Thursday, March 16, 2006

Opini

Hancurnya Otoritas Politik Sipil
Koran Tempo, Kamis 16 Maret 2006

A. Bakir Ihsan

Ironis. Untuk kesekian kalinya, anggota TNI dan Polri adu tembak. Negara seperti dunia koboi. Tentara dan polisi sebagai pengendali senjata dan penjaga keamanan serta perdamaian masyarakat, justru menjadi biang kerusuhan. Peristiwa di Ambon, Sabtu 4/3/06 lalu merupakan puncak gunung es dari persoalan mendasar yang melingkupi kedua kekuatan tersebut. Sebelumnya beberapa kasus bentrok anggota TNI-Polri terjadi di beberapa wilayah, baik dalam bentuk perkelahian maupun adu tembak, seperti di Madiun (2001), Binjai (2002), Pontianak (2003), Ambon dan Cimanggis, Depok (2005). Peristiwa ini akan terus berlanjut, apabila tidak ada penyelesaian substantif baik secara struktural maupun kultural dari masing-masing kekuatan. Tidak bisa dibayangkan, babak akhir dari perselisihan dua kelompok bersenjata di negara yang sangat rentan konflik akibat keragaman budaya, suku, dan agama ini.

Di samping menodai misi primordial TNI-Polri sebagai alat pertahanan-keamanan, konflik tersebut juga mencederai proses konsolidasi baik di tubuh TNI maupun Polri yang belakangan ini berusaha memperbaiki citra sejarah masa lalunya yang kelam. Keseriusan TNI untuk tidak berpolitik praktis dan menyerahkan seluruh urusan bisnisnya pada negara merupakan langkah maju bagi profesionalitas TNI. Begitu juga Polri. Penindakan terhadap pelaku korupsi baik yang terjadi di kalangan masyarakat maupun yang melibatkan anggotanya sendiri memperlihatkan kesan positif di mata masyarakat. Bahkan Polri tidak segan-segan menjebloskan beberapa petingginya yang dianggap terlibat dalam tindak korupsi. Belum lagi keberhasilan Polri dalam memberantas peredaran narkoba dan menumpas jaringan terorisme.

Paradoksalitas wajah TNI-Polri ini bisa melahirkan ambigu. Prosesi reformasi yang ditandai dengan profesionalisasi TNI dan penindakan korupsi sebagaimana diamanatkan konstitusi begitu antusias, tetapi nilai-nilai yang tertanam dalam kesadaran anggotanya masih jauh panggang dari api. Ada distorsi antara peran yang dimainkan oleh TNI-Polri secara eksternal dengan tingkat kesadaran para anggotanya yang justru dapat menghambat laju prosesi reformasi tersebut. Upaya-upaya positif yang telah dilakukan baik oleh TNI maupun oleh Polri seharusnya berjalin berkelindan dengan rekonstruksi nilai-nilai yang harus tumbuh di dalam dirinya, sehingga tidak memunculkan letupan-letupan peristiwa yang justru bisa mencemarkan citra positif TNI-Polri yang mulai tumbuh di tengah masyarakat.

Spiral Kekerasan
Kalau selama ini konflik sering berlangsung di lingkaran masyarakat komunal, maka dengan terjadinya bentrok antara TNI-Polri yang intens, semakin memperlihatkan bahwa konflik telah menjadi nafas bangsa ini. Ia telah menjelma dalam spiral kekerasan. Konflik tidak saja mendapat tempat secara kultural, tetapi mendapat dukungan struktural yang ditunjukkan oleh adu tembak para penegak keamanan sendiri.

Oleh karena itu, untuk melihat akar konflik yang terjadi khususnya terkait dengan bentrok TNI-Polri ini bisa dilihat dalam beragam perspektif. Pertama, faktor historis. Sejak lama Polri berada di bawah kendali TNI. Polri di bawah rezim Orde Baru menjadi anak suruh TNI. Namun sejak reformasi, Polri berdiri sejajar dengan TNI, bahkan dalam hal-hal tertentu TNI dapat menjadi obyek hukum yang dimainkan oleh Polri sebagi penegak hukum. Terjadinya perubahan hubungan ini tentu sedikit banyak memunculkan ketegangan-ketegangan psikologis yang dapat meledak bila bersentuhan dengan pemantik sekecil apa pun.

Kedua, persaingan partner. Seiring dengan pemisahan Polri dari TNI, maka Polri merasa punya lahan garapan sendiri. Sebaliknya TNI yang “core business” nya adalah pertahanan merasa semakin terkangkangi perannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kedua kelompok ini tidak jarang menjadi backing (partner) dari usaha-usaha yang menguntungkan. Terjadinya hal tersebut biasanya dikaitkan dengan minimnya fasilitas kesejahteraan bagi anggota TNI-Polri, sehingga memaksa mereka bersaing mendapatkan lahan nafkah tambahan.

Ketiga, lemahnya soliditas komando. Dalam sebuah hirarki dan sistem komando yang solid, kemungkinan terjadinya konflik di tingkat bawah bisa dihindari dan dikendalikan. Peristiwa-peristiwa bentrok TNI-Polri memperlihatkan lemahnya soliditas komando dan kordinasi di antara kedua lembaga tersebut.

Keempat, lemahnya rules of engagement. Polri sebagai lembaga yang berada langsung di bawah kendali presiden menyulitkan kordinasi dengan TNI dalam pelibatan atau perbantuan penyelesaian masalah di lapangan.

Kelima, lemahnya institusi demokrasi. Secara keseluruhan, terjadinya konflik di dalam masyarakat, termasuk antara TNI dan Polri, mencerminkan kegagalan atau lemahnya institusi demokrasi. Demokrasi hanya berhasil menciptakan prosedur-prosedur, namun tidak mengakar kuat bagi tegaknya tata aturan kehidupan demokrasi itu sendiri. Demokrasi hanya berfungsi sebagai penyedia ruang kebebasan (public sphere) di tengah arus kepentingan yang begitu kompleks, tanpa fondasi institusi sipil yang kuat.

Otoritas Sipil
Jaminan keamanan merupakan prasyarat utama kelangsungan eksistensi negara-bangsa (nation-state). Alih-alih mendapat jaminan keamanan, justru masyarakat menjadi korban dari pertikaian aparat keamanan tersebut. Oleh sebab itu, pemerintahan SBY harus mengambil langkah tegas dan strategis agar warisan konflik TNI-Polri yang berlangsung dari waktu ke waktu ini dapat dihentikan dan tidak meluas. Apalagi di tengah upaya pemerintah mengembalikan kepercayaan dunia usaha yang semakin terpuruk dan obsesi bagi tegaknya good governance.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera menumpas akar persoalan yang menjadi pemantik meledaknya konflik antara TNI dan Polri tersebut. Kalau di hulu (para elit) TNI-Polri bisa akur, paling tidak sampai saat ini tidak ada wacana kontradiktif antara pimpinan Polri dan TNI, maka konsolidasi masing-masing lembaga perlu terus didorong sehingga tidak terjadi kesenjangan harmoni antara elit dan para prajurit. Apalagi pimpinan kedua lembaga tersebut dianggap punya komitmen dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Di samping itu, peran politisi sipil dalam mengawal kedua lembaga tersebut tidak kalah pentingnya. Jangan sampai transisi ini menyebabkan kedua lembaga tersebut kehilangan kepercayaan atau justru overconfidence karena sikap sipil yang lebih tertarik memproduksi wacana-wacana yang mengambang dan tidak konsisten.

Harus diakui bahwa upaya menegakkan supremasi sipil, sebagai antitesa dari hegemoni tentara Orde Baru, di era reformasi ini sangat tergantung pada sipil sendiri. Otoritas politik sipil akan menentukan konfigurasi kerja TNI-Polri. Ketidakharmonisan TNI-Polri merupakan cerminan dari ketidakharmonisan (inkonsistensi) dan gagalnya penegakan otoritas politik sipil dalam menata langkah TNI-Polri. Oleh sebab itu, kesungguhan sipil untuk menegakkan otoritasnya sangat mendesak, apalagi menjelang pemilu 2009, di mana TNI kemungkinan besar menggunakan hak pilihnya. Apabila agenda penyelesaian bentrok TNI-Polri dan penguatan sipil ini belum bisa diselesaikan, tidak bisa dibayangkan, konflik bisa lebih meluas dan negara bisa dalam keadaan bahaya. Entah siapa yang akan mengambil keuntungan kemudian.*

No comments: