Friday, November 24, 2006

MASA DEPAN UIN, QUO VADIS?
Sebuah Otokritik


Oleh A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta
Mantan Pemred Majalah “Institut”

Persepsi menentukan eksistensi. Begitu pun UIN, eksistensinya ditentukan oleh bagaimana ia dipersepsi. Dari persepsi melahirkan aksi. Semakin banyak persepsi, semakin banyak pula aksi. Dan itulah yang tampaknya sedang terjadi di UIN Jakarta. Paling tidak hal tersebut terlihat dari dinamika kehidupan di UIN yang berwarna-warni. Bagi pejabat (birokrat) kampus, UIN sedang “dipersepsikan” menjadi world class university, sebuah cita yang begitu mewah dan megah, setelah sebelumnya dipersepsi sebagai research university. Pun bagi dosen. Ada beragam cita dan asa yang tumbuh dari persepsi dosen tentang masa depan UIN. Dan ini pula yang menggerakkan perilaku para dosen dalam 'mendekonstruksi' para mahasiswanya.

Semua persepsi dan obsesi bagi dinamika UIN ke depan merupakan tanggung jawab seluruh elemen, khususnya, di lingkungan internal UIN itu sendiri. Oleh sebab itu, eksistensi UIN tidak semata ditentukan oleh urun rembuk kaum birokrat, tapi juga oleh, dan ini yang terutama, mahasiswa dan dosen. Kedua komponen ini seharusnya menjadi sentral dari gerak UIN ke depan. Hal ini terkait dengan eksistesi kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang “dikendalikan” oleh mahasiswa dan ditunjang oleh kualitas dosen. Selebihnya berfungsi sebagai fasilitator bagi gerak dinamika intelektualitas dunia kampus.

Mengamati dinamika UIN yang berlangsung saat ini, upaya ke arah tersebut masih jauh panggang dari api. Mahasiswa dan dosen belum mampu melakukan akselerasi yang maksimal bagi dinamika kehidupan kampus. Bahkan mahasiswa menjadi level paling bawah yang selalu menjadi korban dari dinamika struktural kampus. Tentu banyak faktor yang menyebabkan belum maksimalnya dinamika intelektual di lingkungan UIN. Di antara faktor-faktor tersebut adalah pertama, paradigma para birokrat kampus yang terbelenggu dalam strata struktural yang kaku. Birokrasi kampus menempatkan dosen dan mahasiwa sebagai pelaksana kebijakan. Tak kurang dan tak lebih. Padahal sejatinya sebagaimana layaknya fungsi birokrasi, kaum birokrat menjadi public service bagi optimalisasi kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan.

Kedua, paradigma para dosen yang menempatkan dirinya sebagai pelaksana kebijakan dan menganggap pengetahuan bersifat final, sehingga tidak ada terobosan (aktualisasi dan kontekstualisasi) pengetahuan yang diajarkan. Di samping itu, tidak jarang dosen meletakkan mahasiswa sebagai botol kosong yang harus dijejali wacana tanpa dialog.

Ketiga, pragmatisme mahasiswa telah menyebabkan dinamika intelektual hanya menjadi suplemen yang dipakai secara temporal sesuai kebutuhan. Intelektualitas belum menjadi bagian yang inheren sebagai identitas dan nafas diri. Hal ini berkonsekuensi pada dinamika pengetahuan yang lamban bahkan involutif.

Menempatkan dosen dan mahasiswa sebagai pusat gerak dinamika intelektualitas kampus memiliki konsekuensi yang luas. Paling tidak diperlukan rekonstruksi yang komprehensif terhadap paradigma paternalistik yang terlanjur tertanam baik dalam benak birokrat kampus maupun di kalangan dosen itu sendiri. Pun di kalangan mahasiswa.

Rekonstruksi paradigma tersebut dengan sendirinya akan merevitalisasi peran dan fungsi seluruh elemen internal kampus. Termasuk bagian dari rekonstruksi tersebut adalah pemberdayaan dan peningkatan kualitas para dosen baik melalui pelatihan maupun peningkatan kemampuan yang dapat menunjang bagi akselerasi pengetahuan sehingga dapat menumbuhkan dinamika intelektualitas di kalangan mahasiswa. Mahasiswa dan dosen seperti dua sisi mata uang yang saling terkait bagi tumbuhnya atmosfir pengetahuan.

