Wednesday, March 22, 2006

Opini

Reformasi Mati di Tangan "Reformis"
Seputar Indonesia, Selasa 21 Maret 2006

A. Bakir Ihsan

Beberapa hari terakhir ini ada penguatan fenomena absolutisasi aspirasi di masyarakat, tak terkecuali dari beberapa tokoh nasional. Fenomena kekerasan di Papua sebagai bentuk protes terhadap PT Freeport dan berbagai bentuk ancaman terhadap keputusan pemerintah atas Exxon Mobil dalam kerjasama eksplorasi minyak di Blok Cepu merupakan ekspresi dari absolutisasi aspirasi. Begitu juga ultimatum Abdurrahman Wahid terhadap pemerintah untuk memperbaiki bangsa dalam waktu sebulan dan Amien Rais yang menuduh pemerintah menjual negara atas kasus Exxon Mobil merupakan bentuk lain absolutisasi aspirasi.

Fenomena tersebut merupakan ekspresi kebebasan di era reformasi. Atas nama demokrasi beberapa kelompok kepentingan menempatkan dirinya sebagai oposisi ekstrem dengan menentang segala bentuk kebijakan pemerintah. Sebuah kenyataan yang dihormati dalam demokrasi. Namun sejauhmana kritik dan “ancaman” terhadap kebijakan pemerintah itu efektif bagi perbaikan tata kehidupan bangsa? Di sinilah kita dituntut untuk menentukan strategi dan langkah-langkah konstruktif, sehingga kritik tersebut tidak terkesan provokatif dan mengedepankan kepentingan kelompok atau pribadi masing-masing.

Nasionalisme sempit
Beberapa tokoh nasional, seperti Megawati, Amien Rais, Abdurrahman Wahid merupakan sosok yang pada masanya dianggap sebagai lokomotif demokrasi dan reformasi. Walaupun ketiganya sempat berseberangan, namun belakangan khususnya terkait isu Freeport dan Exxon Mobil begitu gencar mengkritik pemerintah atas nama nasionalisme. Dari sinilah isu nasionalisme dengan ragam penafsirannya mencuat. Penunjukan Exxon Mobil sebagai operator kilang minyak di Blok Cepu dituduh sebagai perendahan harga diri bangsa. Bahkan Amien Rais menuduh pemerintah telah merampok uang negara triliunan dollar untuk kepentingan perusahaan Amerika.

Bagi masyarakat awam, tuduhan-tuduhan tersebut tentu bisa membangkitkan heroisme dan semangat perlawanan yang berbahaya dan menyimpang. Atas nama nasionalisme, masyarakat bisa dimobilisasi dan diprovokasi. Isu nasionalisme dengan mengangkat kasus Exxon Mobil dan Freeport telah menyempitkan arti nasionalisme dan mengidentikkannya dengan anti negara lain. Lebih dari itu, masyarakat secara tidak langsung diajarkan bahwa negara asing, seperti Amerika dan lainnya adalah negara musuh yang harus dilawan dan ditolak kerjasamanya. Ini sungguh sangat riskan di tengah arus globalisasi yang tidak memungkinkan negara mengucilkan diri dan mengalienasi diri dari percaturan internasional.

Nasionalisme yang secara definitif mengacu pada bagaimana nilai-nilai kebangsaan dijunjung tinggi dan dihormati demi kemajuan seluruh aspek kehidupan bernegara, baik ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya, justru terdistorsi oleh klaim sekelompok elit untuk menolak sebuah perusahaan yang bernama Exxon Mobil. Sebuah klaim distorsif dan simplistis untuk membangkitkan perlawanan terhadap segala bentuk kerjasama dengan asing. Fenomena ini pernah berlangsung pada masa rezim Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi politik.

Persoalan yang diperdebatkan dalam kasus Exxon Mobil sebenarnya lebih bersifat teknis. Bukan persoalan harga diri bangsa apalagi ditarik pada persoalan nasionalisme. Karena sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 negara memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investor untuk “membantu” Pertamina mengeksplorasi minyak. Undang-undang ini lahir karena kemampuan negara baik dalam hal dana maupun sumber daya manusianya sangat terbatas. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati, UU tersebut diganti dengan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang sebenarnya semakin mengecilkan peran Pertamina dalam monopoli eksplorasi minyak dan gas bumi. Bahkan melalui UU tersebut Pertamina dijadikan sebuah perseroan yang perannya semakin “terbatas”. Kalau penunjukan Exxon Mobil dianggap sebagai pemerkosaan terhadap nasionalisme, maka UU yang lahir pada masa pemerintahan Megawati tersebut bisa dianggap sebagai biang anti nasionalisme.

Kearifan Budaya
Terjadinya tindak kekerasan dan absolutisasi aspirasi di kalangan masyarakat disebabkan oleh monopoli kebenaran, sehingga semua kebijakan yang datangnya dari luar dirinya dianggap salah dan harus ditolak. Di sinilah distorsi kebenaran melahirkan provokasi yang meradikalkan tindakan serta membunuh kearifan budaya.

Jatuhnya korban dalam peristiwa di Abepura, Papua merupakan contoh dari matinya kearifan untuk mencari jalan penyelesaian terbaik bagi masalah yang sesungguhnya. Masing-masing pihak berdiri di atas kebenarannya sendiri dan tidak memberi ruang sedikit pun untuk menemukan adanya kebenaran yang lain.

Masyarakat yang terlibat bentrok menganggap penutupan Freeport adalah jalan satu-satunya, sementara pemerintah tetap berpegang pada kontrak yang terlanjur ditandatangani oleh rezim sebelumnya. Dalam kondisi demikian, masing-masing menganut prinsip absolutisme yang menjadi ladang subur kediktatoran.

Konsekuensinya niat baik yang disuarakan oleh sekelompok masyarakat maupun tokoh politik menjadi tidak efektif dan cenderung provokatif, karena masing-masing dihinggapi rasa curiga yang bermuara pada caci maki dan tindakan anarki. Inilah fenomena yang terjadi belakangan ini. Para pengamat dan politisi menganggap kebijakan pemerintah tidak baik dan pemerintah menganggap kebijakannya yang terbaik. Tidakadanya ruang kebenaran bagi yang lain menunjukkan matinya kearifan budaya di kalangan masyarakat.

Kearifan budaya akan mengantarkan masing-masing pihak untuk memahami keinginan dan pemikiran orang lain, sebelum mengambil keputusan untuk menolaknya. Untuk memahami keinginan dan pemikiran orang lain diperlukan dialog secara terbuka dan egaliter, tanpa merasa diri sebagai yang terbaik dan paling benar. Di tengah reformasi dan euforia kebebasan saat ini, banyak cara dan jalan untuk melangsungkan dialog. Jika masing-masing sudah bosan melakukan dialog dan tidak mau tahu dengan pandangan orang lain, maka negara ini sedang memupuk kehancuran.

Matinya Reformasi
Dalam masyarakat yang masih kental dengan komunalitasnya, eksistensi tokoh masyarakat sangat menentukan. Dalam konteks negara, keberadaan tokoh nasional yang sering disebut sebagai bapak bangsa atau negarawan sangat dibutuhkan bagi mobilisasi dan stabilisasi bangsa. Dengan kata lain, keberadaan para negawarawan sangatlah strategis bagi transformasi masyarakat.

Eksistensi dan fungsi negarawan lebih didasarkan pada peran yang telah dimainkan, bukan pada simbol-simbol kenegarawanan itu sendiri. Orang disebut negarawan atau tokoh nasional apabila di dalam dirinya tercermin komitmen untuk membantu memperbaiki kehidupan bangsanya secara tulus. Begitu juga dengan reformis. Identitas ini muncul dan disematkan bagi tokoh-tokoh yang dianggap berhasil mencetuskan reformasi. Dan inilah yang dibutuhkan kita pada saat ini.

Namun melihat karut marut manuver para tokoh politik kita, termasuk orang-orang yang diklaim sebagai reformis, dalam polemik kenegaraan saat ini, masih jauh panggang dari api. Bahkan sebagian kaum reformis secara tidak sengaja menelanjangi atribut reformis yang disematkan pada dirinya. Apabila fenomena ini terus berlangsung, maka masyarakat yang berada dalam gerbong reformasinya, akan kehilangan orientasi kenegaraannya dan bertindak atas nama kepentingan kelompoknya masing-masing. Akibatnya reformasi yang telah mengantarkan masyarakat pada euforia kebebasan saat ini akan sampai pada ujung kematiannya, karena masing-masing bertindak di luar koridor reformasi yang tertib dan konstitusional. Kalau demikian, kita patut berduka karena reformasi mati akibat ulah para reformisnya sendiri.*

Saturday, March 18, 2006

Opini

Ambiguitas Gaji DPR
Suara Karya
, Sabtu 18 Maret 2006

A. Bakir Ihsan

Bocornya informasi rencana kenaikan gaji DPR melengkapi karut-marut dunia DPR. Kini atas bocornya informasi tersebut, sesama anggota DPR saling tuding karena dianggap melanggar kode etik. Masyarakat pun bertanya siapa yang melanggar kode etik dan siapa yang berlindung di balik kode etik.

Terlepas dari karut-marut dunia DPR, kenaikan gaji akan selalu menjadi isu krusial. Bahkan isu kenaikan secara umum akan selalu mendapat reaksi. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL), PAM, kenaikan tarif tol dan haarga BBM mendapat respons reaktif dari masyarakat sebagai ekspresi penolakan. Namun dari pengalaman yang ada, semua rencana kenaikan cenderung tak dapat dibendung. Apalagi menyangkut kebutuhan anggota dewan terhormat. Karena di lembaga inilah pusat kekuasaan yang sesungguhnya hadir.

Partai politik sebagai pintu masuk paling absah ke arena kekuasaan terwakili di lembaga ini. Tak berlebihan apabila DPR disebut sebagai penampakan sejati dari kekuasaan oligargik. Walaupun mereka adalah wakil rakyat, tapi rakyat tak bisa menuntut para wakilnya tersebut mundur dari jabatannya, baik karena korup atau melanggar tata susila. Tak ada kontrol politik eksternal yang dapat "mengendalikan" sepak terjang anggota DPR. Pada titik ini DPR menjelma menjadi penguasa tak terbatas.

Namun demikian, kekuasaan tak terbatas tersebut tidaklah permanen. Setiap lima tahun mereka harus memperpanjang kekuasaannya melalui suara rakyat. Itulah sebabnya ia merasa perlu untuk membangun komunikasi intensif dengan para konstituennya, sehingga bisa tetap eksis dan bertahan di Senayan pada pemilihan umum (pemilu) mendatang. Sayangnya semua proses mempertahankan kekuasaan ini dilakukan dengan menggunakan dana negara, melalui berbagai cara. Salah satunya meminta kenaikan tunjangan untuk kepentingan komunikasi (kampanye) dengan konstituennya.

Inilah model komunikasi politik yang boros, tidak efisien, dan lebih dari itu, tidak mendidik. Pertimbangan image building agar citra dirinya tetap terpelihara di dalam ingatan masyarakat menjadi pertimbangan paling penting daripada memperhatikan aspirasi masyarakat secara serius dan memperjuangkannya kepada pemerintah.

Realitas tersebut merupakan muara dari proses seleksi anggota dewan yang unqualified. Para anggota DPR dipilih rakyat bukan karena orang-orang pilihan. Mereka terpilih karena dicalonkan partai melalui proses seleksi yang elitis. Kalau dilacak lebih jauh, ini merupakan konsekuensi dari pola rekrutmen politik atas anggota DPR. Mereka direkrut oleh partai bukan karena kompetensi atau kualitas, tetapi karena faktor-faktor lain yang sejatinya tidak terkait langsung dengan kebutuhan masyarakat. Kedekatan dengan elite, ketersediaan dana yang besar, dan kemampuan obral janji adalah modal yang mengantarkan mereka menjadi anggota dewan.

Lebih parah lagi, mekanisme partai dalam rekrutmen calon legislatif sering dilanggar oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Sehingga tidak jarang proses penyusunan caleg memunculkan gejolak dan intrik-intrik tidak sehat di internal partai yang pada akhirnya dapat meruntuhkan citra partai itu sendiri. Terlihat betul bahwa orientasi kekuasaan lebih dikedepankan daripada kemampuan mengapresiasi aspirasi masyarakat atau memiliki basis sosial yang kuat. Konsekuensinya, para anggota dewan tidak memiliki basis sosial yang kuat, sehingga mereka merasa perlu terus menggalang komunikasi dengan konstituennya dengan membebani uang negara.

Secara logika, kalau landasan kenaikan gaji atau tunjangan adalah untuk memenuhi kebutuhan komunikasi intensif dengan konstituennya, maka kenaikan tersebut seharusnya variatif. Paling tidak kenaikan tersebut disesuaikan jarak tempuh mereka dengan daerah pemilihannya. Tidak adil rasanya apabila anggota daerah pemilihannya Jakarta sama dengan anggota yang daerah pemilihannya Papua atau Aceh yang jarak dan kondisi sosialnya jauh dan sangat berbeda.

Di sinilah kerancuan (ambiguitas) kenaikan gaji anggota DPR. Dalam bahasa yang ekstrem, alasan kenaikan gaji atau tunjangan tersebut hanya retorika legitimatif untuk meraup dana sebesar-besarnya dari negara secara absah untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan dirinya. Apabila ambiguitas ini dibiarkan, kenaikan-kenaikan lainnya akan terus terjadi tanpa rasionalisasi, tak terbatas, dan tak terkendali. Apalagi menjelang pemilu, kebutuhan dana komunikasi (kampanye) semakin membengkak, maka negara menjadi tumpuan sumber dana bagi anggota dewan.

Oleh sebab itu, perlu langkah-langkah konstruktif agar hasrat menaikkan gaji di DPR ini bisa dirasionalisasi dan dikendalikan. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, standar gaji (tunjangan). Sudah waktunya ada aturan yang tepat dan ketat untuk mengukur kebutuhan dan kinerja anggota DPR. Dari sinilah gaji DPR ditentukan. Kini, entah alasan apa yang paling masuk akal untuk menaikkan gaji anggota DPR.

Kedua, transparansi. DPR sebagai rumah rakyat harus membuka diri (transparan) terkait seluruh prosesi yang berlangsung di dalamnya, apalagi menyangkut kenaikan gaji yang jelas-jelas akan membebani keuangan negara. Maka sungguh aneh apabila anggota BURT marah-marah dan berusaha menutup-nutupi rencana kenaikan gajinya sendiri. Kurangnya transparansi prosesi di lembaga dewan ini menyebabkan terjadinya kolusi dan transaksi politik yang sering menjerumuskan rakyat. Kenaikan harga BBM yang berefek domino bagi kenaikan kebutuhan lainnya merupakan bukti konkret dari perselingkuhan DPR dengan eksekutif yang justru membebani rakyat.

Ketiga, rekonstruksi partai politik. DPR sebagai lumbung kader partai dengan segala karut- marutnya perlu rekonstruksi parpol, khususnya terkait dengan pola rekrutmen calegnya. Aturan dan pola rekrutmen yang ada harus ditegakkan di atas kepentingan pragmatis partai. Rekonstruksi ini bukan saja dapat melahirkan kader partai yang berkualitas, tapi juga bisa menaikkan citra partai di mata masyarakat.

Pelaksanaan agenda di atas tentu tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing lembaga terkait, baik partai politik maupun DPR. Peran masyarakat dan keseriusan Presiden SBY untuk mewujudkan good and clean government juga akan sangat membantu percepatan peningkatan kualitas parpol dan anggota dewan yang belakangan sangat sensitif, terkait kenaikan gaji, tunjangan, dan pendapatan lainnya. Sensitivitas itu seharusnya diarahkan kepada kenyataan hidup masyarakat yang berkutat dalam derita dan pendapatan hidup yang tak menentu.***

Analis dan dosen ilmu politik UIN Jakarta.

Thursday, March 16, 2006

Opini

Hancurnya Otoritas Politik Sipil
Koran Tempo, Kamis 16 Maret 2006

A. Bakir Ihsan

Ironis. Untuk kesekian kalinya, anggota TNI dan Polri adu tembak. Negara seperti dunia koboi. Tentara dan polisi sebagai pengendali senjata dan penjaga keamanan serta perdamaian masyarakat, justru menjadi biang kerusuhan. Peristiwa di Ambon, Sabtu 4/3/06 lalu merupakan puncak gunung es dari persoalan mendasar yang melingkupi kedua kekuatan tersebut. Sebelumnya beberapa kasus bentrok anggota TNI-Polri terjadi di beberapa wilayah, baik dalam bentuk perkelahian maupun adu tembak, seperti di Madiun (2001), Binjai (2002), Pontianak (2003), Ambon dan Cimanggis, Depok (2005). Peristiwa ini akan terus berlanjut, apabila tidak ada penyelesaian substantif baik secara struktural maupun kultural dari masing-masing kekuatan. Tidak bisa dibayangkan, babak akhir dari perselisihan dua kelompok bersenjata di negara yang sangat rentan konflik akibat keragaman budaya, suku, dan agama ini.

Di samping menodai misi primordial TNI-Polri sebagai alat pertahanan-keamanan, konflik tersebut juga mencederai proses konsolidasi baik di tubuh TNI maupun Polri yang belakangan ini berusaha memperbaiki citra sejarah masa lalunya yang kelam. Keseriusan TNI untuk tidak berpolitik praktis dan menyerahkan seluruh urusan bisnisnya pada negara merupakan langkah maju bagi profesionalitas TNI. Begitu juga Polri. Penindakan terhadap pelaku korupsi baik yang terjadi di kalangan masyarakat maupun yang melibatkan anggotanya sendiri memperlihatkan kesan positif di mata masyarakat. Bahkan Polri tidak segan-segan menjebloskan beberapa petingginya yang dianggap terlibat dalam tindak korupsi. Belum lagi keberhasilan Polri dalam memberantas peredaran narkoba dan menumpas jaringan terorisme.

Paradoksalitas wajah TNI-Polri ini bisa melahirkan ambigu. Prosesi reformasi yang ditandai dengan profesionalisasi TNI dan penindakan korupsi sebagaimana diamanatkan konstitusi begitu antusias, tetapi nilai-nilai yang tertanam dalam kesadaran anggotanya masih jauh panggang dari api. Ada distorsi antara peran yang dimainkan oleh TNI-Polri secara eksternal dengan tingkat kesadaran para anggotanya yang justru dapat menghambat laju prosesi reformasi tersebut. Upaya-upaya positif yang telah dilakukan baik oleh TNI maupun oleh Polri seharusnya berjalin berkelindan dengan rekonstruksi nilai-nilai yang harus tumbuh di dalam dirinya, sehingga tidak memunculkan letupan-letupan peristiwa yang justru bisa mencemarkan citra positif TNI-Polri yang mulai tumbuh di tengah masyarakat.

Spiral Kekerasan
Kalau selama ini konflik sering berlangsung di lingkaran masyarakat komunal, maka dengan terjadinya bentrok antara TNI-Polri yang intens, semakin memperlihatkan bahwa konflik telah menjadi nafas bangsa ini. Ia telah menjelma dalam spiral kekerasan. Konflik tidak saja mendapat tempat secara kultural, tetapi mendapat dukungan struktural yang ditunjukkan oleh adu tembak para penegak keamanan sendiri.

Oleh karena itu, untuk melihat akar konflik yang terjadi khususnya terkait dengan bentrok TNI-Polri ini bisa dilihat dalam beragam perspektif. Pertama, faktor historis. Sejak lama Polri berada di bawah kendali TNI. Polri di bawah rezim Orde Baru menjadi anak suruh TNI. Namun sejak reformasi, Polri berdiri sejajar dengan TNI, bahkan dalam hal-hal tertentu TNI dapat menjadi obyek hukum yang dimainkan oleh Polri sebagi penegak hukum. Terjadinya perubahan hubungan ini tentu sedikit banyak memunculkan ketegangan-ketegangan psikologis yang dapat meledak bila bersentuhan dengan pemantik sekecil apa pun.

Kedua, persaingan partner. Seiring dengan pemisahan Polri dari TNI, maka Polri merasa punya lahan garapan sendiri. Sebaliknya TNI yang “core business” nya adalah pertahanan merasa semakin terkangkangi perannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kedua kelompok ini tidak jarang menjadi backing (partner) dari usaha-usaha yang menguntungkan. Terjadinya hal tersebut biasanya dikaitkan dengan minimnya fasilitas kesejahteraan bagi anggota TNI-Polri, sehingga memaksa mereka bersaing mendapatkan lahan nafkah tambahan.

Ketiga, lemahnya soliditas komando. Dalam sebuah hirarki dan sistem komando yang solid, kemungkinan terjadinya konflik di tingkat bawah bisa dihindari dan dikendalikan. Peristiwa-peristiwa bentrok TNI-Polri memperlihatkan lemahnya soliditas komando dan kordinasi di antara kedua lembaga tersebut.

Keempat, lemahnya rules of engagement. Polri sebagai lembaga yang berada langsung di bawah kendali presiden menyulitkan kordinasi dengan TNI dalam pelibatan atau perbantuan penyelesaian masalah di lapangan.

Kelima, lemahnya institusi demokrasi. Secara keseluruhan, terjadinya konflik di dalam masyarakat, termasuk antara TNI dan Polri, mencerminkan kegagalan atau lemahnya institusi demokrasi. Demokrasi hanya berhasil menciptakan prosedur-prosedur, namun tidak mengakar kuat bagi tegaknya tata aturan kehidupan demokrasi itu sendiri. Demokrasi hanya berfungsi sebagai penyedia ruang kebebasan (public sphere) di tengah arus kepentingan yang begitu kompleks, tanpa fondasi institusi sipil yang kuat.

