Wednesday, March 21, 2018

Kompas: Konstruksi Kebangsaan Partai Politik

Foto: Antara/Fanny Octavianus


Opini
Konstruksi Kebangsaan Partai Politik
Kompas, Jumat, 16 Maret 2018

Oleh A. Bakir Ihsan


Sesuai penetapan KPU, partai politik yang bertarung pada Pemilu nasional 2019 bertambah dari 10 menjadi 14. Belakangan Bawaslu menetapkan PBB sebagai peserta Pemilu. Dengan bertambahnya jumlah partai, pilihan masyarakat semakin banyak, walaupun dengan distingsi yang sulit ditegaskan. Menjelang Pemilu ke-5 di era reformasi, perlu diajukan evaluasi terkait manfaat partai bagi konstruksi kebangsaan.
Terngiang kembali gugatan dua pendiri partai sekaligus bapak bangsa; Thomas Jefferson dan Soekarno terhadap partai politik. Menurut Jefferson (1789); "If I could not go to heaven but with a party, I would not go there at all." Bagi Soekarno (1956); "Marilah sekarang bersama-sama kita menguburkan semua partai!".
Dua pernyataan tersebut merefleksikan harapan sekaligus kekhawatiran. Partai diharapakan bisa memobilisasi dan mengartikulasi aspirasi, tapi dapat pula meruntuhkan kolektivitas bangsa karena partisi yang lebih ditonjolkan. Partai yang merepresentasikan irisan sosial dieksploitasi melampaui dasar kebangsaan. Tampaknya kekhawatiran tersebut masih cukup relevan melihat fenomena partai politik saat ini yang lebih memikirkan kepentingan diri daripada konstituennya.
Akibatnya, seperti dilansir beberapa lembaga survei, opini masyarakat terhadap partai politik relatif buruk. Menurut hasil survei Indobarometer, Maret 2017, sebanyak 51,3 persen masyarakat menilai partai politik buruk. Akibatnya masyarakat merasa tidak dekat dengan partai politik (62,9%). Hal serupa juga ditunjukkan dari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Oktober 2016. Terjadi penurunan tingkat kedekatan masyarakat terhadap partai politik dari 10% menjadi 9%. Opini buruk dan jarak masyarakat terhadap partai politik memperlihatkan belum maksimalnya fungsi artikulasi publik. Bahkan dalam kasus tertentu partai politik menjadi penyumbang menguatnya sekat primordial untuk kepentingan pragmatis.

Problem institusi
Dua tantangan terbesar agenda kebangsaan yang cenderung menguat saat ini adalah pertama, intoleransi. Gejala intoleransi semakin kasat mata melalui penegasian terhadap kelompok yang berbeda atau memberi ruang bagi munculnya primordialisme. Partai, yang oleh sebagian ahli diartikan sebagai partisi (partition) terjebak dalam penguatan sekat sosial untuk kepentingan pragmatis. Akibatnya, kapasitas, kapabilitas, dan integritas baik secara personal maupun institusional terabaikan karena pertimbangan emosional-primordial sesaat. Isu primordial, khususnya agama, menjadi amunisi karena diyakini dapat menggerek elektabilitas. Di sinilah simpang jalan partai; antara kepentingan suara dan bangsa.
Kedua, korupsi. Hasil survei Global Corruption Barometer (Kompas, 8/3/2017) DPR sebagai kawah eksistensi anggota partai politik, menjadi lembaga terkorup. Temuan ini tampaknya terkonfirmasi oleh bertambahnya jumlah tersangka anggota dewan yang “tertangkap” KPK. Kepentingan “citra” diri politisi dan kelompoknya telah mendistorsi orientasi kebangsaan dengan cara korupsi.
Kedua problem tersebut hadir bukan semata problem moral (nilai), tapi juga karena secara institusi, partai politik belum memiliki komitmen kuat dalam hal anti korupsi dan penguatan toleransi. Dari 10 partai yang ada di DPR RI saat ini, tidak ada yang secara eksplisit menyebut urgensi toleransi sebagai landasan strategis dalam AD/ARTnya. Sementara dalam hal korupsi, hanya ada 3 partai yang secara eksplisit menyebut secara tersurat melawan korupsi. Namun secara faktual, tidak ada satu partai pun yang anggotanya bersih dari korupsi.

Sayap demokrasi
Selain pada ranah institusi, problem juga hadir pada substansi demokrasi yang masih berkepak sebelah. Layaknya burung, demokrasi memiliki dua sayap yang saling berkelindan menerbangkan demokrasi, yaitu liberty (kebebasan) dan equality (kesetaraan). Secara umum, perayaan demokrasi selama ini sudah beranjak dari prosedur ke substansi. Dinamika jumlah partai politik, tingkat partisipasi masyarakat, dan ruang luas menyampaikan pendapat, merupakan bukti adanya kebebasan (liberty) sebagai aktualisasi substansi demokrasi.
Sayangnya sayap liberty tak diimbangi oleh kekuatan equality. Akibatnya muncul apa yang Geoff Mulgan (1994) katakan sebagai the dictatorship of the majority atau dalam bentuk lain yang oleh Robert Michels (1968) disebut sebagai oligarki. Kebebasan menjadi bancaan yang dinikmati para pemilik modal sosial, ekonomi, dan politik di tengah ketakberdayaan (disempowerment) rakyat banyak. Kondisi ini semakin memperburuk agenda kebangsaan yang menempatkan seluruh anak bangsa setara.
Problem pada ranah institusi partai dan substansi demokrasi tersebut memerlukan kerja serius. Terlebih melihat arah partai yang hanya membesar secara kuantitas (prosedur), tapi minus secara kualitas (substansi). Paling tidak, tiga langkah komprehensif berikut dapat membantu partai politik menjadi penguat kebangsaan. Pertama, rekonstruksi struktural. Langkah ini memerlukan political will partai politik untuk memastikan aspek kebangsaan sebagai landasan eksistensinya diimplementasikan secara terstruktur dan terukur. Minimal pemberian sanksi berat terhadap kadernya yang korup atau memainkan isu SARA dapat mempertegas identitas kebangsaan partai.
Kedua, transformasi kultural. Urgensi fungsi sosialisasi politik dan penguatan partisipasi warga merupakan momentum partai politik untuk melekatkan dirinya pada warga. Fungsi ini dapat mereorientasikan politik warga dari partai sebagai patron yang “menghidupi” dengan pundi-pundi menjadi partner yang saling membutuhkan. Hal ini sekaligus menjadi langkah empowerment warga yang dalam jangka panjang, warga bisa sukarela menghidupi partai.
Ketiga, kaderisasi meritokratif. Problem kaderisasi terjadi karena partai politik lebih mementingkan keuntungan instan. Merekrut publik figur atau pemilik modal tanpa melalui proses kaderisasi bukan hanya merusak sistem, tapi juga merendahkan ideologi partai. Kaderisasi melalui merit system akan melahirkan calon pemimpin yang berintegritas.
     Dengan langkah komprehensif tersebut, partai dapat memperkuat peran kebangsaannya melalui beragam varian aktualisasinya. Bukti basis kebangsaan partai akan terlihat dari kader yang berintegritas (tidak korup) dan inklusif (toleran) yang sekaligus menjadi bagian dari institusionalisasi partai politik.*

https://kompas.id/baca/opini/2018/03/16/konstruksi-kebangsaan-partai-politik/