Friday, July 28, 2006

Opini

SBY, Bencana, dan Takhayul Politik
Lampung Post
, Jum’at 28 Juli 2006

A. Bakir Ihsan

Sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi presiden, bencana datang silih berganti. Banyak paradigma ditebar untuk menjelaskan bencana dengan segala ragamnya. Ada apa dengan negeri ini. Kalau elite politik mencampakkan rakyatnya, kalau para pengusaha menggunduli hutan, kalau para penjarah mengeksploitasi alam, tetapi mengapa rakyat tak berdosa harus jadi korbannya?

Tanda tanya ini ekspresi dari kecemasan, mungkin, keputusasaan warga negara. Apalagi secara geografis negara ini berada di tiga lempeng benua, Eurasia, Indo Australia, dan Pasifik yang sangat potensial memicu gempa. Walaupun lempeng Eurasia merupakan lempeng yang stabil, kedua lempeng lainnya (Indo Australia dan Pasifik) terus bergerak dan berinteraksi sehingga menekan lempeng yang stabil (eurasia).

Akibatnya terjadi titik-titik tumbukan yang menjelma menjadi pusat gempa tektonik. Kenyataan ini dapat menambah ketakutan, bahkan keputusasaan.

Dalam kondisi demikian, masyarakat akan mudah terbawa ke alam dunia mistis, irasional, dan penuh takhayul. Karena intensitas bencana yang begitu tinggi terjadi pada masa kepemimpinan SBY, sebagian orang pun menafsirkannya sebagai ekspresi ketidaksetujuan alam terhadap posisi SBY tersebut. Inilah tafsir (takhayul) politik atas bencana berdasarkan halusinasi yang tumbuh subur di tengah impitan derita yang mendera rakyat tak berdosa.

Kalau kondisi ini dibiarkan dapat mengancam terhadap upaya rehabilitasi korban bencana. Konsentrasi pemerintah akan terpecah oleh agenda-agenda politik yang tak berpijak pada kepentingan riil masyarakat yang banyak menjadi korban bencana.

Matinya Solidaritas Sosial
Dengan merujuk pada pemikiran Mahatma Gandhi, Stephen R. Covey dalam Principle-Centered Leadership-nya menginventarisasi tujuh dosa besar yang menyebabkan carut-marutnya bumi saat ini.

Ketujuh dosa tersebut adalah kekayaan yang diperoleh secara tidak halal, kenikmatan yang diperoleh dengan mengingkari suara hati, pengetahuan tanpa etika, bisnis tanpa moral, ilmu pengetahuan tanpa nilai kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip.

Ketujuh dosa tersebut memperlihatkan satu substansi yang semakin langka dalam kehidupan sehari-hari, yaitu solidaritas sosial. Bahkan, agama yang sesungguhnya berdimensi sosial mengalami privatisasi bahkan alienasi yang mengerdilkan umatnya untuk berkorban. Dosa-dosa tersebut merupakan cermin dari kerakusan dan individualisme yang menutup kran solidaritas sosial.

Matinya solidaritas disebabkan banyak faktor. Salah satunya, kuatnya pemberhalaan terhadap eksistensi diri (eksistensialisme) dan kepemilikan akan materi (materialisme). Sebagaimana pepatah agung Sang Budha, "Orang menjadi cemas karena kehadiran gagasan 'saya' dan 'punya saya'". Eksistensialisme dan materialisme satu sisi dapat menggiring pada pengagungan diri dan materi dan di sisi yang lain dapat melahirkan kecemasan ketika berada dalam satu titik ekstrem yang tak terpecahkan.

Kenyataan ini memperlihatkan, eksistensialisme dan materialisme yang dikutuk kaum agamawan, ternyata menghunjam dalam kesadaran umatnya. Khotbah keagamaan yang diintroduksi setiap saat ternyata belum mampu menyentuh kesadaran yang telah terhegemoni oleh ideologi yang menafikan eksistensi di balik realitas (the others).

Paradigma inilah yang perlu direkonstruksi oleh para tokoh agama dan ilmuwan sehingga mampu menguak makna di balik realitas sekaligus dapat meminimalisasi kecemasan akibat kegagalan mengungkap makna di balik bencana.

Rasa cemas dan khawatir merupakan refleksi negatif yang muncul akibat pemahaman yang terbatas terhadap realitas. Rasa takut dan cemas inilah yang memicu lahirnya takhayul yang menutup logika dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient), sehingga orang mudah terjebak pada halusinasi yang menyesatkan.

Makna Profetis Bencana
Derita yang terus-menerus dirasakan masyarakat dapat melahirkan keputusasaan. Pesimisme akan masa depan karena ancaman bencana yang tak kunjung usai dapat menyebabkan negeri ini semakin terpuruk. Apalagi banyak generasi masa depan harus mendahului zamannya akibat bencana merenggut nyawanya. Dengan sendirinya kenyataan tersebut mengurangi potensi-potensi bagi kemajuan masa depan.

Namun, sebagai sebuah bangsa kita tidak ingin negara ini menjadi negara mati karena ancaman bencana yang tak terhindarkan. Justru di sinilah kita dituntut untuk memahami makna di balik bencana. Selama ini kita sangat dimanja oleh alam. Sumber daya alam dan sumber daya manusia yang banyak ternyata belum mampu dimanfaatkan secara maksimal demi kemakmuran bersama. Masing-masing kelompok berjuang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya masing-masing. Alam menjadi ajang perebutan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tapi juga politik.

Atas kenyataan itulah SBY dalam pembukaan muktamar Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) nasional mengajak masyarakat berpikir rasional terhadap bencana sambil memasrahkan diri pada Tuhan. Bahwa inilah realitas Indonesia yang secara geografis berada di antara tiga lempengan yang sewaktu-waktu memicu terjadinya gempa. Begitu juga dengan potensi bencana lainnya.

Alam dengan segenap hukum alamnya merupakan realitas yang given dan taken for granted yang tidak bisa direkayasa. Kita diberi energi intelektual untuk menatanya demi kepentingan bersama. Pada titik ini dunia takhayul dan irasionalitas lainnya sama sekali tak berguna. Jalan terbaik adalah memadukan sinergi antara potensi alam (natural capital) yang begitu luas dan potensi akal (human capital) yang tak terbatas.

