Wednesday, August 15, 2012

KTT Bumi, Rio de Janeiro, 2012


















Opini

Urgensi Diplomasi Bumi
Koran TEMPO, Selasa, 24 Juli 2012

A. Bakir Ihsan

Dalam penutupan KTT Bumi (earth summit) di Brasil, 22/6, Sekjen PBB Ban Ki-moon menyatakan optimismenya tentang masa depan bumi; “The speeches are over. Now the work begins.”  Optimisme tersebut diulanginya kembali dalam Sidang Umum Majelis PBB, 28/6, Ban; Let me be clear. Rio+20 was a success...In Rio, we saw the further evolution of an undeniable global movement for change.”
Rio+20 tentu tak sekadar perhelatan. Di dalamnya terkandung keprihatinan sekaligus harapan yang memuncak atas nasib bumi yang kian terancam dan mengancam. Sebagaimana tema besar Rio+20, "Future We Want" (Masa Depan yang Kita Mau) menyiratkan cita kolektif untuk memakmurkan bumi kembali melalui pembangunan berkelanjutan (sustainable development) demi masa depan.
Keprihatinan terhadap kehidupan di muka bumi ini didasarkan pada fakta problem kemanusiaan global yang semakin menyesakkan. Pertumbuhan penduduk yang tak diimbangi oleh ketersediaan kebutuhan hidup, kerusakan darat, laut, dan udara, kelayakan hidup yang semakin mahal, dan, menurut data PBB, lebih semiliar manusia kelaparan setiap harinya menjadi potret buram yang, bila dibiarkan, akan mendekatkan bumi pada ajalnya.

Transformasi kultural
Masalah bumi tentu tak bisa dijawab hanya melalui KTT Bumi yang baru berusia 20 tahun. Terlalu panjang distorsi dan deviasi yang mendegradasi fungsi bumi dan manusia. Kolektivitas rasa prihatian dan ancaman yang semakin nyata bagi semua negara, menggerakkan kesadaran untuk mengalihkan kepedulian pada bumi. Minimal ada kesadaran tentang bumi yang semakin terancam sekaligus mengancam kehidupan manusia sendiri.
Namun, kepedulian tersebut masih menyisakan agenda yang timpang. Di tengah hegemoni negara maju dengan kapitalisme dan neo-liberalismenya, agenda bumi cenderung menjadi beban negara berkembang. Titik sorot problem lingkungan selalu ditimpakan pada negara berkembang yang masih bergulat dengan persoalan ekonominya. Inilah yang dikritisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rio+20. Problem bumi yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia adalah adanya kepentingan antara mempertaruhkan kepentingan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada alam dan upaya mengembalikan fungsi bumi secara berkeadilan.
Karena itu, bumi tidak bisa dilihat semata persoalan komitmen kenegaraan (struktural). Bahwa kebijakan terkait bumi bisa menjadi jalan untuk merawat bumi, memang sulit dimungkiri. Apalagi betul-betul didukung oleh berbagai negara untuk mewujudkannya sebagaimana tercetus dalam Rio+20 di Brasil.
Namun yang tak kalah pentingnya adalah komitmen budaya untuk menjadikan isu bumi sebagai gerakan massif. Kalau kita berkaca pada gerakan perubahan yang terjadi di Amerika Latin, termasuk di Brasil, gerakan kultural ini menjadi magnitud yang bisa membongkar hegemoni status quo. Sebagaimana kita maklumi, negara-negara di Amerika Latin, seperti Brasil bukan sekadar sebuah negara. Ia merupakan representasi dari sejarah profetis-kultural yang menggetarkan jagad pergerakan baru. Pada awal 1970-an misalnya, Brasil menjadi bagian dari gerakan teologi pembebasan yang membongkar kepalsuan sosialisme yang didominasi elite dan mengembalikannya kepada kemurnian praktik yang membebaskan.
Saat ini, Brasil, sebagaimana menjadi mainstream Amerika Latin, menjadi kekuatan arus balik (neo-sosialisme) di tengah hegemoni pasar bebas. Bahkan dalam konteks bumi, Brasil berhasil menciptakan ekonomi hijau (green economy) melalui praktik daur ulang, peralihan ke energi terbarukan, dan menciptakan lapangan kerja yang ramah alam (green jobs).

Diplomasi bumi
Kita punya sejarah dan semangat pembebasan yang tak kalah heroik dan “teologisnya” daripada Brasil. Sebagai bangsa yang berhasil keluar dari cengkraman penjajah melalui perlawanan sosial dan bisa berdiri tegak melewati beragam krisis menjadi modal optimisme bagi setiap upaya pembebasan. Kekuatan kultural bangsa yang pada level tertentu menjadi benteng gerak struktur kekuasaan, menjadi kunci bertahannya Indonesia dari beragam ancaman krisis. Bahkan di tengah krisis global saat ini, Indonesia bukan hanya bertahan, namun berhasil merawat pertumbuhan ekonominya.
Modal ini tak akan bermakna, bahkan bisa menjadi duri, bila tak disikapi dan dirasakan sebagai keberhasilan kolektif sebagai bangsa. Terlebih berhadapan dengan krisis global yang sampai saat ini belum berakhir dan bisa mengancam ketahanan ekonomi nasional.
Karena itu, keberhasilan kita “bertahan di tengah krisis” saat ini sejatinya bisa menjadi modal untuk melakukan bargaining bagi terciptanya diplomasi global yang berorientasi pada bumi. Selama ini, diplomasi global lebih didasarkan pada kepentingan ekonomi dengan kedok demokrasi. Beragam strategi yang terbangun dalam diplomasi (baca; intervensi) selama ini adalah upaya hegemoni negara tertentu dengan menekan sistem sebuah negara atas nama demokrasi dengan beragam kepentingan di belakangnya.
Diplomasi bumi ini menjadi penting karena kerusakan bumi melampaui sistem kenegaraan. Baik negara dengan sistem demokrasi, otoriter, maupun totaliter, terancam oleh kerusakan bumi. Diplomasi bumi merupakan jembatan bagi tersambungnya relasi antar negara yang semakin tak terelakkan. Tentu langkah ini tidak mudah di tengah ego kepentingan masing-masing negara.
Namun, melalui komitmen dan citra positif Indonesia di dunia internasional dan langkah soft power yang selama ini dimainkan Indonesia baik pada level regional maupun global, upaya ke arah terciptanya diplomasi bumi bisa dimulai. Perlu langkah konkret untuk memaksa meleburnya ego kepentingan masing-masing negara bagi satu bumi atau apa yang diistilahkan Presiden SBY sebagai sustainable growth with equity dalam segala tingkatannya. Masing-masing negara tetap dalam ikhtiar mengejar kemajuan dengan beragam paradigmanya. Namun di saat yang sama ada kesenyawaan visi dan aksi dalam merawat satu bumi.
Di tengah lenturnya ideologi-ideologi global akibat ancaman krisis yang sama, bumi bisa menjadi paradigma baru yang menentukan posisi tawar dalam relasi antar bangsa dan antar negara. Bumi menjadi penentu eksistensi dan diplomasi antar negara sekaligus menjadi identitas kebangsaan global, karena bumi adalah jantung kehidupan. Dan ini perlu keberpihakan kolektif baik secara struktur kelembagaan negara maupun kultur setiap anak bangsa. Karena, menurut Sekjen Rio+20, Sha Zukang, nothing in the world has been – or will ever be – stronger than collective human ingenuity harnessed for the purposes of good. Inilah senyawa bumi manusia yang menentukan hidup mati alam raya. Karenanya, perlu langkah bersama. Semoga.