Kalau selama ini hal tersebut belum dirasa maksimal, maka diperlukan langkah evaluatif dengan melihat kekurangan, kelebihan, peluang, dan tantangan yang dihadapi oleh dosen maupun mahasiswa. Hal ini penting dilakukan terkait dengan berbagai rancangan masa depan yang hendak dicapai oleh UIN. Proses evaluasi yang intensif terhadap kualitas dosen dapat dilakukan baik oleh sebuah tim khusus maupun dari kalangan mahasiswa. Dari sana akan diketahui sejauhmana kompetensi dan kualitas dosen dalam proses pembelajaran.

Kualitas dosen tidak bisa semata dilihat dari otuput yang dihasilkan, misalnya dari nilai yang diperoleh mahasiswa dalam suatu matakuliah. Diperlukan evaluasi dua arah secara obyektif atas proses pembelajaran yang diberikan oleh dosen terhadap para mahasiswa dan mahasiswa terhadap dosen. Evaluasi ini bisa dijadikan standar universitas untuk memberikan reward and punishment terhadap dosen.

Semua upaya bagi perbaikan UIN ke depan merupakan harapan di tengah beragam persepsi tentang UIN. Keseragaman persepsi tentang masa depan UIN penting sebagai landasan dalam menggerakkan dinamika kehidupan kampus itu sendiri. Kesamaan persepsi tidak berarti penyeragaman langkah. Visi dan misi yang sama bisa dieksplorasi dalam langkah yang beragam. Selama persepsi tentang masa depan UIN beda, maka sepanjang itu pula UIN mengalami involusi. Termasuk persepsi tentang world class university yang hendak dikembangkan ke depan. Setiap persepsi harus punya kaki untuk mengaktualisasikannya. Dan kaki ini dapat berdiri kuat apabila persepsi itu bisa dipahami. Dipahami di sini tidak hanya dalam arti intelektual, tapi juga prasyarat bagi aktualisasi persepsi tersebut.

Seluruh proses rekonstruksi paradigmatik di atas akan bermakna ketika ditopang oleh sistem budaya kerja yang sinergis. Kalau tidak, maka persepsi akan selalu berbuah involusi, obsesi hanya berbuah mimpi.*

Wednesday, November 22, 2006

Opini

SBY dan standar hidup manusia Indonesia
Bisnis Indonesia, Rabu, 22 November 2006

A. Bakir Ihsan

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, eksistensi manusia berada dalam dilema. Satu sisi dia menjadi pertaruhan harapan masa depan, namun di sisi lain mencemaskan. Hal ini biasanya didasarkan pada kontradiksi antara kualitas dan kuantitas manusia, antara pertumbuhan dan pembangunan warga bangsa.

Inilah yang menjadi kegelisahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti yang disampaikan pada Kongres Nasional Manusia Indonesia 2006 beberapa waktu lalu. Menurut Kepala Negara, pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai ambang batas yang mengkhawatirkan.

Problem eksistensi manusia ini semakin berat akibat beragam bencana menyelimuti bangsa. Krisis eksistensi manusia ini dengan sendirinya mengancam seluruh modal baik berupa potensi alamiah yang tersedia maupun modal fisik (physical capital) yang sudah ada. Bahkan dalam jangka panjang dapat mengancam aspek social capital yang telah lama menjadi trade mark kita sebagai bangsa yang toleran, solider, dan menghargai perbedaan.

Krisis kemanusiaan yang terjadi saat ini merupakan muara dari sejarah kekuasaan yang totaliter, otoriter, dan sentralistik. Negara telah mendistorsi dan mengeksploitasi modal tersebut menjadi keuntungan bagi segelintir orang, bukan untuk seluruh masyarakat. Ini semua merupakan konsekuensi dari realitas politik kekuasaan yang, menurut Guillermo O'Donnell, bersifat otoritarianisme birokratik (bureaucratic authoritarianism).

Ini merupakan sistem kekuasaan yang dikendalikan melalui birokrasi yang mengabdi pada penguasa dan mengkooptasi seluruh kekuatan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat serta institusi kenegaraan lainnya seperti legislatif dan yudikatif.