Tidak kalah pentingnya keleluasaan logika tersebut harus dilandaskan pada nilai-nilai spiritual, sehingga tidak terjebak dalam kerakusan yang merusak solidaritas sosial dan tatanan alam semesta. Inilah aspek profetis bencana yang harus dikembangkan oleh semua pihak agar tidak berkubang dalam kecemasan dan keputusasaan yang merangsang lahirnya takhayul. Justru bencana harus menjadi pemicu kreativitas bagi kepentingan masa depan bangsa yang lebih tangguh dan bermartabat. Semoga.

Tuesday, July 25, 2006

Opini

SBY dan Tafsir Bencana atas Kekuasaan
Suara Pembaruan
, Selasa 25 Juli 2006

A Bakir Ihsan

Bencana di negeri ini bukan lagi wacana. Bencana telah menjadi nafas derita anak bangsa. Tsunami, sebuah kata yang pada mulanya bak cerita dari antaberantah, kini tak terbantah. Setelah Aceh dan Nias, kini pantai selatan pulau Jawa tempat singgah bencana yang sama. Ratusan nyawa melayang dan tempat tinggal hancur tak terbilang. Rangkaian bencana ini tentu sarat dengan beragam tafsir baik secara rasional, spiritual, maupun supranatural.

Tafsir rasional atas bencana gempa dipahami sebagai fenomena alam yang berlangsung secara periodik. Terjadinya benturan antar lempengan bumi menjadi pemacu gerakan bumi yang tak wajar dan memuncahkan goncangan.

Sementara tafsir spiritual melihat bencana sebagai cobaan, ujian, musibah, bahkan azab dari Tuhan. Tafsir spiritual ini melihatbencana sebagai bentuk intervensi Tuhan atas ulah umat manusia yang menyimpang. Tuhan, menurut tafsir ini, merasa berkepentingan untuk mengingatkan manusia agar kembali pada jalan-Nya yang lurus.

Sebaliknya tafsir supra natural lebih melihat segala bentuk bencana sebagai cermin dari disharmoni antara makrokosmos dan mikrokosmos. Disharmoni ini bisa dalam konteks relasi manusia dengan alam, maupun manusia dengan manusia dengan segala dimensinya, baik secara politik, ekonomi, budaya, hukum, dan sebagainya.

Setiap orang bisa meyakini tiga tafsir bencana di atas secara terpisah. Bisa juga meletakkannya secara saling terkait. Namun ketiga perspektif di atas menunjukkan satu titik temu dalam memahami bencana, yaitu ketidakpastian. Secara rasional, orang bisa berhitung periodeisasi bencana, namun belum ada satupun pengetahuan yang mampu menjelaskan secara rinci dan mendeteksi secara pasti tentang waktu terjadinya bencana.

Itulah sebabnya bencana selalu berada di luar jangkauan logika dan hadir secara tak terduga. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kehidupan ini tidaklah linier dan tak pasti, oleh karenanya tidak bisa diabsolutkan. Ada keragaman dan perbedaan yang memiliki hak yang sama untuk eksis.

SBY dan Alam yang Liar
Alam dengan segala keragamannya berada dalam sebuah harmoni. Begitu pun manusia. Namun mengapa alam tidak begitu ramah? Secara meta-politik, sebagian orang mengaitkannya dengan eksistensi kekuasaan Presiden SBY, karena sejak pelantikannya bencana seakan tak hendak sirna.

Seorang kiai di Jawa Timur, misalnya, mengaitkan fenomena ketidakramahan alam dengan hari pelantikan SBY yang, menurutnya, dilakukan pada saat yang tidak tepat. Bahkan orang sekaliber Gus Dur merasa perlu untuk melakukan ruwatan (istighasah) atas bencana yang silih berganti. Ruwatan Bumi Nusantara yang dilaksanakan di alun-alun Selatan Yogya pada Februari lalu dimaksudkan agar bumi Nusantara selamat dari pelbagai malapetaka, bencana, dan kesialan yang terus melanda. Inilah ragam pembacaan orang terhadap bencana alam yang tidak sepenuhnya rasional.

Relasi alam dengan manusia tentu tidak bisa disimplifikasi dalam konteks relasi seorang SBY dan alam. Walaupun SBY merupakan "pandito" negeri dengan seribu bencana ini, namun eksistensinya tak bisa dilepaskan dari restu langsung dari rakyat melalui kompetisi yang sangat demokratis.

Oleh sebab itu, segala bentuk perbaikan relasi antara manusia dengan alam seharusnya diletakkan dalam konteks perlakuan masyarakat terhadap alam. Bukan pada seorang SBY yang tak lebih sebagai personifikasi kuasa rakyat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa alam kita telah tereksploitasi sedemikian rupa. Kasus penambangan pasir dan emas liar, illegal logging, illegal fishing, illegal migrant, illegal mining, dan segala bentuk pemerkosaan lainnya terhadap alam menjadi sarapan (informasi) yang dihidangkan media setiap hari. Manusia menempatkan dirinya secara liar berhadapan dengan alam, sehingga alam dengan liar pula mengancam kehidupan umat manusia. Gempa yang tak terdeteksi, tsunami yang tak pilih kasih, banjir bandang dan longsor yang tak terperi, menjadi horor sekaligus teror baru bagi kehidupan anak adam.

Inilah potret relasi disharmonik antara manusia dengan alam. "Terorisme" yang ditebar oleh alam jauh lebih eksesif dibandingkan teror yang berlangsung antar sesama manusia. Alam tak mengenal wacana provokatif seperti yang terjadi dalam simulakra terorisme yang disebar oleh Amerika dan sekutunya. Alam hanya bertindak atas tindakan umat manusia yang pragmatis dan tanpa pikir panjang.

Inilah yang oleh Martin Heidegger (1966) disebut sebagai kondisi thoughtlessness yang melahirkan efek tak terduga.

Tafsir Bencana
Secara politik beragam bencana tersebut tentu menjadi beban tersendiri bagi SBY. Bencana yang seperti tak hendak hengkang di bawah kepemimpinan SBY dengan sendirinya telah menguras tenaga, pikiran, dan dana negara secara tak terduga bagi rehabilitasi korban bencana. Hal ini otomatis menyedot konsentrasi pemerintah dalam pengembangan aspek-aspek lainnya. Bahkan saat ini pemerintah sudah kehabisan dana bencana dari anggaran Rp500 milyar dalam APBN 2006.

Namun di balik bencana, ada makna yang cukup mendalam bagi pembelajaran politik yang gagal dijalankan oleh lembaga-lembaga politik, khususnya oleh partai politik selama ini. Karena sebagaimana hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) partai politik merupakan lembaga yang paling buruk kinerjanya dan gagal menjalankan fungsinya secara maksimal.

Paling tidak ada beberapa fenomena yang seharusnya dapat memperbaiki tata kehidupan masyarakat. Pertama, tumbuhnya kepedulian dan keprihatinan. Bencana yang silih berganti idealnya dapat memupuk keprihatinan sekaligus kepedulian yang sama terhadap sesama anak bangsa.

Namun, hal ini belum sepenuhnya terjadi. Beberapa tokoh politik malah lebih tertarik melontarkan kritik terhadap penanganan bencana daripada berbuat untuk para korban. Megawati, misalnya, di saat Yogya berkubang dalam duka bencana, ia melancong ke China dan melakukan kritik tentang penangan korban bencana yang dinilainya lamban dan tidak profesional dibandingkan dengan China. Sementara politisi lainnya yang biasanya bersuara lantang terhadap pemerintah seperti ditelan bumi justru di saat rakyat butuh simpati.

Kedua,merayakan simpati. Kebutuhan bantuan masyarakat korban bencana idealnya menggugah para politisi untuk menabur sejuta simpati pada masyarakat. Walaupun sebagian politisi mengambil langkah ini dengan menyumbangkan gaji ke-13, misalnya, namun secara keseluruhan belum sepenuhnya berbuat hal yang sama. Para politisi masih berhitung untung rugi bagi kepentingan pemilu 2009. Akibatnyasimpati para politisi tak sedahsyat bencana yang mendera rakyat.

Ketiga, bencana sebagai medium kedekatan penguasa dan rakyat. Bencana yang silih berganti memaksa Presiden SBY untuk lebih dekat dengan rakyatnya. Dan secara simbolik hal tersebut dilakukan SBY dengan turun langsung ke lapangan sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat. Hal tersebut bisa dijadikan simbol yang menggugah para elit lainnya untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pa- da upaya penyelesaian masalah yang dihadapi langsung oleh masyarakat.

Tafsir politik atas bencana ini secara tidak langsung merupakan gugatan dan sinyal alam agar kita semakin peduli pada sesama dan membangun harmoni dengan alam semesta. Inilah tafsir politik atas bencana yang harus dikembangkan oleh para elite politik di tengah transisi yang tak pasti.

Alam mengajari kita bahwa semua harus berjalan dalam kepastian berdasarkan hukum yang telah ada pada dirinya (sunnatullah). Sementara, kita sering melanggar aturan yang justru kita buat sendiri. Bukankah ini bentuk pelecehan kita terhadap diri sendiri? Mungkin itulah sebabnya mengapa alam "marah" pada kita.

Friday, July 21, 2006

Opini

Historia Konstitusi di Tengah Transisi
Sinar Harapan
, Jum’at 21 Juli 2006

A. Bakir Ihsan

Historia tak pernah mati. Bahkan di tengah hamparan himpitan, historia justru menjadi obsesi. Kenyataan inilah yang kita saksikan belakangan ini. Mulai upaya rejuvenasi Pancasila yang pernah dikutuk bersama sampai upaya kembali pada UUD 1945 asli. Bahkan mereka menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengeluarkan dektrit pemberlakuan kembali UUD 1945.

Hasrat untuk menghidupkan kembali warisan masa lalu merupakan bentuk historia karena beragam latar kepentingan. Ia muncul bisa sebagai ekspresi kekecewaan atas carut marut yang terjadi saat ini, bisa juga status quo oriented. Tidak heran apabila sebagian masyarakat mengidamkan hidup kembali seperti masa Orde Baru yang miskin gejolak dan separatisme.

Kini masyarakat dibawa pada suasana yang jauh berbeda, yaitu kebebasan yang berhasil “mengobrak-abrik” ranah struktural yang dianggap pro status quo. Ada yang terancam dan ada yang terpental. Mereka yang terancam, apalagi yang terpental, tentu merasa tidak nyaman dengan realitas yang dihidangkan reformasi. Itulah sebabnya, bagi sebagian orang reformasi adalah ancaman. Euforia justru memupuk gejolak dan merusak harmoni. Inilah agenda yang dihadapi konstitusi yang telah diamandemen dan tengah disosialisasikan.

Tiga Kelompok
Pada dasarnya konstitusi merupakan fondasi yang serba mencakup. Namun fondasi ini terlanjur diagungkan bukan disosialisasikan, diyakini bukan dipahami. Konsekuensinya ia selalu menjadi tempat berlindung sekaligus alat legitimasi beragam bentuk kekuasaan. Dan secara historis hal tersebut telah menyeret bangsa ini dalam potret suram sejarah akibat ulah penguasa yang otoriter dan sentralistik baik pada masa Soekarno maupun Soeharto.

Sakralitas konstitusi inilah yang mendorong dilakukannya amandemen UUD 1945. Jadi amandemen tidak hanya didasarkan pada fakta historis (kekuasaan) yang otoriter, namun sekaligus upaya desakralisasi konstitusi melalui rekonstruksi atas kekuasaan yang cenderung tak terbatas dan paradoks.

Selama ini ada tiga kelompok atau aliran dalam menyikapi konstitusi. Pertama, kelompok yang ingin mengembalikan UUD 1945 sebagaimana aslinya. Kelompok ini secara otomatis tidak menginginkan adanya amandemen apalagi sosialisasi hasil amandemen sebagaimana dilakukan oleh anggota MPR saat ini.

Kedua, kelompok yang menganggap amandemen sudah selesai dan kini waktunya sosialisasi hasil amandemen sehingga dapat dipahami oleh seluruh warga negara.

Ketiga, kelompok yang masih menganggap perlu amandemen tambahan. Hal ini diajukan oleh mereka yang merasa tidak terapresiasi dalam konstitusi seperti yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait perluasan wewenangnya.

Paradoks Sakralisasi
Ketiga kelompok tersebut ketika ditempatkan secara diametral sedikit banyak mengganggu proses pembumian konstitusi. Bahkan akan menjebak konstitusi tetap berada dalam sakralitasnya yang tidak berpijak pada realitas. Kelompok-kelompok tersebut, khususnya kelompok pertama dan ketiga, akan menyebabkan konstitusi berada dalam ambigu. Kelompok pertama yang jelas-jelas menolak terhadap amandemen menjadi ganjalan sekaligus menghambat proses sosialisasi konstitusi. Sementara kelompok ketiga bisa mementahkan proses amandemen yang sudah ada sekaligus dapat menyebabkan kerancuan pemahaman masyarakat terhadap konstitusi.

Yang menjadi korban atas perseteruan antara yang pro dan kontra amandemen konstitusi adalah masyarakat. Sosialisasi UUD hasil amandemen sesungguhnya dapat mendekatkan masyarakat terhadap konstitusi. Namun paradoksalitas paradigma di kalangan elit terkait eksistensi konstitusi menyebabkan konstitusi semakin tak tersentuh.

Problem kultural juga menjadi bagian yang tidak kalah problematisnya dalam masalah sosialisasi konstitusi. Masyarakat kita sudah terlanjur menjadikan UUD sebagai realitas yang mewah sekaligus sakral dan hanya menjadi konsumsi para elit politik. Sementara rakyat hanya menjadi obyek konstitusi. Konsekuensinya konstitusi terkesan lebih sebagai belenggu daripada tatacara hidup bernegara secara beradab. Kondisi ini tentu tidak terlepas dari represi kesadaran masa lalu yang memang menempatkan UUD layaknya “kitab suci” yang penuh ancaman. Masyarakat hanya diberi ruang untuk meyakini, bukan memahami.

Akumulasi dari perlakuan terhadap UUD yang menyimpang tersebut menyebabkan hancurnya aturan main masyarakat. Masyarakat atas nama otonomi dan kebebasan merasa berhak untuk berkreasi membuat konstitusi-konstitusi baru. Tumbuh suburnya peraturan daerah (Perda) yang “bersimpangan” dengan fondasi kenegaraan yang beragam menjadi salah satu bukti matinya konstitusi berhadapan dengan otonomi masyarakat lokal. Kenyataan ini merupakan potret nyata dari distorsi dan deviasi pemahaman elit politik lokal terhadap UUD sebagai landasan kebangsaan yang mengayomi seluruh anak bangsa.

Reformasi Simbolik
Kalau kita lihat secara jernih, akar kompleksitas responsi terhadap eksistensi konstitusi adalah tidak tersedianya pijakan kultural. Konstitusi sebagai simbol ekspresi nilai-nilai kebangsaan terdistorsi oleh sikap para elit yang lebih mengedepankan agenda politik daripada agenda kebangsaan. Kaum politisi yang bertanggungjawab atas kesadaran politik kebangsaan, justru meletakkan dirinya dalam sekat-sekat kepentingan politik praktis.

Keberadaan perda-perda syariat (keagamaan) di beberapa daerah menandakan pergulatan reformasi masih berhenti pada tataran simbolik. Perubahan sebagai bagian dari agenda reformasi berhenti pada amandemen konstitusi. Akibatnya perubahan sejati tak pernah terjadi. Paling tidak amandemen konstitusi belum mampu dipahami oleh pelbagai aparat yang seharusnya bertanggungjawab atas penegakan konstitusi dan nilai kebangsaan.

Di sinilah rekonstruksi kebangsaan harus dilakukan secara komprehensif melalui sinergi kultural dan struktural sekaligus. Penyakit yang terlanjur menyerang seluruh organ bangsa ini, baik berupa korupsi maupun politik primordial, tidak harus diselesaikan dengan mengamputasi seluruhnya. Karena kalau itu dilakukan berarti kita bunuh diri. Untuk itu perlu dilakukan detoksifikasi (meminjam istilah pengobatan secara internal) sekaligus rehabilitas bangunan sosial.

Amandemen merupakan bentuk paling sederhana rehabilitasi ranah struktural. Sementara detoksifikasi perlu dilakukan pada ranah kultural sehingga ada sinergi antara sistem yang baik dengan landasan budaya yang baik pula. Dalam paradigma sosial Peter L. Berger, konstitusi memerlukan internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi, sehingga segala bentuk perubahan mampu menjadi pijakan yang menggerakan seluruh tatanan kehidupan berbangsa. Selama berbagai aspek kehidupan bersimpang jalan, maka sepanjang itu pula reformasi mengalami involusi. Jadinya, kita selalu berada dalam historia sekaligus euforia yang tak jelas juntrungnya dan menyebabkan transisi reformasi menjadi tak pasti.*
Opini

Solidaritas Politik di Negeri Bencana
Koran Tempo, Jum’at 21 Juli 2006

A. Bakir Ihsan

Bencana telah menjadi bagian dari nafas kita. Longsor, banjir, tsunami, dan gempa bumi seperti tak hendak berhenti. Bencana alam menjadi pelengkap dari rangkaian bencana sosial baik politik, ekonomi, hukum, maupun budaya yang tak kunjung usai. Pelbagai teori dan paradigma runtuh tak berdaya mendiagnosa kedua bencana tersebut. Secara nalar tak ada relasi antara bencana alam dan bencana sosial. Namun dampaknya sama. Ada korban nyawa, harta, dan keluarga.

Selama ini terjadi diskriminasi paradigmatik terhadap kedua bencana –alam dan sosial—tersebut. Paling tidak respon dan solidaritas yang muncul dari kedua bencana itu sangatlah berbeda. Bencana alam selalu menghadirkan solidaritas kemanusiaan universal. Bencana alam mengantarkan manusia pada kesadaran fitrinya sebagai sosok yang dermawan, peduli, dan begitu simpati. Segala sekat kepentingan mencair dan menyatukannya dalam satu rasa; prihatin, duka, dan lara.

Sementara bencana sosial melahirkan solidaritas terbatas. Kebersamaan atas nama kemanusiaan maupun kebangsaan justru tercerai berai mengikuti kepentingan yang segmented, eksklusif, dan sempit. Masing-masing kelompok merasa paling benar sehingga saling menyalahkan serta melempar tanggung jawab pada pihak lain. Akibatnya sepanjang bencana sosial berlangsung, carut marut wacana dan pertarungan kepentingan begitu semarak yang justru memperlemah pilar rehabilitasi bencana itu sendiri.

Lebih Eksesif
Kalau ditelaah secara jernih bencana sosial memiliki dampak yang jauh lebih eksesif dibandingkan bencana alam. Kerusakan infrastruktur akibat bencana alam bisa direkonstruksi dalam hitungan waktu. Namun kerusakan akibat bencana sosial membutuhkan regenerasi bagi upaya pemulihannya. Orde Baru yang terlanjur menciptakan sistem totaliter dengan ekonomi yang sarat KKN belum mampu diselesaikan dalam satu windu reformasi. Sementara untuk rekonstruksi bencana alam seperti tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam yang terjadi tahun lalu, kini mulai memasuki tahap penyempurnaan.

Melihat kenyataan tersebut, perlu rekonstruksi paradigma dalam pembacaan terhadap bencana, sehingga bisa menumbuhkan solidaritas yang sama. Bahkan bencana sosial seharusnya memunculkan solidaritas yang lebih intens karena dampaknya yang lebih eksesif dan destruktif. Sehingga langkah-langkah recovery bagi problem kebangsaan (bencana sosial) yang sampai saat ini masih jauh panggang dari api dapat teratasi.

Hancurnya solidaritas dalam bencana sosial disebabkan oleh lemahnya landasan kebangsaan di satu sisi dan kuatnya ambisi politik di sisi yang lain. Masing-masing melihat persoalan ekonomi, politik, hukum, dan budaya sebagai alat merengkuh kekuasaan, sehingga bencana bukan untuk direhabilitasi tapi dieksploitasi. Kekuasaan tidak dipahami sebagai media artikulasi dan agregasi kepentingan seluruh anak negeri. Konsekuensinya terjadi persaingan abadi antara kompetitor kekuasaan khususnya terhadap pemenang pemilu. Tidak heran apabila SBY menengarahi adanya gerakan lawan politiknya yang kalah dalam Pilpres 2004 untuk menghambat laju kepemimpinannya.

Inilah problem kebangsaan kita saat ini sehingga menghambat langkah-langkah recovery dan perwujudan agenda-agenda reformasi. Kuatnya kepentingan kelompok (vested interest) dan obsesi untuk menempatkannya di atas kepentingan kelompok lain semakin memperpanjang masa emergency bencana sosial kita.

Sekat-Sekat Politik
Depolitisasi yang dipasarkan Orde Baru ternyata berbuah antusiasme politik di masa reformasi. Hampir semua kekuatan terseret dalam gelombang politisasi. Antusiasme politik ini bisa dilihat dalam dua fakta. Pertama, kuatnya perebutan kekuasaan. Pemilu menjadi ajang paling absah untuk meraih kekuasaan. Dan secara faktual terlihat bagaimana persaingan sengit bahkan mengarah pada pembunuhan karakter (character assassination) seakan dihalalkan demi kekuasaan. Kenyataan ini berdampak pada fakta kedua, yaitu kuatnya politisasi. Euforia politik mengarah pada politisasi yang lebih didasari kepentingan kelompok. Konsekuensinya semua elemen kehidupan ditarik ke dalam pertarungan politis demi keuntungan-keuntungan politis kelompoknya. Bahkan persoalan gempa bumi di Yogyakarta pun dieksploitasi demi kepentingan politik dengan mempersoalkan, misalnya, kehadiran SBY di Yogyakarta, perbedaan jumlah korban, sampai isu ketidakseriusan pemerintah merehabilitasi korban bencana. Padahal substansi persoalannya adalah bagaimana para korban dapat dibantu dan dipulihkan secepat mungkin. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa politik lebih dipahami sebagai ekspresi kebebasan untuk meraih profit politis bagi kelompoknya dengan mengabaikan konteks.

Menguatnya dua kecenderungan euforia politik di atas merupakan konsekuensi logis dari belum adanya pijakan kultural yang kuat untuk berdemokrasi. Landasan yang ada adalah nilai-nilai otoritarianisme dan totalitarianisme yang mendorong masing-masing kelompok menghegemoni kelompok lainnya. Konsekuensinya, agenda-agenda recovery bagi problem sosial baik di bidang ekonomi, politik, hukum, dan budaya terabaikan.

Di tengah tersedia prosedur-prosedur demokrasi dan membludaknya para pakar dan cerdik cendekia, idealnya beragam bencana sosial dapat diretas sehingga secara bersama-sama memberikan solusi bukan politisasi yang berbuah intimidasi dan tindak anarki.

Politisasi telah mempertebal pengelompokan kepentingan yang bermuara pada sekat-sekat sosial yang dibangun berdasarkan emosionalitas kelompok. Kontrol terhadap kekuasaan tidak berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang obyektif dan akurat, tapi lebih untuk mendelegitimasi kekuasaan dengan memobilisasi emosi massa. Konsekuensinya pertempuran kritik tanpa akhir antar elit mengalir sepanjang reformasi. Semakin hari reformasi semakin banyak melahirkan politisi yang apriori dan mengalienasi solidaritas sosial.

Kenyataan ini sungguh paradoks dengan keberhasilan masyarakat menyelenggarakan demokrasi langsung (direct democracy), baik pada Pilpres maupun Pilkada. Apabila fenomena ini dibiarkan akan menghancurkan keadaban politik yang pluralis dan inklusif. Politisi akan mengendalikan demokrasi dan masyarakat terus dijadikan kuda troya kaum elit. Inilah demokrasi yang oleh Olle Tornquist disebut sebagai demokrasi kaum penjahat (bad guy democracy). Yaitu demokrasi yang digerakkan oleh segerombolan orang yang mencampakkan nilai-nilai demokrasi.

Solidaritas Politik
Salah satu keputusan penting pertemuan Senior Official Meeting (SOM) atau pertemuan pejabat senior setingkat menteri, KTT Asia Afrika 2005 adalah terbentuknya solidaritas politik (political solidarity). Sebuah semangat merangkai beragam kepentingan politik untuk menjawab tindak kekerasan politik dan pelanggaran HAM yang marak belakangan ini. Keputusan ini tentu berdasarkan realitas politik yang memperlihatkan kuatnya politik kepentingan yang justru memupus efektivitas penyelesaian agenda kemanusiaan di masing-masing negara.

Solidaritas politik tidak berpretensi menyeragamkan kepentingan, tapi mengefektifkan perjuangan. Transisi reformasi menyediakan ruang berseminya beragam kepentingan yang dapat efektif apabila berada dalam sinergi kebersamaan yang teraktualisasi dalam bentuk solidaritas. Agenda tersebut tentu tidak bisa dijalankan di atas antagonisme politik dan di atas landasan politik negara yang rapuh. Indonesia yang secara politik sudah memenuhi standar formal demokrasi idealnya dapat mendorong tumbuhnya solidaritas politik yang pada akhirnya akan memacu proses pendalaman demokrasi (a deepening of democracy).

Bencana alam telah mengajari kita tentang pentingnya solidaritas kemanusiaan yang meretas sekat-sekat dan simbol-simbol sosial. Sementara bencana sosial justru mempertebal sekat-sekat massa dan membentuk ruang solidaritas kelompok berdasarkan kesamaan kepentingan. Di sinilah penguatan solidaritas politik menjadi sangat signifikan. Yaitu sebuah upaya mensinergikan (bukan menfusikan) seluruh kekuatan politik untuk memperkuat landasan partisipasi masyarakat bagi perbaikan tatanan kehidupan bernegara. Tanpa solidaritas politik, negara tidak akan mampu bekerja secara maksimal. Negara akan selalu disibukkan oleh langkah-langkah politiking, seperti ancaman impeachment dan percepatan pemilu, yang menjadi wacana dan agenda kaum politisi di Senayan maupun politikus lain yang tak pernah puas sebelum kekuasaan direngkuhnya. Inilah nasib solidaritas politik di negeri seribu bencana.*

Monday, July 17, 2006

Opini

Urgensi Dialog Antarmedia
Republika, Senin 17 Juli 2006

A Bakir Ihsan

Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg, menggagas penyelenggaraan Global Inter-Media Dialogue atau Dialog Antarmedia Global. Sebuah forum yang berupaya merangkai beragam perspektif dan pengalaman praktisi media massa dunia dalam memotret dan menyajikan sebuah fakta ke ranah media massa. Menurut rencana forum ini akan dihadiri 82 tokoh-tokoh media utama 40 negara dari Asia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, Amerika Serikat, dan Amerika Latin.

Forum ini sebenarnya merupakan aktualisasi dari gagasan SBY yang dilontarkannya tak lama setelah mencuatnya kontroversi pemuatan kartun Nabi Muhammad di media Denmark, Jyllands-Posten. Ide ini diilhami oleh forum dialog antariman (interfaith dialogue) yang sering diselenggarakan oleh lembaga-lembaga keagamaan dan dianggap cukup efektif. Namun yang menarik dari dialog antarmedia ini adalah bahwa peran media selama ini tidak hanya menjadi corong berita, namun telah sampai pada penciptaan citra.

Peran media massa sebagai pencipta citra tak diragukan. Survei The Media Center, BBC, dan Reuters pada Mei 2006 di sepuluh negara, termasuk Indonesia, mendapati media lebih dipercaya daripada pemerintah. Peran signifikan ini dapat menyebabkan eksistensi media dalam dua wajah yang paradoks. Dari pencitraan media, konflik bisa lahir, tapi kedamaian juga bisa hadir. Kasus kartun Nabi Muhammad yang dilansir media massa Barat telah menyulut amarah umat Islam di penjuru dunia. Namun berkat media massa pula ulah Zinedine Zidane yang menyeruduk Marco Materazzi dalam final Piala Dunia 2006 mendapat simpati.

Melihat peran strategis media, tak heran bila kedua pemimpin menaruh harapan cukup besar terhadap peran media massa internasional. Paling tidak media dapat mendorong tumbuhnya toleransi tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi, sehingga lahir harmoni. Bukti pengakuan SBY bahwa media sangat menentukan tata interaksi sosial baik pada tataran nasional maupun global adalah responsinya terhadap pemuatan karikatur Nabi Muhammad melalui artikelnya, ''Let's Try to Get Beyond Caricatures'', yang dimuat harian International Herald Tribune (10 Februari 2006).

Media dan civil society
Dialog antarmedia merupakan pengejawantahan dari tradisi media massa yang selalu menyediakan ruang check and balances. Kalau selama ini media mampu menjadi lembaga yang menyediakan ruang hak jawab --walaupun terkadang tidak proporsional-- maka dialog ini lebih mengedepankan kesamaan persepsi tanpa adanya dominasi. Kalau selama ini media menjadi lembaga yang cukup dominan bahkan hegemonik dalam simulakra wacana, maka dialog ini menarik garis lurus dan sejajar tentang pentingnya kesamaan persepsi untuk memperkuat civil society, demokrasi, dan perdamaian.

Tidak adanya kesamaan persepsi tentang civil society telah menyebabkan media massa terbuai dalam kebebasan yang justru kontraproduktif bagi penegakan civil society. Kontroversi kartun Nabi Muhammad menunjukkan ada perbedaan persepsi tentang kebebasan berekspresi yang justru berdampak pada mencuatnya tindakan anarki. Dalam batas-batas inilah dialog menjadi sangat signifikan apalagi bagi media yang sangat impresif dalam membentuk wacana dalam masyarakat. Lebih dari itu, dialog antaramedia dari berbagai negara ini dapat menjadi ajang sharing nilai-nilai dan budaya yang bisa jadi berbeda, sehingga melahirkan perspektif berbeda pula dalam memotret fenomena sosial. Itulah sebabnya tingkat representasi keterwakilan pelbagai negara dalam dialog ini menjadi cukup penting. Dengan semakin melibatkan banyak unsur dalam dialog, maka kualitas dialog makin representatif. Paling tidak, representasi tersebut dapat memperkecil kesenjangan pemahaman antarmedia massa yang ada di dunia.

Dialog antarmedia ini dapat meretas sekat-sekat kreativitas yang terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang realitas. Belum lagi tingkat hegemoni media massa Barat yang sering menjadi referensi pengetahuan dunia berkembang tanpa reserve. Paling tidak dialog ini dapat meminimalisasi anarkisme dalam segala bentuknya. Baik akibat misunderstanding terhadap wacana yang disebarkan oleh media massa maupun akibat informasi yang diproduksi secara provokatif dan diskriminatif.

Misi profetis
Media tidak bisa dibaca sebagai 'kekuatan liar' dengan segudang idealisme. Media massa tetap sarat dengan kepentingan dan keberpihakan. Dalam konteks dialog antarmedia, keberpihakan pada penguatan civil society merupakan bagian dari misi profetis media. Tanpa keberpihakan pada civil society, media hanya berjuang untuk kepentingan eksistensi dirinya. Padahal eksistensi media tidak bisa dilepaskan dari eksistensi masyarakat. Mencari titik temu persepsi melalui dialog, baik pada tataran budaya, politik, ekonomi maupun lainnya antarmedia massa tidak berarti mematikan keragaman perspektif. Titik temu persepsi hanya dimungkinkan pada tataran ''epistimologi'' sebuah realitas yang dapat mencegah terjadinya distorsi dan deviasi informasi. Pengungkapan kasus korupsi, diskriminasi, dan pelanggaran lainnya harus dilandasi oleh misi profetis yang meletakkan media tidak sekadar sebagai corong berita, namun mampu mengusut tuntas secara informatif terhadap pelbagai kasus pelanggaran.

Banyak contoh yang memperlihatkan peran profetis pers yang berhasil membongkar kebobrokan sebuah sistem atau birokrasi pemerintahan. Bahkan tidak jarang media massa ikut andil dalam pelengserean sebuah kekuasaan. Peran inilah yang meletakkan media massa sebagai watch dog yang terus membuat gelisah para pelaku korupsi atau pelanggaran lainnya. Di tengah pasar informasi yang begitu eksesif bahkan cenderung massif, peran profetis ini bisa jadi tergusur oleh pragmatisme publik. Keseriusan media massa dalam menginvestigasi sebuah fakta bisa jadi menjemukan pembaca. Kejenuhan dan kejemuan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya karena apatisme masyarakat terhadap penyelesaian problema sosial yang diangkat oleh media. Oleh sebab itu, partisipasi lembaga-lembaga terkait menjadi sangat signifikan bagi aktualisasi misi profetis media massa.

Persoalannya kemudian, adakah kehendak untuk memperkuat misi profetis media massa? Pertanyaan ini harus dijawab secara holistik dan komprehensif, sehingga tidak terjadi upaya lempar batu sembunyi tangan. Namun melihat komitmen Presiden SBY khususnya dalam upaya membangun dialog antarmedia internasional bagi penguatan civil society (masyarakat berkeadaban), maka kini kartu truf ada pada media massa dan masyarakat pembaca. Apakah media massa akan dibiarkan sekadar sebagai alat resonansi dan corong informasi yang merayakan sensasi, atau sebagai kekuatan yang berpihak pada demokrasi dan civil society.
Opini

Hak Pilih TNI & Api Politik SBY
Seputar Indonesia, Senin 17 Juli 2006

A. Bakir Ihsan

TNI seperti mata air yang tak pernah habis diwacanakan. Hal ini tidak terlepas dari ekspektasi masyarakat terhadap TNI dan sepak terjang TNI itu sendiri. Paling tidak ada dua isu penting yang belakangan mencuat terkait dengan “nasib” TNI, yaitu hak pilih dan penemuan senjata di rumah petinggi TNI. Keduanya fenomena ini dapat dijadikan variabel yang saling terkait untuk memotret sosok TNI ke depan. Paling tidak fakta penumpukan senjata oleh oknum TNI dapat dijadikan potret kecil carut marut TNI dalam “mengendalikan” anggotanya.

Wacana tentang hak pilih mengkristal dalam dua mainstream yang berkutat pada persoalan waktu. Pertama, sebagian politisi di Senayan menginginkan TNI dapat menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2009. Alasannya karena secara konstitusi mereka dijamin untuk menggunakan hak pilihnya. Kedua, beberapa pejabat terkait dengan TNI, seperti Menhan, Juwono Sudarsono dan Gubernur Lemhanas, Muladi menginginkan TNI menggunakan hak pilihnya pada pemilu dua atau tiga periode berikutnya. Alasannya lebih pada persoalan kultur TNI yang dianggapnya belum siap, terutama dengan ditemukannya penumpukan senjata. (Sindo,14/7/06). Lalu bagaimana sikap TNI?

Walaupun Panglima TNI Djoko Suyanto menyatakan masih menunggu hasil kajian internal TNI untuk menentukan hak pilih TNI, namun secara de jure TNI tidak bisa melepaskan diri dari kehendak sipil sebagai bagian dari manifestasi supremasi sipil. Tidak heran apabila TNI mengikuti irama yang ditabuh oleh sipil. Kini kartu truf ada di tangan sipil untuk melihat secara jernih sebelum menentukan “nasib” TNI baik secara politik maupun budaya.

TNI dan Birokrasi
Reproduksi wacana hak pilih TNI menunjukkan bahwa TNI masih menjadi kekuatan strategis di alam reformasi ini. Bahkan Presiden SBY sedari awal mewanti-wanti pada Panglima TNI saat pelantikannya agar TNI tidak bermain api politik. Pernyataan ini menyiratkan dua makna. Pertama, TNI harus mampu berdiri di atas semua kelompok dan golongan. Kedua, politik praktis akan selalu memunculkan pengelompokan-pengelompokan yang dapat mengancam netralitas TNI.

Namun kalau dilihat secara kelembagaan, TNI sama dengan birokrasi yang dalam sejarahnya sama-sama pernah menjadi kuda troya kekuasaan. TNI menjadi alat represi penguasa untuk kepentingan status quo, sementara birokrasi menjadi mesin hegemoni partai penguasa. Keduanya sama-sama memiliki hirarki, struktur, dan kelembagaan yang sistemik dengan tingkat komando sesuai hirarki strukturalnya.

Birokrasi dan TNI sama-sama memiliki sejarah kelam akibat kekuasaan. Namun seiring dengan bergulirnya reformasi, kedua lembaga tersebut bermetamorfose sesuai angin reformasi. Birokrasi melepaskan baju politik kekuasaannya seiring dengan depolitisasi birokrasi yang memberikan kebebasan memilih bagi seluruh aparat birokrasi. Bahkan baju korpri pun harus ganti, karena dianggap masih menyisakan warna politik Orde Baru.

Begitu pun TNI. Angin reformasi telah memaksanya untuk memeloroti baju politiknya. Bahkan gurita bisnis yang telah lama digelutinya harus diamputasi. Reposisi dan reformasi TNI merupakan buah pergulatan yang memaksa TNI menguburkan segala hasrat politiknya. Mereka keluar dari lembaga legislatif lebih awal dari rencana semula dan mulai merestrukturisasi bisnisnya untuk kemudian diserahkan pada negara. Bahkan dunia internasional memuji langkah TNI yang serius mereformasi diri, sehingga mereka mencabut embargo senjata terhadap Indonesia. Kalau demikian, mengapa TNI sering dianggap ancaman tatanan demokrasi di tanah air sehingga harus menunda atau dianggap tidak layak menggunakan hak pilihnya, sementara aparat birokrasi sudah melakukannya seiring dengan bergulirnya reformasi?

Komando sipil
Masalah hak politik (pilih) TNI tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada TNI. Karena reformasi melibatkan banyak pihak. Bahkan sipil merupakan komando utama dari laju reformasi itu sendiri. Dengan kata lain, siap tidaknya TNI menggunakan hak pilihnya tergantung pada kesiapan sipil untuk mengawal peran politik TNI. Sebagaimana Antonio Gramsci bahwa masyarakat merupakan fondasi utama dari eksistensi sebuah negara. Oleh sebab itu tentang apakah TNI layak menggunakan hak pililhnya pada Pemilu 2009, maka tergantung pada bagaimana sipil memperlakukan TNI.

Beberapa masalah krusial yang sering dikhawatirkan atas hak pilih TNI adalah pemanfaatan komando teritorial (koter) bagi mobilisasi politik kekuasaan dan kemungkinan terjadinya perpecahan di tubuh TNI. Kekhawatiran ini sah-sah saja, karena dari pengalaman yang lalu TNI menjadi alat politik.

Namun kalau melihat peta politik dan kuantitas jumlah anggota TNI yang hanya berjumlah tidak lebih dari 350 ribuan personel, eksistensi hak pilih TNI tidak terlalu signifikan. Apalagi kalau pada pemilu 2009 nanti calon presiden berlatar belakang TNI lebih dari satu orang, seperti pada pemilu lalu, maka jelas suara TNI akan semakin kecil karena terpecah. Dengan kata lain, pilihan politik di lapangan akan mengalami polarisasi sesuai pertimbangan masing-masing anggota TNI. Penggunaan hak pilih bagi TNI bukan atas nama korp TNI, tapi sebagai individu warga bangsa yang punya hak asasi. Ia bisa memilih calon yang berlatar belakang TNI, tapi bisa juga memilih calon sipil, atau bisa jadi tidak menggunakan hak pilihnya.

Kekhawatiran terjadinya politisasi TNI seharusnya bisa ditepis, apabila sipil secara tegas meletakkan dan menegakkan aturan main yang ketat terhadap hak politik TNI. Dengan adanya penegakan aturan tersebut, TNI bisa dikontrol secara maksimal sehingga tercipta, apa yang disebut oleh Morriz Janowitz sebagai, sebuah democratic-competitive. Dan ini bisa dilakukan oleh politisi sipil, khususnya para anggota DPR. Kalau selama ini DPR bisa mengontrol presiden, maka terhadap TNI seharusnya bisa lebih maksimal. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Sipil sering menarik-narik TNI untuk bermain politik. Inilah yang justru patut kita khawatirkan, yaitu inkonsistensi sipil dalam menegakkan aturan main dan mengawal reformasi TNI.

Relokasi politik TNI
Salah satu agenda penting yang harus segera diselesaikan oleh sipil adalah relokasi politik TNI melalui singkronisasi dua UU yang sampai saat ini justru mengambangkan hak-hak politik TNI. Yaitu UU TNI No. 34 Tahun 2004 yang melarang anggota TNI aktif berpolitik praktis dan UU Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 yang memberi kesempatan pada seluruh warga negara termasuk anggota TNI untuk tampil sebagai calon pimpinan daerah. Ambiguitas kedua UU ini bisa menjadi bumerang bagi sepak terjang politik TNI.

Sebagai kompromi, maka sipil seharusnya memberikan jalan sintesis dengan memberikan hak pilih, bukan hak dipilih, bagi anggota TNI sebagai warga negara, bukan sebagai anggota korps. Dan ini harus dituangkan dalam UU baru. Namun sayangnya, sampai saat ini, di tengah wacana hak pilih TNI mulai mereda, belum ada tanda-tanda dari sipil untuk merelokasi politik TNI secara konsisiten dalam bentuk UU.

Realitas tersebut memperlihatkan bahwa persoalan utama politik di negeri ini, termasuk dalam hal pemberian hak pilih bagi TNI adalah masih mengambangnya sikap politik kaum sipil. Reformasi masih dibiarkan sebagai makhluk liar yang bisa dimainkan oleh siapapun, termasuk oleh TNI. Sipil seharusnya membangun demarkasi yang tegas untuk merelokasi ranah TNI sepenuhnya pada wilayah pertahanan. Kalau pun mereka harus diberi hak pilih, harus ada aturan yang ditegakkan secara konsisten bagi implementasi relokasi politik tersebut. Sehingga tidak terjadi politisasi dan mobilisasi terhadap TNI.

Oleh sebab itu, apabila TNI tetap mendapatkan hak pilihnya pada pemilu 2009 nanti, maka anggota TNI harus dipaksa melepaskan seluruh atribut kemiliterannya baik secara struktural maupun kultural dan hanya diberikan hak mencoblos, bukan kampanye. Dan pencoblosan tidak dilakukan di lingkungan TNI, tetapi di rumah masing-masing, sehingga tidak terjadi mobilisasi dan pemaksaan berdasarkan garis komando. Pada titik ini militer harus betul-betul meletakkan dirinya sebagai warga negara biasa. Dan pada wilayah itulah hak politik TNI digunakan. Semua ini perlu payung hukum, sehingga TNI bisa menyesuaikan diri untuk menikmati demokrasi dan terjauh dari api politik sebagaimana diwanti-wanti oleh Presiden SBY. Karena sekali bermain api politik, ia bisa terbakar dan mengubur reformasi yang telah dirintisnya.*