Friday, November 21, 2008



Opini

Kapling Partai atas Kekuasaan
Seputar Indonesia, Kamis, 20 November 2008

A. Bakir Ihsan

Sejak disahkannya UU Pilpres, wajah calon presiden semakin terlihat jelas. Paling tidak para peserta kontestasi dalam Pilpres semakin terbatas. Dengan batasan minimal 20% kursi DPR atau 25% suara, maka yang paling memungkinkan mengajukan calon presiden hanya partai besar. Partai dengan suara terbatas tidak punya peluang untuk mencalonkan presiden kecuali dengan koalisi.

Namun dari wacana dan hasil survei yang berkembang, justru capres yang menguat adalah sosok yang, kursi dan suaranya, belum memenuhi standar UU Pilpres tersebut. Dari beberapa kali survei nama yang selalu muncul sebagai calon presiden adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. SBY yang diusung Partai Demokrat saat ini hanya mendapatkan 8% kursi dan Megawati (PDIP) 19% kursi. Kalau melihat komposisi wakil partai di parlemen yang ada sekarang, maka hanya Partai Golkar lah (22% kursi) yang paling berhak mengajukan calon presiden. (Saiful Mujani-William Liddle, 2008). Namun sampai saat ini Golkar belum menentukan Capresnya secara definitif, bahkan kecenderungannya masih tetap menempatkan Jusuf Kalla sebagai pasangan SBY.

Kalau berdasarkan temuan mutakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilansir pada 16 November kemarin, tidak ada satu parpol pun yang mencapai batas minimal pengajuan Capres-Cawapres. Besarnya swing voter menyebabkan partai-partai besar seperti Partai Golkar dan PDIP cenderung mengalami penurunan suara. Menurut hasil survei LSI, Partai Golkar hanya didukung 15,09 persen dan PDIP 14,2 persen. Justru kenaikan didapat Partai Demokrat, 16,8 persen. Dengan demikian, masing-masing partai sangat berkepentingan menjajaki kemungkinan koalisi untuk meraih kursi kekuasaan di Republik ini. Kenyataan ini merupakan efek dari tingginya syarat (UU) pencalonan presiden yang disahkan oleh DPR.

Wacana syarat pencalonan Presiden memang sarat kepentingan kekuasaan. Ia merupakan tafsir hegemonik parpol sebagai satu-satunya kendaraan kekuasaan untuk tingkat nasional (presiden dan wakil presiden). Karena itu, kekuasaan menjadi tambang kepentingan partai politik. Dan itulah yang sedang dibidik dan dioptimalkan oleh PDIP untuk memenangkan Megawati sebagai capres pada Pilpres 2009. Hal tersebut sebagaimana dikatakan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP Taufik Kiemas, PDIP akan mengerahkan Kepala Daerah yang berasal atau didukung partainya untuk memenangkan Megawati dalam Pilpres 2009 (Sindo, 6/11). Hal ini semakin mempertegas bahwa loyalitas pemimpin terhadap partainya sengaja dirawat untuk kepentingan kekuasaan parpol itu sendiri.

Problem Loyalitas
Politisasi kekuasaan menjadi niscaya karena kekuasaan diletakkan sebagai hadiah dari partai dan karenanya harus tunduk pada partai. Loyalitas pada parpol berkonsekuensi pada fragmentasi dan segmentasi kekuasaan dalam mengoperasikan negara (pemerintahan). Koalisi yang dibangun SBY melalui kabinet pelangi menjadi kurang efektif karena partai masih memainkan kartu trufnya untuk bargaining position dengan kekuasaan. Hal ini kemudian menguat pada level di bawahnya. Yaitu sikap para kepala daerah yang lebih tunduk pada perintah parpol daripada pemerintahan di atasnya. Secara faktual hal tersebut terlihat jelas dalam beberapa sikap kepala daerah yang bersimpang jalan dengan pemerintah pusat bahkan presiden.

Loyalitas kekuasaan pada partai menjadi problem karena eksistensi partai tidak berbasis pada program yang jelas. Partai lebih mengemuka sebagai kendaraan politik untuk meraih posisi dan mempertahankan hegemoninya. Karena itu, standar keberhasilan partai hanya diukur oleh seberapa banyak kursi legislatif didapat dan seberapa besar kekuasaan diraih. Akibatnya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh departemen atau lembaga pemerintah yang dikuasi oleh parpol tertentu selalu diorientasikan pada penguatan kepentingan parpolnya daripada kepentingan masyarakat (negara) secara umum.

Kuatnya orientasi kekuasaan parpol tak jarang menerabas etika dan moral sehingga melahirkan provokasi-provokasi politik yang mempertebal emosionalitas masyarakat. Apalagi di tengah euforia media massa yang menjadi lahan iklan politik yang begitu luas dan bebas. Akibatnya tidak jarang iklan-iklan politik melahirkan kontroversi. Beberapa waktu lalu, kita pernah disuguhi oleh iklan politik PDIP yang menginstruksikan jajaran pengurus DPD, DPC, PAC, dan Ranting beserta seluruh kader, anggota, simpatisannya untuk membela dan mempertahankan kemenangan calon yang diusungnya dalam Pilkada Jawa Timur berdasarkan hasil quick count dan hitungan manual yang dilakukan oleh timnya (Sindo, 12/11). Instruksi ini di samping dapat memupuk emosionalitas politik massa, juga merupakan pembelajaran politik yang tidak baik dalam menumbuhkan dan merawat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik. Ajakan tersebut bisa mendegradasi otoritas lembaga politik (KPUD) yang bertanggungjawab atas penghitungan hasil Pilkada maupun pemilu dan bisa memupuk benih konflik dan chaos.

Proses degradasi kepercayaan atas otoritas lembaga-lembaga yang dibangun untuk menunjang demokrasi tersebut, secara tidak langsung sedang mengamputasi konsolidasi demokrasi. Karena demokrasi sejatinya bersandar pada kepercayaan masyarakat atas gerak lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri.

Merawat Kepercayaan

Fenomena menguatnya golput dalam beberapa pilkada dapat dibaca sebagai bentuk degradasi kepercayaan masyarakat atas proses demokrasi. Walaupun banyak faktor yang menyebabkan golput, namun satu hal yang tidak bisa dimungkiri, golput merupakan representasi dari “ketakberdayaan” warga mengapresiasi dinamika politik. Partai politik sebagai pilar demokrasi gagal menegakkan kepercayaan masyarakat terhadap proses politik kenegaraan yang sejatinya untuk kepentingan konsolidasi demokrasi.

Karena itu, tantangan konsolidasi demokrasi adalah kepercayaan politik (political trust) yang cenderung menurun. Kepercayaan politik, menurut Gabriela Catterberg dan Alejandro Moreno (2005), ditentukan oleh tingkat akomodatif political actors (presiden, politisi, dan ketua partai) dan political institution (parlemen, partai politik, kehakiman, dan tentara) terhadap aspirasi masyarakat. Sebaliknya, kepercayaan politik mati oleh korupsi sistemik yang menguras uang rakyat dan radikalisme politik yang memupuk emosionalitas massa. (political trust is generally hindered by corruption permissiveness and political radicalism).

Inilah yang masih mewarnai dinamika politik kita. Masih berjamurnya koruptor yang melibatkan oknum-oknum dari berbagai lembaga dan provokasi politik yang mengabaikan etika dan moral politik memperpanjang harapan bagi terwujudnya konsolidasi demokrasi. Karena itu, penguatan dua aspek political actors dan political institution menjadi semakin penting. Penguatan ini harus dilakukan melalui dua jalur sekaligus. Yaitu dengan melibatkan diri dalam lembaga atau organisasi politik sebagai langkah transformasi internal, sambil melakukan penyadaran politik pada masyarakat.

Kita berharap banyaknya parpol pada Pemilu 2009 dan jumlah swing voter yang cukup signifikan (34%) dapat mencairkan hegemoni (pengaplingan) parpol atas kekuasaan yang menyebabkan distorsi atas peran dan fungsi kekuasaan itu sendiri. Lahan pertarungan untuk meraih simpati rakyat masih terbuka lebar. Apakah partai masih bernafsu mengapling kekuasaan yang cenderung elitis, atau mengapling simpati rakyat agar demokrasi semakin kuat? Sejarahlah yang akan menghakimi.*

Tuesday, August 19, 2008


Opini

Menakar Elektabilitas SBY
Jurnal Nasional
, Selasa, 19 Agustus 2008

A. Bakir Ihsan

Menjelang pemilu 2009, bermunculan survei-survei tentang tingkat elektabilitas calon presiden 2009. Dari beberapa survei itu, nama SBY selalu unggul. Tapi belakangan posisi SBY mengalami fluktuasi dalam hasil survei yang dilansir beberapa lembaga survei.

Pada Juli 2008, sebagaimana hasil survei Indo Barometer terjadi degradasi citra SBY dibandingkan sebelumnya. Dari 1.200 responden dalam survei tersebut SBY berada dalam kisaran persentase 19,1 (untuk pertanyaan terbuka) dan 20,7 persen (untuk pertanyaan tertutup) sebagai calon presiden. SBY dalam survei ini berada di bawah Megawati Soekarnoputri.

Pada akhir Juli (28/7), Litbang Kompas melansir hasil jajak pendapat yang dilakukannya pasca kenaikan harga BBM. Ternyata, walaupun tingkat elektabilitas SBY mengalami penurunan dibandingkan sebelumnya, SBY masih jauh berada di atas kandidat presiden lainnya. Responden menyebutkan pilihannya, 45,3 persen memilih SBY sebagai presiden jika pemilu dilaksanakan pada saat ini. Posisi di bawahnya ditempati Sultan Hamengku Buwono X (11,3 persen), dan Megawati Soekarnoputri 10,8 persen.

Sementara pada awal Agustus, Reform Institute mempublikasikan hasil surveinya dan menempatkan SBY dan Megawati sebagai dua nama yang saling bersaing dengan tingkat elektabilitas yang sangat ketat. Yaitu 19,4 persen untuk Megawati dan 19,06 persen untuk SBY.

Hasil survei di atas merupakan gambaran temporal yang dapat berubah, tergantung pada situasi (waktu) dan metodologi penelitian. Karena itu, terlalu dini untuk memastikan nasib politik SBY pada pilpres nanti. Karena itu pula, tepat kiranya keputusan SBY untuk tidak mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden 2009 sampai habis masa jabatannya atau saat masa kontestasi pilpres itu ditabuh oleh KPU.


Distorsi Persepsi
Hasil survei di atas menunjukkan dinamika persepsi dalam mengevaluasi dan menempatkan SBY di tengah transisi dan sistem politik yang lebih berpijak pada aspek prosedural. Bahkan prosedur-prosedur demokrasi pun belum sepenuhnya berjalan maksimal sehingga tak jarang memunculkan anomali-anomali yang mendistorsi persepsi, termasuk persepsi terhadap kinerja SBY.

Salah satu bukti distorsi dan anomali tersebut adalah ambiguitas peran DPR (legislatif) yang sejatinya menjadi pertaruhan aspirasi masyarakat dan kontrol terhadap pemerintah (eksekutif). Namun yang terjadi jauh panggang dari api. Dalam konteks kontrol legislatif terhadap eksekutif misalnya, lebih menonjolkan aspek hegemoni daripada koreksi. Akibatnya sistem presidensial yang dianut negeri ini berada di bawah bayang-bayang otoritas parlemen (legislative heavy) dan hegemoni partai politik.

Dalam kondisi demikian, kinerja pemerintah selalu dihantui oleh "intervensi" DPR yang sarat dengan nuansa politis daripada substansi problem yang dihadapi rakyat. Hal ini pula yang akhirnya berdampak pada citra SBY.

Begitupun partai politik yang lebih mengedepankan kepentingan pragmatisnya daripada komitmennya pada negara. Partai politik yang sejak awal menjadi bagian dari pemerintah, tak jarang memperlihatkan sikap paradoksnya terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Namun di sisi lain, mereka tetap meraup keuntungan politis dari eksistensi kadernya di jajaran kabinet. Paradoksalitas sikap partai politik ini sedikit banyak ikut membuat pincang, paling tidak mengganggu, terhadap maksimalitas kinerja SBY.

Di samping itu, korupsi yang menjalar ke berbagai lembaga semakin merapuhkan moral politik yang sejatinya menjadi akar demokrasi. Dan SBY yang sejak awal menyatakan perang melawan korupsi harus berhadapan dengan lembaga-lembaga yang disesaki oleh para koruptor. Bahkan pilar-pilar pemberantasan korupsi itu sendiri digerogoti oleh korupsi pula. Lihatlah kasus kejaksaan agung, mahmakah agung, dan lembaga wakil rakyat yang berkubang dalam korupsi.

Pada ranah sosial, kebebasan yang semakin terbuka lebar ternyata memacu sebagian kelompok untuk menampakkan eksklusivitasnya atau sebaliknya kebebasan yang melampaui batas aturan yang ada. Melalui klaim kebenaran dan keyakinannya, sekelompok masyarakat merasa tak berdosa untuk mengancam, menyakiti, dan mendiskriminasi kelompok lainnya. Kebebasan ini menyebabkan etika sosial yang plural menjadi hancur. Kekerasan akibat eksklusivitas kelompok maupun dominasi mayoritas menjadi agenda lain yang menambah beban pemerintahan SBY.

Di ranah global, krisis energi dan pangan yang menghantui dunia juga ikut berdampak pada realitas dalam negeri. Kenaikan BBM dengan segala dampak sosialnya merupakan fakta kuatnya relasi krisis global terhadap kehidupan warga negara. Belum lagi bencana yang setia mengiringi perjalanan kepemimpinan SBY. Semua fakta di atas sedikit banyak ikut mendistorsi persepsi sekaligus mendegradasi citra SBY.

Merawat Asa
Dalam kondisi demikian, siapa pun presidennya sulit melepaskan diri dari problem besar yang menggerogoti politik, ekonomi, dan budaya yang masih rapuh ini. Dan akibatnya presiden yang terlanjur menjadi sentral dalam sistem presidensial harus menerima getah dari seluruh bobrok itu. Dan itulah yang ditanggung SBY dari awal sampai menjelang akhir periode kepemimpinannya. Karena itu, tak berlebihan apabila SBY disebut sebagai presiden dalam sistem "presiden-sial."

Namun demikian, tak berarti SBY bisa berapologi untuk membersihkan diri dari karut marut dalam transisi ini. Tingkat ekspektasi (asa) yang begitu tinggi pada awal pemerintahannya dan mengalami degradasi dalam perkembangannya merupakan akumulasi faktor yang juga melibatkan faktor internal pemerintahan yang dipimpinnya.

Dari hasil survei tiga lembaga di atas, sebenarnya SBY masih menyisakan asa untuk mewujudkan ekspektasi yang begitu tinggi di awal terpilihnya. Salah satunya adalah dengan menjawab berbagai fakta yang menyebabkan citranya menurun.

Terkait kenaikan BBM misalnya, SBY atau pemerintah bisa menjelaskan secara transparan dan telanjang dengan bahasa yang terang dan sederhana sehingga masyarakat awam bisa memahaminya. Lebih-lebih dengan adanya hak angket yang sedang digulirkan DPR, SBY memiliki kesempatan yang sangat luas untuk membuktikan bahwa kebijakan menaikkan BBM betul-betul demi rakyat dan negara.

Walaupun citra SBY tak terlepas dari kinerja keseluruhan lembaga-lembaga negara, pada akhirnya citra SBY tetap tergantung pada sejauhmana SBY mampu menjadi "mutiara" di tengah lumpur persoalan yang menggenangi hampir seluruh dimensi kehidupan bangsa ini. Apalagi hasil survei World Public Opinion (Januari-Mei 2008) menempatkan SBY sebagai pemimpin yang dianggap paling mampu menyelesaikan beragam masalah dunia. Bahkan Australian Strategic Policy Institute (ASPI, Mei 2008) menyebutkan Indonesia saat ini sebagai a more democratic and pluralist country. Sebagaimana dilansir Reuters (27/5), Indonesia in 2008 is a stable, competitive electoral democracy, playing a contructive in the regional and broader international community. Inilah jalan yang akan menentukan tingkat elektabilitas SBY menyongsong 2009.

Thursday, August 07, 2008



Opini

Konsistensi & Citra Politik SBY
Seputar Indonesia
, Kamis, 7 Augustus 2008

A. Bakir Ihsan

Keputusan Presiden SBY mempertahankan dua anggota kabinetnya, MS Kaban dan Paskah Suzetta yang diduga terkait aliran dana BI, memunculkan tiga reaksi. Pertama, reaksi yang melihat kebijakan SBY keliru. Presiden seharusnya menonaktifkan atau bahkan memecat kedua menteri tersebut demi integritas pemerintahannya yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, agar tidak terjadi delegitimasi atas pemerintahan SBY.

Kedua, reaksi yang menganggap keputusan SBY untuk tetap mempertahankan kedua menterinya sambil menunggu proses hukum merupakan langkah tepat. SBY harus mengedepankan hukum daripada keputusan politik terhadap kasus yang baru tahap ”disangka”, belum tersangka.

Ketiga, reaksi yang melihat keputusan SBY tidak konsisten dan politis. Alasannya, dalam kasus yang sama SBY mengambil sikap berbeda.SBY pernah mengganti menterinya yang juga ”disangka” terlibat korupsi, yaitu Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin.Terhadap Kaban dan Suzetta, SBY justru mempertahankan keduanya. Karena itu, keputusan SBY tersebut dilihat oleh kelompok terakhir lebih bersifat politis, daripada sebagai upaya penghormatan terhadap proses hukum.

Reaksi tersebut merupakan akumulasi dari opini yang berkembang di saat korupsi makin semarak dan kian mengudara. Melalui media massa, masyarakat disuguhi tontonan yang hampir setiap waktu menyorot tindakan korupsi yang dilakukan oleh para wakil mereka di DPR.Kalau pemberitaan media massa belakangan diperingkat, kasus korupsi ini menempati urutan teratas sejajar dengan kasus pembantaian Verry Idham Henyansyah alias Ryan. Dua berita yang sama-sama memuakkan dan menjijikkan bagi martabat kemanusiaan.

Karena itu pula wajar bila muncul harapan yang begitu besar kepada Presiden SBY untuk mengambil tindakan terhadap menterinya yang ditengarai terlibat korupsi.Walau tuntutan tersebut belum tentu benar secara hukum, tapi secara politik dampaknya bisa cukup signifikan bagi eksistensi citra SBY.

Prerogatif Politik
Secara politik, Presiden SBY sangat berkepentingan agar langkah yang diambilnya berdampak positif. Begitu pun atas kasus dua anggota kabinetnya itu. Sedikit banyak isu tersebut ”mendegradasi” citra SBY. Karenanya keputusan atas isu ini akan menentukan tingkat pencitraan SBY yang sejak awal berkomitmen melawan korupsi.

Secara struktural SBY bisa mengambil tindakan pemecatan atau pergantian atas para pembantunya, walaupun tanpa menunggu proses hukum. Bahkan secara ekstrem Presiden bisa mengganti kabinetnya tanpa alasan terbuka sekalipun. Hal ini sangat dimungkinkan karena pengangkatan dan pemberhentian kabinet sepenuhnya hak prerogatif presiden. Hak prerogatif ini pula yang oleh sebagian pengamat dijadikan dasar asumsi tentang inkonsistensi SBY: mengganti Yusril dan Hamid yang saat itu diterpa isu korupsi sebagaimana dialami Kaban dan Suzetta.

Kalau dilihat secara detail, sebenarnya ada perbedaan antara kedua kasus tersebut.Pergantian Yusril dan Hamid bukan karena kasus yang diisukan atau disangkakan. Langkah itu, sebagaimana disampaikan SBY saat itu, lebih pada upaya ”peningkatan efektivitas dan kinerja kabinet” yang dianggap kurang maksimal. Dengan kata lain, isu miring yang disematkan publik pada Yusril dan Hamid tidak menjadi pertimbangan utama atas reshuffle, tapi lebih pada kinerja yang tidak maksimal. Itu pula yang menjadi landasan reshuffle jilid II yang dilakukan SBY dengan mengganti 7 menteri, termasuk Yusril dan Hamid.

Walau demikian, faktor politik tentu sulit dilepaskan dari kebijakan evaluasi dan pergantian kabinet. Hal itu karena sejak awal Kabinet Indonesia Bersatu ini berdiri di atas koalisi partai dengan pelbagai kepentingannya.

Antara Citra dan Konsistensi
SBY tentu sangat sadar atas keputusan yang dia ambil dengan segala konsekuensinya, termasuk dengan tetap mempertahankan Kaban dan Paskah dalam kabinet.Walaupun publik menghendaki pergantian atau penonaktifan, tapi SBY mengambil sikap ”melawan”.

Ini merupakan kali kedua SBY mengambil kebijakan yang melawan arus. Opini pemberhentian kedua anggota kabinet yang digaungkan oleh para pengamat ternyata dihadapi SBY dengan tetap mempertahankan keduanya. Langkah ini tentu tidak populer. Sama dengan tidak populernya kebijakan menaikkan BBM beberapa waktu lalu.Namun langkah ini membuktikan bahwa SBY tidak terlalu peduli terhadap politik pencitraan (popularitas) yang selama ini sering dituduhkan. Upaya mengedepankan apa yang seharusnya (das sollen) lebih banyak menjadi pertimbangan. Secara politik keputusan tersebut merugikan SBY karena menjadi lahan empuk para pesaingnya untuk mendelegitimasi citranya sebagaimana terjadi dalam kasus kenaikan harga BBM.

Meski demikian, mengambil langkah sebaliknya, mengikuti arus, belum tentu bebas dari pendapat kontra. Apalagi di tengah kondisi politik yang semakinpanas. Sebuah kondisi dimana konstelasi politik bergerak ke segala arah demi pencitraan dan demi kekuasaan. Karena itu langkah yang diambil SBY bisa dimaknai lebih sebagai upaya konsistensi atas penegakan hukum.

Kalau SBY mengambil langkah pemecatan mendahului proses hukum, kontroversi pun akan terus terjadi. Apalagi sejak awal, SBY menekankan kontrak politik pada seluruh anggota kabinetnya. Sehingga bila langkah pemecatan dilakukan tanpa proses hukum, berarti secara sengaja SBY menodai kontrak tersebut demi memenuhi ”kehendak publik.”

Sebagaimana diketahui, dari empat butir kontrak politik Kabinet Indonesia Bersatu, salah satu poinnya terkait korupsi. Poin ketiga menyebut bahwa anggota kabinet berkomitmen untuk tidak melakukan korupsi dan siap diperiksa harta kekayaannya, baik secara berkala maupun insidental. Jika secara hukum dinyatakan bersalah, karena terlibat dalam kasus korupsi, menteri siap mengundurkan diri dan siap menerima sanksi sesuai hukum yang berlaku.

Berdasarkan kontrak politik tersebut, nasib Kaban dan Suzetta saat ini ada di tangan penegak hukum. Karena itu yang harus dikawal saat ini adalah sejauh mana kehendak aparat hukum, seperti KPK, bergerak memproses dugaan korupsi kedua menteri tersebut. Serius tidaknya proses tersebut akan berpengaruh terhadap pencitraan politik SBY. Dengan kata lain, apabila proses hukum berjalan lamban, akan muncul praduga intervensi pemerintah.

Hal tersebut sekaligus menjadi pertaruhan bagi SBY tentang keseriusannya memberantas korupsi yang menjadi salah satu ikon penting dan paling cemerlang selama kepemimpinannya. Inilah politik hukum SBY. Pemanggilan dan keputusan SBY terhadap status kedua menterinya merupakan keputusan politik yang diharapkan dapat meredam kesimpangsiuran opini di tengah masyarakat. Perlu juga diingat, penyerahan pada proses hukum merupakan upaya pembelajaran bahwa politik tidak boleh mengalahkan hukum.

Walaupun hukum tidak bisa dilepaskan dari proses politik, namun ketika ia menjadi keputusan, ia menjadi ketetapan hukum yang harus ditaati semua pihak. Hanya dengan begitu hukum tetap dihormati. Sebaliknya, ketika ketetapan hanya sebatas rangkaian kalimat, penyimpangan demi penyimpangan akan terus terjadi, sebagaimana para kaum legislator (DPR) ”mengabaikan” hasil legislasi yang mereka buat dan mereka sahkan melalui perilaku menyimpang.(*)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/konsistensi-citra-politik-sby.html

Friday, July 18, 2008



Opini

Anarkisme dalam Demokrasi
Media Indonesia, Jum’at, 18 Juli 2008

A. Bakir Ihsan

Anarkistis! Itulah vonis terhadap aksi mahasiswa yang memprotes kenaikan BBM beberapa waktu lalu. Hampir semua media seirama “menyuarakan” anarkisme itu. Membakar ban, merobohkan pagar DPR, merusak dan membakar mobil negara, serta memacetkan jalan kehidupan masyarakat yang hendak bekerja dijadikan bukti konkret tindakan anarkistis.

