Tuesday, August 19, 2008


Opini

Menakar Elektabilitas SBY
Jurnal Nasional
, Selasa, 19 Agustus 2008

A. Bakir Ihsan

Menjelang pemilu 2009, bermunculan survei-survei tentang tingkat elektabilitas calon presiden 2009. Dari beberapa survei itu, nama SBY selalu unggul. Tapi belakangan posisi SBY mengalami fluktuasi dalam hasil survei yang dilansir beberapa lembaga survei.

Pada Juli 2008, sebagaimana hasil survei Indo Barometer terjadi degradasi citra SBY dibandingkan sebelumnya. Dari 1.200 responden dalam survei tersebut SBY berada dalam kisaran persentase 19,1 (untuk pertanyaan terbuka) dan 20,7 persen (untuk pertanyaan tertutup) sebagai calon presiden. SBY dalam survei ini berada di bawah Megawati Soekarnoputri.

Pada akhir Juli (28/7), Litbang Kompas melansir hasil jajak pendapat yang dilakukannya pasca kenaikan harga BBM. Ternyata, walaupun tingkat elektabilitas SBY mengalami penurunan dibandingkan sebelumnya, SBY masih jauh berada di atas kandidat presiden lainnya. Responden menyebutkan pilihannya, 45,3 persen memilih SBY sebagai presiden jika pemilu dilaksanakan pada saat ini. Posisi di bawahnya ditempati Sultan Hamengku Buwono X (11,3 persen), dan Megawati Soekarnoputri 10,8 persen.

Sementara pada awal Agustus, Reform Institute mempublikasikan hasil surveinya dan menempatkan SBY dan Megawati sebagai dua nama yang saling bersaing dengan tingkat elektabilitas yang sangat ketat. Yaitu 19,4 persen untuk Megawati dan 19,06 persen untuk SBY.

Hasil survei di atas merupakan gambaran temporal yang dapat berubah, tergantung pada situasi (waktu) dan metodologi penelitian. Karena itu, terlalu dini untuk memastikan nasib politik SBY pada pilpres nanti. Karena itu pula, tepat kiranya keputusan SBY untuk tidak mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden 2009 sampai habis masa jabatannya atau saat masa kontestasi pilpres itu ditabuh oleh KPU.


Distorsi Persepsi
Hasil survei di atas menunjukkan dinamika persepsi dalam mengevaluasi dan menempatkan SBY di tengah transisi dan sistem politik yang lebih berpijak pada aspek prosedural. Bahkan prosedur-prosedur demokrasi pun belum sepenuhnya berjalan maksimal sehingga tak jarang memunculkan anomali-anomali yang mendistorsi persepsi, termasuk persepsi terhadap kinerja SBY.

Salah satu bukti distorsi dan anomali tersebut adalah ambiguitas peran DPR (legislatif) yang sejatinya menjadi pertaruhan aspirasi masyarakat dan kontrol terhadap pemerintah (eksekutif). Namun yang terjadi jauh panggang dari api. Dalam konteks kontrol legislatif terhadap eksekutif misalnya, lebih menonjolkan aspek hegemoni daripada koreksi. Akibatnya sistem presidensial yang dianut negeri ini berada di bawah bayang-bayang otoritas parlemen (legislative heavy) dan hegemoni partai politik.

Dalam kondisi demikian, kinerja pemerintah selalu dihantui oleh "intervensi" DPR yang sarat dengan nuansa politis daripada substansi problem yang dihadapi rakyat. Hal ini pula yang akhirnya berdampak pada citra SBY.

Begitupun partai politik yang lebih mengedepankan kepentingan pragmatisnya daripada komitmennya pada negara. Partai politik yang sejak awal menjadi bagian dari pemerintah, tak jarang memperlihatkan sikap paradoksnya terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Namun di sisi lain, mereka tetap meraup keuntungan politis dari eksistensi kadernya di jajaran kabinet. Paradoksalitas sikap partai politik ini sedikit banyak ikut membuat pincang, paling tidak mengganggu, terhadap maksimalitas kinerja SBY.

Di samping itu, korupsi yang menjalar ke berbagai lembaga semakin merapuhkan moral politik yang sejatinya menjadi akar demokrasi. Dan SBY yang sejak awal menyatakan perang melawan korupsi harus berhadapan dengan lembaga-lembaga yang disesaki oleh para koruptor. Bahkan pilar-pilar pemberantasan korupsi itu sendiri digerogoti oleh korupsi pula. Lihatlah kasus kejaksaan agung, mahmakah agung, dan lembaga wakil rakyat yang berkubang dalam korupsi.

Pada ranah sosial, kebebasan yang semakin terbuka lebar ternyata memacu sebagian kelompok untuk menampakkan eksklusivitasnya atau sebaliknya kebebasan yang melampaui batas aturan yang ada. Melalui klaim kebenaran dan keyakinannya, sekelompok masyarakat merasa tak berdosa untuk mengancam, menyakiti, dan mendiskriminasi kelompok lainnya. Kebebasan ini menyebabkan etika sosial yang plural menjadi hancur. Kekerasan akibat eksklusivitas kelompok maupun dominasi mayoritas menjadi agenda lain yang menambah beban pemerintahan SBY.

Di ranah global, krisis energi dan pangan yang menghantui dunia juga ikut berdampak pada realitas dalam negeri. Kenaikan BBM dengan segala dampak sosialnya merupakan fakta kuatnya relasi krisis global terhadap kehidupan warga negara. Belum lagi bencana yang setia mengiringi perjalanan kepemimpinan SBY. Semua fakta di atas sedikit banyak ikut mendistorsi persepsi sekaligus mendegradasi citra SBY.

Merawat Asa
Dalam kondisi demikian, siapa pun presidennya sulit melepaskan diri dari problem besar yang menggerogoti politik, ekonomi, dan budaya yang masih rapuh ini. Dan akibatnya presiden yang terlanjur menjadi sentral dalam sistem presidensial harus menerima getah dari seluruh bobrok itu. Dan itulah yang ditanggung SBY dari awal sampai menjelang akhir periode kepemimpinannya. Karena itu, tak berlebihan apabila SBY disebut sebagai presiden dalam sistem "presiden-sial."

Namun demikian, tak berarti SBY bisa berapologi untuk membersihkan diri dari karut marut dalam transisi ini. Tingkat ekspektasi (asa) yang begitu tinggi pada awal pemerintahannya dan mengalami degradasi dalam perkembangannya merupakan akumulasi faktor yang juga melibatkan faktor internal pemerintahan yang dipimpinnya.

Dari hasil survei tiga lembaga di atas, sebenarnya SBY masih menyisakan asa untuk mewujudkan ekspektasi yang begitu tinggi di awal terpilihnya. Salah satunya adalah dengan menjawab berbagai fakta yang menyebabkan citranya menurun.

Terkait kenaikan BBM misalnya, SBY atau pemerintah bisa menjelaskan secara transparan dan telanjang dengan bahasa yang terang dan sederhana sehingga masyarakat awam bisa memahaminya. Lebih-lebih dengan adanya hak angket yang sedang digulirkan DPR, SBY memiliki kesempatan yang sangat luas untuk membuktikan bahwa kebijakan menaikkan BBM betul-betul demi rakyat dan negara.

Walaupun citra SBY tak terlepas dari kinerja keseluruhan lembaga-lembaga negara, pada akhirnya citra SBY tetap tergantung pada sejauhmana SBY mampu menjadi "mutiara" di tengah lumpur persoalan yang menggenangi hampir seluruh dimensi kehidupan bangsa ini. Apalagi hasil survei World Public Opinion (Januari-Mei 2008) menempatkan SBY sebagai pemimpin yang dianggap paling mampu menyelesaikan beragam masalah dunia. Bahkan Australian Strategic Policy Institute (ASPI, Mei 2008) menyebutkan Indonesia saat ini sebagai a more democratic and pluralist country. Sebagaimana dilansir Reuters (27/5), Indonesia in 2008 is a stable, competitive electoral democracy, playing a contructive in the regional and broader international community. Inilah jalan yang akan menentukan tingkat elektabilitas SBY menyongsong 2009.

Thursday, August 07, 2008



Opini

Konsistensi & Citra Politik SBY
Seputar Indonesia
, Kamis, 7 Augustus 2008

A. Bakir Ihsan

Keputusan Presiden SBY mempertahankan dua anggota kabinetnya, MS Kaban dan Paskah Suzetta yang diduga terkait aliran dana BI, memunculkan tiga reaksi. Pertama, reaksi yang melihat kebijakan SBY keliru. Presiden seharusnya menonaktifkan atau bahkan memecat kedua menteri tersebut demi integritas pemerintahannya yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, agar tidak terjadi delegitimasi atas pemerintahan SBY.

Kedua, reaksi yang menganggap keputusan SBY untuk tetap mempertahankan kedua menterinya sambil menunggu proses hukum merupakan langkah tepat. SBY harus mengedepankan hukum daripada keputusan politik terhadap kasus yang baru tahap ”disangka”, belum tersangka.

Ketiga, reaksi yang melihat keputusan SBY tidak konsisten dan politis. Alasannya, dalam kasus yang sama SBY mengambil sikap berbeda.SBY pernah mengganti menterinya yang juga ”disangka” terlibat korupsi, yaitu Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin.Terhadap Kaban dan Suzetta, SBY justru mempertahankan keduanya. Karena itu, keputusan SBY tersebut dilihat oleh kelompok terakhir lebih bersifat politis, daripada sebagai upaya penghormatan terhadap proses hukum.

Reaksi tersebut merupakan akumulasi dari opini yang berkembang di saat korupsi makin semarak dan kian mengudara. Melalui media massa, masyarakat disuguhi tontonan yang hampir setiap waktu menyorot tindakan korupsi yang dilakukan oleh para wakil mereka di DPR.Kalau pemberitaan media massa belakangan diperingkat, kasus korupsi ini menempati urutan teratas sejajar dengan kasus pembantaian Verry Idham Henyansyah alias Ryan. Dua berita yang sama-sama memuakkan dan menjijikkan bagi martabat kemanusiaan.

Karena itu pula wajar bila muncul harapan yang begitu besar kepada Presiden SBY untuk mengambil tindakan terhadap menterinya yang ditengarai terlibat korupsi.Walau tuntutan tersebut belum tentu benar secara hukum, tapi secara politik dampaknya bisa cukup signifikan bagi eksistensi citra SBY.

Prerogatif Politik
Secara politik, Presiden SBY sangat berkepentingan agar langkah yang diambilnya berdampak positif. Begitu pun atas kasus dua anggota kabinetnya itu. Sedikit banyak isu tersebut ”mendegradasi” citra SBY. Karenanya keputusan atas isu ini akan menentukan tingkat pencitraan SBY yang sejak awal berkomitmen melawan korupsi.

Secara struktural SBY bisa mengambil tindakan pemecatan atau pergantian atas para pembantunya, walaupun tanpa menunggu proses hukum. Bahkan secara ekstrem Presiden bisa mengganti kabinetnya tanpa alasan terbuka sekalipun. Hal ini sangat dimungkinkan karena pengangkatan dan pemberhentian kabinet sepenuhnya hak prerogatif presiden. Hak prerogatif ini pula yang oleh sebagian pengamat dijadikan dasar asumsi tentang inkonsistensi SBY: mengganti Yusril dan Hamid yang saat itu diterpa isu korupsi sebagaimana dialami Kaban dan Suzetta.

Kalau dilihat secara detail, sebenarnya ada perbedaan antara kedua kasus tersebut.Pergantian Yusril dan Hamid bukan karena kasus yang diisukan atau disangkakan. Langkah itu, sebagaimana disampaikan SBY saat itu, lebih pada upaya ”peningkatan efektivitas dan kinerja kabinet” yang dianggap kurang maksimal. Dengan kata lain, isu miring yang disematkan publik pada Yusril dan Hamid tidak menjadi pertimbangan utama atas reshuffle, tapi lebih pada kinerja yang tidak maksimal. Itu pula yang menjadi landasan reshuffle jilid II yang dilakukan SBY dengan mengganti 7 menteri, termasuk Yusril dan Hamid.

Walau demikian, faktor politik tentu sulit dilepaskan dari kebijakan evaluasi dan pergantian kabinet. Hal itu karena sejak awal Kabinet Indonesia Bersatu ini berdiri di atas koalisi partai dengan pelbagai kepentingannya.

Antara Citra dan Konsistensi
SBY tentu sangat sadar atas keputusan yang dia ambil dengan segala konsekuensinya, termasuk dengan tetap mempertahankan Kaban dan Paskah dalam kabinet.Walaupun publik menghendaki pergantian atau penonaktifan, tapi SBY mengambil sikap ”melawan”.

Ini merupakan kali kedua SBY mengambil kebijakan yang melawan arus. Opini pemberhentian kedua anggota kabinet yang digaungkan oleh para pengamat ternyata dihadapi SBY dengan tetap mempertahankan keduanya. Langkah ini tentu tidak populer. Sama dengan tidak populernya kebijakan menaikkan BBM beberapa waktu lalu.Namun langkah ini membuktikan bahwa SBY tidak terlalu peduli terhadap politik pencitraan (popularitas) yang selama ini sering dituduhkan. Upaya mengedepankan apa yang seharusnya (das sollen) lebih banyak menjadi pertimbangan. Secara politik keputusan tersebut merugikan SBY karena menjadi lahan empuk para pesaingnya untuk mendelegitimasi citranya sebagaimana terjadi dalam kasus kenaikan harga BBM.

Meski demikian, mengambil langkah sebaliknya, mengikuti arus, belum tentu bebas dari pendapat kontra. Apalagi di tengah kondisi politik yang semakinpanas. Sebuah kondisi dimana konstelasi politik bergerak ke segala arah demi pencitraan dan demi kekuasaan. Karena itu langkah yang diambil SBY bisa dimaknai lebih sebagai upaya konsistensi atas penegakan hukum.

Kalau SBY mengambil langkah pemecatan mendahului proses hukum, kontroversi pun akan terus terjadi. Apalagi sejak awal, SBY menekankan kontrak politik pada seluruh anggota kabinetnya. Sehingga bila langkah pemecatan dilakukan tanpa proses hukum, berarti secara sengaja SBY menodai kontrak tersebut demi memenuhi ”kehendak publik.”

Sebagaimana diketahui, dari empat butir kontrak politik Kabinet Indonesia Bersatu, salah satu poinnya terkait korupsi. Poin ketiga menyebut bahwa anggota kabinet berkomitmen untuk tidak melakukan korupsi dan siap diperiksa harta kekayaannya, baik secara berkala maupun insidental. Jika secara hukum dinyatakan bersalah, karena terlibat dalam kasus korupsi, menteri siap mengundurkan diri dan siap menerima sanksi sesuai hukum yang berlaku.

Berdasarkan kontrak politik tersebut, nasib Kaban dan Suzetta saat ini ada di tangan penegak hukum. Karena itu yang harus dikawal saat ini adalah sejauh mana kehendak aparat hukum, seperti KPK, bergerak memproses dugaan korupsi kedua menteri tersebut. Serius tidaknya proses tersebut akan berpengaruh terhadap pencitraan politik SBY. Dengan kata lain, apabila proses hukum berjalan lamban, akan muncul praduga intervensi pemerintah.

Hal tersebut sekaligus menjadi pertaruhan bagi SBY tentang keseriusannya memberantas korupsi yang menjadi salah satu ikon penting dan paling cemerlang selama kepemimpinannya. Inilah politik hukum SBY. Pemanggilan dan keputusan SBY terhadap status kedua menterinya merupakan keputusan politik yang diharapkan dapat meredam kesimpangsiuran opini di tengah masyarakat. Perlu juga diingat, penyerahan pada proses hukum merupakan upaya pembelajaran bahwa politik tidak boleh mengalahkan hukum.

Walaupun hukum tidak bisa dilepaskan dari proses politik, namun ketika ia menjadi keputusan, ia menjadi ketetapan hukum yang harus ditaati semua pihak. Hanya dengan begitu hukum tetap dihormati. Sebaliknya, ketika ketetapan hanya sebatas rangkaian kalimat, penyimpangan demi penyimpangan akan terus terjadi, sebagaimana para kaum legislator (DPR) ”mengabaikan” hasil legislasi yang mereka buat dan mereka sahkan melalui perilaku menyimpang.(*)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/konsistensi-citra-politik-sby.html