Monday, September 12, 2011

















Opini

Berindonesia Karena Beragama
KORAN TEMPO, Jum’at, 9 September 2011

A. Bakir Ihsan

Suasana keberagamaan dan kebangsaan kita dikesankan begitu mengait karena, salah satunya, adanya kebersinggungan secara simbolik antara peristiwa kemerdekaan dengan bulan suci umat Islam. Persis sebagaimana peristiwa yang sama 66 tahun lalu. Begitu juga sumbangsih umat Islam dalam melahirkan Indonesia sebagai negara bangsa, bukan negara agama. Tampaknya kaitan simbolik tersebut kehilangan substansinya karena sampai saat ini Indonesia (negara) dan Islam (agama) masih menyisakan beberapa agenda.

Pertama, agenda kebangsaan tampaknya belum sepenuhnya terpatri dalam hati anak bangsa. Berbangsa masih dipahami sebagai kemestian sejarah, tanpa mengerti mengapa harus berbangsa. Kesadaran berbangsa ini penting diaktualisasikan karena berdampak pada perangai kehidupan berpolitik, ekonomi, hukum, dan lainnya. Problem yang menjejal negara saat ini, karena kebangsaan terdistorsi oleh kepentingan kelompok, golongan, dan entitas primordial lainnya.

Kedua, agama sebagai ruh warga negara dalam beberapa hal mengalami penguatan simbolik. Hasrat untuk simbolisasi agama pada ranah publik (negara) oleh sebagian orang dianggap sebagai sebuah keniscayaan atas nama demokrasi. Konsekuensinya, energi anak bangsa terkuras oleh problem simbolik yang sejatinya sudah terselesaikan dengan ideologisasi Pancasila.

Ketiga,  Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk belum sepenuhnya diejawantahkan sebagai sebuah kesenyawaan dalam berbangsa. Agama (Islam) masih ditempatkan sebagai ritual yang berdimensi ketuhanan terpisah dari akar kebangsaan. Konsekuensinya, berbangsa tak berkorelasi dengan keberagamaan atau sebaliknya.


Semangat kewargaan

Karena itu, perlu peretasan dikotomi kebangsaan (berindonesia) versus keberagamaan (berislam). Secara historis, agama dan negara memang lahir dari rahim yang berbeda. Agama berdimensi supranatural, sementara negara (bangsa) natural. Namun dalam praktiknya, keduanya tak bisa dipisahkan. Agama membutuhkan negara untuk menguatkan eksistensinya dan negara membutuhkan agama sebagai pandu nilai. Pun yang terjadi di negeri ini. Pergulatan panjang relasi antara agama dan negara yang berlangsung pada awal kemerdekaan, seharusnya memperkuat ruang konvergensi bagi rancang bangun kebangsaan yang semakin sublim.

Yang muncul saat ini justru penguatan dikotomik antara agama dan negara difasilitasi oleh beragam kepentingan pragmatis. Sejak reformasi bergulir, masing-masing orang atas nama kelompok mendedahkan dirinya dalam distingsi keagamaan. Kekerasan antar umat beragama seakan tak terbendung karena masing-masing menafsirkan eksistensinya berdasarkan agama. Di sinilah pentingnya tafsir kebangsaan dalam setiap problem yang dihadapi anak bangsa.

Tafsir kebangsaan tidak bisa dibiarkan mengalir di antara ragam kepentingan. Sebagai sebuah wacana, tafsir agama tetap niscaya di ranah publik, tapi hal tersebut harus didasarkan pada semangat kewargaan (spirit of citizenship). Semangat yang, dalam perspektif Dennis W. Organ (2006), didasarkan pada ketaatan, loyalitas, dan partisipasi. Ketiga hal ini semakin langka justru di tengah reformasi dan demokrasi bergulir.

Karena itu diperlukan penguatan perspektif terkait wacana dan sikap keberagamaan dalam konteks keindonesiaan. Pertama, wacana dan sikap keberagamaan harus didasarkan pada upaya peneguhan ketaatan warga pada tatatertib bernegara. Bukan sebaliknya, memicu ketegangan dan kekerasan antara atau intern umat beragama yang mengancam stabilitas.

 Kedua, dalam konteks loyalitas, wacana keagamaan harus dimunculkan sebagai wujud hasrat untuk mengorbankan kepentingan pribadi atau kelompok bagi kepentingan publik atau kelangsungan negara. Bukan sebaliknya, wacana keagamaan dimunculkan untuk mensubordinasi kehendak publik atau negara.

Ketiga, wacana dan sikap keberagamaan harus dibangun sebagai bentuk “pengorbanan” umat bagi negara. Diperlukan kemauan umat untuk aktif (partisipatif) dalam kehidupan bernegara sebagai ekspresi dari keberagamaannya.


Peran sinergis

Aktualisasi spirit kewargaan ini sangat memungkinkan sekaligus urgen karena realitas dinamika kehidupan warga negara yang diliputi oleh situasi paradoks. Yaitu antara surplus kebebasan sebagai imbas demokrasi di satu sisi, dan kecenderungan eksklusivitas dan ketidaktaatan di sisi lain.

Atas nama kebebasan sebagian orang, bahkan lembaga publik merasa paling berwenang dan mengabaikan wewenang lembaga lainnya. Atas nama otonomi daerah, misalnya, daerah mengabaikan pusat, gubernur mengabaikan presiden, dan rakyat pun mengabaikan pemerintah daerah. Masyarakat dan negara bergerak secara diametral.

Dalam kondisi demikian, agama sebagai sumber nilai sejatinya menjadi pijakan yang secara konsisten (istiqamah) menopang eksistensi warga dalam bernegara. Bukan malah sebaliknya, memprovokasi warga untuk mengintervensi atau bahkan menolak negara. Karena itu, elite agama maupun negara sejatinya bergandeng tangan menyapa warga secara egaliter sebagai warga bangsa, bukan sebagai pemeluk agama. Ini agenda yang tidak mudah di tengah sikap keberagamaan elit yang demi kepentingan pragmatis tertentu memperkokoh isu-isu berlabel agama.

Dengan demikian, agama betul-betul menjadi sumber nilai, bukan pijakan simbolik bagi kepentingan pragmatis sekelompok atau segolongan orang. Hal ini yang seharusnya dipelopori oleh umat Islam sebagai mayoritas yang secara langsung maupun tidak langsung, memegang kendali atas ruang publik. Di sinilah kebangsaan sejatinya tumbuh sebagai ekspresi keberagamaan. Bahwa semakin tinggi tingkat keberagamaan (keislaman) seseorang, seharusnya semakin dalam keterlibatannya dalam memperkuat pilar kebangsaan.

No comments: