Thursday, August 07, 2008



Opini

Konsistensi & Citra Politik SBY
Seputar Indonesia
, Kamis, 7 Augustus 2008

A. Bakir Ihsan

Keputusan Presiden SBY mempertahankan dua anggota kabinetnya, MS Kaban dan Paskah Suzetta yang diduga terkait aliran dana BI, memunculkan tiga reaksi. Pertama, reaksi yang melihat kebijakan SBY keliru. Presiden seharusnya menonaktifkan atau bahkan memecat kedua menteri tersebut demi integritas pemerintahannya yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, agar tidak terjadi delegitimasi atas pemerintahan SBY.

Kedua, reaksi yang menganggap keputusan SBY untuk tetap mempertahankan kedua menterinya sambil menunggu proses hukum merupakan langkah tepat. SBY harus mengedepankan hukum daripada keputusan politik terhadap kasus yang baru tahap ”disangka”, belum tersangka.

Ketiga, reaksi yang melihat keputusan SBY tidak konsisten dan politis. Alasannya, dalam kasus yang sama SBY mengambil sikap berbeda.SBY pernah mengganti menterinya yang juga ”disangka” terlibat korupsi, yaitu Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin.Terhadap Kaban dan Suzetta, SBY justru mempertahankan keduanya. Karena itu, keputusan SBY tersebut dilihat oleh kelompok terakhir lebih bersifat politis, daripada sebagai upaya penghormatan terhadap proses hukum.

Reaksi tersebut merupakan akumulasi dari opini yang berkembang di saat korupsi makin semarak dan kian mengudara. Melalui media massa, masyarakat disuguhi tontonan yang hampir setiap waktu menyorot tindakan korupsi yang dilakukan oleh para wakil mereka di DPR.Kalau pemberitaan media massa belakangan diperingkat, kasus korupsi ini menempati urutan teratas sejajar dengan kasus pembantaian Verry Idham Henyansyah alias Ryan. Dua berita yang sama-sama memuakkan dan menjijikkan bagi martabat kemanusiaan.

Karena itu pula wajar bila muncul harapan yang begitu besar kepada Presiden SBY untuk mengambil tindakan terhadap menterinya yang ditengarai terlibat korupsi.Walau tuntutan tersebut belum tentu benar secara hukum, tapi secara politik dampaknya bisa cukup signifikan bagi eksistensi citra SBY.

Prerogatif Politik
Secara politik, Presiden SBY sangat berkepentingan agar langkah yang diambilnya berdampak positif. Begitu pun atas kasus dua anggota kabinetnya itu. Sedikit banyak isu tersebut ”mendegradasi” citra SBY. Karenanya keputusan atas isu ini akan menentukan tingkat pencitraan SBY yang sejak awal berkomitmen melawan korupsi.

Secara struktural SBY bisa mengambil tindakan pemecatan atau pergantian atas para pembantunya, walaupun tanpa menunggu proses hukum. Bahkan secara ekstrem Presiden bisa mengganti kabinetnya tanpa alasan terbuka sekalipun. Hal ini sangat dimungkinkan karena pengangkatan dan pemberhentian kabinet sepenuhnya hak prerogatif presiden. Hak prerogatif ini pula yang oleh sebagian pengamat dijadikan dasar asumsi tentang inkonsistensi SBY: mengganti Yusril dan Hamid yang saat itu diterpa isu korupsi sebagaimana dialami Kaban dan Suzetta.

Kalau dilihat secara detail, sebenarnya ada perbedaan antara kedua kasus tersebut.Pergantian Yusril dan Hamid bukan karena kasus yang diisukan atau disangkakan. Langkah itu, sebagaimana disampaikan SBY saat itu, lebih pada upaya ”peningkatan efektivitas dan kinerja kabinet” yang dianggap kurang maksimal. Dengan kata lain, isu miring yang disematkan publik pada Yusril dan Hamid tidak menjadi pertimbangan utama atas reshuffle, tapi lebih pada kinerja yang tidak maksimal. Itu pula yang menjadi landasan reshuffle jilid II yang dilakukan SBY dengan mengganti 7 menteri, termasuk Yusril dan Hamid.

Walau demikian, faktor politik tentu sulit dilepaskan dari kebijakan evaluasi dan pergantian kabinet. Hal itu karena sejak awal Kabinet Indonesia Bersatu ini berdiri di atas koalisi partai dengan pelbagai kepentingannya.

Antara Citra dan Konsistensi
SBY tentu sangat sadar atas keputusan yang dia ambil dengan segala konsekuensinya, termasuk dengan tetap mempertahankan Kaban dan Paskah dalam kabinet.Walaupun publik menghendaki pergantian atau penonaktifan, tapi SBY mengambil sikap ”melawan”.

Ini merupakan kali kedua SBY mengambil kebijakan yang melawan arus. Opini pemberhentian kedua anggota kabinet yang digaungkan oleh para pengamat ternyata dihadapi SBY dengan tetap mempertahankan keduanya. Langkah ini tentu tidak populer. Sama dengan tidak populernya kebijakan menaikkan BBM beberapa waktu lalu.Namun langkah ini membuktikan bahwa SBY tidak terlalu peduli terhadap politik pencitraan (popularitas) yang selama ini sering dituduhkan. Upaya mengedepankan apa yang seharusnya (das sollen) lebih banyak menjadi pertimbangan. Secara politik keputusan tersebut merugikan SBY karena menjadi lahan empuk para pesaingnya untuk mendelegitimasi citranya sebagaimana terjadi dalam kasus kenaikan harga BBM.

Meski demikian, mengambil langkah sebaliknya, mengikuti arus, belum tentu bebas dari pendapat kontra. Apalagi di tengah kondisi politik yang semakinpanas. Sebuah kondisi dimana konstelasi politik bergerak ke segala arah demi pencitraan dan demi kekuasaan. Karena itu langkah yang diambil SBY bisa dimaknai lebih sebagai upaya konsistensi atas penegakan hukum.

Kalau SBY mengambil langkah pemecatan mendahului proses hukum, kontroversi pun akan terus terjadi. Apalagi sejak awal, SBY menekankan kontrak politik pada seluruh anggota kabinetnya. Sehingga bila langkah pemecatan dilakukan tanpa proses hukum, berarti secara sengaja SBY menodai kontrak tersebut demi memenuhi ”kehendak publik.”

Sebagaimana diketahui, dari empat butir kontrak politik Kabinet Indonesia Bersatu, salah satu poinnya terkait korupsi. Poin ketiga menyebut bahwa anggota kabinet berkomitmen untuk tidak melakukan korupsi dan siap diperiksa harta kekayaannya, baik secara berkala maupun insidental. Jika secara hukum dinyatakan bersalah, karena terlibat dalam kasus korupsi, menteri siap mengundurkan diri dan siap menerima sanksi sesuai hukum yang berlaku.

Berdasarkan kontrak politik tersebut, nasib Kaban dan Suzetta saat ini ada di tangan penegak hukum. Karena itu yang harus dikawal saat ini adalah sejauh mana kehendak aparat hukum, seperti KPK, bergerak memproses dugaan korupsi kedua menteri tersebut. Serius tidaknya proses tersebut akan berpengaruh terhadap pencitraan politik SBY. Dengan kata lain, apabila proses hukum berjalan lamban, akan muncul praduga intervensi pemerintah.

Hal tersebut sekaligus menjadi pertaruhan bagi SBY tentang keseriusannya memberantas korupsi yang menjadi salah satu ikon penting dan paling cemerlang selama kepemimpinannya. Inilah politik hukum SBY. Pemanggilan dan keputusan SBY terhadap status kedua menterinya merupakan keputusan politik yang diharapkan dapat meredam kesimpangsiuran opini di tengah masyarakat. Perlu juga diingat, penyerahan pada proses hukum merupakan upaya pembelajaran bahwa politik tidak boleh mengalahkan hukum.

Walaupun hukum tidak bisa dilepaskan dari proses politik, namun ketika ia menjadi keputusan, ia menjadi ketetapan hukum yang harus ditaati semua pihak. Hanya dengan begitu hukum tetap dihormati. Sebaliknya, ketika ketetapan hanya sebatas rangkaian kalimat, penyimpangan demi penyimpangan akan terus terjadi, sebagaimana para kaum legislator (DPR) ”mengabaikan” hasil legislasi yang mereka buat dan mereka sahkan melalui perilaku menyimpang.(*)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/konsistensi-citra-politik-sby.html

No comments: