Monday, December 04, 2006

Opini

Menyambung Tali Sejarah
Media Indonesia, Senin 4 Desember 2006

A. Bakir Ihsan

Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan sistem demokrasi mendapat pujian dunia. Bahkan George W. Bush dalam kunjungan singkatnya di Bogor beberapa waktu lalu menaruh harapan besar atas keberhasilan Indonesia menyemai demokrasi langsung dan menempatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden pertama pilihan langsung rakyat. And we appreciate your leadership, Mr. President your democracy is making Indonesia strong and better able to play possible ball South East Asia and the world. Demikian harapan Bush pada SBY saat konferensi pers di Istana Bogor, 20 November lalu.

Bush dan dunia pantas berharap, karena keberhasilan demokrasi langsung (direct democracy) pada level kepemimpinan nasional terus bersambut pada level kepala daerah. Prosesi demokrasi bersemi di tengah transisi reformasi.

Walaupun terjadi riak-riak ketidakpuasan, namun secara keseluruhan prosesi demokrasi, khususnya pada level lokal (daerah) cukup lancar. Paling tidak persoalan-persoalan terkait dengan Pilkada (kepemimpinan di tingkat daerah) bisa diselesaikan sesuai alur demokrasi. Misalnya, kasus Walikota Depok (Nur Mahmudi Ismail vs Badrul Kamal) dan Gubernur Lampung (Sjachroeddin ZP vs Alzier Dhianis Thabrani) yang menyita energi cukup melelahkan berhasil diselesaikan secara acceptable dan accountable.

Kudeta sejarah
Namun dari sekian prosesi demokrasi di negeri ini, selalu menyisakan sejarah yang gelap, sehingga menyebabkan terjadinya diskontinuitas sejarah. Diskontinuitas sejarah merupakan bentuk lain dari kudeta yang menyiratkan keterputusan masa lalu dengan masa kini. Kudeta tidak hanya terkait dengan peralihan kekuasaan secara paksa, tapi penegasian terhadap segala simbol kekuasaan sebelumnya. Akibatnya, ia selalu meninggalkan sisi gelap dari rangkaian babakan sejarah.

Secara politik, diskontinuitas sejarah ini berimplikasi pada personifikasi kekuasaan melalui agenda-agenda yang dibangun tanpa sebuah kesinambungan dan kebersamaan. Sehingga capaian yang dihasilkannya pun tidak maksimal. Pada titik ini demokrasi melahirkan sebuah ambigu. Ia hanya berhasil mengantarkan sebuah proses pergantian rezim, tanpa agenda bagaimana rezim ini harus melanjutkan kekuasaan. Kenyataan inilah yang menyebabkan terjadinya kudeta sejarah. Masing-masing rezim membangun sejarahnya sendiri, dan rezim berikutnya selalu merevisi bahkan membongkarnya.

Paling tidak itulah yang terjadi di republik ini. Sejarah kepemimpinan di negeri ini memperlihatkan potret yang tak pernah sempurna. Dari Soekarno sampai Megawati tak satu pun di antara mereka yang berhasil menyelesaikan masa kepemimpinannya secara paripurna.

Akibatnya suksesi di negeri ini selalu mewariskan negasi. Paling tidak penegasian terhadap kepemimpinan sebelumnya menjadi bukti tidak adanya harmoni antar generasi. Soeharto berdiri di atas hujatan terhadap Soekarno. Reformasi lahir dengan dendam yang begitu dahsyat atas Soeharto. Bahkan di saat reformasi pun, kita belum memiliki tradisi kepemimpinan yang naik dan turunnya secara regular. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati berbagi waktu secara tidak normal. Lima tahun yang tersedia harus berakhir sebelum waktunya. Ini pula yang menyebabkan negeri ini seperti tak memiliki banyak pemimpin bangsa walaupun kekuasaan sudah berganti sekian kali. Mereka “besar” pada zaman kekuasaannya, dan sesudah itu selesai.

Diskontinuitas atau kudeta sejarah ini bukan sebuah bentuk kegenitan idiomatik. Secara sosio-politik, ia berdampak pada stigmatisasi dan stratifikasi sosial yang rapuh karena tidak adanya kesinambungan visi dan misi kekuasaan dalam menata dan memberdayakan masyarakat dengan segala stratifikasinya dalam konteks negara-bangsa. Selama proses kepemimpinan masih berjalan menurut sejarahnya masing-masing, maka selama itu pula upaya rekonstruksi akan mengalami involusi.

Konsensus fundamental
Untuk mengatasi diskontinuitas tersebut, yang diperlukan bukan rekonsiliasi para (mantan) pemimpin negeri ini. Karena rekonsiliasi lebih bernuansa politis-formalistik. Namun lebih dari itu, adalah kepedulian semua pemimpin terhadap nasib negeri melalui beragam aksi namun dalam satu visi. Negara ini tidak bisa dipertaruhkan hanya pada satu pemimpin di suatu periode tertentu. Walaupun SBY dipilih langsung oleh rakyat, namun hal tersebut tidak cukup menjadi modal kuat apabila tidak didukung oleh pemimpin lainnya yang telah ikut berkontribusi bagi eksistensi negeri ini. Negara ini akan terus bergerak secara reguler apabila regenerasi kepemimpinannya mampu melanjutkan gerak positif kepemimpinan sebelumnya. Dan ini akan terjadi apabila proses regenerasi tersebut berlangsung secara reguler melalui demokrasi yang terkonsolidasi.

Salah satu syarat bagi konsolidasi demokrasi adalah adanya landasan kebangsaan yang mapan dan kuat (strenght). Selama ini Pancasila yang merupakan konsensus dasar (fundamental consensus) bagi eksistensi negeri ini sering terdistorsi oleh kepentingan kelompok tertentu, sehingga menghambat laju konsolidasi demokrasi. Akibatnya demokrasi yang hadir di negeri ini belum mampu menyentuh sisi substansi demokrasi sebagai sebuah wahana untuk menyuburkan keragaman tanpa dominasi apalagi represi.

Bahkan kini, di saat kita merayakan direct democracy, melalui pendirian lembaga-lembaga politik masih sering terjebak pada penguatan kepentingan sekelompok elit yang secara personal tidak memiliki akar pada level grassroot. Saling menyalahkan dan upaya menonjolkan kepentingan kelompoknya atas nama mayoritas atau lainnya lebih mengemuka daripada semangat untuk menata kehidupan berbangsa secara bersama. Negasi lebih dikedepankan daripada komunikasi. Demarkasi lebih kuat daripada negosiasi. Dari sini terlihat betapa orientasi kebangsaan yang mengagungkan kebersamaan dalam keragaman begitu rentan dan rapuh. Ini pula yang menyebabkan kita sering terjebak pada stigmatisasi sejarah (historic alienation) yang mencerai beraikan anak bangsa.

Dari kami ke kita
Orientasi kebangsaan sebagai cermin dari fundamental consensus sejatinya dapat meleburkan stigmatisasi dan negasi sekaligus memperkuat harmoni. Penegasian atas kelompok yang berbeda (the others) dan penguatan distingsi antara “kami” versus “mereka” baik secara politik, budaya, maupun ekonomi merupakan benih yang bisa memicu kudeta sejarah sebagaimana yang terjadi pada masa lalu. Untuk itu, segmentasi antara “kami” dan “mereka” yang akhir-akhir ini cenderung menguat kembali dalam berbagai bentuknya harus dieliminasi melalui transendensi dan transformasi yang mengedepankan kepentingan “kita.” Dalam term “kita”, distingsi “kami” dan “mereka” dapat melebur dan bersama.

Semua anak bangsa dari beragam suku dan latar belakang sejarah selama berada di ranah republik ini, harus diintrodusir dalam paradigma “kita”. Dengan demikian, kontinuitas sejarah akan terus mengalir dalam aras kebangsaan dan kebersamaan. Dalam rangka itu pula, Presiden SBY membuka pintu bagi para korban politik Gerakan 30 September yang ada di luar negeri untuk kembali ke pangkuan pertiwi. Bahkan SBY berjanji merekonstruksi sejarah 1965 yang penuh misteri dengan sejuta stigmatisasi. Langkah penting ini merupakan upaya menyambung kembali tali sejarah yang pernah terputus akibat kudeta antar anak bangsa. Semoga.

Friday, December 01, 2006

Opini

Menimbang Proposal Irak Yudhoyono
Koran Tempo, Kamis, 30 November 2006

A. Bakir Ihsan

Irak kembali berdarah. Tiga hari pasca tawaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Presiden George Walker Bush tentang penyelesaian Irak, 200-an orang meregang nyawa. Balas dendam pun tak terelakkan. Dua hari kemudian 80-an nyawa hilang sia-sia. Seakan mereka hendak menjawab bahwa Irak telah berubah menjadi ladang pembantaian (killing field) yang tidak bisa dibiarkan.

Tawaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bagi penyelesaian Irak (triple track solution) mengundang ragam wacana. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang setuju dengan proposal SBY ada juga yang menganggapnya sebagai upaya menghapus dosa-dosa Amerika dan sekutunya yang telah meluluhlantakkan Irak menurut kemauannya sendiri.

Terlepas dari ragam wacana tersebut, tulisan ini ingin melihat proposal Presiden Yudhoyono sebagai perwujudan dari komitmen kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh konstitusi. Bahwa nilai-nilai kemanusiaan tak boleh terluka, apalagi hancur, oleh alasan apapun. Karena itu mubazir rasanya apabila wacana yang berkembang lebih diarahkan pada untung rugi dari proposal tersebut. Dalam konteks penegakan perdamaian dan kemanusiaan segala upaya untuk itu jauh lebih bermakna daripada tidak berbuat sama sekali. Apalagi hanya mengumbar wacana yang justru mengaburkan substansi tegaknya perdamaian di muka bumi.

Tawaran Presiden Yudhoyono sesungguhnya bukan pada Amerika, tapi pada Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertanggung jawab atas eksistensi dan kedamaian sebuah negara, yaitu Irak. Kalau Irak dibiarkan menjadi ladang pembantaian sesama warga negara, maka tidak mustahil Irak sebagai sebuah negara bangsa akan terhapus dari catatan sejarah. Negara Irak bisa pecah terkapling berdasarkan kelompok-kelompok yang bertikai. Kalau ini terjadi, maka semakin kuat tesis bahwa sebuah negara bangsa berdiri bukan atas dasar kontrak sosial sebagaimana dikhutbahkan kaum fungsionalis. Negara tidak pula berdiri atas dasar kehendak Tuhan sebagaimana difirmankan kaum teolog. Tapi negara berdiri berdasarkan imajinasi yang rapuh dan penuh ancaman perpecahan. Dan imajinasi tidak bisa dipertahankan melalui senjata atau represi politik, karena ia merupakan realitas yang metaempirik. Senjata memiliki limit waktu, politik terkekang oleh ruang, sementara imajinasi melampauinya. Oleh sebab itu, imajinasi hanya bisa dipertahankan melalui pemberdayaan kesadaran tentang pentingnya negara bangsa (nation-state). Dan inilah yang kini hilang di bumi Irak.

Tawaran penyelesaian terhadap Irak secara tidak langsung membuktikan bahwa untuk kesekian kalinya cara-cara kekerasan (senjata) yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Justru ia memicu munculnya sel-sel kekerasan baru yang tak terperikan dan lebih menyakitkan. Kenyataan ini seharusnya menjadi ibrah (pelajaran) bagi Amerika dan sekutunya untuk tidak menggunakan kekerasan demi kepentingannya yang sering dibungkus atas nama hak asasi manusia, demokrasi, dan sejenisnya. Begitupun terhadap terorisme yang telah berhasil dilekatkan pada Islam. Kekerasan terhadap terorisme justru akan menyuburkan sel-sel baru terorisme yang tidak hanya terbatas pada teritori negara dan budaya tertentu, tapi pada siapapun yang merasa terancam. Dan akibatnya jauh lebih mahal dari uang yang harus dikeluarkan untuk perang. Terlalu banyak korban yang berjatuhan akibat senjata.

Makna solidaritas
Tawaran Presiden Yudhoyono dalam penyelesaian Irak yang meliputi tiga hal sejatinya bukan hal baru. Bahkan ia merupakan solusi umum dalam proses penyelesaian konflik yang melibatkan senjata antar warga bangsa. Namun konsep solutif tersebut seakan menjadi usang karena cenderung hanya dijadikan wacana tanpa makna. Negara sebesar Amerika yang memiliki sumberdaya dan sumber dana yang besar sudah sadar dan paham akan proses penyelesaian sebuah konflik. Namun konsep tersebut harus berhadapan dengan beragam kepentingan baik politik, ekonomi, dan sosial budaya termasuk arogansi Amerika sebagai negara adidaya yang tak beradab.

Sejak awal invasi Amerika dan sekutunya mendapat banyak resistensi. Namun dengan segala kesombongannya, Amerika menistakan resistensi dan menegasikan yang lain (the others). Di sini penegasian dan penistaan telah menyebabkan Amerika terjerembab dalam kenistaan yang tak kalah hinanya. Negara sedigdaya Amerika takluk di bawah konflik yang sulit diselesaikan di bumi Irak yang telah diembargonya. Bagaimana ia harus menawarkan solusi-solusi terhadap dunia internasional, sementara dirinya tidak mampu menyelesaikan negara sebesar Irak yang telah diembargo sekian lama kemudian dibombardir dengan senjata.

Ini membuktikan bahwa kedigdayaan tunggal (monopoli) tak akan banyak memberi makna, tanpa dibarengi kebersamaan (solidaritas). Inilah salah satu poin penting dari tawaran Presiden SBY tentang rekonstruksi Irak yang tidak bisa diselesaikan oleh satu atau dua negara, namun oleh dunia internasional yang peduli akan nasib kemanusiaan.

Kalau melihat tiga agenda penyelesaian Irak yang ditawarkan Presiden Yudhoyono terlihat bahwa keadaban dunia ditentukan oleh kebersamaan, bukan oleh kekuatan senjata. Itulah sebabnya dalam triple track solution bagi penyelesaian Irak lebih ditekankan pada kebersamaan baik dalam konteks internasional maupun nasional (lokal).

Pertama, perlunya rekonsiliasi nasional seluruh pihak yang bertikai dengan memberdayakan pemerintahan baru yang telah terbentuk, sehingga pemerintah mampu menyelesaikan sendiri permasalahannya.

Kedua, pengerahan pasukan internasional seiring dengan penarikan tentara Amerika dan sekutunya dari Irak untuk menciptakan stabilitas keamanan. Pasukan internasional ini melibatkan negara-negara yang steril dari pemihakan terhadap serbuan Amerika dan sekutunya terhadap Irak. Sebagaimana diketahui ada beberapa negara yang mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap invasi Amerika terhadap Irak. Kalau perlu dalam pasukan internasional ini dilibatkan negara-negara yang dianggap punya pengaruh terhadap dinamika kehidupan masyarakat Irak, seperti Iran sebagai basis syiah dan Yordania sebagai negara yang dianggap memiliki pengaruh terhadap kelompok sunni. Paling tidak keterlibatan kedua negara tersebut dapat mencarikan titik temu penyelesaian secara damai.

Ketiga, rekonstruksi dan rehabilitas pasca konflik. Pasukan internasional di samping berfungsi menjaga keamanan, juga mempercepat proses rekonstruksi dan rehabilitas terhadap korban-korban akibat konflik. Hal ini sebagaimana dilakukan terhadap negara-negara yang dilanda konflik, seperti di Bosnia, Checnya, dan Lebanon.

Responsi PBB dan Irak
Tawaran ini tentu akan efektif apabila mendapat respon dari PBB dan masyarakat Irak sendiri. Karena bagaimana pun, kehadiran pasukan internasional harus mendapat rekomendasi dari PBB sebagai mekanisme yang harus ditaati bersama. Inilah yang tidak ditaati Amerika dalam menginvasi Irak sehingga melahirkan dampak yang tidak diinginkan. Begitu pun respon rakyat Irak diperlukan, karena bisa jadi mereka sudah tidak percaya lagi terhadap PBB yang dianggap gagal membendung nafsu Amerika dan sekutunya untuk menyerang Irak.

Dalam kompleksitas persoalan dan upaya penyelesaian Irak, memang sulit untuk menemukan celah penyelesaian secara cepat. Namun daripada tidak bergerak sama sekali, maka langkah terbaik dari yang terjelek harus diambil, termasuk terus mewacanakan penghentian Irak menjadi ladang pembantaian sesama warga bangsa. Kalau tidak, bisa jadi Irak betul-betul dalam ancaman kepunahan sejarahnya akibat perang saudara. Dan kalau ini terjadi sungguh sangat disayangkan. Sebuah negara yang sempat menjadi pusat peradaban dunia harus hancur akibat hancurnya keadaban dunia yang dimotori oleh Amerika dan sekutunya.

Di sinilah urgensi triple track solution yang ditawarkan Presiden Yudhoyono. Kini tinggal bagaimana proposal tersebut terus diperjuangkan di berbagai kesempatan (forum) demi tegaknya perdamaian di bumi Irak khususnya, dan seluruh belahan bumi lainnya, tak terkecuali di sini dan kini.*