Monday, December 16, 2013

ASEAN-Japan Commemorative Summit 2013





Revitalisasi Relasi Kawasan Damai

“SUARA PEMBARUAN”, Sabtu, 14 Desember 2013

A. Bakir Ihsan

Pelaksanaan ASEAN-Japan Commemorative Summit, 13-15 Desember di Tokyo memiliki makna penting bagi Indonesia karena beberapa hal. Pertama, Jepang merupakan pusat kemajuan dan salah satu kekuatan ekonomi dunia dengan demokrasinya yang stabil. Menurut laporan Freedom House 2013, Jepang merupakan negara yang secara demokrasi elektoralnya termasuk kategori free, khususnya dalam hal hak-hak politik (political rights) dan kebebasan warganya (civil liberties).
Kedua, Indonesia merupakan negara favorit teratas bagi investasi perusahaan-perusahaan Jepang. Menurut survei terbaru Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang direlease 2/12 lalu, Indonesia menggeser posisi China yang sudah 20 tahun lebih menempati urutas teratas sebagai favorit investasi perusahaan-perusahaan Jepang. Dari 500 perusahaan yang disurvei, 44,9 persen mengatakan Indonesia merupakan tempat yang baik untuk berbisnis, disusul India dan Thailand pada peringkat kedua dan ketiga. Sementara popularitas China jatuh ke level terendah, yaitu 37,5 persen dari 62,1 persen.
Ketiga, pada 2013, Jepang menjadi investor pertama di Indonesia, menggeser Singapura. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) per 22 April 2013, Jepang mulai menggeser Singapura sebagai negara nomor satu yang paling banyak berinvestasi di Indonesia. Selama kuartal I-2013, total investasi Jepang di Indonesia mencapai Rp 1,2 miliar atau 16,3% dari total penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp 65,5 triliun.
Relasi Indonesia-Jepang yang positif dan didukung oleh fakta-fakta yang semakin optimistik tersebut, sejatinya menjadi jalan subur bagi peningkatan kerjasama yang lebih komprehensif yang berdampak bagi kehidupan masyarakat bahkan kawasan. Hal ini sangat dimungkinkan karena kerja sama Indonesia-Jepang sudah berjalan puluh tahun. Semua pemimpin Indonesia, mulai Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Jepang. Dalam konteks ini, maka paradigma yang diperlukan bukan hanya pertumbuhan ekonomi, tapi bagaimana ekonomi bisa tumbuh secara maksimal bersama dengan kemajuan di bidang lainnya.

Variabel Perdamaian

Masing-masing aspek dalam tata kehidupan bernegara maupun antar negara sejatinya berpijak pada misi agung kehidupan, yaitu perdamaian dan kesejahteraan. Selama ini, perdamaian dan kesejahteraan dilihat sebagai dampak, bukan sebab. Ia hanya bagian dari variabel terikat (dependent variable) yang ditentukan oleh faktor lain (ekonomi-politik) sebagai variabel penentu (independent variable). Perdamaian dan kesejahteraan sekadar harapan yang nasibnya ditentukan oleh sejauhmana ekonomi dan politik tumbuh. Ia ditempatkan sebagai tujuan, bukan landasan yang bergerak simultan.
Paradigma ini menjadikan semua perangkat kehidupan bernegara dikerahkan untuk kepentingan aspek yang sangat menentukan, yaitu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Bahkan dalam sejarahnya, politik menjadi abdi ekonomi yang difasilitasi oleh negara melalui pendekatan, yang disebut Guillermo O'Donell sebagai otoritarianisme birokratik (bureaucratic-authoritarianism). Padahal paradigma ini gagal menjelaskan fenomena pertumbuhan ekonomi yang berdiri diametral dengan pemerataan dan kesejahteraan. Stabilitas politik yang berdiri bersimpangan dengan perdamaian. Pertumbuhan ekonomi yang selalu menyisakan kesenjangan dan stabilitas politik yang mewariskan dendam dan konflik.
Dalam konteks itulah, sedari awal, Presiden SBY membangun kesepakatan dengan Jepang untuk perdamaian dan kesejahteraan. Tepatnya pada November 2006, saat kunjungan pertamanya ke Jepang, Presiden SBY bersama PM Jepang saat itu, Shinzo Abe, menandatangani kerja sama kemitraan strategis untuk perdamaian dan kesejahteraan masa depan (the declaration of strategic partnership for peaceful and prosperous future).

Penguatan Citra

Salah satu modal penting dalam menguatkan kerja sama adalah citra positif. Citra yang lahir dari rangkaian fakta yang mengacu pada apa yang dirasakan, dipersepsikan, dan dilakukan sehingga melahirkan kepercayaan. Tampaknya hal ini mulai tumbuh dalam konteks relasi Indonesia-Jepang yang memang sudah terbangun lama.
Dalam kuliah umum bertajuk; "Building Regional Security Architecture for Common Peace, Stability, and Prosperity" di Kensei Kinen Kaikan, Tokyo, 13/12/13, Presiden SBY memaparkan survei Kementerian Luar Negeri Jepang di enam negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam). Menurut survei tersebut, 90 persen masyarakat Indonesia memiliki citra positif terhadap Jepang. Bahkan 97 persen menyambut beroperasinya perusahaan Jepang di Indonesia. Ini tampaknya berkorelasi dengan persepsi positif kalangan pengusaha Jepang terhadap Indonesia yang menjadikan Indonesia sebagai tempat investasi pertama dibandingkan negara lainnya.
Fakta tersebut menunjukkan adanya senyawa dalam bidang ekonomi yang sejatinya bisa dikembangkan pada aspek lainnya, seperti dalam hal pendidikan, budaya, maupun pengembangan aspek-aspek lainnya. Hal ini penting, karena laju kerja sama dan pertumbuhan tidak bisa hanya difokuskan pada satu atau dua aspek, tapi memerlukan ruang yang lebih luas yang memungkinkan pelibatan seluruh stakeholder dalam beragam bidang secara komprehensif.
Pelibatan di sini merepresentasikan kesetaraan. Pelibatan tanpa kesetaraan adalah bentuk lain dari dominasi dan hegemoni. Melalui pelibatan kolektif tersebut, masing-masing pihak bisa mengkalkulasi kepentingan-kepentingannya sembari mentransendensikan (bukan menegasikan) aspek-aspek yang berpotensi konflik dan merayakan aspek-aspek positif bagi perdamaian.
Dalam perspektif Johan Galtung (Theories of Peace, 1967), konflik yang melibatkan pemikiran, sikap, dan perilaku harus difasilitasi (facilitating) bukan dihalangi (impeding), dikasih solusi (resolving) bukan dihindari (avoiding). Menfasilitasi sikap yang positif dan mengembangkan perilaku yang konstruktif serta memberi jalan keluar bagi konflik menunjukkan pentingnya pendekatan asosiasi (associative approaches). Sebuah pendekatan yang mencoba untuk tetap meningkatkan interaksi dan kontak antara antagonis (pelaku konflik) serta tetap dekat satu sama lain. Pendekatan ini semakin memastikan urgensi kesetaraan (equal partners) dalam membangun kerja sama atau relasi pada semua level, baik dalam konteks negara maupun antar negara.
Inilah tantangan yang harus dijawab di tengah perubahan di berbagai bidang. Perubahan yang tidak jarang melahirkan letupan-letupan konflik bahkan krisis di satu sisi dan tuntutan untuk tetap dalam kesetimbangan (equalibrium). Semua harus dimulai secara bersama-sama oleh beragam relasi baik dalam bentuk asosiasi semacam ASEAN, maupun pada level antar negara seperti Indonesia dan Jepang, untuk memastikan beroperasinya perdamaian dan kemajuan di kawasan.*

Monday, November 11, 2013

APEC-BDF




Opini

Insentif Demokrasi dan Pemerataan Ekonomi

SUARA PEMBARUAN, Jum’at, 8 November 2013

A. Bakir Ihsan

Ada dua moment penting dalam sebulan terakhir di Bali, yaitu KTT APEC (7-8 Oktober) dan Bali Democracy Forum atau BDF (7-8 November). Kedua moment ini merepresentasikan dua hal pokok dalam kehidupan negara bangsa. APEC merupakan sebuah asosiasi geo-ekonomi antar negara di kawasan Asia Pasifik, sementara BDF merupakan sebuah ikhtiar menumbuhkan demokrasi dalam konteks geo-politik Asia Pasifik.  Dengan mengusung tema; “Consolidating democracy in pluralistic society, BDF VI kali ini diikuti oleh perwakilan 53 negara di Asia-Pasifik dan puluhan pengamat di luar kawasan tersebut.
Dua hajatan ini menarik ditelaah karena dua hal. Pertama, pada level wacana keilmuan, ekonomi dan demokrasi merupakan dua sisi yang dialektis. Sudah banyak kajian dan penelitian disusun dengan melihat dinamika kedua aspek tersebut sebagai faktor penting dalam kehidupan negara bangsa. Banyak kajian dan telaah terkait relasi pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Di antaranya Adam Przeworski (2003) yang menyebutkan bahwa demokrasi bisa tumbuh di negara yang sehat (wealthy countries). Demokrasi, menurutnya, cenderung mengikuti “kesehatan” pendapatan rakyatnya. Sementara Seymour Martin Lipset (1959) menyebutkan masing-masing bagian punya kesempatan yang sama bagi kelangsungan demokrasi (the more well-to-do a nation, the greater the chances it will sustain democracy). Ekonomi dan politik (demokrasi) sejatinya tak bisa dipisahkan. Namun secara faktual, skala prioritas seringkali menyebabkan salah satunya menjadi sangat dominan dan lainnya determinan.
Kedua, pada level praksis, Indonesia menjadi miniatur yang merepresentasikan kedua aspek tersebut. Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi cukup menjanjikan dan perkembangan demokrasinya yang semakin mekar. Menurut Presiden SBY, pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari dua kali dari pertumbuhan rata-rata ekonomi dunia. Di sisi lain, perjalanan demokrasi dengan segala dinamikanya menunjukkan arah optimistik, terlebih bila dibandingkan dengan perkembangan demokrasi di kawasan lainnya. Antusiasme masyarakat dan tingkat partisipasi dalam setiap kontestasi menjadi bukti sekaligus modal penting bagi keberlangsungan demokrasi untuk sampai pada ranah konsolidasi.
Karena itu, tulisan ini mencoba menelaah relasi ekonomi dan demokrasi berdasarkan salah satu kesepakatan dalam KTT APEC dan kemungkinan adanya senyawa dengan misi yang diemban dalam perhelatan BDF.

Problem distribusi

Salah satu point penting, dari tujuh hasil, yang dicapai dalam KTT APEC XXI di Bali itu adalah memastikan pertumbuhan yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Para pemimpin APEC bersepakat untuk memfasilitasi dan memperkuat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta perempuan pengusaha dan muda. Point ini menarik untuk ditelaah karena distribusi peluang bagi pengembangan ekonomi selama ini cenderung dikuasai oleh pemilik modal besar. Secara tidak langsung, keputusan KTT APEC ini mengafirmasi bahwa ada problem distribusi dalam pertumbuhan ekonomi antara pengusaha besar, menengah, dan kecil serta yang berbasis gender dan usia.
Persoalan (keadilan) distribusi tidak bisa diserahkan pada pasar yang terstruktur berdasarkan kepemilikan modal. Diperlukan regulasi yang berpihak (affirmative action) yang memungkinkan masing-masing elemen masyarakat memiliki posisi tawar yang sama. Membiarkan mekanisme pasar dengan sistem hegemoniknya sama saja merawat kelompok kecil terus menjadi pemain pinggiran atau sekadar agen dari korporasi.
Posisi strategis APEC sebagai organisasi kerja sama ekonomi kawasan Asia Pasific tidak perlu diragukan lagi. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pembukaan The APEC CEO Summit 2013, pertumbuhan ekonomi APEC mencapai 54 persen dari produk domestik bruto global dan 44 persen dari perdagangan global. Sementara secara demografis anggota APEC menyumbang 40 persen dari seluruh jumlah penduduk dunia, karena tiga dari empat negara terbesar jumlah penduduknya bergabung di dalamnya, yaitu, China, Amerika, dan Indonesia. Dalam hal perdagangan telah tumbuh hampir tujuh kali lipat sejak tahun 1989, yaitu mencapai lebih dari 11 triliun dolar AS (2011).
Begitu juga negara-negara peserta BDF yang didominasi oleh negara-negara Asia menunjukkan pertumbuhan ekonominya yang relatif baik dibandingkan dengan sebagian negara di kawasan lainnya. Pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata melahirkan problem yang sama, yaitu belum maksimalnya distribusi pemerataan. Problem ini tidak bisa dijawab oleh (pertumbuhan) ekonomi an sich.  Pemerataan merupakan wilayah kebijakan (politik) rezim yang ada di masing-masing negara. Dalam konteks ini, baik pada negara-negara anggota APEC maupun negara-negara peserta BDF memiliki fakta yang berbeda.

Insentif Demokrasi

Berdasarkan standar kebebasan yang dikeluarkan oleh Freedom House 2013, maka ada tiga kategori rezim yang bisa dikaitkan dengan pertumbuhan ekonominya. Pertama, negara yang ekonominya tumbuh dengan sistem (rezim) tidak demokratis, seperti China dan Rusia. Kedua, negara yang ekonominya tumbuh dengan sistem demokrasinya yang juga mekar, seperti India dan Indonesia. Ketiga, negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi relatif bagus dengan sistem politik setengah demokratis (partly free), seperti Singapura, Hongkong, dan Malaysia.
Dari 21 anggota APEC dan 53 negara peserta BDF bisa dipilah melalui ketiga kategori tersebut dengan mengukur tingkat kualitas demokrasi dan pertumbuhan ekonominya. Secara umum, negara yang masuk dalam kategori kedua (ekonomi dan demokrasinya tumbuh) masih relatif sedikit dibandingkan dengan kategori pertama dan ketiga. Bahkan ada negara yang ekonominya berkecukupan dalam sistem kerajaan, seperti Arab Saudi dan Brunei Darussalam. Dalam sistem yang tidak demokratis, sulit membayangkan adanya pemerataan distribusi yang maksimal, karena tidak adanya kontrol dan transparansi terkait sumber pendapatan dan belanja negara. Hal ini berbeda dengan negara yang demokratis, adanya kontrol yang kuat dari civil society membuat negara tidak bisa menutup diri, walaupun pada titik tertentu masih berhadapan dengan pejabat dan birokrasi yang bebal dalam beragam deviasi dan korupsi.
Kalau ditarik pada salah satu kesepakatan APEC yang berusaha memfasilitasi dan memperkuat Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka demokrasi menjadi kemestian. Demokrasi menjadi penting untuk memastikan adanya kebijakan (regulasi) yang berpihak pada mereka yang memerlukan perlakuan khusus dalam kompetisi pasar yang timpang. Inilah insentif demokrasi bagi pertumbuhan ekonomi yang merata, khusus di kawasan Asia Pasifik. Tanpa demokrasi, maka peluang distribusi ekonomi yang merata tak akan banyak bermakna. Sebagaimana temuan Miles Simpson (1990) bahwa sistem demokrasi politik memberikan ruang egaliter terhadap distribusi income. Dengan demikian, agenda pemerataan distribusi ekonomi (pertumbuhan inklusif) sebagaimana disepakati dalam KTT APEC XXI harus berjalin kelindan dengan konsolidasi demokrasi dalam masyarakat yang majemuk, sebagaimana diusung dalam BDF kali ini. Tentu ini bukan agenda mudah dan instan. Ikhtiar yang tak ada henti tentu lebih memberi harapan daripada sekadar menyesali. Semoga.

Tuesday, October 08, 2013

The APEC Summit 2013



Opini


Konektivitas dan Tantangan Geopolitik
SUARA PEMBARUAN, Selasa, 8 Oktober 2013


A. Bakir Ihsan

Forum-forum pertemuan  antar negara dalam irisan geopolitik menjadi semakin urgen seiring krisis yang tak kenal kelas dan batas teritori. Krisis tidak lagi merambah sektor-sektor tertentu, tapi hampir merengkuh seluruh dimensi kehidupan dan kemanusiaan. Mulai krisis moral sampai finansial, kultural sampai struktural. Karena itu, tema-tema yang digagas dalam forum-forum internasional selalu bersentuhan pada masalah kemanusiaan. Dalam KTT APEC 2013 di Bali (1-8/10), misalnya, walaupun fokus utamanya pada pertumbuhan ekonomi (Resilient Asia-Pacific – Engine of Global Growth), namun penekanannya tetap pada bagaimana ekonomi bisa tumbuh inklusif dan dinikmati banyak orang atau negara.  Bagitu juga dalam KTT ASEAN di Brunei Darussalam (9-10/10), mengusung tema besar; Our People, Our Future Together.
Sulit dimungkiri, pertumbuhan ekonomi sebagian negara berhadapan dengan adanya kesenjangan, bahkan krisis di negara lainnya. Begitu juga pada level internal negara. Pertumbuhan masih menyisakan kesenjangan yang bila tidak dikelola dengan baik bisa mengancam terhadap pertumbuhan itu sendiri. Ada kelas, ada diskriminasi yang memicu disharmoni, konflik, bahkan kekerasan yang disulut oleh ketaksetaraan dan kesenjangan. Karena itu, dalam pembukaan The APEC CEO Summit 2013 di Bali, Presiden SBY menekankan kembali pentingnya keberlanjutan pembangunan, kesinambungan pertumbuhan bersama pemerataan, dan konektivitas (promoting connectivity).

Agenda Konektivitas
Sejatinya konektivitas tak menjadi kendala di tengah perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih dan menyebar. Relasi antar negara semakin tak berbatas. Begitu pun pada level kehidupan nasional (internal negara). Teknologi informasi mendekatkan jarak, meretas sekat, bahkan pada titik tertentu mengakrabkan semua pihak. Namun dalam praktiknya, dukungan teknologi tak selalu berkelindan dengan meningkatnya konektivitas. Relasi antar warga negara (people to people) belum mampu mengintimasi interaksi baik secara ekonomi maupun integrasi kebersamaan lainnya. Penekanan Presiden SBY pada urgensi konektivitas dan pertumbuhan dengan pemerataan menunjukkan masih terjalnya jalan menuju ke arah tersebut.
Pada level global, terjadinya tindak kekerasan dan disparitas dalam skala pertumbuhan ekonomi memperkuat belum optimalnya konektivitas antar negara. Ego sentrisme negara berdasarkan sejarah maupun tingkat kemajuannya menjadi kendala tersendiri bagi percepatan konektivitas. Hal ini memicu dampak domino berupa superioritas negara tertentu atas negara lainnya. Pada level struktural, dominasi dan hak istimewa negara tertentu di organisasi setingkat PBB membuktikan diskonektivitas. Tak berlebihan apabila beberapa kepala negara, seperti Indonesia dan China, mengkritik terhadap konstruk struktur organisasi PBB yang timpang, memberikan keistimewaan pada negara tertentu tanpa kontrol.
Pada level internal negara, korupsi dan ulah birokrasi yang mengedepankan komisi, ikut menghambat konektivitas sekaligus memperlambat tumbuhnya investasi. Apalagi dengan adanya kasus keterlibatan pemimpin lembaga negara sekelas Mahkamah Konstitusi dalam korupsi, kepercayaan, sebagai lahan subur investasi, semakin terancam dan menyusut. Karena itu wajar apabila Presiden SBY merasa perlu mengambil langkah “darurat” untuk mengatasinya melalui rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Karena berdasarkan rilis World Bank yang bertajuk Laporan Triwulan Perekonomian Indonesia, Oktober 2013, disebutkan, kebijakan Indonesia sudah berada di jalan yang benar dalam konteks pertumbuhan ekonomi. Dengan meredam defisit  transaksi berjalan, menaikkan suku bunga, hingga mengurangi subsidi BBM merupakan langkah yang akan mendorong pertumbuhan sekaligus menjaga Indonesia dari gejolak eksternal yang bisa melemahkan pertumbuhan PDB Indonesia. Kasus korupsi ketua MK ini dengan sendirinya akan memperkuat asumsi korupsi yang masih menjadi pendegradasi derajat Indonesia di mata internasional. Tidak menutup kemungkinan kasus tersebut melahirkan asumsi domino, khususnya di kalangan pelaku ekonomi, berupa ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga negara lainnya, karena pemimpin lembaga setingkat MK saja korupsi.

Minimalisasi Kesenjangan
Konektivitas menjadi semakin urgen di tengah kesenjangan atau jarak kelas sosial yang masih ada. Kelas sosial mungkin tak bisa dihilangkan. Namun, upaya untuk mendekatkan dan menjadikannya sebagai bagian yang fungsional dalam struktur kehidupan bernegara merupakan sebuah kemestian. Konflik dan kekerasan yang dipicu baik atas nama mayoritarianisme maupun otorisasi yang melamapui batas kewenangannya menunjukkan adanya kesenjangan dan ketidaksetaraan baik secara kultural maupun struktural.
Betapa mahalnya harga ketidaksetaraan, sebagaimana disitir Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Price of Inequality (2012), menyebabkan dunia dan negara tak stabil. Ketidaksetaraan dalam politik dapat memicu kekerasan sekaligus ancaman terhadap sistem demokrasi, karena demokrasi sejatinya menyetarakan semua suara. Dalam ketidaksetaraan dan kesenjangan, demokrasi, demikian Stiglitz, berbuah deviasi dalam segala bentuknya, termasuk money politics. Prinsip “satu orang satu suara” menjadi “satu dolar satu suara” (one person one vote menjadi one dollar one vote). 
Karena itu, upaya pemerataan atau minimalisasi kesenjangan sejatinya menjadi bagian dari ikhtiar bagi terciptanya konektivitas baik pada level antar negara maupun internal negara. Pada level antar negara (geopolitik), upaya ke arah tersebut bisa diperkuat melalui kesamaan sistem, yaitu sistem demokrasi yang semakin mekar khususnya di kawasan Asia Pasifik. Melalui demokrasi, intimasi relasi antar negara semakin terbuka dan setara sebagaimana ruh demokrasi itu sendiri. Sementara pada level internal negara, penguatan demokrasi menjadi prasyarat mutlak bagi semakin terdesaknya segala bentuk deviasi, termasuk perilaku korupsi. Transparansi dan kontrol warga (civil society) pada semua lembaga negara tanpa imun, sebagai bagian dari konektivitas dalam demokrasi, akan semakin menutup celah adanya transaksi politik di antara elit.
Dengan demikian, agenda konektivitas tidak melulu berfokus pada bagaimana pertumbuhan ekonomi terus meningkat. Namun juga, bagaimana pertumbuhan itu insklusif bagi penguatan pemerataan pendapatan untuk semua. Karena sesungguhnya pembangunan, sebagaimana Stiglitz, tak melulu ekonomi (not just transforming economies), tapi juga transformasi kehidupan seluruh rakyat (transforming the lives of people). Semoga.