Tuesday, October 08, 2013

The APEC Summit 2013



Opini


Konektivitas dan Tantangan Geopolitik
SUARA PEMBARUAN, Selasa, 8 Oktober 2013


A. Bakir Ihsan

Forum-forum pertemuan  antar negara dalam irisan geopolitik menjadi semakin urgen seiring krisis yang tak kenal kelas dan batas teritori. Krisis tidak lagi merambah sektor-sektor tertentu, tapi hampir merengkuh seluruh dimensi kehidupan dan kemanusiaan. Mulai krisis moral sampai finansial, kultural sampai struktural. Karena itu, tema-tema yang digagas dalam forum-forum internasional selalu bersentuhan pada masalah kemanusiaan. Dalam KTT APEC 2013 di Bali (1-8/10), misalnya, walaupun fokus utamanya pada pertumbuhan ekonomi (Resilient Asia-Pacific – Engine of Global Growth), namun penekanannya tetap pada bagaimana ekonomi bisa tumbuh inklusif dan dinikmati banyak orang atau negara.  Bagitu juga dalam KTT ASEAN di Brunei Darussalam (9-10/10), mengusung tema besar; Our People, Our Future Together.
Sulit dimungkiri, pertumbuhan ekonomi sebagian negara berhadapan dengan adanya kesenjangan, bahkan krisis di negara lainnya. Begitu juga pada level internal negara. Pertumbuhan masih menyisakan kesenjangan yang bila tidak dikelola dengan baik bisa mengancam terhadap pertumbuhan itu sendiri. Ada kelas, ada diskriminasi yang memicu disharmoni, konflik, bahkan kekerasan yang disulut oleh ketaksetaraan dan kesenjangan. Karena itu, dalam pembukaan The APEC CEO Summit 2013 di Bali, Presiden SBY menekankan kembali pentingnya keberlanjutan pembangunan, kesinambungan pertumbuhan bersama pemerataan, dan konektivitas (promoting connectivity).

Agenda Konektivitas
Sejatinya konektivitas tak menjadi kendala di tengah perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih dan menyebar. Relasi antar negara semakin tak berbatas. Begitu pun pada level kehidupan nasional (internal negara). Teknologi informasi mendekatkan jarak, meretas sekat, bahkan pada titik tertentu mengakrabkan semua pihak. Namun dalam praktiknya, dukungan teknologi tak selalu berkelindan dengan meningkatnya konektivitas. Relasi antar warga negara (people to people) belum mampu mengintimasi interaksi baik secara ekonomi maupun integrasi kebersamaan lainnya. Penekanan Presiden SBY pada urgensi konektivitas dan pertumbuhan dengan pemerataan menunjukkan masih terjalnya jalan menuju ke arah tersebut.
Pada level global, terjadinya tindak kekerasan dan disparitas dalam skala pertumbuhan ekonomi memperkuat belum optimalnya konektivitas antar negara. Ego sentrisme negara berdasarkan sejarah maupun tingkat kemajuannya menjadi kendala tersendiri bagi percepatan konektivitas. Hal ini memicu dampak domino berupa superioritas negara tertentu atas negara lainnya. Pada level struktural, dominasi dan hak istimewa negara tertentu di organisasi setingkat PBB membuktikan diskonektivitas. Tak berlebihan apabila beberapa kepala negara, seperti Indonesia dan China, mengkritik terhadap konstruk struktur organisasi PBB yang timpang, memberikan keistimewaan pada negara tertentu tanpa kontrol.
Pada level internal negara, korupsi dan ulah birokrasi yang mengedepankan komisi, ikut menghambat konektivitas sekaligus memperlambat tumbuhnya investasi. Apalagi dengan adanya kasus keterlibatan pemimpin lembaga negara sekelas Mahkamah Konstitusi dalam korupsi, kepercayaan, sebagai lahan subur investasi, semakin terancam dan menyusut. Karena itu wajar apabila Presiden SBY merasa perlu mengambil langkah “darurat” untuk mengatasinya melalui rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Karena berdasarkan rilis World Bank yang bertajuk Laporan Triwulan Perekonomian Indonesia, Oktober 2013, disebutkan, kebijakan Indonesia sudah berada di jalan yang benar dalam konteks pertumbuhan ekonomi. Dengan meredam defisit  transaksi berjalan, menaikkan suku bunga, hingga mengurangi subsidi BBM merupakan langkah yang akan mendorong pertumbuhan sekaligus menjaga Indonesia dari gejolak eksternal yang bisa melemahkan pertumbuhan PDB Indonesia. Kasus korupsi ketua MK ini dengan sendirinya akan memperkuat asumsi korupsi yang masih menjadi pendegradasi derajat Indonesia di mata internasional. Tidak menutup kemungkinan kasus tersebut melahirkan asumsi domino, khususnya di kalangan pelaku ekonomi, berupa ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga negara lainnya, karena pemimpin lembaga setingkat MK saja korupsi.

Minimalisasi Kesenjangan
Konektivitas menjadi semakin urgen di tengah kesenjangan atau jarak kelas sosial yang masih ada. Kelas sosial mungkin tak bisa dihilangkan. Namun, upaya untuk mendekatkan dan menjadikannya sebagai bagian yang fungsional dalam struktur kehidupan bernegara merupakan sebuah kemestian. Konflik dan kekerasan yang dipicu baik atas nama mayoritarianisme maupun otorisasi yang melamapui batas kewenangannya menunjukkan adanya kesenjangan dan ketidaksetaraan baik secara kultural maupun struktural.
Betapa mahalnya harga ketidaksetaraan, sebagaimana disitir Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Price of Inequality (2012), menyebabkan dunia dan negara tak stabil. Ketidaksetaraan dalam politik dapat memicu kekerasan sekaligus ancaman terhadap sistem demokrasi, karena demokrasi sejatinya menyetarakan semua suara. Dalam ketidaksetaraan dan kesenjangan, demokrasi, demikian Stiglitz, berbuah deviasi dalam segala bentuknya, termasuk money politics. Prinsip “satu orang satu suara” menjadi “satu dolar satu suara” (one person one vote menjadi one dollar one vote). 
Karena itu, upaya pemerataan atau minimalisasi kesenjangan sejatinya menjadi bagian dari ikhtiar bagi terciptanya konektivitas baik pada level antar negara maupun internal negara. Pada level antar negara (geopolitik), upaya ke arah tersebut bisa diperkuat melalui kesamaan sistem, yaitu sistem demokrasi yang semakin mekar khususnya di kawasan Asia Pasifik. Melalui demokrasi, intimasi relasi antar negara semakin terbuka dan setara sebagaimana ruh demokrasi itu sendiri. Sementara pada level internal negara, penguatan demokrasi menjadi prasyarat mutlak bagi semakin terdesaknya segala bentuk deviasi, termasuk perilaku korupsi. Transparansi dan kontrol warga (civil society) pada semua lembaga negara tanpa imun, sebagai bagian dari konektivitas dalam demokrasi, akan semakin menutup celah adanya transaksi politik di antara elit.
Dengan demikian, agenda konektivitas tidak melulu berfokus pada bagaimana pertumbuhan ekonomi terus meningkat. Namun juga, bagaimana pertumbuhan itu insklusif bagi penguatan pemerataan pendapatan untuk semua. Karena sesungguhnya pembangunan, sebagaimana Stiglitz, tak melulu ekonomi (not just transforming economies), tapi juga transformasi kehidupan seluruh rakyat (transforming the lives of people). Semoga.