Monday, July 17, 2006

Opini

Urgensi Dialog Antarmedia
Republika, Senin 17 Juli 2006

A Bakir Ihsan

Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg, menggagas penyelenggaraan Global Inter-Media Dialogue atau Dialog Antarmedia Global. Sebuah forum yang berupaya merangkai beragam perspektif dan pengalaman praktisi media massa dunia dalam memotret dan menyajikan sebuah fakta ke ranah media massa. Menurut rencana forum ini akan dihadiri 82 tokoh-tokoh media utama 40 negara dari Asia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, Amerika Serikat, dan Amerika Latin.

Forum ini sebenarnya merupakan aktualisasi dari gagasan SBY yang dilontarkannya tak lama setelah mencuatnya kontroversi pemuatan kartun Nabi Muhammad di media Denmark, Jyllands-Posten. Ide ini diilhami oleh forum dialog antariman (interfaith dialogue) yang sering diselenggarakan oleh lembaga-lembaga keagamaan dan dianggap cukup efektif. Namun yang menarik dari dialog antarmedia ini adalah bahwa peran media selama ini tidak hanya menjadi corong berita, namun telah sampai pada penciptaan citra.

Peran media massa sebagai pencipta citra tak diragukan. Survei The Media Center, BBC, dan Reuters pada Mei 2006 di sepuluh negara, termasuk Indonesia, mendapati media lebih dipercaya daripada pemerintah. Peran signifikan ini dapat menyebabkan eksistensi media dalam dua wajah yang paradoks. Dari pencitraan media, konflik bisa lahir, tapi kedamaian juga bisa hadir. Kasus kartun Nabi Muhammad yang dilansir media massa Barat telah menyulut amarah umat Islam di penjuru dunia. Namun berkat media massa pula ulah Zinedine Zidane yang menyeruduk Marco Materazzi dalam final Piala Dunia 2006 mendapat simpati.

Melihat peran strategis media, tak heran bila kedua pemimpin menaruh harapan cukup besar terhadap peran media massa internasional. Paling tidak media dapat mendorong tumbuhnya toleransi tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi, sehingga lahir harmoni. Bukti pengakuan SBY bahwa media sangat menentukan tata interaksi sosial baik pada tataran nasional maupun global adalah responsinya terhadap pemuatan karikatur Nabi Muhammad melalui artikelnya, ''Let's Try to Get Beyond Caricatures'', yang dimuat harian International Herald Tribune (10 Februari 2006).

Media dan civil society
Dialog antarmedia merupakan pengejawantahan dari tradisi media massa yang selalu menyediakan ruang check and balances. Kalau selama ini media mampu menjadi lembaga yang menyediakan ruang hak jawab --walaupun terkadang tidak proporsional-- maka dialog ini lebih mengedepankan kesamaan persepsi tanpa adanya dominasi. Kalau selama ini media menjadi lembaga yang cukup dominan bahkan hegemonik dalam simulakra wacana, maka dialog ini menarik garis lurus dan sejajar tentang pentingnya kesamaan persepsi untuk memperkuat civil society, demokrasi, dan perdamaian.

Tidak adanya kesamaan persepsi tentang civil society telah menyebabkan media massa terbuai dalam kebebasan yang justru kontraproduktif bagi penegakan civil society. Kontroversi kartun Nabi Muhammad menunjukkan ada perbedaan persepsi tentang kebebasan berekspresi yang justru berdampak pada mencuatnya tindakan anarki. Dalam batas-batas inilah dialog menjadi sangat signifikan apalagi bagi media yang sangat impresif dalam membentuk wacana dalam masyarakat. Lebih dari itu, dialog antaramedia dari berbagai negara ini dapat menjadi ajang sharing nilai-nilai dan budaya yang bisa jadi berbeda, sehingga melahirkan perspektif berbeda pula dalam memotret fenomena sosial. Itulah sebabnya tingkat representasi keterwakilan pelbagai negara dalam dialog ini menjadi cukup penting. Dengan semakin melibatkan banyak unsur dalam dialog, maka kualitas dialog makin representatif. Paling tidak, representasi tersebut dapat memperkecil kesenjangan pemahaman antarmedia massa yang ada di dunia.

Dialog antarmedia ini dapat meretas sekat-sekat kreativitas yang terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang realitas. Belum lagi tingkat hegemoni media massa Barat yang sering menjadi referensi pengetahuan dunia berkembang tanpa reserve. Paling tidak dialog ini dapat meminimalisasi anarkisme dalam segala bentuknya. Baik akibat misunderstanding terhadap wacana yang disebarkan oleh media massa maupun akibat informasi yang diproduksi secara provokatif dan diskriminatif.

Misi profetis
Media tidak bisa dibaca sebagai 'kekuatan liar' dengan segudang idealisme. Media massa tetap sarat dengan kepentingan dan keberpihakan. Dalam konteks dialog antarmedia, keberpihakan pada penguatan civil society merupakan bagian dari misi profetis media. Tanpa keberpihakan pada civil society, media hanya berjuang untuk kepentingan eksistensi dirinya. Padahal eksistensi media tidak bisa dilepaskan dari eksistensi masyarakat. Mencari titik temu persepsi melalui dialog, baik pada tataran budaya, politik, ekonomi maupun lainnya antarmedia massa tidak berarti mematikan keragaman perspektif. Titik temu persepsi hanya dimungkinkan pada tataran ''epistimologi'' sebuah realitas yang dapat mencegah terjadinya distorsi dan deviasi informasi. Pengungkapan kasus korupsi, diskriminasi, dan pelanggaran lainnya harus dilandasi oleh misi profetis yang meletakkan media tidak sekadar sebagai corong berita, namun mampu mengusut tuntas secara informatif terhadap pelbagai kasus pelanggaran.

Banyak contoh yang memperlihatkan peran profetis pers yang berhasil membongkar kebobrokan sebuah sistem atau birokrasi pemerintahan. Bahkan tidak jarang media massa ikut andil dalam pelengserean sebuah kekuasaan. Peran inilah yang meletakkan media massa sebagai watch dog yang terus membuat gelisah para pelaku korupsi atau pelanggaran lainnya. Di tengah pasar informasi yang begitu eksesif bahkan cenderung massif, peran profetis ini bisa jadi tergusur oleh pragmatisme publik. Keseriusan media massa dalam menginvestigasi sebuah fakta bisa jadi menjemukan pembaca. Kejenuhan dan kejemuan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya karena apatisme masyarakat terhadap penyelesaian problema sosial yang diangkat oleh media. Oleh sebab itu, partisipasi lembaga-lembaga terkait menjadi sangat signifikan bagi aktualisasi misi profetis media massa.

Persoalannya kemudian, adakah kehendak untuk memperkuat misi profetis media massa? Pertanyaan ini harus dijawab secara holistik dan komprehensif, sehingga tidak terjadi upaya lempar batu sembunyi tangan. Namun melihat komitmen Presiden SBY khususnya dalam upaya membangun dialog antarmedia internasional bagi penguatan civil society (masyarakat berkeadaban), maka kini kartu truf ada pada media massa dan masyarakat pembaca. Apakah media massa akan dibiarkan sekadar sebagai alat resonansi dan corong informasi yang merayakan sensasi, atau sebagai kekuatan yang berpihak pada demokrasi dan civil society.

No comments: