Wednesday, March 15, 2006

Opini

SBY dan Restrukturisasi Pertamina
Suara Karya, Jumat, 10 Maret 2006

A. Bakir Ihsan

Keputusan pemerintah merestrukturisasi PT Pertamina patut dihargai. Restrukturisasi itu kemudian berdampak pada penggantian jajaran pimpinan Pertamina, karena merekalah yang menentukan laju-tidaknya perusahaan minyak negara ini.

Namun dalam proses restrukturisasi ini patut kita awasi agar penggantian tersebut tidak sekadar perubahan person dengan sistem yang sama. Kalau ini yang terjadi, maka restrukturisasi tidak akan memberi dampak fundamental bagi Pertamina, kecuali hanya penggantian person dan bagi-bagi jabatan. Sebagai perusahaan negara dan sebagaimana diatur oleh konstitusi negara, maka Pertamina harus bisa memberikan manfaat ekonomi bagi rakyat. Kandungan migas di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Blok Cepu dan kilang minyak lainnya, seharusnya diatur dan dipergunakan oleh negara untuk kemakmuran seluruh masyarakat.
Munculnya kontroversi dalam kasus Blok Cepu belakangan ini sering dilihat sebagai ekses dari keterlibatan asing (ExxonMobil) dalam proses pengelolaannya.

Keterlibatan asing dalam proses pengilangan minyak di Indonesia sebenarnya memiliki akar historis yang cukup panjang. Ketidakmampuan negara mengelola potensi migas yang begitu besar dan tersebar luas menjadi alasan negara mengundang investor asing yang dilegalisasi melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971.

Atas regulasi ini, Pertamina berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu perusahaan minyak yang cukup disegani dan diperhitungkan. Bahkan beberapa negara banyak belajar dari keberhasilan Pertamina terutama saat mengalami booming pada tahun 1970-an.
Kekayaan migas yang luar biasa ternyata tidak bisa dijadikan sumber pendapatan yang permanen. Berkurangnya kandungan migas di perut bumi Nusantara tak bisa dihindari, sehingga produksi minyak pun semakin hari semakin berkurang. Faktor alam ini tentu tidak sepenuhnya bisa dijadikan alasan mengapa Pertamina berkubang dalam sejuta persoalan. Ada faktor-faktor lain yang terkait dengan kebijakan dan kontrol yang tidak maksimal atas kinerja Pertamina.

Pada masa Orde Baru di bawah rezim yang otoriter dan sentralistik, Pertamina menjadi sapi perahan segelintir orang yang berada di lingkaran penguasa. Sudah menjadi rahasia umum, Pertamina telah menjadi tambang emas bagi sekelompok orang. Mereka telah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mereka bisa begitu karena, pertama, adanya kekuasaan yang tak terkontrol. Kenyataan ini menyebabkan korupsi dianggap komisi, kolusi dianggap sesuatu yang mesti, dan semua penyimpangan dianggap absah karena kebenaran menjadi otoritas penguasa.

Kedua, hasil bumi yang melimpah ruah. Kekayaan alam yang luar biasa di dalam sistem kekuasaan yang tak terkontrol dapat mempermudah orang melakukan penyimpangan-penyimpangan yang tak terjamah. Kekayaan alam tersedot ke dalam kantong-kantong penguasa, dan rakyat tak berdaya.

Kini Pertamina dirundung masalah seiring dengan era reformasi yang memungkinkan semua orang-- sebagai konsekuensi logis dari kebebasan--mengungkap dan mengungkit semua masalah dari hulu sampai hilir. Namun masalah tersebut justru semakin meruncing karena adanya salah urus negara (government failure) terhadap Pertamina.

Melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 negara membolehkan investor asing mengelola sumber migas karena keterbatasan modal serta dana negara dan Pertamina seharusnya mendapat keuntungan yang besar. Namun akibat KKN yang begitu mengakar, Pertamina tak pernah untung, sehingga tidak pernah mampu membiayai dirinya sendiri. Bahkan di tengah kondisi kelabu tersebut, melalui Undang-undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, negara membagi monopolinya kepada investor asing dengan menjadikan Pertamina sebagai sebuah perseroan di tengah korupsi yang saat itu tak pernah diawasi.

Keberadaan UU tersebut merupakan bagian dari upaya swastanisasi perusahaan-perusahaan negara. Maka terjadilah penjualan Indosat dan beberapa perusahaan negara lainnya.
Dalam proses swastanisasi ini, negara hanya menjadi fasilitator bagi pengembangan kehidupan nasional dan menyerahkan perusahaan-perusahaan yang menguasai hidup orang banyak kepada swasta agar lebih kompetitif. Penyerahan perusahaan negara pada swasta diyakini dapat memperbaiki kinerja perusahaan negara yang secara nyata sebagian besar kinerjanya tidak maksimal.

Namun sebagian masyarakat menolak logika pasar bebas tersebut, karena kondisi negara yang belum mapan. Dalam kondisi demikian ditambah arus globalisasi yang begitu kuat bisa mengancam terhadap eksistensi negara (nasionalisme). Negara bisa dijajah oleh perusahaan-perusahaan internasional dengan dukungan modal dan politik yang sangat kuat. Oleh sebab itu, kelompok ini justru mewacanakan sebaliknya, yaitu perlunya penguatan nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak agar bisa lebih dirasakan oleh masyarakat secara merata.

Langkah restrukturisasi yang dilakukan pemerintahan SBY saat ini merupakan upaya penguatan peran Pertamina di tengah arus globalisasi tersebut. Oleh karena itu wacana yang harus diajukan kemudian adalah bagaimana proses ini betul-betul mampu memenuhi tujuan asasi dari restrukturisasi tersebut, yaitu maksimalisasi kinerja Pertamina. Hal ini bisa terpenuhi apabila Pertamina, begitu juga BUMN lainnya, dijauhkan dari anasir-anasir politis.
Proses restrukturisasi tersebut harus didasarkan pada kualitas dan integritas para calon pimpinan, dan bukan karena pertimbangan politis (politisasi Pertamina). Hal ini perlu dikedepankan karena sudah menjadi tradisi selama ini bahwa jabatan-jabatan strategis di berbagai perusahaan (BUMN) diisi berdasarkan pertimbangan politis, bukan kualitas dan integritasnya.

Kemungkinan terjadinya politisasi dalam proses restukturisasi Pertamina dan BUMN lainnya sangat terbuka lebar di tengah hegemoni partai politik, baik yang terepresentasi di gedung Senayan maupun di jajaran eksektutif. Untuk itu sebenarnya diperlukan transparansi dalam proses pemilihan para pucuk pimpinan di masing-masing BUMN, khususnya di Pertamina. Dari sana kita akan tahu visi dan misi pimpinan Pertamina dalam mengembangkan perusahaan. Apakah semangat restrukturisasi yang diinginkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini sudah terwujud?***

Penulis adalah analis dan Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta.

No comments: