Wednesday, October 31, 2007

Opini

Jembatan Politik Menanggulangi Kemiskinan
Media Indonesia
, Rabu, 31 Oktober 2007

A. Bakir Ihsan

Tiga tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disuguhi wacana yang kurang menggembirakan. Dari beberapa survei yang dilakukan beberapa lembaga penelitian ditemukan adanya penurunan ekspektasi terhadap kepemimpinan SBY. Salah satu faktor yang sering menjadi sorotan atas tiga tahun kepemimpinan SBY adalah kemiskinan yang tak kunjung lekang di tengah masyarakat.

Problem kemiskinan ini tampaknya disadari SBY. Paling tidak dalam RAPBN 2008 masalah kemiskinan menjadi perhatian khusus dan titik tekan yang hendak diselesaikan. Gerak ke arah tersebut tampaknya berjalin kelindan dengan menguatnya gerakan global antikemiskinan. Namun sejaumana upaya-upaya tersebut dapat meretas kemiskinan.

Selama ini persoalan kemiskinan cenderung diletakkan sebagai realitas yang taken for granted. Ia seakan terlepas dari realitas lain yang sesungguhnya memiliki garis senyawa dengan eksistensi kemiskinan, yaitu eksistensi orang-orang kaya. Hal ini menarik ditelaah karena menurut hasil riset yang dilakukan Merrill dan Capgemini yang dilansir di Hong Kong (16/10) Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan jumlah orang kaya tertinggi ketiga (16,0%) di kawasan Asia-Pasifik setelah Singapura dan India. Bahkan, pertumbuhan orang kaya Indonesia hampir dua kali pertumbuhan global yang hanya 8,3%. Fakta ini sejatinya menjadi pintu masuk untuk melihat sejauhmana korelasi antara tumbuhnya orang kaya dengan eksistensi kemiskinan itu sendiri.

Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa kaya dan miskin tidak perlu dipertentangkan. Yang diperlukan adalah jembatan yang menghubungkan antara keduanya. Pernyataan tersebut disampaikan pada peresmian Rumah Sehat yang diprakarsai Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Dompet Dhuafa, di area Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (14/9).

Pernyataan SBY ini mengandung dua makna. Pertama, SBY melihat identitas kaya miskin sebagai sebuah keniscayaan (realitas alamiah) yang tak mungkin dielakkan. Kaya dan miskin merupakan kenyataan yang saling melengkapi. Karenanya, diperlukan langkah (jembatan) yang bisa menghubungkan rasa di antara dua entitas tersebut, sehingga tidak muncul kecemburuan akibat kesenjangan. Bahkan jembatan tersebut diharapkan bisa mengangkat derajat kehidupan kaum miskin.

Kedua, SBY melihat perlunya keterlibatan seluruh kekuatan di dalam masyarakat untuk menjembatani persoalan kaya-miskin. Rumah Sehat yang digagas BAZNAS dan Dompet Dhuafa merupakan salah satu contoh konkret upaya meretas jarak antara kaya dan miskin melalui pemberian pengobatan gratis. Di sinilah urgensi peran organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat, khususnya mereka yang tak berharta.

Kedua makna tersebut menyiratkan komitmen yang kuat bagi penyelesaian problem kemiskinan di negeri ini. Namun sejauhmana efektivitas komitmen tersebut? Di sinilah urgensi pendekatan komprehensif dalam membedah persoalan kemiskinan yang menghimpit di tengah kekayaan yang juga eksis.

Tiga perspektif
Dalam literatur ilmu-ilmu sosial, persoalan diferensiasi baik dalam konteks politik, ekonomi, maupun sosial budaya, merupakan bagian dari realitas yang sarat makna (kepentingan). Dominasi dan hegemoni akan selalu mewarnai di antara ragam diferensiasi tersebut, termasuk dalam konteks relasi kaya dan miskin. Karenanya kedua entitas (kaya dan miskin) ini tidak bisa dilihat secara bipolar; hitam putih. Bahwa yang kaya benar karenanya dibela dan yang miskin salah karenanya diasingkan, atau sebaliknya. Pola pandang ini bersifat distorsif, stigmatis, dan merugikan salah satunya.

Persoalan kaya-miskin harus diletakkan dalam perspektif yang komprehensif dengan melihat faktor-faktor yang menyebabkan diferensiasi kaya-miskin terdistorsi dan penuh stigmatisasi. Paling tidak ada tiga perspektif dalam melihat relasi kaya-miskin. Pertama, perspektif budaya. Perspektif ini melihat persoalan kaya-miskin adalah karena nilai-nilai yang diintrodusir mengarahkannya pada terbentuknya identitas seseorang. Orang bisa menjadi kaya karena di dalam dirinya terbangun dorongan untuk kaya. Inilah yang oleh David McClelland disebut need for achievement (N-Ach). Dorongan ini kemudian membentuk sikap dan perilaku usaha untuk mendapatkan kekayaan tersebut. Nilai-nilai kaya ini bisa muncul dari berbagai faktor. Bisa karena pendidikan, juga bisa karena pemahaman keagamaan yang melihat kekayaan sebagai berkah dan cerminan kasih sayang Allah. Menurut perspektif ini, untuk mendorong tumbuhnya orang-orang kaya diperlukan rekonstruksi kesadaran agar masyarakat terdorong untuk melakukan aktivitas yang produktif dan menghasilkan banyak keuntungan.

Kedua, perspektif sistem. Pendekatan ini melihat kaya-miskin sebagai konsekuensi logis dari rangkaian kondisi (sistem) yang ada di lingkungan masyarakat. Struktur, termasuk kebijakan, sangat menentukan warna-warni tatanan masyarakat. Adanya lapangan kerja, tumbuhnya investasi, dan tersedianya tempat usaha yang ditopang oleh regulasi yang adil akan mendorong tumbuhnya kapitalisasi yang kuat, sehingga kesejahteraan dirasakan masyarakat. Kemiskinan menurut perspektif ini disebabkan oleh ketidakadilan struktural yang lebih berpihak (menguntungkan) pada yang kaya.

Ketiga, perspektif sintesis (kultural-struktural). Pendekatan ini melihat individu sebagai realitas dengan segala potensi yang inheren di dalamnya. Namun di sisi lain, ia hadir di tengah realitas eksternal yang mengungkung kehidupannya. Potensi-potensi dalam diri manusia berhadapan secara tak terelakkan dengan realitas eksternal tersebut. Di sinilah terjadi interaksi (internal dan eksternal) yang memicu munculnya obyektivasi. Proses obyektivasi ini merupakan hasil interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya. Karenanya persoalan kaya-miskin, menurut perspektif ini, tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Problem kaya-miskin tidak bisa direduksi menjadi persoalan kemiskinan semata. Banyak faktor yang saling mempengaruhi sehingga melahirkan seseorang menjadi miskin atau kaya.

Memperkuat jembatan
Persoalan kaya-miskin menjadi kompleks karena hadir di negara berkembang. Negara dengan tingkat ekonominya yang masih minus harus memikirkan rakyatnya yang miskin. Inilah lingkaran setan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Masalah kaya-miskin menjadi berbeda ketika hadir di negara maju atau kaya. Negara dalam konteks ini dapat mengatasinya melalui penyediaan kebutuhan kaum miskin.

Relasi kaya-miskin di negara berkembang merupakan persoalan laten. Tingkat kekayaan masih berputar pada segelintir orang. Pertumbuhan ekonomi nasional baru sebatas catatan fenomenal dan statistikal, namun belum dirasakan secara faktual. Itulah sebabnya dalam beberapa kali kesempatan Presiden Yudhoyono menekankan pentingnya keberpihakan yang sama antara pertumbuhan, kemiskinan, dan lapangan kerja (pro growth, pro poor, dan pro job).

Dalam tatanan sebuah negara, gerak sebuah masyarakat tidak bisa dilepaskan dari nafas kebijakan yang diambil pemerintah. Karenanya persoalan kaya-miskin tergantung pada sejauhmana komitmen pemerintah untuk menjembatani antara keduanya, bukan menyekat apalagi mempertentangkannya. Jembatan ini tidak bisa dipikul oleh pemerintah semata. Di samping karena keterbatasan anggaran, juga karena pemerintah masih harus bergulat dengan problem yang melilit dirinya yang tak kalah pentingnya untuk diselesaikan, seperti korupsi, reformasi birokrasi, dan penguatan lembaga-lembaga negara. Lebih dari itu, karena negara tidak mungkin lagi mengintervensi seluruh dimensi kehidupan rakyat yang begitu luas.

Karenanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus bisa menggerakkan kekuatan-kekuatan masyarakat agar bisa bergerak bersama pemerintah. Negara harus mampu membagi dan mendistribusikan agenda-agenda yang dihadapi masyarakat secara efektif bersama kekuatan di dalam masyarakat itu sendiri. Mereka itu adalah kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang bersentuhan langsung dan menjadi simpul nafas masyarakat. Pada titik ini, eksistensi organisasi kemasyarakatan baik yang berbasis agama, sosial budaya, maupun profesi, menjadi sangat penting bagi revitalisasi pemberdayaan masyarakat.

Sinergi inilah yang harus diperkuat, sehingga tidak ada jarak antara pemerintah dengan rakyat. Inilah jembatan politik bagi pemerintah untuk menyapa rakyatnya secara efektif dan efisien. Kebersamaan antara lembaga pemerintah dengan lembaga-lembaga sosial akan meringankan beban tugas yang harus diselesaikan oleh negara. Dengan demikian, persoalan kaya-miskin bukan persoalan negara (kekuasaan) semata, tapi persoalan kita bersama untuk semua.*

Kolom

Kabinet Bayangan, Quo Vadis?
FORUM Keadilan, 29 Oktober-4 November 2007

A. Bakir Ihsan

Manuver politik di Senayan selalu menarik diamati. Menarik karena semakin jauh dari esensi eksistensi mereka sebagai wakil rakyat. Setelah rencana renovasi gedung DPR dan voucher tol gratis banyak memancing reaksi, kini kalangan mudanya menggagas shadow government (pemerintah bayangan) yang salah satu implementasinya adalah kabinet bayangan. Sebuah gagasan yang “luar biasa” karena tak berkorelasi positif dengan sistem presidensial yang sangat akomodatif secara politik.

Secara faktual dan konseptual, kabinet bayangan (KB) mengandaikan adanya kekuatan tunggal yang digenggam oleh pemerintah, sehingga perlu pengimbang dalam bentuk oposisi. Hal ini biasanya terjadi dalam sistem parlementer yang mana pemenang mengendalikan semuanya (the winner takes all). Karenanya dalam sistem presidensial yang melibatkan hampir semua partai, “aneh” rasanya ada kabinet bayangan. Apalagi yang terlibat di dalamnya adalah kader-kader partai yang sebagian kadernya juga masuk dalam pemerintahan. Ini sama dengan “jeruk makan jeruk”.

Karena itu pula, eksistensi KB ini memiliki beberapa cacat perspektif. Pertama, personifikasi kelembagaan. DPR merupakan sebuah lembaga dengan segala fungsi dan kewajibannya. Seluruh anggota DPR mencurahkan potensinya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat berdasarkan aturan main kelembagaan. Pembentukan KB mengubah perjuangan kelembagaan menjadi perjuangan personal.

Kedua, distorsi energi. Keberadaan KB dengan sendirinya akan menguras energi para anggotanya yang sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat melalui lembaga DPR (kolektif), baik sebagai anggota komisi maupun fraksi. Energi personal tentu melemahkan sinergi yang sejatinya bisa lebih efektif bagi revitalisasi fungsi mereka sebagai anggota dewan.

Ketiga, pelarian dari tanggungjawab kelembagaan. Alasan pembentukan KB karena kebekuan hegemoni fraksi atau partai seharusnya melahirkan antitesa yang dapat membongkar hegemoni tersebut. Yaitu melalui penguatan partai dan fraksi. Karena apapun alasannya mereka tetaplah representasi partai atau fraksi.

Keempat, output personal. Karena KB merepresentasi personal orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka outputnya pun bersifat (kepentingan) personal berhadapan dengan kebijakan pemerintah.

Berdasarkan empat cacat perspektif tersebut, pembentukan KB sebagai hiburan politik seakan tak terbantahkan. Apalagi di tengah degradasi ekspektasi masyarakat terhadap para wakilnya.

Cermin dibelah
Fungsi kontrol yang dilakukan DPR berjalan lamban bahkan, sebagian, gagal memediasi proses penyelesaian persoalan yang dihadapi rakyat. Kontrol sejatinya diorientasikan pada kepentingan rakyat. Maka sungguh ironis ketika masalah banjir lumpur di Sidoarjo tak berharga di mata DPR dibandingkan dengan masalah nuklir Iran. Problem ini bukan problem personal anggota dewan. Namun lebih sebagai persoalan struktural (kelembagaan) yang membuat anggota dewan tampil seperti wayang.

Realitas tersebut berkonsekuensi pada lemahnya kontrol atas kinerja pemerintah. Karena itu, kegagalan pemerintah tidak bisa sepenuhnya ditimpakan pada pemerintah, tapi juga pada seluruh sistem terkait, termasuk DPR yang sejatinya memiliki otoritas penuh untuk meluruskan kinerja pemerintah. Inilah buruk muka cermin dibelah. Yang salah selalu pihak eksternal (pemerintah), tanpa melihat kelemahan pada dirinya.

Karena itu, koalisi muda seharusnya cukup cerdas untuk melakukan langkah-langkah konstruktif dengan mendiagnosa dan membedah problem akut yang menyelimuti lembaga yang digelutinya. Bukan justru terjebak pada penyucian diri dan menganggap yang lain (the others) bersalah. Semua ini perlu dilakukan agar koalisi muda tidak hanya membentengi dirinya (escape from), tapi mampu mencairkan konservatisme kelembagaaan yang menyelimuti dirinya.

Soliditas internal dan eksternal
Pembentukan lembaga melalui kaukus atau koalisi terbatas (hanya kaum muda, misalnya) tidak akan menghasilkan penyelesaian yang komprehensif. Apalagi disadari betul bahwa problem kemandulan politik anggota dewan adalah karena hegemoni struktural (partai atau fraksi).

Peran kaukus muda akan signifikan ketika mampu mendobrak sistem yang ada. Bukan malah membangun demarkasi yang menyebabkan orang lain apriori. Bahkan akan memicu asumsi bahwa KB merupakan bentuk pelarian dari problem kelembagaan yang jauh dari harapan. Koalisi muda tidak akan bisa banyak bergerak selama masih bernafas dalam sistem (lembaga) yang sesak problem.

Karena itu kaukus muda lintas fraksi ini sejatinya menjadi katalisator semua potensi melampaui segmentasi usia anggota dewan. Hal ini diperlukan agar terbangun soliditas struktural (internal) DPR dan penguatan basis sosial (eksternal), sehingga mereka punya kekuatan riil berhadapan dengan pemerintah. Kegagalan membangun soliditas baik secara internal maupun eksternal menyebabkan mereka tak berdaya berhadapan dengan pemerintah.

Di alam reformasi ini, semua potensi bisa berekspresi dan bereksprimentasi, termasuk membentuk KB. Namun semua itu akan berarti apabila berdampak bagi penguatan demokrasi yang membuat rakyat semakin berpartisipasi. Dan itu akan terjadi apabila ada konsistensi implementasi fungsi masing-masing lembaga sesuai aturan yang ada. Tapi eksprimentasi hanya berbuah manuver-manuver politis yang menyesakkan nafas rakyat, apabila langkah yang diambil sangat elitis dan tak mencerminkan kehendak rakyat. Kalau begitu, KB hendak kemana?*

Monday, October 22, 2007

Opini

Absurditas Syahwat Kekuasaan
KORAN TEMPO, Selasa, 16 Oktober 2007

A. Bakir Ihsan

Walaupun pemilu 2009 masih jauh, manuver politik mulai bersautan. Mulai safari politik sampai pendeklarasian diri sebagai calon presiden terus bersambut. Semua fakta tersebut sah-sah saja karena seluruh anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk meraih jabatan di pemerintahan (UUD 1945 Pasal 28-D ayat 3).

Namun dari sekian manuver politik, ada beberapa hal yang menarik diamati terkait rencana koalisi antar partai, seperti yang digagas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pertama, rencana koalisi ini merupakan langkah absurd karena tidak berdasarkan fakta perolehan suara yang riil. Mereka bermodal suara pemilu lalu yang tingkat konsistensinya belum bisa diandalkan pada pemilu 2009. Penjajakan koalisi sejatinya dilakukan ketika masing-masing punya kepastian perolehan suara. Sehingga kalkulasi dan sharing kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, langkah-langkah koalisi ini dilakukan oleh partai-partai yang justru memiliki kursi cukup signifikan di Senayan. Sejatinya, langkah-langkah koalisi dilakukan antar partai kecil untuk membuka peluang pemenuhan syarat minimal pengajuan calon presiden. Karenanya, ketiga, koalisi atau pembentukan liga partai-partai besar akan mengarah pada oligarkisme yang dapat membunuh eksistensi pluralitas partai. Salah satu indikatornya adalah munculnya gagasan asas tunggal bagi partai politik di tengah pembahasan RUU Politik yang sejatinya menjadi ajang penguatan konsolidasi demokrasi melalui sistem kepartaian yang berkualitas dan menghargai pluralitas. Penyeragaman asas partai sebenarnya wajah lain dari karakter oligarkis.

Keempat, koalisi antar partai menunjukkan elitisme kelembagaan yang semakin membuat jarak dengan rakyat terbuka lebar. Koalisi antar partai secara tidak langsung menegasikan urgensi eksistensi rakyat. Mereka memperat solidaritas elitis daripada solidaritas massif yang memungkin munculnya persepsi positif dari warga bangsa terhadap partai. Melihat “keganjilan” di atas, terlihat jelas bahwa langkah koalisi tak lebih sebagai manuver politis di tengah kekuasaan yang sah masih eksis. Gagasan koalisi hanya kedok kalkulatif semu untuk meraih keuntungan politis.

Paradoksalitas koalisi
Dengan demikian, penjajakan koalisi dini yang dilakukan partai politik besar mencerminkan paradoksalitasnya (optimisme-pesimisme). Satu sisi partai terjebak dalam waham kebesarannya. Gagasan liga nasional yang dilontarkan PDIP menunjukkan optimisme dalam menggalang koneksitas antar partai sebagai landasan kalkulasi politik. Padahal dalam beberapa survei menunjukkan bahwa eksistensi partai politik tak banyak berpengaruh dibandingkan dengan tokoh atau sosok yang layak dipilih. Hanya 26% masyarakat merasa punya ikatan emosional dengan partai, selebihnya lebih memilih figur atau sosok (Lembaga Survei Indonesia, Maret 2007).

Karena itu, membangun sosok atau kader terbaik untuk memimpin negeri ini jauh lebih penting daripada membangun koneksitas kepartaian (kelembagaan) berdasarkan kalkulasi angka yang masih hampa fakta. Inilah koalisi-koalisi mimpi yang bisa menjadi kenyataan, bisa juga hanya khayalan.

Di sisi lain, koalisi tersebut menunjukkan pesimisme (kekhawatiran) partai politik sehingga perlu mencari sekoci penyelamatan berhadapan dengan segala kemungkinan manifes politik. Termasuk berhadapan dengan calon incumbent dalam pilpres mendatang. Walaupun Yudhoyono belum memastikan pencalonannya, namun para pesaingnya tetap menempatkan Yudhoyono sebagai lawan terberat untuk merebut kursi nomor satu di republik ini.

Duri dalam daging
Ironisnya atmosfer politik ini menggoda “orang-orang pemerintah” untuk terlibat di dalamnya. Padahal mereka sejatinya mengabdikan dirinya bagi efektivitas kerja pemerintahan yang sedang berjalan. Beberapa waktu lalu misalnya ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melakukan safari politik ke PDIP. Sebuah partai yang secara politis beroposisi dengan pemerintah. Apapun alasannya, penjajakan koalisi pejabat negara di tengah pemerintahan berjalan telah menodai fatsun politik yang memberi batas kewajaran dalam praktek politik.

Sejak awal, pemerintahan Yudhoyono berdiri di atas keragaman partai. Bahkan antara presiden dan wakil presiden lahir dari partai yang berbeda. Ada dua potensi yang bisa lahir dari keragaman tersebut. Ia bisa menjadi kekuatan yang efektif bagi operasionalisasi program pemerintah, tapi bisa juga menjadi bumerang ketika masing-masing partai mengedepankan kepentingannya. Dan potensi terakhir tampaknya cenderung menguat seiring dinamika politik menuju pemilu 2009. Inilah duri dalam daging pemerintahan Yudhoyono yang berpijak di atas keragaman partai.

Langkah zigzag yang dilakukan PPP akhir-akhir ini sah-sah saja apabila berposisi sebagai oposisi. Namun dalam kapasitasnya sebagai bagian dari pemerintah, apalagi melibatkan langsung ketua umumnya, maka langkah-langkah koalisi di saat pemilu masih jauh tentu sarat kepentingan. Ditambah lagi partner koalisinya adalah PDIP yang notabene merupakan oposisi pemerintah.

Kesediaan menjadi bagian dari pemerintah sejatinya dapat mengefektifkan kerja-kerja pemerintah daripada melakukan manuver politik yang justru bisa membuat kerja pemerintahan tersendat sekaligus berdampak pula pada citra partai. Oleh karena itu, pemerintahan saat ini harus menjadi pertaruhan semua partai yang terlibat di dalamnya. Para anggota kabinet yang berasal dari partai tetap merupakan representasi partai daripada kualitas personal. Mereka hadir lebih didasarkan rekomendasi partai. Karenanya, kita akan sulit menarik garis lurus antara kompetensi dengan posisi kader partai di kabinet.

Kalau pemerintah dianggap tidak sesuai lagi dengan visi dan misi partai, maka secara jantan partai harus menarik kadernya. Di sinilah daya tawar partai berhadapan dengan kekuasaan seharusnya ditunjukkan, sehingga partai tidak terkesan sebagai penghamba kekuasaan. Ketidakberanian menarik kadernya menunjukkan paradoksalitas wajah partai.
Menyambut pemilu 2009, bukan waktunya untuk cuci tangan. Justru sebaliknya, masing-masing pihak seharusnya tertantang untuk membangkitkan kepercayaan rakyat pada seluruh lembaga-lembaga politik yang eksistensinya ditentukan oleh kepercayaan rakyat. Selama kader partai terlibat di jajaran kabinet (pemerintah), maka sepanjang itu pula partai bertanggungjawab atas kinerja pemerintah. Dan ini akan ditentukan oleh sejauhmana keseriusan para kader partai tersebut mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat sampai detik terakhir nafas kekuasaan. Kalau tidak, maka syahwat kekuasaan yang menyelimuti partai semakin absurd di mata rakyat.*

Thursday, October 04, 2007



Opini

Aroma Hambar Politik Kekuasaan
Seputar Indonesia
, Kamis, 4 Oktober 2007

A. Bakir Ihsan

Sejak Megawati Soekarnoputri menerima pencalonan dirinya sebagai calon presiden 2009 oleh PDIP, wacana calon presiden terus bergulir. Tak lama setelah Megawati menyatakan siap, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga menyatakan siap (Antara,18/9) dan Partai Golkar sudah dipastikan memunculkan Jusuf Kalla (JK) dengan dihapuskannya mekanisme konvensi. 1 Oktober kemarin, Sutiyoso mendeklarasikan dirinya siap menjadi presiden 2009. Pada titik ini sudah muncul empat calon yang akan bertarung pada pilpres 2009. Belum termasuk nama-nama lain yang belum secara resmi dideklarasikan, seperti Wiranto, Sultan Hamengkubuwono, maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri.

Namun dari sekian nama itu, baru Megawati yang betul-betul dipastikan maju sebagai calon presiden pada 2009 dengan kendaraan partai yang jelas. Ini berbeda dengan calon lainnya yang masih menyisakan persyaratan. Misalnya Gus Dur. Ia akan maju kalau diperintahkan oleh lima kiai sepuh. Begitu pun JK, belum secara eksplisit mau maju sendiri atau tetap berduet dengan SBY. Sementara Sutiyoso masih menunggu lamaran partai.

Deklarasi pencalonan presiden di tengah kepemimpinan negeri ini masih berjalan dan bekerja, memunculkan dua makna. Pertama, urgensi suksesi. Deklarasi calon presiden jauh sebelum Pilpres dilangsungkan menandakan perlunya pergantian (suksesi) kekuasaan saat ini. Apapun yang terjadi presiden yang ada sekarang harus diganti.

Kedua, delegitimasi kekuasaan. Pencalonan Megawati maupun deklarasi Sutiyoso menyiratkan bahwa kekuasaan yang dipegang SBY-JK dianggap gagal. Sekaligus hal ini merupakan proses delegitimasi atas kekuasaan yang ada.

Bagi Sutiyoso mungkin dirasa perlu mendeklarasikan diri sedini mungkin karena belum ada partai yang secara eksplisit mendukungnya. Namun bagi Megawati yang jelas-jelas menahkodai partai besar, deklarasi dini bisa membawa konsekuensi-konsekuensi tersendiri.

Konsekuensi kalkulasi
Pernyataan kesiapan Megawati menjadi calon presiden terkesan terlalu cepat. Ia seperti hujan di tengah musim kemarau. Masa kepemimpinan SBY-JK masih tersisa panjang, sehingga segala kemungkinan terkait kalkulasi dan konstelasi politik bisa terus berubah. SBY-JK masih punya peluang yang sangat luas untuk menguatkan kinerjanya. Dengan demikian kritik-kritik yang dilontarkan Megawati (PDIP) selama ini bisa terjawab sekaligus terbantahkan.

Di sinilah fleksibelitas politik. Ia bisa bergerak cepat melalui akselerasi strategi yang keluar dari mainstream logika liner. Kenyataan ini sekaligus meruntuhkan tesis para pengamat yang menganggap efektivitas kerja SBY-JK hanya tiga tahun pertama. Dua tahun terakhir akan terkuras oleh persoalan-persoalan politik. Tampaknya momentum inilah yang digunakan PDIP untuk untuk segera memunculkan calon presidennya secara definitif, tanpa melihat konstelasi politik yang ada dan terus bergerak.

Pencalonan dini PDIP atas Megawati ini melahirkan beberapa konsekuensi dan persepsi. Pertama, pencalonan ini akan mempersempit ruang gerak politik Megawati. Seluruh aktivitas Megawati akan selalu dikaitkan dengan kepentingan meraih kekuasaan. Ini berbeda dengan ketika Megawati sebagai ketua umum partai atau sebagai mantan presiden. Ia bisa hadir dan melakukan interaksi dalam berbagai level tanpa sekat kepentingan. Namun dengan target menjadi presiden, dengan sendirinya ia akan terseleksi dalam berinteraksi. Apapun agendanya, pemaknaan kepentingan politik akan mudah berkobar dalam setiap interaksi PDIP baik dengan partai lain maupun dengan komponen sosial lainnya. Sekali lagi, semua ini terjadi karena PDIP telah menggerek bendera kontestasi.

Kedua, desakan pengurus PDIP tentang kesediaan Megawati dicalonkan sebagai presiden mencerminkan keraguan atas ketokohan Megawati. Sejatinya para kader PDIP, dengan tingkat “eksklusivitas” posisi Megawati, mengerti tanpa harus meminta pernyataan verbal. Dan ketokohan Megawati melampaui eksistensi PDIP. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian kader PDIP, karena berdasarkan hasil survei (Lembaga Survei Indonesia, 2006) masyarakat tidak memiliki banyak kedekatan dan ikatan emosional dengan partai. Hanya 26% masyarakat yang menyatakan punya kedekatan dan keterikatan dengan partai. Selebihnya mereka lebih tertarik pada tokoh, termasuk Megawati, daripada partainya.

Ketiga, pencalonan Megawati sebagai orang nomor satu (presiden) dengan sendirinya hanya membuka ruang koalisi bagi partai yang siap menjadi wakilnya. Karenanya tidak mungkin PDIP berkoalisi dengan Golkar maupun partai besar lainnya yang memiliki kemungkinan mencalonkan kadernya untuk calon presiden.

Bisa jadi pernyataan kesediaan Megawati dapat menepis munculnya calon alternatif dari dalam PDIP, di samping dapat memperkuat konsolidasi internal PDIP. Namun yang tidak bisa diabaikan, desakan pernyataan kesediaan tersebut bisa menjadi duri yang membusukkan politik Megawati dari dalam. Kalau Megawati gagal pada Pilpres 2009, karena kesalahan kalkulasi politik para kadernya, maka selesailah karir politik Megawati.

Sebagai partai besar dengan tingkat “kharismatis” (eksklusivitas?) ketua umumnya, PDIP sebenarnya bisa “mengulur waktu” untuk mengumumkan capresnya di 2009 nanti. Toh Megawati bisa kapan saja menyatakan siap, dan tidak mungkin ada kader PDIP yang ujug-ujug mengajukan diri sebagai calon presiden tanpa izin dari Megawati. Posisi sentral Megawati tak mungkin diambil alih oleh kader lainnya, kecuali atas restu Megawati. Mereka yang tak setuju (mbalelo) hanya punya satu pilihan; keluar dari PDIP.

Pembelajaran Politik
Secara politik, fenomena pencalonan dini Megawati sah-sah saja. Namun sebagai proses pembelajaran politik hal tersebut bisa diperdebatkan. Karena, disamping, dapat mendistorsi pengetahuan masyarakat tentang periode (regularitas) kekuasaan, juga dapat menghambat laju program yang sedang dijalankan oleh rezim terpilih.

Proses pemberdayaan politik masyarakat berjalin berkelindan dengan perkembangan politik kekuasaan. Bahwa setiap rezim memiliki waktu lima tahun untuk menuntaskan program-programnya. Dukungan terhadap rezim yang menang menjadi penting agar seluruh proses kehidupan bernegara lancar dan sukses. Namun langkah ini belum terlihat. Bahkan jauh hari, masing-masing elite mempersiapkan dirinya untuk tampil sebagai pengganti. Puncaknya adalah pencalonan sebagai orang nomor satu di republik ini.

Aroma peralihan kekuasaan sebelum waktunya (lima tahun) sedikit banyak akan menguras dan mengalihkan energi yang sejatinya bisa dipergunakan untuk membangun kehidupan masyarakat. Dengan pencalonan Megawati tersebut, PDIP akan dipaksa untuk mendorong penguatan image dan pencitraan Megawati daripada penguatan dan pemberdayaan masyarakat bawah (wong cilik) yang selama ini sering diklaim sebagai basis PDIP.

Fatsun politik
Aroma kekuasaan di negeri ini tak pernah mati. Kemenangan SBY-JK pada pemilu 2004 lalu tetap menyisakan persaingan politik yang dapat mengancam jalannya roda pemerintahan. Itulah sebabnya, walaupun sistem pemerintahan kita menganut sistem presidensial, namun SBY melihat peluang kontrol parlemen (partai) dalam menjalankan roda kekuasaannya sangat kuat. Atas dasar itu, bagi-bagi kekuasaan pada partai menjadi tak terelakkan.

Langkah SBY tersebut tetap saja menyisakan gonjang-ganjing politik. Paling tidak dari beberapa manuver parlemen terhadap kebijakan dan eksistensi SBY memperlihatkan bahwa aroma kekuasaan begitu kental. Tarik menarik otoritas antara lembaga negara yang sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang menunjukkan superioritas kepentingan politik.

Kondisi tersebut apabila dibiarkan akan merusak fatsun politik yang sedang kita bangun bagi tegaknya demokrasi yang konsolidatif. Salah satu upaya tersebut adalah menguatkan pranata demokrasi agar berjalan secara maksimal sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang ada. Masing-masing punya fungsi dengan agenda yang dijalankan secara transparan untuk kepentingan rakyat. Termasuk mewacanakan pergantian kepemimpinan nasional ketika waktunya tiba. Kalau tidak, aroma politik kekuasaan akan selalu terasa hambar akibat ulah kita yang tak sabar mengawal kontestasi kekuasaan secara reguler.*