Otoritas Sipil
Jaminan keamanan merupakan prasyarat utama kelangsungan eksistensi negara-bangsa (nation-state). Alih-alih mendapat jaminan keamanan, justru masyarakat menjadi korban dari pertikaian aparat keamanan tersebut. Oleh sebab itu, pemerintahan SBY harus mengambil langkah tegas dan strategis agar warisan konflik TNI-Polri yang berlangsung dari waktu ke waktu ini dapat dihentikan dan tidak meluas. Apalagi di tengah upaya pemerintah mengembalikan kepercayaan dunia usaha yang semakin terpuruk dan obsesi bagi tegaknya good governance.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera menumpas akar persoalan yang menjadi pemantik meledaknya konflik antara TNI dan Polri tersebut. Kalau di hulu (para elit) TNI-Polri bisa akur, paling tidak sampai saat ini tidak ada wacana kontradiktif antara pimpinan Polri dan TNI, maka konsolidasi masing-masing lembaga perlu terus didorong sehingga tidak terjadi kesenjangan harmoni antara elit dan para prajurit. Apalagi pimpinan kedua lembaga tersebut dianggap punya komitmen dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Di samping itu, peran politisi sipil dalam mengawal kedua lembaga tersebut tidak kalah pentingnya. Jangan sampai transisi ini menyebabkan kedua lembaga tersebut kehilangan kepercayaan atau justru overconfidence karena sikap sipil yang lebih tertarik memproduksi wacana-wacana yang mengambang dan tidak konsisten.

Harus diakui bahwa upaya menegakkan supremasi sipil, sebagai antitesa dari hegemoni tentara Orde Baru, di era reformasi ini sangat tergantung pada sipil sendiri. Otoritas politik sipil akan menentukan konfigurasi kerja TNI-Polri. Ketidakharmonisan TNI-Polri merupakan cerminan dari ketidakharmonisan (inkonsistensi) dan gagalnya penegakan otoritas politik sipil dalam menata langkah TNI-Polri. Oleh sebab itu, kesungguhan sipil untuk menegakkan otoritasnya sangat mendesak, apalagi menjelang pemilu 2009, di mana TNI kemungkinan besar menggunakan hak pilihnya. Apabila agenda penyelesaian bentrok TNI-Polri dan penguatan sipil ini belum bisa diselesaikan, tidak bisa dibayangkan, konflik bisa lebih meluas dan negara bisa dalam keadaan bahaya. Entah siapa yang akan mengambil keuntungan kemudian.*

Wednesday, March 15, 2006

Opini

Oposisi dan Demokrasi di Indonesia
Republika, Rabu, 15 Maret 2006

A. Bakir Ihsan

Kata orang, politik itu kekuasaan. Bagaimana mencari, mendapatkan, dan mempertahankan kekuasaan: power struggle. Bagi yang memahami separuh ajaran Machiavelli, bahkan mengatakan untuk mencapai tujuan politik, segala cara dihalalkan. Pertanyaanya, tidak adakah etika dalam politik? Apakah politik benar-benar tidak mengenal moral?

Jawabannya bisa beragam. Kaum penganut etika utilitarian, misalnya, mengatakan bahwa dalam politik, apapun yang dilakukan dianggap baik, atau etis jika semuanya itu untuk kepentingan masyarakat yang paling banyak, dan yang dilakukan itu memiliki tingkat kebaikan dan nilai manfaat terbesar. Segaris dengan pandangan ini, dalam dinamika politik riil, ukuran etis tidak etisnya suatu aktivitas atau gerakan politik --baik bagi pemegang kekuasaan maupun lawan politiknya-- kerap dikaitkan apakah aksi dan manuver politik itu untuk kepentingan pribadinya, kelompoknya, partai politiknya, atau untuk kepentingan rakyat banyak.

Oposisi dalam demokrasi
Demokrasi di Indonesia makin mekar. Kontrol sosial dan kontrol publik terhadap pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan pemerintah makin kuat dan nyata. Fenomena ini menggambarkan betapa rakyat menginginkan tingkat transparansi dan akuntabilitas para pejabat publik, termasuk presiden, yang makin tinggi.

Sebagaimana kita ketahui, ciri-ciri demokrasi yang makin matang adalah ditandai makin kuatnya konstitusionalisme. Termasuk di dalamnya checks and balances, pembatasan kekuasaan, regularitas pemilihan (termasuk pemilihan presiden), serta dipatuhinya aturan main dan etika politik yang dikonsensuskan.

Budaya oposisi juga sebuah ciri yang sehat dalam demokrasi. Ini bertujuan agar penguasa tidak bertindak sewenang-wenang, serta dapat mengambil keputusan dan menetapkan kebijakan secara tepat. Oposisi yang sehat dan membangun adalah oposisi yang genuine dan membawa manfaat --tentu manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat kita. Sekali lagi, untuk kepentingan rakyat. Artinya, pada saat putusan dan langkah pemerintah tepat dan benar, kaum oposan mesti mendukung, karena rakyat akan diuntungkan.

Ketika pilihan dan kebijakan pemerintah dinilai tidak tepat, kaum oposan pantas bersuara keras agar --sekali lagi-- rakyat tidak dirugikan. Sikap politik yang serba membenarkan pemerintah jelas keliru. Demikian pula, apapun yang diputuskan dan ditetapkan pemerintah harus dilawan, waton suloyo, adalah salah. Kalau budaya waton suloyo dan ''pemerintah harus dilawan'' ini dikembangkan, kita patut bertanya: ini untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk lawan politik itu sendiri.

Regularitas demokrasi
Di negara demokrasi manapun, pemilihan umum, baik untuk memilih anggota parlemen atau untuk memilih presiden atau perdana menteri, mesti ada aturan mainnya. Di Indonesia, misalnya, pemilihan itu dilaksanakan setiap lima tahun. Pemberian mandat bagi DPR, DPD, presiden, gubernur, bupati, wali kota selama lima tahun, dipandang cukup untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Tugas-tugas konstitusional itu mesti dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, juga untuk rakyat.

Karenanya, sikap mental dan sikap politik pasca-pemilu yang mengancam regularitas itu tentu bukanlah sikap yang sehat dan demokratis. Bagi yang tidak berhasil memenangkan pemilu haruslah menerima kenyataan itu. Tentu mereka boleh melakukan oposisi, membangun kekuatan kembali, dan siap berkompetisi lagi untuk periode pemilu berikutnya. Aksi dan manuver politik yang memiliki niat dan tujuan untuk menjatuhkan di tengah jalan bagi yang sedang memiliki mandat rakyat --tidak peduli apakah pemerintahnya salah atau benar, baik, atau jelek, pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah-- tentulah bukan hanya tidak demokratis, tetapi juga tidak ksatria dan tidak bermoral.

Demikian pula, aksi-aksi politik yang ingin mengangkat isu apa saja, yang penting presiden terpilih dan pemerintah yang dipimpinnya tidak dapat bekerja dengan baik, dan akhirnya gagal, tentulah mengkhianati rakyat, serta menghancurkan kepentingan rakyat banyak. Di sisi lain, jika aksi jatuh-menjatuhkan lawan politik di tengah jalan ini dikembangkan sebagai budaya politik di negeri ini, bangsa ini akan memiliki masa depan yang gelap, merugi, dan akan mengancam nasib demokrasi yang kita cicil saat ini.

Komtemplasi
Saya cemas. Ada tanda-tanda kuat, bahkan realitas, budaya politik yang tidak sehat ini mulai berkembang di Tanah Air. Suatu pentas dan tontonan yang menyedihkan dan juga memalukan. Tarik menarik kepentingan secara vulgar baik yang dilakukan legislatif maupun kelompok kepentingan (LSM, tokoh nasional, maupun lembaga lainnya) semuanya bertumpu dan menimpakan dosa pada kekuasaan (presiden). Kita harus menyadari bahwa semua harus berorientasi kepada manfaat dan kepentingan orang banyak. Dan ini memerlukan kerja sama dan kebersamaan.

Politik itu memang keras. Kadang-kadang juga kejam. Apapun bisa dihalalkan, apapun bisa dilakukan. Tidak peduli apakah rakyat menjadi kaum yang kalah, karena akhirnya mereka hidup dalam era ketidak-stabilan, era permusuhan tak henti, dan era macetnya semua upaya untuk memajukan kehidupan rakyat. Tentu bukan politik seperti ini yang kita pilih. Masih ada jalan dan cara-cara berpolitik yang bermoral, bermartabat, serta penuh kepatuhan kepada aturan main dan konstitusionalisme. Bukankah kita hidup di sebuah negara yang berdasarkan konstitusi? Dari sinilah demokrasi kita patri. Bukan atas nama demokrasi, kita melampaui konstitusi, karena akan berbuah anarki dan kita tak akan pernah menjadi bangsa yang mandiri dan memiliki integritas diri.

Jika aksi jatuh-menjatuhkan lawan politik di tengah jalan ini dikembangkan sebagai budaya politik di negeri ini, bangsa ini akan memiliki masa depan yang gelap, merugi, dan akan mengancam nasib demokrasi yang kita cicil saat ini.
Opini

SBY dan Restrukturisasi Pertamina
Suara Karya, Jumat, 10 Maret 2006

A. Bakir Ihsan

Keputusan pemerintah merestrukturisasi PT Pertamina patut dihargai. Restrukturisasi itu kemudian berdampak pada penggantian jajaran pimpinan Pertamina, karena merekalah yang menentukan laju-tidaknya perusahaan minyak negara ini.

Namun dalam proses restrukturisasi ini patut kita awasi agar penggantian tersebut tidak sekadar perubahan person dengan sistem yang sama. Kalau ini yang terjadi, maka restrukturisasi tidak akan memberi dampak fundamental bagi Pertamina, kecuali hanya penggantian person dan bagi-bagi jabatan. Sebagai perusahaan negara dan sebagaimana diatur oleh konstitusi negara, maka Pertamina harus bisa memberikan manfaat ekonomi bagi rakyat. Kandungan migas di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Blok Cepu dan kilang minyak lainnya, seharusnya diatur dan dipergunakan oleh negara untuk kemakmuran seluruh masyarakat.
Munculnya kontroversi dalam kasus Blok Cepu belakangan ini sering dilihat sebagai ekses dari keterlibatan asing (ExxonMobil) dalam proses pengelolaannya.

Keterlibatan asing dalam proses pengilangan minyak di Indonesia sebenarnya memiliki akar historis yang cukup panjang. Ketidakmampuan negara mengelola potensi migas yang begitu besar dan tersebar luas menjadi alasan negara mengundang investor asing yang dilegalisasi melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971.

Atas regulasi ini, Pertamina berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu perusahaan minyak yang cukup disegani dan diperhitungkan. Bahkan beberapa negara banyak belajar dari keberhasilan Pertamina terutama saat mengalami booming pada tahun 1970-an.
Kekayaan migas yang luar biasa ternyata tidak bisa dijadikan sumber pendapatan yang permanen. Berkurangnya kandungan migas di perut bumi Nusantara tak bisa dihindari, sehingga produksi minyak pun semakin hari semakin berkurang. Faktor alam ini tentu tidak sepenuhnya bisa dijadikan alasan mengapa Pertamina berkubang dalam sejuta persoalan. Ada faktor-faktor lain yang terkait dengan kebijakan dan kontrol yang tidak maksimal atas kinerja Pertamina.

Pada masa Orde Baru di bawah rezim yang otoriter dan sentralistik, Pertamina menjadi sapi perahan segelintir orang yang berada di lingkaran penguasa. Sudah menjadi rahasia umum, Pertamina telah menjadi tambang emas bagi sekelompok orang. Mereka telah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mereka bisa begitu karena, pertama, adanya kekuasaan yang tak terkontrol. Kenyataan ini menyebabkan korupsi dianggap komisi, kolusi dianggap sesuatu yang mesti, dan semua penyimpangan dianggap absah karena kebenaran menjadi otoritas penguasa.

Kedua, hasil bumi yang melimpah ruah. Kekayaan alam yang luar biasa di dalam sistem kekuasaan yang tak terkontrol dapat mempermudah orang melakukan penyimpangan-penyimpangan yang tak terjamah. Kekayaan alam tersedot ke dalam kantong-kantong penguasa, dan rakyat tak berdaya.

Kini Pertamina dirundung masalah seiring dengan era reformasi yang memungkinkan semua orang-- sebagai konsekuensi logis dari kebebasan--mengungkap dan mengungkit semua masalah dari hulu sampai hilir. Namun masalah tersebut justru semakin meruncing karena adanya salah urus negara (government failure) terhadap Pertamina.

Melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 negara membolehkan investor asing mengelola sumber migas karena keterbatasan modal serta dana negara dan Pertamina seharusnya mendapat keuntungan yang besar. Namun akibat KKN yang begitu mengakar, Pertamina tak pernah untung, sehingga tidak pernah mampu membiayai dirinya sendiri. Bahkan di tengah kondisi kelabu tersebut, melalui Undang-undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, negara membagi monopolinya kepada investor asing dengan menjadikan Pertamina sebagai sebuah perseroan di tengah korupsi yang saat itu tak pernah diawasi.

Keberadaan UU tersebut merupakan bagian dari upaya swastanisasi perusahaan-perusahaan negara. Maka terjadilah penjualan Indosat dan beberapa perusahaan negara lainnya.
Dalam proses swastanisasi ini, negara hanya menjadi fasilitator bagi pengembangan kehidupan nasional dan menyerahkan perusahaan-perusahaan yang menguasai hidup orang banyak kepada swasta agar lebih kompetitif. Penyerahan perusahaan negara pada swasta diyakini dapat memperbaiki kinerja perusahaan negara yang secara nyata sebagian besar kinerjanya tidak maksimal.

Namun sebagian masyarakat menolak logika pasar bebas tersebut, karena kondisi negara yang belum mapan. Dalam kondisi demikian ditambah arus globalisasi yang begitu kuat bisa mengancam terhadap eksistensi negara (nasionalisme). Negara bisa dijajah oleh perusahaan-perusahaan internasional dengan dukungan modal dan politik yang sangat kuat. Oleh sebab itu, kelompok ini justru mewacanakan sebaliknya, yaitu perlunya penguatan nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak agar bisa lebih dirasakan oleh masyarakat secara merata.

Langkah restrukturisasi yang dilakukan pemerintahan SBY saat ini merupakan upaya penguatan peran Pertamina di tengah arus globalisasi tersebut. Oleh karena itu wacana yang harus diajukan kemudian adalah bagaimana proses ini betul-betul mampu memenuhi tujuan asasi dari restrukturisasi tersebut, yaitu maksimalisasi kinerja Pertamina. Hal ini bisa terpenuhi apabila Pertamina, begitu juga BUMN lainnya, dijauhkan dari anasir-anasir politis.
Proses restrukturisasi tersebut harus didasarkan pada kualitas dan integritas para calon pimpinan, dan bukan karena pertimbangan politis (politisasi Pertamina). Hal ini perlu dikedepankan karena sudah menjadi tradisi selama ini bahwa jabatan-jabatan strategis di berbagai perusahaan (BUMN) diisi berdasarkan pertimbangan politis, bukan kualitas dan integritasnya.

Kemungkinan terjadinya politisasi dalam proses restukturisasi Pertamina dan BUMN lainnya sangat terbuka lebar di tengah hegemoni partai politik, baik yang terepresentasi di gedung Senayan maupun di jajaran eksektutif. Untuk itu sebenarnya diperlukan transparansi dalam proses pemilihan para pucuk pimpinan di masing-masing BUMN, khususnya di Pertamina. Dari sana kita akan tahu visi dan misi pimpinan Pertamina dalam mengembangkan perusahaan. Apakah semangat restrukturisasi yang diinginkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini sudah terwujud?***

Penulis adalah analis dan Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta.

Wednesday, March 01, 2006

Opini

Pers, Rumor, dan Teror
Indo.Pos, Rabu, 01 Mar 2006

A. Bakir Ihsan

Pers sebagai tonggak terpenting abad ini sulit terbantahkan. Bahkan, pers atau media massa menjadi bagian terpenting bagi hancurnya otoritarianisme dan menguatnya transparansi serta menyebarnya virus demokrasi di berbagai pelosok negeri.
Namun karena pers pula, masifikasi informasi terjadi dan metamorfosis kata seakan menjadi nyata. Inilah dunia simulakra yang menyulap wacana menjadi fakta.
Melihat peran strategis media massa, tak berlebihan bila semua orang punya harapan melebihi harapan media massa itu sendiri. Namun, tidak jarang harapan tersebut berbuah kekecewaan karena media massa kadang mengaburkan batas antara dunia maya dan dunia nyata, antara kata dan fakta. Ada berita yang sesungguhnya hanya berdasar kata, tetapi seakan hadir dalam dunia nyata karena rekayasa berita.
Produksi kata atau berita tanpa fakta sering disebut rumor, gosip, atau desas-desus karena tidak terjamin kebenarannya (cannot be verified and is of doubtful accuracy). Berita yang berdasar rumor bisa dianggap angin lalu, tapi bisa juga menjadi sebuah teror.
Orang-orang istana dibuat repot dan kelabakan karena rumor mobil Jaguar. Afghanistan digempur Amerika karena rumor Usamah bin Laden ada di sana dan seorang suami membunuh istrinya karena rumor perselingkuhan. Inilah jagad simulakra yang memprovokasi kata menjadi nyata.
Rumor biasanya muncul karena keterbatasan pengetahuan dan ketidakpastian informasi soal yang dirumorkan. Dunia artis, lingkungan istana, dan dunia kaum elite merupakan lahan subur munculnya rumor.
Rumor menjadi semakin krusial ketika secara intens didistribusikan melalui media massa, termasuk pers yang tidak secara intens diikuti pembacanya. Dengan demikian, terjadinya distorsi terhadap berita (teks) menjadi sangat terbuka dan sekaligus mengeruhkan rumor.
Kondisi itu dengan sendirinya semakin mendistorsi dan menderivasi kenyataan berdasar rumor tersebut. Bahkan, melalui rekayasa berita, rumor seakan menjadi lebih dramatis daripada kenyataan yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, rumor tersebut menjadi orbitasi realitas. Ia membentuk semacam orbit yang berputar-putar di atas panggung imajiner pembacanya. Secara perlahan tapi pasti, ia merasuk dalam kesadaran untuk kemudian meyakinkan bahwa ia betul-betul ada.

Terorisme Rumor
Rumor awalnya mungkin dianggap sepele dan main-main karena setiap orang bisa memproduksinya tanpa biaya dan analisis. Tetapi, konsekuensi yang ditimbulkannya bisa sangat fatal.
Dalam skala nasional, persoalan rumor sering menjadi pemantik kekacauan, kerusuhan, demonstrasi, konflik, dan tawuran. Ia menjadi bara dalam sekam yang sulit dipadamkan karena tidak memiliki pijakan, tetapi telanjur memprovokasi kesadaran masyarakat. Warga antarkampung tawuran karena rumor bahwa temannya dianiaya warga kampung lain. Kerusuhan bernuansa SARA meledak karena isu pelecehan terhadap unsur SARA.
Begitu juga di bidang ekonomi, para pialang di pasar modal panik dan bingung karena rumor yang mengancam harga saham. Bahkan, berawal dari rumor pula, seorang Richard M. Nixon harus lengser dari jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat.
Pada titik itu, rumor telah menjadi teror yang mengancam kesadaran publik. Sekali lagi, pers menjadi media yang paling ampuh untuk menempatkan rumor secara proporsional dan berimplikasi positif.
Rumor merupakan bagian dari sumber informasi. Revolusi informasi yang menandai abad ini telah memaksa setiap orang untuk menyerap sebanyak-banyaknya informasi. Kemampuan menguasai informasi menjadi modal menguasai abad ini. Itulah sebabnya, orang atau institusi negara berlomba-lomba menguasai informasi dengan segala cara, termasuk dari rumor.
Bahkan, Amerika di bawah kendali George W. Bush mengambil kebijakan menyerang Iraq berdasar rumor tentang adanya senjata pemusnah masal yang tak pernah terbukti, kecuali korban kemanusiaan dan peradaban yang tak terkira.
Begitu kuatnya godaan informasi sehingga merangsang orang mencarinya melalui berbagai sumber. Ketika sumber formal informasi tak lagi tersedia, dia akan mencari katup informasi lain yang informal dan liar.
Dari sini rumor diproduksi dan direproduksi. Reproduksi rumor secara kontinu akan menciptakan sebuah kesadaran untuk kemudian menggerakkan tindakan dan keyakinan. Ketika rumor telah merasuk pada ambang batas keyakinan, di sinilah problem sosiologis-politik bisa memuncak. Ia akan menjelma menjadi teror yang siap meruntuhkan pamor yang terlibat dalam rumor (perumor atau yang dirumorkan). Ketika rumor tak terbukti, dengan sendirinya ia akan meruntuhkan parmor perumor. Sebaliknya, ketika rumor terbukti, ia bermetamorforsis menjadi fakta.
Karena itu, untuk meminimalkan terorisme rumor, diperlukan tata komunikasi sosial yang egaliter, transparan, dan rasional sehingga rumor tak memiliki ruang aktualisasi. Kalau pun rumor tersebut dipaksakan untuk didistribusikan tanpa seleksi, peran transformasi pers harus dipertaruhkan bagi kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Pers tidak bisa hanya sekadar media pendistribusi informasi. Di dalamnya perlu keberpihakan bagi terciptanya masyarakat yang terbuka (open society). Semoga.

A.Bakir Ihsan, mantan pekerja pers, kini dosen Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta