Thursday, March 27, 2008



Opini

Politisasi Fit and Proper Test
Seputar Indonesia, Rabu, 26 Maret 2008

A. Bakir Ihsan

Akhirnya DPR sepakat menolak calon gubernur Bank Indonesia (BI) yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai bagian dari mekanisme demokrasi, penolakan tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Undang-undang membolehkan DPR menerima, menolak, atau menetapkan calon-calon yang diajukan pemerintah. Namun mekanisme ini menjadi aneh di tengah landasan koalisi massif yang dibentuk Presiden SBY. Penolakan calon gubernur BI tersebut merupakan deviasi dari kalkulasi partai koalisi pemerintah yang mayoritas.

Banyak makna yang bisa dipahami dari kesepakatan paripurna DPR yang menyetujui penolakan Komisi XI atas calon gubernur BI. Pertama, lemahnya partai politik. Dari 7 partai pendukung pemerintah ternyata gagal menggolkan calon yang diusulkan pemerintah. Dalam kacamata politik, partai dianggap lemah dan rapuh ketika ia gagal membangun kesetiaan dan soliditas para anggotanya. Kerapuhan ini dengan sendirinya merapuhkan segala kontrak politik yang dilakukan partai, termasuk kontrak koalisi dengan pemerintah.

Kedua, personifikasi kepentingan. Dalam sistem kepartaian yang masih rapuh, memungkinkan setiap anggota partai berjalan sendiri-sendiri. Agenda partai terdistorsi oleh agenda personal. Inilah yang memicu diskoneksitas antara instruksi partai dengan perilaku anggotanya di DPR. Walaupun masing-masing ketua partai pemerintah membantah “pengkhianatan” anggotanya dalam pemilihan gubernur BI, namun dari rekaman rapat paripurna DPR terlihat jelas, siapa yang berjuang alot dan siapa yang jelas-jelas membelot.

Ketiga, adanya misi penyelamatan. Salah satu alasan penolakan adalah karena dari dua calon yang diajukan pemerintah tidak ada unsur dari dalam BI sendiri. Secara undang-undang tidak ada keharusan untuk memunculkan calon dari dalam. Dalam kondisi BI berada dalam sorotan akibat kasus aliran dana ke DPR, maka penolakan atas calon dari eksternal BI dan upaya pemunculan calon dari dalam BI bisa jadi memendam misi penyelamatan atas kasus tersebut.

Politisasi
Hampir seluruh tajuk rencana media massa melihat keputusan menolak 2 calon gubernur BI tersebut merupakan keputusan politis yang sarat dengan politisasi. Keputusan politis merupakan sebuah keniscayaan karena proses ini bersentuhan langsung dengan ranah politik. Namun ketika dalam prosesnya lebih mengedepankan kepentingan politis daripada kompetensi, maka di sinilah aspek politisasi lebih dominan.

Bahwa unsur politisasi lebih kental dalam proses pemilihan gubernur BI ini terlihat sejak pengajuan kedua nama calon gubernur BI tersebut. Sebagaimana diketahui, sebelum dilakukan fit and proper test, beberapa anggota DPR komisi XI sudah menyatakan menolak terhadap 2 calon gubernur BI yang diusulkan Presiden tersebut. Mereka mengancam tidak akan memprosesnya sebelum dimasukkan calon tambahan dari dalam BI. Sebuah sikap yang sama sekali tidak mencerminkan sosok anggota dewan yang seharusnya menjadi garda terdepan yang mematuhi prosedur dan undang-undang. Sikap DPR yang menolak calon gubernur BI sebelum dilakukan uji kelayakan dan kepatutan mencerminkan arogansi dan sikap tidak terpuji. Seharusnya anggota dewan memberi teladan pada rakyat untuk mengikuti prosedur-prosedur yang sudah ada untuk mendapatkan calon terbaik.

Di antara tujuan fit and proper test adalah untuk mendapatkan calon terbaik di antara yang terbaik. Namun cara ini bukan jaminan 100%. Terbukti dari hasil fit and proper test yang dilakukan DPR juga menghasilkan beberapa sosok bermasalah. Kasus Syamsulbahri (KPU) dan Irawady Joenoes (KY) adalah dua di antara kegagalan itu. Hal ini bukan berarti kapabilitas dan integritas anggota dewan lemah atau proses fit and proper test tidak diperlukan. Tapi bahwa mencari kesempurnaan dari proses tersebut akan berbuah kekecewaan. Naif apabila fit and proper test dijadikan standar absolut untuk menilai kompetensi dan kapabilitas seseorang. Apalagi menyangkut kepemimpinan sebuah lembaga yang sangat strategis. Karenanya sangat bias dan simplistis apabila alasan penolakan Komisi XI hanya berdasarkan kesimpulan lewat uji kelayakan selama 6-13 jam dan hearing dengan beberapa pengamat.

Bahwa mencari calon terbaik adalah harapan kita semua. Namun sekali lagi tak ada gading yang tak retak. Memunculkan unsur dari dalam BI di saat menjadi sorotan justru akan memunculkan kontroversi. Dan kontroversi itu akan menguat karena terkait dengan aliran dana BI ke DPR. Bisa dibayangkan proses seleksi dilakukan oleh lembaga pemberi dan penerima. Unsur balas budi sulit kita enyahkan dari pikiran kita. Sehingga muncul plesetan fit and proper test hanya untuk mendapatkan fee and property. Karenanya alasan mencari sosok paripurna untuk gubernur BI hanya kedok di balik sejuta kepentingan.

Tertib politik
Otoritas fit and proper test di tangan DPR sejatinya menjadi bagian dari proses tertib politik di tengah eforia tanpa batas. Tertib politik akan terwujud ketika proses politik dijalankan secara konsisten berdasarkan kerangka aturan yang ada. Fit and proper test merupakan bagian dari kontrol DPR atas langkah-langkah yang diambil pemerintah. Dan kontrol ini akan efektif ketika dijalankan melalui mekanisme yang rasional berdasarkan parameter-parameter yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Namun dalam praktiknya, kontrol yang sejatinya mengefektifkan kerja pemerintah justru menjadi ajang pengadilan politik yang cenderung tak terkontrol. DPR menjadi kekuatan oligarkis yang menentukan bulat lonjongnya negara. Mereka menjadi kekuatan tak tersentuh dalam menetapkan keputusan yang kadang kontradiktif dengan semangat demokrasi.

Terlalu panjang daftar ambiguitas langkah yang diambil DPR dalam menetapkan kebijakan yang sejatinya diselaraskan dengan konstitusi dan upaya konsolidasi demokrasi. RUU Politik yang terus mengebiri fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan bukti konkrit pembunuhan atas fungsi lembaga yang sejatinya sejajar dengan DPR. Begitu juga perlakuan istimewa terhadap parpol yang memiliki wakil di DPR untuk langsung mengikuti Pemilu tanpa memedulikan batas electoral treshold yang telah ditetapkan oleh DPR sendiri.

Fakta di atas menjadi bukti bahwa keputusan-keputusan DPR yang serba mengikat, termasuk dalam penolakan calon gubernur BI bukanlah keputusan terbaik. Kepentingan primordial bahkan personal, di balik otoritasnya yang tanpa batas dan kondisi partai yang rapuh, sulit dilepaskan dari keputusan-keputusan yang diambil anggota dewan. Dan bila hal tersebut dibiarkan, perlahan tapi pasti, konsolidasi demokrasi bisa jadi hanya mimpi. Kepuasan atas kinerja demokrasi (democracy performance) sebagai tangga menuju konsolidasi, terancam oleh perilaku politik anggota dewan yang tidak maksimal dan penuh kontradiksi.

Karenanya diperlukan penguatan partai sebagai wadah para politisi bernaung dan rakyat menggantungkan harapan. Penguatan partai dapat diwujudkan melalui pelembagaan (institusionalisasi) partai politik yang memungkinkan proses-proses politik dijalankan secara rasional, sehingga soliditas partai tidak dirusak oleh kepentingan-kepentingan liar yang merugikan partai dan rakyat. Dengan demikian, partai menjadi kuat (solid) dan terhindar dari ajang politisasi yang mengancam usia demokrasi.