Kenyataan tersebut membuktikan bahwa kekuasaan sangat menentukan kelangsungan nasib seluruh modal yang dimiliki oleh suatu negara. Ketika kekuasaan otoriter, maka segala modal akan hancur. Sebaliknya ketika kekuasaan berlangsung secara demokratis, idealnya pengembangan semua modal akan berlangsung secara efektif. Namun, bagaimana kenyataannya?

Beban alam
Menurut laporan bertajuk Human development report 2006 beyond scarcity: power, poverty, and the global water crisis, yang dilansir beberapa waktu lalu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2006 naik dua tingkat dari urutan 110 menjadi 108. Di tengah berbagai problem yang dihadapi oleh pemerintahan SBY baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya, kenaikan tersebut cukup memberi harapan.

Namun, kalau dibandingkan dengan negara Asean lainnya, IPM Indonesia masih tergolong paling rendah setelah Myanmar dan Kamboja. Kenyataan ini tentu menjadi keprihatinan SBY.

Secara politik, dengan modal kekuasaan langsung dari rakyat (direct democracy), SBY sejatinya memiliki kesempatan cukup luas untuk mengembangkan atau paling tidak mengembalikan sumber daya yang tersedia. SBY bisa memobilisasi seluruh kekuatan yang ada di masyarakat untuk bersama menggerakkan pelbagai sektor kehidupan.

Namun, modal politik saja tidak cukup karena realitas problem yang mendera negara saat ini sangat kompleks. Paling tidak langkah kerja SBY harus berhadapan dengan dua tantangan, yaitu beban sejarah yang distortif dan deviatif serta bencana yang eksesif.

Beban sejarah tidak bisa diselesaikan dalam hitungan periode kekuasaan, tapi generasi demi generasi. Otoritarianisme yang ditunjukkan oleh kekuasaan masa lalu telah menghancurkan modal dasar baik yang terkandung pada alam maupun SDM. Kehancuran tersebut begitu eksesif merusak sistem birokrasi dan merasuk ke ranah kultural. Salah satu hasilnya adalah korupsi yang tumbuh subur dan menjadi realitas sistemik.

Begitu parahnya warisan kekuasaan masa lalu, menyebabkan SBY tidak mudah untuk menyelesaikan agenda yang menjadi komitmen utamanya, yaitu pemberantasan korupsi. Resistensi dan perlawanan dengan berbagai cara yang dilakukan oleh para koruptor membuktikan bahwa korupsi telah menjadi bagian dari bawah sadar sebagian elit politik, sehingga mereka merasa risih dengan upaya pemerintah menciptakan clean government.

Sementara di sisi lain, pemerintahan SBY dihadapkan pada bencana yang tidak saja melahirkan korban nyawa dan harta, tapi juga menyedot anggaran negara yang tak terkira. Lebih dari itu, bencana telah menyebabkan hancurnya human capital. Potensi kecerdasan masyarakat hilang karena meninggal dunia maupun kekurangan gizi dan sulitnya mengenyam pendidikan akibat tak punya harta.

Soliditas & solidaritas
Di tengah kemiskinan dan krisis multidimensi melanda masyarakat, yang dibutuhkan adalah soliditas dan solidaritas. Inilah yang seharusnya menjadi standar kualitas hidup manusia Indonesia. Standar kualitas pembangunan manusia tidak bisa semata dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau standar fisik lainnya, tapi pada kesadaran dan kepedulian pada sesama.

Standar pembangunan manusia yang melulu didasarkan pada pendapatan per kapita dan kesejahteraan fisik lainnya secara tidak langsung ikut melanggengkan kesenjangan dan mengabadikan perbedaan. Diferensiasi antara kaya dan miskin, sejahtera dan melarat akan tetap terpelihara sepanjang dijadikan standar hidup tanpa dibarengi penguatan aspek lainnya yang jauh lebih substansial, yaitu penguatan soliditas dan solidaritas.

Di tengah anggaran negara yang sangat terbatas dan problem sosial yang tak kunjung selesai, penguatan soliditas dan solidaritas menjadi sangat strategis. Sayangnya kedua unsur ini semakin terkikis justru di saat negara membutuhkannya. Soliditas dan solidaritas hanya tumbuh di saat ada ancaman atau bencana melanda.

Soliditas dan solidaritas masih bersifat termporal dan seremonial. Padahal faktor inilah yang akan menjadi benteng eksistensi warga negeri yang pluralistik ini dari ancaman disintegrasi dan kepunahan.

Penguatan soliditas dan solidaritas ini penting, karena landasan berbangsa kita bukan tumbuh dari kesadaran tapi dari imajinasi (imagened communities). Imajinasi bisa tumbuh berkembang ketika terus dipupuk melalui kebersamaan, dan dia akan layu di saat tiap individu berfikir kepentingannya sendiri.

Tuesday, November 07, 2006

Opini

SBY dan Seribu Napas Korupsi
Seputar Indonesia, Selasa, 7 November 2006

A. Bakir Ihsan

ENTAH berapa banyak lagi energi yang harus terkuras di republik ini untuk mengenyahkan korupsi. Baru-baru ini (17/10), Kejaksaan Agung mengumumkan dan menayangkan wajah 14 koruptor yang dinyatakan buron.

Beberapa waktu sebelumnya tiga lembaga; Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bergandeng tangan untuk mempersempit ruang licik para koruptor. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seakan tak pernah lelah untuk ”membenci” korupsi.

Namun, usaha tersebut tak berjalin berkelindan dengan output yang dihasilkan. Korupsi yang melibatkan hampir seluruh ranah kehidupan, bergeming atas langkah jihad yang dikumandangkan SBY sejak awal kekuasaannya. Berbagai langkah antikorupsi di atas merupakan api yang bisa terus bersinar, tapi juga bisa padam ketika harus berhadapan dengan turbulensi konspirasi para koruptor yang tak sudi dijamah. Kenyataan ini telah memaksa pemerintah memutar otak untuk menjeratnya.

Komitmen pemerintah untuk tidak berkompromi dengan para koruptor tentu terkait dengan dampak destruktif korupsi yang mengancam bukan hanya dalam bentuk kerugian material, namun menodai moral (budaya) bangsa. Lebih dari itu, korupsi bisa menjelma secara terselubung dalam anggaran (kebijakan) yang dilegalkan. Pada titik ini korupsi tidak hanya terkait dengan pelanggaran terhadap aturan hukum (legal-formal), tetapi juga pada kerugian akibat kebijakan yang menyimpang.

Tiga Ranah Korupsi
Presiden SBY menyadari bahwa ketegasannya dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu menyebabkan munculnya kekhawatiran dan ketakutan di lingkungan aparatur negara untuk bertindak dan mengeluarkan kebijakan. Mereka khawatir terjebak dalam jaring-jaring korupsi. Kekhawatiran tersebut patut muncul karena korupsi telah menjadi realitas sistemis.

Bahkan tidak jarang, para pejabat terjerat dalam korupsi tanpa mereka sadari. Orang susah membedakan antara korupsi dan upeti, antara hadiah dan sogokan, antara keikhlasan dan kepura-puraaan. Korupsi telah menjadi simulakra yang menghegemoni sekaligus mencabik-cabik kesucian hati nurani tentang penyimpangan yang menyebabkan orang lain merugi. Kalau merujuk pada klasifikasi korupsi yang ditawarkan Syed Husein Alatas (1987), korupsi bisa dipilah dalam tiga bentuk.

Pertama, korupsi kelas teri; yaitu korupsi sebagai tindakan pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust). Korupsi pada level ini bisa terjadi pada siapa, kapan, dan di mana saja. Transformasi kultural menjadi kunci penyelesaian bagi penyakit korupsi stadium rendah ini. Namun kalau dibiarkan, penyakit ini bisa melahirkan sel-sel baru yang menyebabkan terjadinya pembusukan pada ranah struktural. Kedua, korupsi kelas menengah; yaitu penyimpangan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan diri maupun kelompoknya tanpa memperoleh keuntungan material.

Lobi-lobi via telepon atau memo yang dikirim anggota DPR untuk mengegolkan kepentingan kelompoknya, walaupun tanpa pamrih, merupakan bagian dari korupsi level menengah ini. Titik tekan korupsi level ini adalah pada penyalahgunaan kekuasaan, karena kekuasaan merupakan alat paling ampuh untuk menentukan baik buruknya sebuah tatanan sosial.

Ketiga, korupsi kelas berat; yaitu penyimpangan yang dilakukan penguasa untuk meraih keuntungan material (material benefit). Perselingkuhan kuasa dan harta bisa menjerumuskan bahkan menghancurkan sebuah bangsa. Inilah korupsi kelas berat yang tidak boleh ditolerir karena efeknya lebih dahsyat dari tsunami dan bencana alam lainnya.

Kemiskinan, kelaparan, hilangnya kesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai serta munculnya penyakit-penyakit sosial lainnya merupakan akibat dari penyimpangan kuasa dan harta negara. Lebih dari itu, korupsi pada level ini telah meruntuhkan martabat bangsa dan negara di mata dunia.

Kita boleh bangga atas keberhasilan merayakan demokrasi dan reformasi, tapi kita tak punya harga diri karena korupsi. Kita boleh bangga sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, tetapi kita patut malu sebagai negara terkorup. Karena dari sana, secara simplistis orang bisa menyimpulkan bahwa Islam dan demokrasi identik dengan korupsi.

Narasi Tanpa Transformasi
Tantangan terberat pemberantasan korupsi adalah belum optimalnya kebersamaan lembaga-lembaga negara untuk tidak melakukan korupsi. Bahkan, tebersit kesan bahwa pemberantasan korupsi seakan menjadi tanggung jawab Presien SBY (eksekutif) semata. Legislatif (DPR) dan yudikatif (MA) yang seharusnya menjadi pilar partner pemberantasan korupsi, tidak jarang menjadi bagian dari masalah. Inilah tantangan berat pemberantasan korupsi.

Sapu yang harus dipakai untuk membersihkan korupsi ternyata belum sepenuhnya berjalin berkelindan, sehingga kotoran korupsi belum juga hilang sepenuhnya. Paling tidak fenomena keterlibatan anggota DPR dalam tindak korupsi, termasuk percaloan dan pemerasan (extortive corruption) dan fenomena mafia peradilan, menjadi bukti bahwa antikorupsi hanya menjadi narasi yang tak pernah melahirkan transformasi.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi bukan persoalan political will semata. UU antikorupsi dan eksistensi lembaga pemberantasan korupsi baik lembaga pemerintah maupun LSM, sudah lebih dari cukup, namun korupsi jalan terus. Oleh sebab itu, perlu proses penyadaran yang intensif dan integratif tentang ancaman korupsi dan segala dampak negatifnya.

Proses penyadaran yang intensif dan kontinu ini hanya bisa dilakukan melalui proses transformasi kesadaran, yaitu edukasi antikorupsi. Edukasi antikorupsi merupakan proses penanaman nilai-nilai antikorupsi secara evolutif yang harus dilakukan secara kontinu, spesifik, dan empiris. Selama ini pendidikan moral atau akhlak masih bersifat normatif dan generatif, sehingga anak didik gagal merespons fenomena korupsi yang bersifat empiris dan spesifik.

Pendidikan moral yang bersifat normatif dan generatif hanya melahirkan anak didik yang gamang berhadapan dengan realitas penyimpangan sosial dalam berbagai bentuknya, seperti korupsi. Di sinilah pendidikan antikorupsi baik secara formal maupun informal penting diberikan pada warga bangsa mulai usia dini sampai perguruan tinggi. Tentu optimisme kita untuk mengeliminasi korupsi melalui pendidikan ini harus diletakkan dalam dua tanda kurung.

Efektivitas pendidikan antikorupsi ini bergantung pada banyak hal. Paling tidak lembaga pendidikan harus menjadi ranah paling awal yang bebas dari korupsi. Pendidikan antikorupsi tidak mungkin efektif di tengah lingkungan yang berkubang dengan korupsi dalam segala bentuknya. Merujuk pada empat pilar pendidikan yang dikeluarkan UNESCO, maka proses pendidikan antikorupsi akan efektif apabila didukung empat hal, yaitu proses internalisasi, proses aktualisasi, proses sosialisasi, dan proses menjadi.

Lembaga pendidikan tidak cukup memberi tahu (learning to know) peserta didik tentang antikorupsi, apalagi hanya bersifat normatif, tapi juga mampu mengaktualisasikannya (learning to do) dalam lingkungan (learning to live together) yang bebas korupsi. Dari sini diharapkan terbentuk (learning to be) generasi antikorupsi. Generasi yang puasa korupsi tidak hanya di bulan suci, tapi telah menjadi bagian dari integritas diri.

Dalam lingkup negara, keseriusan para pejabat baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk tidak melakukan tindak korupsi menjadi sangat penting agar upaya pembelajaran antikorupsi yang dilakukan secara bottom up dapat berlangsung secara efektif. Paling tidak, negara harus mampu menciptakan dirinya sebagai lingkungan yang kondusif bagi proses eliminasi tindak korupsi. Kalau tidak, upaya pemberdayaan antikorupsi melalui cara apa pun laksana menggarami air laut. (*)

Monday, November 06, 2006

Opini

Cermin Retak Presiden Yudhoyono
Republika, Senin, 6 Nopember 2006

A. Bakir Ihsan

Istana kembali menjadi sorotan. Kali ini terkait pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). Ada yang optimistis, ada pula yang pesimistis. Bahkan sebagian menganggapnya kontraproduktif. Seakan telah menjadi tradisi, setiap rezim memiliki logika untuk menambah atau membentuk lembaga penunjang di sekitarnya. Tampaknya di usia kekuasaannya yang genap dua tahun, Presiden Yudhoyono melihat ada kelemahan yang dapat menjadi duri bagi kinerja pemerintahannya, sehingga perlu ditutupi. Secara tidak langsung Yudhoyono menyadari bahwa pemerintahannya belum berjalanan maksimal.

Tulisan ini berusaha melihat prospek lembaga tersebut, begitu juga lembaga-lembaga negara lainnya, dalam sistem presidensial sebagai sistem yang konstitusional. Dalam sistem presidensial semua realitas sosial menjadi 'beban presiden'. Karena itu, sejatinya, presiden memiliki tanggung jawab sekaligus otoritas yang cukup besar.

Namun dalam praktiknya, sistem tersebut tersubordinasi oleh perilaku parlementaristik. Presiden dibuat 'terkekang' oleh sepak terjang politik Senayan sebagai representasi dari partai politik. Senayan adalah simbol kekuasaan yang sesungguhnya. Mereka adalah perwakilan partai politik yang menjadi pintu masuk satu-satunya untuk meraih kekuasaan. Dari jabatan bupati sampai presiden, harus seizin parpol untuk meraihnya.

Kenyataan tersebut menjadi beban tersendiri bagi langkah Yudhoyono. Kehati-hatian bahkan mungkin keragu-raguan Yudhoyono menjadi pilihan untuk 'menyenangkan' semua pihak. Dan tidak jarang keputusan harus diambil berdasarkan kepentingan elite partai, termasuk penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Konsekuensinya, loyalitas para anggota KIB bukan pada negara (presiden), tapi pada partai politik. Otomatis hal tersebut mengangkangi otoritas presidensial.

Dampak dari loyalitas kepartaian ini dirasakan betul oleh Yudhoyono. Garansi politik yang diberikan presiden takluk di bawah garansi partai politiknya. Ini tentu menjadi duri bagi langkah Yudhoyono. Tak berlebihan apabila anggota kabinet merasa punya posisi tawar dengan presiden yang mengangkatnya. Di sinilah problemnya. Satu sisi kebijakan pemerintah merupakan garansi sepenuhnya presiden, tapi di sisi lain kabinet bertindak berdasarkan kepentingan partainya. Wajar apabila dalam suatu kesempatan terbatas, Yudhoyono mengeluh karena salah satu menterinya masih menjadi kuda troya partai dan tidak seirama dalam mengambil kebijakan. Secara yuridis, fenomena tersebut merupakan sebuah bentuk pembangkangan terhadap presiden. Namun Yudhoyono, tampaknya tetap berpijak pada kalkulasi politik dalam mengambil tindakan terhadap anggota kabinetnya yang tidak loyal.

Belum lagi adanya lembaga-lembaga negara yang ditengarai sebagai negara dalam negara. Misalnya ada lembaga yang melantik dirinya sendiri dan mengabaikan presiden (Mahkamah Konstitusi), atau memperpanjang masa jabatannya tanpa bisa diganggu gugat oleh lembaga lainnya (Mahkamah Agung). Kenyataan ini tentu sedikit banyak memengaruhi kinerja maksimal dari sebuah sistem presidensial di alam reformasi. Selain persoalan mekanisme demokrasi tersebut, pemerintahan Yudhoyono juga dihadapkan pada problem sosial baik sebagai akibat kebijakan yang dibuatnya maupun warisan rezim sebelumnya.

Koreksi demokrasi
Demokrasi menawarkan kebebasan. Kebebasan untuk menentukan sikap dan kebebasan untuk membatasi sikap. Inilah dua fenomena yang mewarnai perjalanan demokrasi di negeri ini. Euforia kebebasan telah menyebabkan laju reformasi terhambat. Liberalisme pasar tampaknya betul-betul dipergunakan oleh berbagai elemen masyarakat untuk 'memasarkan' aspirasinya, sehingga terjadi involusi bahkan menjurus pada tindakan anarkhis.

Pada dasarnya demokrasi adalah lokalisasi aspirasi melalui konstitusi dan toleransi. Paling tidak prasyarat-prasyarat yang direkomendasikan bagi terwujudnya konsolidasi demokrasi, sebagaimana diajukan Juan J Linz dan Alfred Stepan, menandakan bahwa kebebasan harus dilokalisasi, sehingga tidak terjadi anarki.

Namun yang berkembang di era reformasi ini adalah sebuah paradoks. Sebagian masyarakat bernafsu memproduksi peraturan untuk melokalisasi kebebasan, sebagian lainnya berhasrat melepaskan segala aturan main karena dianggap mengekang ranah publik. Di sinilah otoritas negara dipertaruhkan: antara masyarakat yang menghendaki adanya campur tangan (intervensi) negara melalui pembuatan undang-undang, dan kelompok masyarakat yang mempertaruhkan otonomi (independensi) dirinya berhadapan dengan negara.

Cermin retak
Demokrasi bukanlah tujuan. Ia hanya jalan mencapai cita-cita negara ideal. Demokrasi mensyaratkan adanya stratifikasi dan distribusi peran. Distribusi peran ini penting ditegakkan dan ditaati agar mekanisme kenegaraan menjadi efektif dan kecenderungan koruptif di lingkungan elite dapat diminimalisasi.

Eksistensi lembaga-lembaga negara maupun sistem pemerintahan menjadi bermakna ketika berfungsi secara maksimal. Sehingga seluruh prosesi demokrasi bisa berlangsung secara fungsional dan tidak melahirkan letupan-letupan yang tidak perlu. Munculnya reaksi atas rancangan kebijakan maupun kebijakan pemerintahan membuktikan bahwa prosesi dan mekanisme demokrasi tersumbat.

Kondisi tersebut diperkeruh oleh orientasi kekuasaan yang lebih mengemuka di sebagian elite daripada mencari solusi demi kepentingan rakyat. Konsekuensinya kekuasaan menjadi ajang kritik dan perebutan wacana dan citra yang tidak bersentuhan langsung dengan substansi persoalan rakyat. Dalam jangka panjang fakta tersebut dapat mengancam konsolidasi demokrasi. Karena, sebagaimana dikatakan Adam Prezeworski (2006) bahwa konsolidasi demokrasi akan tercipta ketika semua orang bertindak menurut sistem demokrasi.

Di sini jelas bahwa kehendak untuk mengkonsolidasikan demokrasi ditentukan oleh kesediaan semua pihak untuk mengikuti prosedur demokrasi, yaitu suksesi melalui pemilu, kontrol melalui lembaga DPR, dan pengadilan melalui lembaga yudikatif. Dari sini kita bisa berharap konsolidasi demokrasi yang berpijak pada sistem presidensial secara konsisten akan mendorong kerja maksimal pemerintahan Yudhoyono. Jika tidak, maka pemerintahan akan menggali kuburnya sendiri.

Melihat kondisi sosial dan realitas politik yang masih jauh panggang dari api, sulit bagi kita untuk mendapatkan potret sempurna dari kinerja Presiden Yudhoyono. Kehendak-kehendak primordial yang melampaui altar kebangsaan, sedikit banyak memberi sumbangsih atas kinerja pemerintah selama ini. Belum lagi faktor pencitraan yang sangat memengaruhi opini publik yang menurut The Media Center, Amerika Serikat (Maret, 2006), 86 persen rakyat Indonesia lebih percaya media daripada pemerintah.

Untuk itu, negara dengan sistem presidensialnya akan tampil dalam potret sempurna apabila nafas kebangsaan mampu mengeliminasi nafsu-nafsu primordial. Kalau tidak, maka apapun usaha pemerintah saat ini, termasuk membentuk UKP3R, hanya menjadi serpihan dari cermin retak.