnya transparansi dan akuntabilitas dihadapan publik.
Publik disuguhi oleh perdebatan provokatif dan simbolik, sementara perilaku menyimpang terus berlanjut. Hal itu sekaligus sebagai bentuk konfirmasi atas temuan beberapa lembaga riset yang melansir hampir semua lembaga negara dipersepsi terlibat korupsi. Padahal setiap saat para pengamat, pemerhati, bahkan kalangan eksekutif dan legislatif berwacana tentang deviasi politik dan korupsi. Fakta ini menunjukkan adanya ambigu politik karena terjebak pada simbolisme. Dan semakin ambigu, ketika muncul solidaritas politik untuk melawan langkah pemberantasan korupsi hanya karena yang terjerumus dalam korupsi adalah kolega dan kader partai.
Distorsi politik
Politik sebagai seni kemungkinan (art of possibility) memberi ruang remang-remang. Karenanya, dalam politik kawan dan lawan begitu mencair dan sulit diprediksi. Rapuhnya soliditas Setgab partai koalisi yang dibangun berdasarkan pakta integritas dan kontrak kerja, menunjukkan begitu mencairnya ikatan politik. Kepentingan partai lebih mengemuka daripada komitmen politik bersama sebagai partai pendukung penguasa.
Kepentingan politik (political interest) adalah hal yang lumrah dalam dinamika kekuasaan. Persoalannya, orientasi kepentingan sering terdistorsi oleh kepentingan personal (self interest) dan primordial dan mengabaikan tanggungjawab kolektif kewargaan. Bahkan pada titik tertentu terjadi upaya personifikasi politik yang mengaburkan mekanisme dan prosedur demokrasi.
Akibatnya, nalar dan logika moral lumpuh di hadapan politik intrik dan transaksi. Menghalalkan segala cara menjadi kaidah demi meraih kepentingan diri, kelompok, maupun golongan. Dan masyarakat secara massif dan periodik ikut dilibatkan dalam politik menyimpang yang dibungkus dalam kontestasi (pemilu/pemilukada) sebagai bagian dari prosedur demokrasi. Tak berlebihan bila masyarakat memahami politik sebagai seremoni transaksi.
Rakyat bukan menjadi penentu sebagaimana cita ideal demokrasi. Tapi sebagai umpan (obyek) atau bagian dari alat tawar untuk kuasa segelintir orang. Dan yang menjadi pemenangnya adalah para pemilik modal dan kroni-kroninya sebagai sekelompok kecil elit yang mengendalikan kuasa.
Potret di atas mempertontonkan sepenggal perjalanan demokrasi yang penuh distorsi. Demokrasi tak lebih dari dominasi (diskriminasi) dan deviasi (korupsi) tanpa daya untuk meminimalisasi karena aktor-aktornya terjebak dalam kepentingan diri. Inilah yang Michael Mann (2000) sebut sebagai sisi gelap demokrasi atau dalam bahasa John Keane (2009) sebagai potret hidup matinya demokrasi. Transisi adalah masa penentuan demokrasi untuk tetap hidup atau mati.
Berkarakter
Politik di tengah transisi melahirkan hiruk pikuk yang cenderung involutif. Isu-isu yang muncul berputar pada tarik menarik kepentingan elit. Mencari kelemahan lawan lebih dikedepankan sebagai strategi eksistensi daripada memupuk kualitas dan integritas diri. Dari sini praktik politik sandera dioperasikan oleh masing-masing kekuatan politik.
Sandera politik di antara kekuatan politik terjadi karena masing-masing berlumpur problem. Problem diselesaikan dengan tukar sandera sebagai sebuah transaksi politik. Persoalan diselesaikan hanya pada permukaan (simbolik), sementara akarnya dibiarkan menjalar. Akibatnya penyelesaian satu masalah, tetap menyisakan masalah yang lain.
Sisi gelap politik ini akan terus terjadi selama partai sebagai pilar penting demokrasi tak konsisten dengan jenis kelamin (asasnya). Partai politik dan para kadernya bergerak hanya untuk memenuhi hasrat politik sesaat berdasarkan kehendak partikular.
Padahal politik, kata Jean Jacques Rousseau, terkait dengan kehendak publik (general will). Dan publik menjadi ajang implementasi segala tindakan baik. Hal ini yang sejatinya menjadi landasan politik berkarakter, yaitu tindakan yang benar untuk kepentingan publik. Politik bukan sekadar retorika, tapi juga bersinergi dengan realita. Politik bukan sekadar janji, tapi konsistensi untuk menepati sebagai pertaruhan integritas diri. Dalam bahasa berbeda, Mahatma Gandhi menyebutnya sebagai politik terbaik (the best politics is right action). Dengan demikian, politik berkarakter merupakan sebuah kerja politik yang berpijak pada kehendak umum dan mendegradasi kepentingan kelompok dan individu. Hanya dengan politik berkarakter ini, demokrasi akan terawat dan kuat.
Tentu tak mudah mewujudkannya di tengah pluralitas publik. Namun dinamika politik yang terus bermain dalam politik simbolik dan partikular akan memperlambat, bahkan memupus asa bagi lahirnya politisi-politisi yang berkarakter.*