Beberapa tokoh ikut menyayangkan tindakan anarkis yang dipertontonkan oleh para tunas intelektual itu. Bahkan menurut survei Kompas 6/7, aksi-aksi demonstrasi belakangan ini lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.

Kalangan mahasiswa menganggap tudingan itu tidak proporsional bahkan cenderung stigmatis dan provokatif. Bagi para aktivis, tindakan anarkis yang dilakukannya tak separah dampak kenaikan BBM yang dirasakan masyarakat. Kalau demonstrasi hanya memacetkan jalan dan merusak fasilitas umum, maka kenaikan BBM menyebabkan rakyat sengsara bahkan sebagian mati kelaparan.

Sudut pandang yang berbeda ini akan terus merawat antagonisme dengan legitimasi (apologi?) masing-masing. Konsekuensinya, ekspresi protes akan tampil dalam bentuk ektrem yang bisa jadi “melampaui” batas-batas demokrasi. Inilah paradoks-paradoks di tengah transisi yang dapat mengaburkan arah reformasi dan “mengambangkan” demokrasi.

Matinya demokrasi
Konsepsi ideal yang ditawarkan demokrasi sejatinya menjadi jalan mudah untuk mencairkan konflik dan anarkisme. Demokrasi menyediakan lahan dialog, komunikasi, dan diskusi untuk mengartikulasi segala aspirasi. Tinggal bagaimana lahan tersebut digunakan secara maksimal dan efektif, sehingga demokrasi mampu memberi solusi atas beragam mudarat yang dirasakan rakyat.

Perangkat aturan dan kelembagaan (institusi) yang dibangun dalam sistem demokrasi merupakan alat untuk melancarkan proses sirkulasi aspirasi masyarakat. Titik simpang antara aspirasi sangat niscaya terjadi. Apalagi di tengah masyarakat yang multikultural. Di sinilah kapasitas dan kapabilitas agregatif institusi demokrasi untuk mengurai sekaligus mensinergikan beragam aspirasi dipertaruhkan.

Di sisi lain, keragaman dan pluralitas budaya dalam masyarakat sejatinya menjadi modal penguatan nilai-nilai inklusif, toleran dan apresiatif terhadap kelompok yang berbeda (the others). Inilah landasan nilai yang dapat mengawal dan merawat demokrasi.

Kedua modal (institusi dan landasan nilai) demokrasi itu masih belum maksimal akibat distorsi sejarah rezim yang otoriter dan liarnya komitmen penguatan esensi demokrasi di era reformasi. Elitisme, egopolitik, dan obsesi pada kekuasaan an sich menyumbat lancarnya proses konsolidasi demokrasi. Akibatnya prosedur demokrasi diabaikan dan dinafikan demi merengkuh kekuasaan secara instan.

Karena itu, mudah dipahami ketika kalangan mahasiswa dan sebagian kelompok masyarakat mengambil jalan pintas yang sama untuk menggugah kepedulian atas aspirasi yang diperjuangkan. Mereka membongkar simbol-simbol yang dianggap ikut bertanggungjawab atas kegagalan mengapresiasi aspirasi masyarakat. Perubuhan pagar DPR dan perusakan simbol-simbol negara adalah ekspresi atas tidak berfungsinya (matinya) mekanisme demokrasi.

Saluran dialog dan komunikasi yang seharusnya dioperasikan oleh lembaga wakil rakyat tidak efektif. Dari beberapa interpelasi, tak ada substansi yang bisa diapresiasi bagi kepentingan rakyat. Bahkan belakangan DPR lebih banyak berkubang dalam tindak korupsi dan tindakan tidak bermoral lainnya yang secara tidak langsung menodai kepercayaan rakyat.

Ketika dialog dengan DPR berhenti pada kata-kata, ketika dengar pendapat tak memberi manfaat, ketika rapat komisi tak lebih lahan berbagi upeti, ketika sidang paripurna hanya menjadi ladang politisasi, dan ketika interpelasi hanya menjadi ajang adu gengsi, tak ada yang bisa diharapkan dari para wakil rakyat. Berdasarkan realitas politik yang berlangsung di Senayan selama ini tak ada yang bisa dibanggakan kecuali kemirisan atas perilaku anggota dewan yang semakin tak terhormat. Dan rakyat pun tak bisa berharap pada para wakilnya yang secara moral semakin rapuh dan secara institusi semakin jauh dari jangkauan rakyat.

Revitalisasi anarkisme
Dalam kondisi demikian, rakyat harus berjuang sendiri dengan segala ekspresi, termasuk melalui tindakan anarkis. Pada titik tertentu kondisi ini dapat memacu independensi dalam memperjuangkan aspirasi sekaligus menjadi landasan penguatan civil society. Masyarakat bergerak menurut kesadaran politiknya sendiri (partisipasi), bukan karena dimobilisasi.

Secara ekstrem, penguatan civil society ini pada akhirnya bermuara pada apa yang oleh filosof Yunani, Zeno, disebut sebagai “anarki” (a-narchos). Yaitu penguatan tanggungjawab (moral) individual (the sovereignty of the moral law of the individual) tanpa paksaan dan tekanan otoritas eksternal (external authority) yang cenderung distortif dan represif.

Moral individual tersebut mendorong tumbuhnya sinergi dan “objektivikasi” bagi penguatan nilai dan institusi demokrasi. Lebih dari itu, ia dapat meruntuhkan paternalisme dan politisasi (atas nama) warga oleh para elite yang selama ini berlangsung dan mengorbankan rakyat.

Inilah yang langka dalam demokrasi kita. Aturan main diproduksi tanpa landasan moral individual sebagai penggerak prosedur-prosedur demokrasi. Akibatnya prosedur (aturan main) yang dibuat dengan susah payah, diabaikan dan dipermainkan dengan begitu mudahnya. Bukti yang paling hangat adalah “legalisasi” kenaikan harga BBM melalui UU APBNP yang disetujui DPR, tapi digugat kembali melalui hak angket. Bukti lain adalah ambang batas electoral treshold 3% yang ditetapkan dalam UU Nomor 12 tahun 2003 “diabaikan” demi kompromi politik Senayan yang sungguh diskriminatif. Wajar bila Mahkamah Konstitusi membatalkan “kompromi” tersebut. Inilah kontradiksi-kontrdiksi prosedural dan substansial yang menghegemoni pilar-pilar demokrasi, khususnya di Senayan. Dan kita tidak bisa berharap fakta-fakta tersebut dapat diselesaikan hanya melalui ritual konstestasi pada 2009 nanti.

Selama moral individual lemah, demokrasi hanya menjadi ladang petualangan demi kekuasaan. Kekuasaan memang sebuah keniscayaan dalam politik. Tapi kekuasaan tanpa moral individual akan menjelma menjadi ajang eksploitasi yang mengalienasi kepentingan rakyat. Dan ketika ini terjadi, jangan salahkan rakyat bila bertindak menurut caranya sendiri demi sebuah aspirasi yang tak lagi terapresiasi.*

Monday, July 07, 2008



Opini

Agenda Menormalkan Negara
Koran Tempo, Minggu, 6 Juli 2008

A. Bakir Ihsan

Secara kasat mata, Indonesia adalah negara yang normal. Paling tidak kehadirannya sampai saat ini menunjukkan bahwa negara ini eksis. Bahkan beberapa waktu lalu, dua pengamat politik Andrew MacIntyre dan Douglas Ramage menyebut Indonesia sebagai negara yang stabil, demokratis (competitive democracy), dan ikut berperan konstruktif pada masalah-masalah dunia. Karena itu, lanjut mereka, Indonesia saat ini berhasil menjadi negara yang normal. (Reuters, 27/5).

Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Australian Strategic Policy Institute ini memberi optimisme akan kelangsungan negara ini. Paling tidak kita punya modal sejarah bahwa pasca otoritarianisme, Indonesia berhasil melepaskan itu semua dan menggantikannya dengan demokrasi. Seperti kopompong yang memetamorfose ulat represi menjadi kupu-kupu demokrasi.

Bahkan, menurut MacIntyre dan Ramage, Indonesia berhasil menghapus trauma radikalisme dan terorisme yang sempat menyeruak dan menghantui dunia internasional pasca bom Bali 2002 lalu. Karenanya, menurut kedua pengamat tersebut, sudah waktunya dunia internasional melihat Indonesia sebagai negara yang normal (start treating it as a "normal" country).

Hegemoni kekerasan
Tampaknya optimisme itu harus diletakkan dalam tanda kurung. Karena lima hari kemudian (1/6) kekerasan menyeruak justru di saat bangsa ini memperingati hari lahir Pancasila yang berlandaskan kebhinnekaan. Sebuah tindak kekerasan yang terjadi sebagai ekspresi antagonisme kelompok. Kasus ini menjadi krusial bukan saja pada kuantitas korban atau skala peristiwa, tapi lebih pada kecenderungan eskalasi kekerasan yang sangat mudah dilakukan oleh segerombolan orang atas nama apapun.

Ini bisa menjadi benih terjadinya efek domino tindak kekerasan lainnya. Karena itu, peran negara dibutuhkan untuk menetralisasi setiap kecenderungan kekerasan yang terjadi di masyarakat. Upaya menetralisasi tersebut tidak sekadar optimalisasi peran aparat keamanan. Tapi juga, dan ini sangat urgen, kehendak kolektif baik secara struktural (ketersediaan sistem) maupun kultural (kesepahaman) untuk mengawal kedamaian warga di tengah menguatnya kepentingan kelompok.

Dalam konteks itu, maka pernyataan keras Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap tindak kekerasan merupakan modal awal (political will) untuk mengeliminasi segala bentuk kekerasan. Ia memerlukan kaki untuk mengefektifkan kerja-kerja keharmonisan sosial. Karena itu, political will akan optimal dan efektif apabila didukung oleh pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai kebangsaan yang plural. Inilah yang sampai saat ini belum mencapai optimalitas, sehingga kekerasan akibat ketidaksiapan menerima perbedaan sering muncul.

Kekerasan dan segala tindak penyimpangan yang melanggar hukum publik merupakan pelecehan dan ancaman terhadap eksistensi negara yang multikultural. Bahkan secara tidak langsung Presiden SBY menyebutnya sebagai bentuk kekalahan. Pertanyaan besarnya, apakah bangsa ini, baik pada level elite maupun grassroot menyadari tentang pelecehan dan kekalahan tersebut? Pertanyaan ini penting karena secara faktual masih sering terjadi simpang jalan antara wacana dan fakta (praktik) kebangsaan. Begitu semaraknya kita menyambut 100 tahun kebangkitan nasional. Begitu antusiasnya kita merayakan hari kelahiran Pancasila. Tapi begitu rentannya soliditas antar kita. Begitu rapuhnya solidaritas antar warga. Ikatan kebangsaan hanya pada simbol, selebihnya hanya wacana.

Kesadaran elitis
Salah satu problem yang mencuat sejak reformasi bergulir adalah menguatnya kesadaran elitis dan eksklusif. Masing-masing pihak merasa berhak untuk menafsirkan kebebasannya dan mengekspresikan aspirasinya tanpa berusaha memahami eksistensi yang lain (the others). Dalam konteks ini, adu kuantitas kekuatan lebih diperhitungkan daripada kualitas. Mayoritas merasa paling berhak menentukan salah dan benar, dan minoritas harus selalu menjadi yang salah dan kalah.

Ironisnya, hal ini diperkuat oleh kecenderungan politik numerik yang lebih mengedepankan perolehan (kuantitas) suara daripada menyuarakan (kualitas) suara itu. Pernyataan lebih bermakna daripada kenyataan. Kata lebih hegemonik daripada fakta. Orang mempertaruhkan (menjual) atas nama “suara” untuk meraih dan memaksakan kepentingannya, bukan sejauhmana suara itu urgen untuk diaktualisasikan. Akibatnya pertarungan legitimasi berdasarkan kuantitas suara (das sien) lebih ekpresif daripada kualitas suara yang seharusnya diperjuangkan (das sollen).

Problem ini menjadi krusial karena ditunjang oleh politik kekuasaan yang menafikan fakta sosial. Padahal politik, mengutip sosiolog politik asal Perancis, Maurice Duverger, merupakan usaha terus-menerus untuk mengeliminasi kekerasan fisik dan mentransformasikan antagonisme sosial ke dalam budaya dialogis dan menyelesaikannya melalui kontak-kotak suara (pemilu).

Upaya ke arah tersebut tidak cukup dengan aturan main, prosedur, pembubaran, atau sekadar kecaman. Tapi pada keteladanan melalui sikap empatik dan simpatik atas kepentingan bangsa yang multikultural. Hampanya keteladanan kebangsaan khususnya di kalangan elit menggiring masyarakat memainkan logikanya sendiri dengan berusaha mengeliminer setiap yang berbeda.

Konsentrasi kekuatan-kekuatan sosial politik pada kekuasaan an sich telah menerbengkalaikan proses integrasi sosial yang masih berkubang dalam antagonisme. Integrasi tidak sekadar mengelimir separatisme dan konflik, tapi juga memperkuat solidaritas di tengah kesenjangan dan toleransi di tengah keragaman. Karena itu, selama politik mengabdi untuk kekuasaan semata, maka selama itu pula benih-benih kekerasan akan menggeliat di ranah warga dan akan menjadi duri negara. Inilah agenda normalisasi negara yang seharusnya diperjuangkan selama proses reformasi ini. Kalau ini berhasil, maka integrasi warga dan negara akan semakin terkonsolidasi dan dunia dengan sendirinya akan melihat kembali (to update its image of) Indonesia sebagai negara yang normal. Sebaliknya, kegagalan mentrasformasikan kekerasan fisik ke dalam budaya dialogis, akan mengancam integrasi sekaligus menodai demokrasi.*
http://www.korantempo.com/korantempo/2008/07/06/Ide/


Opini

Ambiguitas Politik Senayan
Koran Jakarta, Senin, 30 Juni 2008

A. Bakir Ihsan

Untuk kesekian kalinya DPR RI menggunakan haknya. Hak angket (penyelidikan) terkait kebijakan kenaikan BBM menjadi keputusan melalui mekanisme voting; 233 mendukung dan 127 menolak. Sebagaimana diungkapkan oleh penggagasnya, hak angket ini merupakan upaya untuk membongkar dan menyibak tabir di balik carut marut dunia migas (energi) yang menjadi pendulum kenaikan harga BBM.

Keberhasilan penggunaan hak angket ini mencerminkan tiga fakta politik. Pertama, kekuatan koalisi partai di parlemen semakin mencair. SBY-JK praktis hanya menyisakan dukungan dua partai, yaitu Partai Demokrat dan Partai Golkar. Selebihnya adalah “partai mengambang” yang sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing.

Kedua, kegagalan pemerintah melakukan komunikasi dengan partai politik dalam mengamankan kebijakan yang diambilnya. Para pembantu presiden yang notabene orang partai sejatinya bisa memaksimalkan komunikasi dengan partai politiknya, sehingga dapat meminimalisasi penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini tidak hanya dalam konteks kenaikan BBM, tapi juga kebijakan lainnya yang rentan mendapat reaksi dari masyarakat.

Ketiga, menguatnya politisasi. Hak angket yang diajukan DPR lebih bernuansa politis daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Seharusnya DPR dari awal tidak memberi peluang sedikit pun pada pemerintah untuk menaikkan BBM. Namun apa yang terjadi, DPR “bermain mata” dengan pemerintah untuk kemudian mementahkannya (cuci tangan) melalui hak angket.

Simpati Tanpa Empati
Politisasi berbagai isu sulit dimungkiri. Apalagi menjelang pemilu 2009. Presiden SBY sendiri sudah mewanti-wanti tentang suasana politik yang semakin panas ini. Namun semua itu harus tetap dalam lingkup kepentingan rakyat, sehingga ekspektasi dan kepecayaan masyarakat (interpersonal trust) tetap terjaga. Inilah modal sosial yang seharusnya dipertaruhkan para anggota dewan dalam mengontrol pemerintah, sehingga demokrasi bisa terkonsolidasi.

Namun fakta berbicara lain. Beberapa kali usulan hak angket diajukan, selama itu pula gagal. Begitupun interpelasi dapat terlaksana setelah melalui perdebatan yang melelahkan dan menguras energi melampaui substansi yang hendak diinterpelasi. Ini merupakan potret kegagalan DPR mengapresiasi aspirasi warga. DPR dengan segala kepentingannya gagal menggunakan hak-haknya secara maksimal demi kepentingan rakyat.

Kalau berkaca pada beberapa penggunaan hak interpelasi, tak ada dampak substantif yang signifikan dirasakan rakyat. Walaupun kali ini DPR berhasil menggolkan hak angket terkait kenaikan BBM, namun pemerintah telah terlanjur menaikkannya berlandaskan UU APBN-P 2008 yang disetujui oleh DPR. Sungguh sebuah ironi politik yang menyakiti hati rakyat.

Kalaupun alasan penggunaan hak angket adalah ingin membongkar politik energi di balik kenaikan tersebut, mengapa masalah ini baru muncul belakangan menjelang pemilu 2009. Mengapa DPR tidak menggunakannya secara maksimal saat pemerintah menaikkan BBM melebihi 100%. Ini semakin menunjukkan dimensi politis di balik penggunaan hak anggota dewan.

Output yang dihasilkan dari “atraksi politis” ini adalah upaya meraup simpati rakyat bahwa para wakilnya peduli dengan derita rakyat. Namun sayang, rakyat terlanjur apatis atas kinerja para wakilnya. Lihatlah aksi anarkis yang mengiringi sidang anggota dewan saat membahas masalah penggunaan interpelasi atau angket. Ini mencerminkan bahwa begitu tipis kepercayaan masyarakat terhadap para wakilnya dalam memperjuangkan aspirasinya, sehingga harus ditekan sedemikian rupa.

Kenyataan ini sekaligus mempertegas bahwa langkah angket diambil hanya untuk mendapatkan keuntungan politik berupa simpati rakyat tanpa sikap empatik. Mereka bereaksi setelah ada aksi dari masyarakat. Isu-isu dikembangkan dan mencuat ketika memberi keuntungan bagi kepentingan eksistensi diri maupun partainya. Akibatnya pagelaran rapat-rapat DPR jauh dari harapan rakyat. Inilah ambiguitas politik di Senayan.

Politik Pembelajaran
Politik sejatinya bukan berorientasi kekuasaan (vertikal) semata. Politik, demikian Maurice Duverger, juga mensinergikan kepentingan melalui komunikasi, konsultasi, sharing ideas di ruang-ruang rapat, dan bertaruh di bilik-bilik pemilihan. Hal ini sangat dimungkinkan dengan menyadari kelemahan masing-masing berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Masalah BBM yang selalu menjadi hantu APBN seharusnya bisa diselesaikan bersama. Sejak Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati masalah ini tak pernah teratasi. Karena itu, melalui proses pembelajaran sejarah, masing-masing partai khususnya yang pernah berkuasa dan gagal menyelesaikan masalah BBM ini punya concern yang sama untuk memberikan solusi-solusi alternatif dan konstruktif bagi kelangsungan migas dan energi di negeri ini. Bukan dijadikan pendulum isu untuk kepentingan sesaat dan sempit; sekadar mendapat simpati.

Mengurai problem dunia migas (energi) yang sudah akut tidak bisa diselesaikan hanya melalui angket. Tak banyak yang bisa diungkap dalam waktu terbatas. Sebagai sebuah sistem, mengurai problem di negeri ini tidak bisa dilihat secara parsial. Keteledoran pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan merupakan kegagalan DPR menjalankan fungsi kontrolnya. Karena itu mengkaji problem energi tanpa melibatkan problem kinerja DPR yang memiliki fungsi kontrol tak lebih dari basa-basi.

Kini rakyat bertaruh, apakah penggunaan hak angket ini bisa menjadi pintu masuk bagi terciptanya transparansi sebagaimana diinginkan oleh para penggagasnya. Atau justru menjadi pentas baru ajang dagelan politik yang memuakkan rakyat. Kita hanya bisa menunggu dan memantau, apakah substansi yang diajukan anggota DPR terkait kenaikan BBM ini betul-betul layak disuarakan melalui hak angket atau justru mereka mendistorsi fungsi hak angket itu karena gagal mengungkap apa yang diinginkan.

Kalau melihat hasil interpelasi selama ini, kita mesti sabar untuk menyaksikan ulah anggota dewan yang selalu terjebak pada persoalan teknis (kehadiran presiden) dengan berbagai cara termasuk melakukan aksi walk out. Akibatnya substansi dan tujuan interpelasi menjadi terlewatkan dan karenanya usur politisasi semakin tak terbantahkan. Kalau demikian, kapan mereka bekerja untuk rakyat.*

http://www.koran-jakarta.com/search.php?keyword=bakir+ihsan&cari=Cari

Thursday, June 12, 2008



Opini

SBY dan Ekonomi-Politik Kreatif
Investor Daily, Kamis, 12 Juni 2008

A. Bakir Ihsan

Suasana politik semakin memanas menjelang 2009. Presiden SBY sendiri mengakui bahwa 2008 merupakan “tahun panas.” Beberapa kasus mencuat melampaui kapasitas esensi kasus itu sendiri. Kenaikan BBM 28,7% menimbulkan gejolak jauh melebihi saat BBM naik di atas 100% pada 2005 lalu. Sementara itu, DPR dan elite politik lainnya sibuk membangun citra diri dengan “menunggangi” isu tersebut. Padahal kebijakan kenaikan tersebut berpijak pada pasal 14 ayat 2 UU APBN-P 2008 yang sudah disetujui oleh DPR. Mainstream politik yang paradoks yang dioperasikan oleh elite ini menjadi preseden buruk bagi pemberdayaan politik warga.

Namun demikian, di tengah krisis ekonomi dan politik tersebut tumbuh kreativitas dari masyarakat. Baik di bidang ekonomi maupun politik muncul upaya-upaya kreatif masyarakat untuk tidak terjebak dalam mainstream ekonomi-politik yang cenderung elitis dan bias. Masyarakat berjuang untuk tetap eksis melalui langkah-langkah “sederhana” baik di bidang politik maupun ekonomi agar hidupnya tetap mengalir. Inilah yang penulis sebut sebagai ekonomi-politik kreatif.

Politik kreatif
Secara politik kita berhasil mengantarkan republik ini pada ladang demokrasi. Bahkan menurut duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Camerun R. Hume keberhasilan Indonesia merenda demokrasi melampaui keberhasilan Amerika saat mengawal demokrasi 200 tahun lalu. (When one looks at the speed of progress that Indonesia has made over its first decade of democracy, in many ways it exceeds the United States’ initial transition into a national democracy over 200 years ago). Demokrasi yang awalnya begitu mewah bahkan sakral di republik ini, kini begitu mencair, bahkan cenderung menjadi politik harian. Rakyat bisa memilih langsung para pemimpinnya baik pada tingkat nasional (presiden) maupun lokal (gubernur dan bupati/walikota).

Kalau dilihat secara kultural, bangsa ini mengalami distorsi historis dalam menapaki demokrasi. Karenanya, budaya demokrasi yang sering disebut-sebut sebagai bagian inheren dalam budaya bangsa sering menjadi sebuah utopia bahkan anomali karena tidak terpapar dalam kenyataan. Semua itu terjadi karena aliran sejarah bangsa ini sempat terpenggal oleh politik kekuasaan yang represif, otoriter, dan sentralistik yang dioperasikan rezim masa lalu. Inilah yang memberi sumbangsih pada realitas kekinian yang paradoks yang tidak jarang berkubang dalam konflik, kekerasan, intimidasi, bahkan alienasi di tengah demokrasi dirayakan secara prosedural.

Titik simpang antara prosedur dan kultur demokrasi melahirkan transisi yang seharusnya berujung pada konsolidasi. Prosesi yang berlangsung selama transisi akan menentukan cepat tidaknya konsolidasi. Semua tergantung pada sejauhmana demokrasi dikawal dan diperlakukan baik oleh elite politik maupun publik. Kalau melihat fakta politik yang berlangsung saat ini sisi terlemah terletak pada elite yang lebih mengedepankan orientasi politik kekuasaannya daripada penguatan politik rakyat.

Walaupun para elite sering berbicara atas nama rakyat, namun itu semua bersifat semu dan topeng untuk memperkuat agenda personalnya. Akibatnya rakyat tidak memperoleh apa-apa kecuali penciptaan citra yang ditebar melalui media-media publik, seperti iklan politik. Mereka merangsang rakyat menjadi imajiner-imajiner kekuasaan yang menjerumuskan dan penuh kepalsuan.

Di tengah mainstream orientasi kekuasaan yang menguasai para elite, lahir kreativitas rakyat untuk memperjuangkan hak-haknya. Kreativitas politik yang tumbuh dari kritisisme masyarakat menguat seiring dengan deviasi demokrasi akibat ulah para politisi. Rakyat semakin tersadar untuk melibatkan dirinya di luar mainstream politik elite yang elitis. Inilah politik kreatif yang tumbuh dari masyarakat bawah tanpa tergantung pada ritual politik para elite. Mereka cukup cerdas untuk memilah dan memilah mana politik kekuasaan dan mana politik kerakyatan. Politik kreatif ini bisa diperkuat menjadi kesadaran kolektif untuk menegasikan segala bentuk paternalisme politik yang memperlambat bahkan menghambat konsolidasi demokrasi.

Ekonomi kreatif
Politik kreatif merupakan ekspresi alternatif (kemandirian) dari mainstream politik elite. Hal ini sebagaimana terjadi dalam bidang ekonomi. Dan hal tersebut perlu terus dirawat tanpa harus mengkonfrontasikan dengan mainstream politik maupun ekonomi yang ada. Apalagi di tengah krisis global yang memaksa negara mengambil langkah dan terobosan yang bisa jadi tidak populer, seperti menaikkan harga BBM, maka simbiosisme menjadi sebuah keniscayaan.

Di tengah krisis global, ekonomi kreatif dapat menjadi tumpuan alternatif agar negara tidak oleng. Bahkan upaya pengentasan kemiskinan yang dioperasikan negara dapat berpacu cepat melalui ekonomi kreatif yang tumbuh di kalangan warganya. Dan hal ini membawa bukti. Sebagaimana diungkapkan Presiden SBY pada Jakarta International Handicraft Trade Fair (Inacraft) 2008 lalu, industri kecil pada 2007 menyumbang Rp 105 triliun terhadap PDB dan Rp 6 triliun diantaranya dari industri kerajinan.

Sumbangsih yang dihasilkan dari ekonomi kreatif tersebut menjadi daya tersendiri bagi ekonomi nasional. Karena itu langkah-langkah ke arah pengembangan ekonomi kreatif tersebut harus mendapat dukungan baik secara politik maupun modal. Muara dari gerak ekonomi kreatif ini adalah bergeraknya sektor riil secara signifikan sehingga pengangguran dan kemiskinan berkurang karena lapangan kerja semakin terbuka.

Dalam konteks ini, keberhasilan ekonomi kreatif tidak terlepas dari politik kreatif yang dimainkan oleh warga dan mendapat dukungan dari pemerintah dalam bentuk kebijakan yang menumbuhkan gerak ekonomi kecil menengah yang selama ini cenderung terabaikan. Inilah tantangan yang dihadapi SBY untuk terus menjalinkelindankan ekonomi kreatif yang mulai tumbuh dan politik kreatif yang mulai menguat dalam masyarakat. Hanya dengan demikian, Indonesia, menurut Institut Kebijakan Strategis Australia (Australian Strategic Policy Institute) “had become a strong democracy, with solid economic growth and competent leadership” (Reuters, 27/5). Semoga.*

Monday, June 09, 2008



Opini

Tafsir Politis Kenaikan BBM
Media Indonesia, Sabtu, 31 Mei 2008

A. Bakir Ihsan

Kenaikan harga BBM bukan sekadar hitung-hitungan matematik, tapi juga politik. Lihatlah reaksi yang beragam terkait kenaikan tersebut. Logika-logika matematik yang disajikan pemerintah tak mampu memberi pemahaman yang substantif terhadap publik, sehingga kontraproduktif.

Kegagalan tersebut lebih disebabkan oleh disparitas pemaknaan atas kebijakan yang diambil oleh negara. Bukan pada substansi yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut. Di sinilah simulakra kata dan wacana dapat menentukan benar tidaknya sebuah fakta. Dalam konteks dominasi (permainan) wacana ini ada beberapa hal yang menarik ditelaah.

Pertama, polemik tentang janji Presiden untuk tidak menaikkan BBM yang dilansir Wiranto dan direspon pihak istana. Tak ada substansi yang bisa dilihat dari perdebatan tersebut kecuali upaya pergumulan dominasi wacana. Pergumulan ini pada akhirnya bermuara pada perebutan citra untuk masing-masing pihak. Karena itu, perdebatan tersebut lebih bernuansa politis daripada mengungkap kebenaran.

Dan inilah yang berkembang saat ini. Penebaran wacana lebih mengemuka daripada kerja nyata. Janji lebih penting daripada bukti. Kesan dan pesan lebih bermakna daripada kenyataan. Karenanya kampanye lebih dihargai dan menarik diekspos daripada kerja-kerja sosial yang bergumul langsung dengan rakyat.

Kedua, tentang kebijakan kenaikan itu sendiri. Dalam beberapa kesempatan pemerintah menjelaskan logika-logika kenaikan BBM dan dampak yang akan dihasilkan. Namun logika tersebut tidak mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga muncul reaksi. Dalam kacamata komunikasi politik, penolakan tersebut bukan sepenuhnya disebabkan oleh lemahnya logika kenaikan. Tapi juga karena kurang intensifnya penjelasan (komunikasi) sehingga gagal dipahami secara komprehensif. Hal ini bisa dibandingkan dengan kenaikan BBM pada 2005 lalu yang reaksinya tidak sebesar saat ini. Padahal tingkat kenaikannya jauh lebih besar saat itu.

Sosialisasi dan komunikasi yang dibangun pemerintah pada 2005 jauh lebih intensif dan komprehensif dibandingkan saat ini. Dua langkah yang dilakukan pemerintah pada saat itu adalah pertama, pendekatan terhadap para tokoh masyarakat (opinion leader), seperti kiai dan pemuka masyarakat, sehingga mereka bisa memahami dan mensosialisasikan kebijakan kenaikan harga BBM pada masyarakatnya. Pada waktu itu, Presiden SBY secara khusus bertemu dengan beberapa kiai di Jawa Timur untuk menjelaskan hal tersebut. Kedua, keterlibatan kaum profesional baik dari kalangan media maupun konsultan yang bersedia memberikan dukungannya terhadap kenaikan tersebut. Waktu itu beberapa kalangan profesional, cendekiawan, dan tokoh masyarakat secara khusus membuat iklan dukungan terhadap kenaikan BBM di beberapa media nasional yang dilengkapi dengan hasil riset. Kedua langkah ini tidak dilakukan pada kenaikan BBM 24 Mei lalu.

Soliditas
Sulit dimungkiri bahwa eskalasi politik yang semakin memanas menjelang 2009 ikut mengeruhkan kebijakan kenaikan BBM ini. Masing-masing kekuatan politik, termasuk partai pendukung pemerintah ikut memainkan wacana untuk “mencari keuntungan” secara efektif. Inilah yang menyebabkan barisan koalisi di dalam kabinet tidak maksimal dalam menerjemahkan kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal kenaikan BBM.

Gejala ini tidak hanya terjadi di internal pemerintah. Lembaga negara lainnya juga belum konsisten menjalankan fungsinya sehingga menjadi bagian dari kegaduhan republik ini Lihatlah sikap inkonsistensi anggota DPR yang memberi “cek kosong” pada pemerintah untuk mengambil kebijakan masalah BBM yang harganya fluktuatif. Adanya cek kosong ini sekaligus mengurangi fungsi kontrol DPR yang seharusnya menjadi benteng pertahanan bagi kepentingan rakyat.

Kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal kenaikan BBM, merupakan rangkaian dari kesepakatan dengan legislatif. Keberanian pemerintah menaikkan harga BBM karena DPR telah memberi cek kosong pada pemerintah untuk memperlakukan harga BBM berdasarkan harga global yang fluktuatif. Karena itu aneh kiranya apabila ada anggota dewan yang memprotes kenaikan tersebut, apalagi berupaya memakzulkan presiden karena kebijakan yang sesungguhnya mendapat dukungan dari DPR. Hal ini sekaligus menunjukkan retaknya soliditas antara lembaga yang sejatinya menjadi pijakan bagi soliditas masyarakat.

Sebagai rangkaian pilar kenegaraan, maka legislatif, eksekutif, dan yudikatif merupakan kekuatan kolektif yang bertanggungjawab atas pelaksanaan dan kebijakan negara. Karena itu apapun yang terjadi, termasuk dalam kebijakan kenaikan BBM merupakan tanggungjawab kolektif. Eksekutif, dalam hal ini Presiden, tidak bisa, dan tidak boleh, mengeluarkan kebijakan semaunya sendiri. Kalau ini terjadi berarti bangsa ini, terutama pihak DPR sebagai kontrol eksekutif, membiarkan tumbuhnya benih otoritarianisme.

Depolitisasi
Keputusan pemerintah menaikkan BBM adalah keputusan politik. Namun unsur politisasi dalam kebijakan tersebut tentu sulit dipahami. Sejatinya SBY bisa mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut. Alih-alih keuntungan, justru ia menuai protes, unjuk rasa, bahkan tindakan anarkis. Kebijakan yang tidak populer ini sedikit banyak menyumbang delegitimasi dan penurunan citra pemerintah. Karena itu, apapun upaya pemerintah untuk “meninabobokan” rakyat, sebagaimana ditudingkan, termasuk melalui pemberiaan beasiswa bagi mahasiswa tidak akan bisa menutupi beban hidup dan kritisisme mahasiswa.

Pada titik ini secara tidak langsung SBY menunjukkan dirinya bahwa bukan pencitraan yang ia bangun, tapi logika-logika kebijakan yang tentu menurut pertimbangannya lebih besar manfaatnya daripada membiarkan (tidak menaikkan) demi citra. Hal ini dengan sendirinya menegasikan segala bentuk politisasi dalam menaikkan harga BBM.

Dan yang menuai untung dalam konteks pencitraan dari kenaikan tersebut adalah lawan-lawan politiknya yang akan bertarung pada pemilu 2009, seperti Wiranto dan Megawati. Bahkan Megawati secara terus terang melarang pendukungnya menerima bantuan langsung tunai. Kalau ini terjadi, proses delegitimasi terhadap pemerintah semakin kuat.

Ini semua merupakan efek dari tafsir politik (politisasi?) terhadap sebuah kebijakan. Tentu sejarahlah yang akan menjawab apakah kebijakan tersebut lebih membawa madarat atau justru menambah manfaat bagi kemandirian rakyat.*


Opini

Kritik Kebudayaan atas Korupsi Sistemik
Koran Tempo, Sabtu, 7 Juni 2008

A. Bakir Ihsan

Hiruk-pikuk kenaikan harga BBM seakan menghapus masalah lainnya yang jauh lebih mengakar dan sistemik, yaitu korupsi. Kita bahkan dunia mengakui negara ini adalah negara korup. Kalau mau jujur, inilah salah satu pangkal dari krisis yang mengangkangi uang negara yang sering menjadi alasan tak langsung dinaikkannya BBM.

Upaya yang dilakukan untuk mematikan api korupsi pun terus dilakukan. Namun, api korupsi tak juga mati. Bahkan jilatannya menyambar ke berbagai penjuru. Korupsi yang dulunya menghegemoni ranah birokrasi, kini menyeruak di lembaga para politisi bertahtakan suara rakyat. Anehnya lembaga wakil rakyat itu merasa kebakaran jenggot oleh ulah anggotanya sendirinya. Miris rasanya, sebuah bangsa yang merdeka dan sedang merenda demokrasi tak juga lekang dari korupsi. Demokrasi dan korupsi seperti dua sisi yang bersinergi.

Demokrasi telah meniscayakan terbangunnya lembaga-lembaga antikorupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan dari sana para koruptor terkuak di depan publik. Bahkan di antara mereka adalah orang yang ikut, paling tidak, bertanggungjawab atas kelahiran dan kelangsungan lembaga antikorupsi tersebut. Mereka yang memulai membuat aturan anti-korupsi, tapi mereka pula yang menyelewengkannya. Apa yang ada dalam kata-kata tak berpijak pada fakta (perilaku).

Tata aturan untuk menertibkan perilaku koruptif dikoyak oleh perilaku elite yang kehilangan budaya malunya. Budaya suka menerabas (cutting-corner attitude) sudah dianggap lazim sehingga korupsi menjadi tradisi. Korupsi menjadi bagian (inheren) dalam kegiatan sehari-hari dan terbawa kemana posisi diduduki. Inilah problem korupsi yang tak lapuk oleh aturan main, karena dipermainkan oleh para pembuat aturan main itu sendiri.

Di sinilah perlu pembacaan ulang atas upaya pemberantasan korupsi yang banyak berkutat pada formalitas aturan main dan penindakan. Akibatnya satu koruptor tertangkap, koruptor lain bangkit. Banyak celah mereformulasi tindakan korupsi seiring gencarnya pemberantasan korupsi itu sendiri. Para menteri bisa menyucikan diri dari korupsi, tapi birokrasi di bawahnya siapa bisa mengawasi. Karena itu, diperlukan landasan budaya antikorupsi yang kokoh agar bangunan pemberatasannya tak koyak oleh birokrasi yang terlanjur berbasis korupsi.

Kritik kebudayaan
Pengabaian atas landasan budaya menyebabkan involusi pada berbagai tataran kehidupan. Demokrasi tanpa sikap demokratis melahirkan pseudo-democracy. Kebebasan menjadi milik kelompok yang mengancam kelompok lainnya. Begitu pun pemberantasan korupsi tanpa kesadaran antikorupsi hanya berujung pada adu argumentasi dan gengsi posisi.

Pendidikan sebagai kritik kebudayaan sejatinya menjadi landasan minimalisasi nilai-nilai menyimpang. Pendidikan bukan sekadar mengenalkan konsepsi, tapi sebagai langkah kritis terhadap the dominant ideology yang menyebabkan massifikasi korupsi.

Di sinilah perlunya pendidikan khusus antikorupsi. Sebuah proses penyadaran secara spesifik yang berlandaskan pada ontologi, epistemologi, dan aksiologi antikorupsi. Pendidikan antikorupsi memberi kejernihan secara ontologis dan epistemologis sehingga para peserta didik bisa membedakan dan menjauhi tindakan koruptif. Begitu juga penyadaran tentang dampak eksesif dan massif dari korupsi sehingga muncul rasa benci dan alergi terhadap segala bentuk korupsi.

Pendidikan antikorupsi berbeda dengan pendidikan moral yang ranahnya lebih general tentang perilaku menyimpang. Spesifikasi antikorupsi ini penting karena pada kenyataannya korupsi terjadi tidak semata kesengajaan dan keterpaksaan. Tapi juga karena pemahaman yang lemah terhadap tindakan-tindakan yang tergolong korupsi atau tindakan yang menyebabkan suburnya korupsi. Itulah sebabnya dalam acara pembukaan konvensi hukum nasional beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan urgensi sosialisasi hukum, sehingga masyarakat tidak terjebak dalam tindakan menyimpang yang tidak dipahaminya. Bahwa korupsi tidak hanya terkait penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), atau meraup keuntungan material (material benefit) yang bukan haknya, tapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust).

Bebas korupsi
Mendambakan “bebas korupsi” dari dunia pendidikan mungkin seperti kodok mendambakan bulan. Pendidikan sebagai proses pembebasan (dari tindak korupsi) harus berhadapan dengan karut marut sistem pendidikan itu sendiri. Sementara pendidikan antikorupsi mensyaratkan adanya kesinambungan aspek kognitif, afektif, dan konasi sehingga pendidikan antikorupsi tidak sekadar disiplin pengetahuan yang diajarkan, tapi terkoneksi dengan kenyataan (multicommunication).

Untuk itu, merujuk Gustavo Gutiérrez Merino (1971), maka pendidikan antikorupsi mengharuskan adanya tiga langkah. Pertama, pembebasan politik dan sosial yang mengukuhkan tindak korupsi. Kedua, emansipasi dan partisipasi seluruh masyarakat sebagai korban tindak korupsi untuk membenci dan mengalienasi para koruptor. Ketiga, pembebasan dari egoisme dan dosa dengan mendekatkan Tuhan ke bumi. Hal ini penting, karena negara ini terlanjur mentahbiskan agama (religiusitas) sebagai identitas warganya.
Secara formal, kita baru melakukan sebagian dari langkah pertama. Hadirnya lembaga-lembaga antikorupsi merupakan buah dari kehendak politik (political will). Namun peran dari lembaga-lembaga tersebut akan seperti lilin yang cahayanya meredup bila tidak didukungan seluruh lapisan sosial. Dengan kata lain, pendidikan antikorupsi akan optimal ketika ia menjadi kehendak budaya dan didukung oleh realitas struktural yang menghasrati pembebasan negara dari segala tindak korupsi.*

Friday, June 06, 2008



Opini

Pertaruhan Ekonomi-Politik SBY
Seputar Indonesia, Jum’at, 6 Juni 2008

A. Bakir Ihsan

Akhirnya pemerintah menaikkan harga BBM 28,7%. Walaupun kenaikannya tidak sebesar kenaikan 2005 yang mencapai lebih 100%, namun kegaduhan dan reaksi politiknya lebih besar. Inilah realitas politik yang semakin panas menjelang Pemilu dan Pilpres 2009.

Tampaknya SBY hadir sebagai presiden di saat yang “kurang beruntung”. Hampir seluruh perjalanan pemerintahannya diwarnai oleh bencana dan krisis yang hadir tak terduga. Tak lama setelah dilantik sebagai presiden (akhir Oktober 2004), tsunami menghadang dan duniapun berkabung. Bencana mahadahsyat ini seakan menjadi pembuka dari rangkaian bencana termasuk krisis harga pangan dan minyak yang memaksa pemerintah memutar sejuta cara agar negara tetap berjalan.

Krisis dan bencana ini sejatinya menjadi keprihatinan kita semua. Setegas dan sekuat apapun seorang presiden tidak akan kuasa menghadapi semua itu tanpa kesadaran kolektif kita sebagai bangsa. Di sinilah soliditas dan solidaritas kebangsaan dipertaruhkan. Krisis menjadi ajang konsolidasi anak bangsa untuk kebaikan bersama. Kita malu pada dunia ketika bencana tsunami melanda, dunia internasional bersatu membantu. Bahkan dua mantan presiden Amerika Serikat yang beda partai (George Bush & Bill Clinton) bersatu untuk membantu korban bencana tsunami. Namun di negeri ini yang terjadi justru sebaliknya. Krisis dan bencana menjadi ajang eksploitasi untuk kepentingan kelompok dan mengalienasi kepentingan masyarakat banyak. Obsesi kekuasaan menjadi ajang yang menghapus memori kolektif sebagai landasan berbangsa.

Bahwa kekuasaan harus diawasi dan dikritisi agar tidak terjerembab dalam deviasi adalah hal yang pasti. Namun logika-logika kebijakan yang dibuat pemerintah demi bangsa harus juga diapresiasi. Di sinilah check and balances seharusnya diberlakukan. Sebagai pemegang pucuk kekuasaan, SBY pasti menyadari manfaat chek and balances ini sebagai ajang evaluasi dan introspeksi diri. Bahkan dalam sebuah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Jakarta awal tahun 2008 yang lalu, SBY mengatakan bahwa dirinya harus ikhlas menerima dan menghadapi berbagai kritik, kecaman dan serangan dari banyak pihak karena, kenyataanya, ia sedang menjalankan amanah. Tidak ada pintu untuk mengadu dan mengeluh. Semua harus diterima dan dihadapi apa adanya.

Logika ekonomi
Sejak awal 2008 ini SBY kembali menghadapi persoalan yang maha berat. Indonesia, sebagaimana negara-negara lain, ditimpa dua “krisis” yang datang sekaligus, harga minyak dan harga pangan dunia. Meskipun pemerintahan yang dipimpinnya ingin mencari solusi yang tidak membebani masyarakat, dan secara sosial-politik tidak berisiko tinggi, yaitu dengan tidak menaikkan harga BBM, opsi itu tidak dimungkinkan. Hingga selesainya APBN-P 2008, meskipun tidak ideal dan banyak mengundang kritik, sebenarnya SBY tetap bertahan untuk tidak menaikkan harga BBM. Ia ingin para menteri dan pembantu-pembantunya memikirkan dan melaksanakan langkah-langkah lain dulu. Menaikkan harga BBM adalah “jalan terakhir”. Inilah yang dalam bentuk ekstrem terekspresi dalam pernyataan; “tidak ada opsi kenaikan BBM” yang kemudian menjadi ajang eksploitasi lawan-lawan politik SBY.

Tetapi, setelah semua opsi dipertimbangkan dan upaya dijalankan, tampaknya APBN 2008 (baca; ekonomi nasional) akan terancam jika BBM tidak dinaikkan sama sekali. Dalam keadaan nyaris “pasrah” dan harus siap menghadapi segala risiko yang paling besar, SBY akhirnya sepakat kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 28,7%. Besaran kenaikan ini didasarkan pada berbagai pertimbangan dan masukan dari banyak pihak. Lebih dari itu, kenaikan tersebut diberlakukan dengan catatan program bantuan untuk kaum miskin betul-betul diberikan dan dirasakan langsung. Program bantuan tersebut sebenarnya tidak hanya dalam bentuk bantuan tunai langsung (BLT) yang sering diasosiakan sebagai ikan, tapi juga berupa kail dalam bentuk program nasional pemberdayaan masyarakat dan kredit usaha rakyat yang sudah dijalankan pemerintah.

Karena itu, pemberlakuan kenaikan BBM per 24 Mei ini beriringan dengan pemberian bantuan langsung dan penguatan pemberdayaan masyarakat melalui beragam program pemerintah untuk golongan tidak mampu. Proses pemberdayaan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat atau presiden semata. Justru dengan otonomi daerah, proses pemberdayaan masyarakat seharusnya semakin kuat di daerah. Karenanya terasa aneh ketika beberapa kepala daerah menolak menyalurkan bantuan tunai langsung yang merupakan hak warganya sebagai kompensasi dari kenaikan BBM.

Logika politik
Euforia politik melahirkan banyak ekspresi dan ambisi. Inilah yang sering mengaburkan eksistensi rakyat dari tanah demokrasi. Perhelatan politik hanya menyedot obsesi segelintir elite untuk mencari jalan selamat dengan mengeksploitasi rakyat. Karenanya kebijakan tidak populer SBY dengan menaikkan harga BBM, dinikmati betul oleh para petualang kekuasaan untuk mendelegitimasi kepemimpinan SBY melalui berbagai cara. Bahkan dengan cara mendistorsi wacana agar rakyat bersimpang makna. Dalam kamus politik kekuasaan, semua itu menjadi niscaya.

Sebagaimana dimaklumi beberapa elite politik sudah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden pada Pilpres 2009 mendatang. Megawati Soekarnoputri, Wiranto, dan Sutiyoso adalah di antara elite yang terus terang dan beberapa orang lainnya masih sebatas wacana dan “cari angin”. Dan di antara calon yang paling getol mengkampanyekan dirinya dengan menjual sisi lemah kekuasaan adalah Megawati dan Wiranto. Dua calon ini merupakan pesaing SBY pada pemilu lalu yang ternyata tak juga memupus obsesi untuk berkompetisi pada pilpres nanti.

Semua orang punya hak yang sama untuk meraih kekuasaan. Namun semua itu harus tetap berada dalam fatsoen politik kebangsaan. Yaitu sebuah upaya nyata untuk menjadikan politik sebagai alat pemberdaya, bukan pemerdaya, rakyat. Melalui fatsoen politik kebangsaan inilah seharusnya political capital dipupuk agar tumbuh apresiasi dari lubuk hati terdalam masyarakat. Political capital yang dibangun melalui proses pencitraan bisa melahirkan kepemimpinan yang imitatif dan imaginatif yang penuh deviasi dan distorsi. Dia dikenang dalam memori, tapi tak menyentuh hati.

Political capital para calon presiden ini bisa dilihat dari cara dan langkah yang dilakukan untuk meraih kemenangan politik. Kalau Megawati banyak bermain pada untaian kata-kata dalam mengkritik kekuasaan, seperti tebar pesona, janji setinggi langit capaian di kaki bukit, dan tarian poco-poco, maka Wiranto lebih agresif dengan menggunakan media publik untuk mengiklankan diri, tentu dengan biaya yang cukup tinggi. Bahkan iklannya lebih sering muncul daripada sorotan media atas kegiatan SBY yang berkaitan langsung dengan program kerakyatan.

Di sinilah perang citra berlangsung di tengah problem besar melilit bangsa, seperti kemiskinan, kenaikan harga pangan dan BBM. Setiap pemimpin pasti dan harus berjanji memberikan kebijakan terbaik untuk rakyatnya, termasuk pengentasan kemiskinan dan stabilitas harga. Janji adalah komitmen dan harapan untuk diwujudkan. Namun apapun usaha yang dilakukan toh akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan yang bisa jadi jauh dari harapan. Inilah yang dihadapi SBY saat ini di tengah gejolak harga minyak tak terduga. Dan hal ini juga terjadi pada nasib reformasi. Di tengah bangsa berbekal optimisme tentang reformasi dan demokrasi, ternyata harus berhadapan dengan ambisi kekuasaan segelintir elite dengan mengeksploitasi rakyat. Ambisi kekuasaan di tengah kultur patrimonial dan paternalistik, termasuk seniority complex, telah memetamorfose demokrasi menjadi grontokrasi. Inilah kenyataan tak terduga akibat ambisi kekuasaan elite politisi.

Kalau SBY mempertimbangkan ambisi itu, kebijakan tidak populer ini pasti dinafikan. Logika politik kekuasaan untuk mempertahankan status quo diabaikan SBY justru beberapa bulan menjelang Pemilu dan Pemilihan Presiden berlangsung di Indonesia. Karenanya sungguh iba dengan pernyataan SBY yang jujur dan apa adanya bahwa ia siap menerima risiko politik apapun atas pilihan dan kebijakan pemerintah ini, daripada harus menghitung untung-rugi bagi karir politiknya. SBY telah menetapkan sikap dan posisi yang termasuk “langka” dalam dunia politik. Sejarahlah yang akan mencatat, apa yang akan terjadi dengan SBY menyusul pilihannya itu. Paling tidak ia telah punya pendirian dan keberanian untuk berbuat sesuatu yang sangat tidak populer dan mengabaikan politik citra sesaat, demi manfaat yang, insya Allah, lebih banyak.*

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/pertaruhan-ekonomi-politik-sby-2.html

Friday, May 23, 2008



Opini

BBM & Solusi demi Rakyat
Seputar Indonesia, Jum’at, 23 Mei 2008

A. Bakir Ihsan

Saat ini sedang berhamburan wacana pro kontra kenaikan BBM. Pemerintah mengambil keputusan dan sebagian mahasiswa dan masyarakat bergerak menyuarakan penolakannya terhadap rencana kenaikan BBM yang terlanjur menyesakkan kesadaran dan hajat masyarakat.

Secara politik, pemerintah pasti berat mengambil kebijakan menaikkan BBM karena kebijakan ini pasti tidak populer. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kenaikan harga BBM di tengah harga minyak dunia yang terus melambung sebagai alternatif terakhir. Ada langkah-langkah yang antisipatif yang harus dilakukan untuk meminimalkan dampak kenaikan harga minyak dunia. Salah satunya adalah penghematan. Langkah ini sudah dilakukan oleh Presiden melalui pengembalian anggaran rumah tangga Presiden yang mencapai Rp160 miliar selama tiga tahun (2005-2007). Pengembalian ini merupakan langkah penghematan di tengah negara membutuhkan banyak dana demi kepentingan yang lebih mendesak dan urgen, seperti pengentasan kemiskinan, fasilitas kesehatan, dan dana pendidikan.

Langkah positif yang dilakukan Presiden ini sejatinya bisa dilakukan oleh para pejabat lainnya sebagai public service. Karenanya kita patut prihatian dan merasa miris melihat kelakuan anggota DPR yang masih melakukan kunjungan ke luar negeri dengan output yang tidak jelas. Apalagi di tengah rakyat terbebani oleh berbagai kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan rencana kenaikan harga BBM.

Sebelum keputusan akhir diambil oleh pemerintah menyangkut harga BBM ini, para anggota dewan seharusnya berjuang maksimal dengan menawarkan solusi-solusi alternatif, tanpa melibatkan intrik politik yang justru semakin menyengsarakan rakyat. Diperlukan kesamaan visi dan misi untuk mengatasi persoalan harga BBM yang bagi pemerintah bisa menjadi buah simalakama.

Mutualisme
Selama ini Presiden SBY selalu mengemukakan bahwa orientasi kebijakan yang dikembangkan adalah menyeleraskan antara pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi melibatkan dunia usaha yang tingkat pergerakannya tergantung pada situasi yang kondusif. Sementara pemerataan menitiktekankan pada kesempatan bagi seluruh rakyat, khususnya masyarakat miskin untuk menikmati hasil yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi.

Kesinambungan antara dunia usaha dengan masyarakat kecil merupakan langkah mulia yang sejatinya dapat dirasakan bersama. Masalah BBM ini menjadi pertaruhan bagi Presiden SBY untuk memperkuat keseimbangan (mutualisme) tersebut, sehingga seluruh masyarakat betul-betul merasakan manfaat dari kebijakan yang diambil pemerintah.

Karena itu diperlukan langkah-langkah konstruktif dan cerdas agar semua pihak tidak merasa dirugikan atau bisa mendapatkan “keuntungan bersama” (simbiosis-mutualisme) dengan kebijakan yang akan diambil pemerintah terkait harga BBM. Kalau pun ada skala prioritas, maka pemerintah harus mengedepankan nasib mereka yang paling terbebani oleh efek kenaikan BBM.

Ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah untuk memaksimalkan penggunaan BBM dan meminimalkan dampak penderitaan pada rakyat kecil. Pertama, pemerintah sebagai pemegang otoritas negara dapat memaksa para operator minyak dalam negeri baik lokal maupun asing untuk menjual minyaknya pada pemerintah dengan harga tertentu dan diolah di dalam negeri. Otoritas ini penting karena negara, sebagaimana disebut Roger H. Soltau adalah agen otoritas yang mengatur dan mengendalikan persoalan atas nama rakyat (in the name of the community).

Kedua, pemerintah mengambil alih pengadaan minyak dengan melakukan bargaining dengan negara lain (government to government) yang menjual minyaknya dengan harga yang lebih murah, seperti dengan Rusia yang menjual minyaknya antar negara seharga USD450 permetrik ton. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan harga minyak berdasarkan harga produk jadi yang mencapai USD1.215 permetrik ton. Pengambilalihan ini penting dalam situasi yang dapat mengancam kehidupan masyarakat kebanyakan yang berada di level menengah kebawah.

Ketiga, mewajibkan mobil di atas 2.000 cc memakai pertamax. Menurut data, ada 1 juta lebih mobil yang cc-nya di atas 2.000. Kalau satu hari mobil mewah tersebut menggunakan 10 liter premium yang disubsidi, berarti pemerintah menyumbang orang-orang kaya tersebut jauh lebih besar daripada subsidi yang diberikan pada rakyat miskin melalui BLT. Pada titik ini pemerintah telah membiarkan eksploitasi orang-orang berpunya terhadap orang-orang papa.

Untuk mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan ini diperlukan pengawasan di setiap SPBU dengan melibatkan para pengawas yang direkrut oleh Pertamina. Dengan jumlah SPBU 4.500 dan dengan menggaji 2 juta untuk masing-masing pengawas yang direkrut dari lulusan-lulusan SMU, maka hanya diperlukan dana Rp108.000.000 miliar setahun. Jauh dibawah dana subsidi BBM yang mencapai triliunan. Lebih dari itu, program ini sekaligus membuka lapangan pekerjaan baru bagi para lulusan SMU di tengah sempitnya ruang usaha.

Kebangkitan
Ketiga langkah di atas sebenarnya mempertegas solusi yang selama ini diwacanakan oleh SBY dalam merespon berbagai persoalan masyarakat, khususnya terkait masalah kemiskinan. Kepedulian dunia usaha terhadap usaha kecil menengah melalui program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) dan kredit usaha rakyat (KUR) adalah bentuk penyeimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan.

Optimal tidaknya solusi tersebut tergantung pada komitmen seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong dan mendukung pemerintah melakukan langkah-langkah konstruktif demi kepentingan rakyat. Bukan waktunya lagi berdebat tentang nasionalisasi atau swastanisasi, tapi bagaimana proses-proses ekonomi politik ini bisa mendatangkan keuntungan bagi masyarakat luas. Dan dalam konteks BBM ini pemerintah harus bisa membuktikan fungsi konstruktifnya bagi rakyat di tengah peran swasta lokal dan asing dalam pengelolaan minyak.

Tidak kalah pentingnya, diperlukan keteladanan dari para elite politik dan tokoh masyarakat untuk hidup hemat dan sederhana sebagai bentuk empati atas penderitaan yang menimpa masyarakat.

Masalah BBM ini menjadi pertaruhan di tengah semarak peringatan 100 tahun kebangkitan nasional. Efek domino dari kenaikan BBM yang terlanjur dipersepsi sebagai proses pembangkrutan rakyat kecil, akan menambah beban derita rakyat. Karena itu, 100 tahun kebangkitan nasional akan melampaui segala bentuk seremoni apabila kebersamaan kata dan rasa mewujud dalam kerja; meminimalkan mudarat dan memaksimalkan manfaat bagi hajat seluruh rakyat.*

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/bbm-solusi-demi-rakyat-2.html

Tuesday, April 29, 2008

Opini

Kemenangan Semu Parpol
Seputar Indonesia, Selasa, 29 April 2008

A. Bakir Ihsan

Pelaksanaan Pilkada di awal 2008 ini menyajikan fakta-fakta baru. Kemenangan beberapa calon yang tidak diunggulkan dan diusung oleh “partai menengah” dianggap sebagai terobosan yang akan mengguncang pemilu 2009. Beberapa asumsi antitesis pun dibangun untuk menjelaskan “era baru” yang akan mewarnai pemilu mendatang. Kemenangan calon parpol menengah dipahami sebagai antitesa dari dominasi parpol besar. Keunggulan calon baru ditahbiskan sebagai antitesa dari eksistensi incumbent. Kekalahan pensiunan jenderal dianggap sebagai monumen kebangkitan politisi sipil. Dan kemunculan pemimpin muda diyakini sebagai masa renta politisi tua.

Pola pandang antitesis dan biner tersebut di satu sisi dapat memacu sirkulasi atmosfir politik yang menurut Presiden SBY semakin “panas”. Tapi di sisi lain bisa mengaburkan (memanipulasi) peta politik yang sesungguhnya. Asumsi bahwa parpol besar mulai keropos dan partai menengah mulai bangkit masih harus dibuktikan secara lebih konkret. Karena pada kenyataannya, partai besar masih mendominasi kemenangan dalam kontestasi Pilkada. Nah, fenomena kemenangan partai menengah dalam beberapa pilkada justru memperlihatkan ambiguitas eksistensi parpol. Parpol tidak memiliki pijakan kuat, sehingga eksistensinya tidak bisa dijadikan garansi kemenangan.

Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan rapuhnya garansi parpol tersebut. Pertama, kondisi masyarakat yang masih mengambang. Realitas sosial yang labil secara politik tidak bisa dipetakan secara sistemik. Kemenangan partai pada pemilu lalu tidak menjadi garansi kemenangan calon yang diusungnya dalam kontestasi pilkada. Kedua, kinerja parpol yang belum maksimal. Rendahnya ikatan emosional dan rasional masyarakat terhadap partai merupakan efek dari rendahnya tingkat artikulasi, agregasi, dan apresiasi parpol atas aspirasi masyarakat. Ketiga, kuatnya faktor personal. Kekalahan parpol-parpol besar dalam beberapa pilkada, bahkan dalam pilpres yang lalu menjadi bukti konkret kuatnya faktor personal dalam kontestasi.

Dalam kondisi demikian apakah partai patut mengklaim kemenangan dalam kontestasi pilkada sebagai cermin sukses peran dan eksistensinya?

Nasib parpol
Secara historis peran parpol di negeri ini belum pernah berkibar mengantarkan optimisme masyarakat untuk menyongsong demokrasi. Sejarah rezim di republik ini terjebak dalam paradoksalitas partai. Musim semi parpol yang ditabuh Mohammad Hatta melalui Maklumat 3 November 1945 “diakhiri” oleh pidato Soekarno Oktober 1956. Dan Soeharto menjadikan partai sekadar penyemarak demokrasi basa-basi.

Di awal reformasi, partai menjadi sebuah mesianisme politik. Pengebirian partai pada masa lalu dianggap sebagai petaka bagi tata negara bangsa. Partai pun bak ratu adil. Ia disanjung, disambut, bahkan diyakini sebagai jalan menuju kehidupan politik yang lebih baik. Melalui partai aspirasi bisa diapresiasi, konflik bisa diatasi, dan masyarakat bisa berserikat sebagai hak asasi.

Atas kerangka itu, partai hadir begitu menggurita. Ia mengendalikan nafas kekuasaan. Warna-warni kekuasaan sepenuhnya di tangan partai. Namun sayang, otoritas hegemonik partai ini dioperasikan sepenuhnya untuk kekuasaan. Konsekuensinya harapan besar atas peran partai bagi rakyat terkubur.

Kehadiran partai yang begitu memesona di awal reformasi, kian hari semakin meredup seiring memudarnya ikatan emosi rakyat akibat erosi ulah politisi. Wajar bila hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Maret 2007, menemukan kesenjangan aspirasi pemilih (65%) dengan sikap dan perilaku partai. Partai telah bermatamorfose menjadi singgasana kaum elit.

Namun politisi seakan tak kehabisan energi dan obsesi. Gugur satu tumbuh seribu. Menyambut pemilu 2009, terdapat 24 partai baru yang lolos verifikasi Depkum-HAM atau 58 partai yang sedang diverifikasi KPU. Semuanya mempertaruhkan rakyat yang selama ini diabaikan.

Krisis partai
Deskripsi di atas memperlihatkan paradoksalitas partai. Di balik kelemahannya tersisa semangat untuk tetap eksis. Di balik kewenangannya yang begitu menggurita bahkan hegemonik, terhampar kelemahannya akibat pengabaiannya pada aspirasi rakyat. Sepak terjang partai seperti macan tua yang sedang membunyikan lonceng kematiannya. Ia besar tapi tak berdaya. Ia berkuasa tapi tak dipercaya. Ia bertahta tanpa wibawa.

Fenomena krisis eksistensi partai sebenarnya sudah terbaca sejak pemilu 2004. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) memperlihatkan minimnya peran partai dalam pemilihan tampuk kekuasaan. SBY diusung oleh partai yang baru pertama kali bertarung di pemilu (partai Demokrat), sementara JK hanya “orang biasa”, kalau bukan terasing, di Golkar. Tanpa basis partai yang kuat, keduanya bisa mengalahkan calon dari partai besar seperti Golkar dan PDIP.

Dalam beberapa Pilkada pun kemenangan calon tidak sepenuhnya ditentukan partai. Kemenangan partai menengah menunjukkan bahwa partai besar bukan jaminan untuk memenangkan calonnya. Bahkan untuk kasus Nanggroe Aceh Darussalam justru calon independen yang berhasil meraih kursi gubernur dan beberapa kursi bupati. Dan tidak tertutup kemungkinan, apabila kran calon independen dibuka, akan muncul pemimpin-pemimpin kepala daerah yang independen. Kemungkinan ini terbuka lebar di tengah wibawa partai semakin merosot di mata publik akibat ulah sendiri.

Krisis yang dialami parpol ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi partai dalam memposisikan dirinya sebagai medium kaderisasi politik maupun medium resolusi konflik. Partai akan efektif menjadi media perjuangan ketika ia hadir sebagai tumpuan harapan rakyat. Namun yang terjadi, partai tumbuh di atas angan-angan segelintir orang yang hendak berkuasa. Bahkan tidak jarang partai menjadi meja kasino untuk mendapatkan berbagai keuntungan berlipat.

Orientasi (personifikasi) kekuasaan yang begitu besar di lingkungan elit parpol telah mempersempit ruang gerak sekaligus memperlambat peran parpol. Dalam kondisi demikian, partai mudah menjadi ajang perebutan antar elit partai itu sendiri. Di sinilah benih perpecahan bersemi yang berakibat pada inefektivitas kerja partai. Tidak heran apabila hampir semua partai mengalami perpecahan, baik secara permanen maupun temporer. Konflik yang mencengkram PKB saat ini merupakan bagian dari perebutan personifikasi kekuasaan itu. Dalam kondisi partai yang rapuh itu, artikulasi atas aspirasi rakyat hanya mimpi. Eksistensi partai di tengah menguatnya egosentrisme menjadi ajang personifikasi kepentingan.

Mempublikkan parpol
Personifikasi partai merupakan deviasi dari esensi partai sebagai jembatan antara publik (rakyat) dan republik (pemerintah). Parties as the only true linkage between society and government (Epstein, 1980). Partai menjadi penting, ketika ia mementingkan rakyat. Dan partai menjadi media paling efektif untuk mengontrol kekuasaan, ketika ia bersama rakyat.

Selama sepak terjang parpol untuk kepentingan parpol, maka demokrasi berubah menjadi partaiokrasi (partyocracy). Kekuasaan menjadi kue yang diperebutkan, diolah, dan dinikmati oleh elit-elit parpol sendiri. Kedaulatan rakyat berubah menjadi kedaulatan partai. Apabila fenomena ini dibiarkan, maka perlahan tapi pasti partai akan mengalami pembusukannya.

Kini kembali pada parpol, apakah ia mampu melepaskan dirinya dari jeratan egosentrisme kekuasaan yang membuat dirinya teralienasi dari rakyat, atau bermetamorfose menjadi alat perjuangan, sehingga ikatan emosional dan rasional menguat dalam diri rakyat. Kalau tidak, kemenangan demi kemenangan yang diraih parpol dalam kontestasi pilkada hanyalah kemenangan semu.*

Friday, April 18, 2008


Opini

Islam Menakar Demokrasi
Media Indonesia
, Jum’at, 18 April 2008

A. Bakir Ihsan

Demokrasi tampaknya semakin bersemi. Paling tidak dari wacana yang terus bergulir menunjukkan urgensi demokrasi, termasuk di negara-negara muslim yang tandus demokrasi. Hal ini bisa dilihat dari intensitas penyelenggaraan Doha Forum on Democracy yang diselenggarakan setiap bulan April di Qatar. Tahun ini merupakan penyelenggaraan yang ke-8 dengan melibatkan ratusan partisipan dari berbagai negara dan profesi. Intensitas wacana demokrasi di negara Timur Tengah ini menunjukkan urgensi sekaligus problem demokrasi, khususnya di negara-negara muslim.

Beberapa waktu lalu, dalam sidang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-11 Organisasi Konferensi Islam (OKI) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan relevansi Islam dan demokrasi yang berhasil dijalankan di Indonesia. (Senegal, 14/3).

Atensi atas demokrasi di atas menyiratkan dua sisi demokrasi. Pertama, secara internal demokrasi bisa tumbuh berlandaskan nilai-nilai Islam. Penempatan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga (freedom house, 2006) secara tidak langsung menunjukkan akseptabilitas Islam terhadap demokrasi.

Kedua, demokrasi sebagai bagian dari arus global, mensyaratkan keterlibatan faktor eksternal untuk merawat dan memperkuat tatanan demokrasi. Faktor eksternal ini penting karena secara faktual, demokrasi sering direcoki oleh kepentingan lain (ekonomi) yang berlindung di balik demokrasi. Dan inilah yang sedang menyelimuti sebagian negara Islam di tengah kepentingan global yang kompleks.

Bahwa demokrasi sudah menjadi kehendak global sulit dibantah. Bahkan Afrobarometer dengan merujuk pada realitas politik di Mali, Nigeria, Tanzania, dan Uganda, menyimpulkan bahwa mayoritas penduduk muslim mendukung demokrasi. Problem demokrasi di negara muslim bukan karena faktor keyakinan agama, tapi lebih disebabkan problem pendidikan dan modernisasi yang belum maksimal. Begitu pun yang terjadi di Asia Tengah dan Timur Tengah (Larry Diamond, 2003). Namun demikian, sulit pula dimungkiri bahwa dalam praktiknya demokrasi sering menjadi taktik pertahanan politik (political survival) kekuasaan yang menyebabkan demokrasi menjadi semu (pseudodemocracy) dan terasing dari rakyat. Inilah tantangan bagi negara-negara demokrasi baru, termasuk di Indonesia.

Gerakan alternatif
Problem demokrasi tidak hanya dialami negara-negara muslim. Kecenderungan umum di negara-negara demokrasi baru juga mengalami hal yang sama karena perbedaan sistem dan budaya yang ada. Namun tingkat akseptabilitas masing-masing negara, termasuk negara-negara muslim, terhadap demokrasi membuktikan bahwa tidak ada problem substantif bagi aktualisasi demokrasi.

Bahkan demokratisasi yang berlangsung di negara-negara muslim sering memunculkan, meminjam istilah Francis Fukuyama, the great disruption (guncangan besar) akibat paradigma stigmatis yang terlanjur melihat Islam tidak relevan dengan demokrasi. Melalui demokrasi yang diterapkan di negara-negara muslim, dunia sering dibuat tersentak, tak percaya, dan sebagian merasa terancam. Inilah paradoksalitas implementasi demokrasi ketika dipasarkan berdasarkan kepentingan-kepentingan berstandar ganda.

Gerakan Islam yang disepelekan karena dianggap tidak punya landasan nilai demokrasi, ternyata membalikkan semua praduga. Kemenangan beberapa tokoh Islam yang tampil sebagai oposisi pada tahun 1990-an dalam kontestasi demokrasi baik yang terjadi di Mesir, Tunisia, dan Yordania, menjadi benih yang menyulut kejutan-kejutan demokrasi di negara muslim. Kemenangan FIS di Aljazair dan Hamas di Palestina serta tampilnya “politisi Islam” di tampuk kekuasaan Turki yang mengagungkan sekularisme menambah panjang daftar kemenangan politik Islam yang tak terpikirkan.

Beberapa fakta di atas memperlihatkan bahwa kehadiran tokoh atau gerakan Islam di tengah krisis yang melanda dunia membuka peluang bagi gerakan-gerakan Islam sebagai alternatif. Inilah yang sering terlewatkan dalam memetakan kekuatan politik Islam. Paradigma oposisi biner yang saling menegasikan antara Islam dan demokrasi dan dikembangkan dalam memotret Islam justru menjadi bumerang dan gagal memahami realitas politik Islam secara komprehensif.

Perjuangan melalui sistem yang diakomodir dalam sistem demokrasi memberi ruang yang luas bagi setiap kepentingan untuk mengaktualisasikan dirinya. Dan peluang inilah yang dikembangkan oleh kelompok Islam untuk menawarkan langkah-langkah solutif sehingga ia tampil menjadi partai atau gerakan alternatif. Dan efektivitas gerakan alternatif ini akan ditentukan oleh daya tahan dan kemampuan untuk mengaktualisasikan dan mengkontekstualisasikan diri sesuai dengan ruh demokrasi itu sendiri.

Penguatan politik
Demokrasi membutuhkan legitimasi publik agar tetap eksis. Legitimasi itu muncul ketika publik mendapatkan manfaat dari demokrasi, berupa agregasi terhadap segala aspirasi. Belum kuatnya bangunan demokrasi di beberapa negara muslim memungkinkan terjadinya involusi dan ilusi demokrasi. Bila ini terjadi, maka asumsi diskoneksitas Islam dan demokrasi semakin mendapat legitimasi.

Karena itu, diperlukan langkah-langkah yang urgen untuk memperkuat harmoni Islam dan demokrasi. Pertama, penguatan faktor-faktor eksternal. Menurut Samuel P Huntington sebagian besar dari tanggungjawab terjadinya gelombang ketiga demokrasi adalah pada kebijakan-kebijakan, tekanan-tekanan, dan harapan-harapan dari Amerika Serikat dan komunitas Eropa. Asumsi ini menguatkan pandangan bahwa apatisme dan optimisme terhadap demokrasi tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik internasional Amerika dan Eropa. Ketika perilaku politik internasional menghadirkan suasana politik yang diskriminatif dan hegemonik, maka demokrasi pun akan mengalami degradasi akseptabilitasnya.

Kedua, legitimasi internal. Konsolidasi demokrasi juga dipengaruhi oleh apa yang oleh Juan J. Linz disebut sebagai loyalitas pada rezim demokrasi. Karenanya konsolidasi demokrasi tidak hanya mengacu pada penguatan norma, tapi juga perilaku politik yang diperlihatkan oleh para elite. Dibutuhkan pembiasaan untuk menempatkan prosedur dan norma-norma sebagai rujukan utama dalam bertingkahlaku.

Kedua hal tersebut masih mejadi ganjalan bagi optimalisasi demokrasi khususnya di negara-negara muslim. Kepentingan hegemonik Amerika yang berlindung di bawah misi demokratisasi di Irak misalnya justru berbuah konflik yang memakan banyak korban. Dalam konteks ini relevan ketika Presiden SBY mengusulkan penarikan tentara Amerika dari Irak sebagai solusi harmoni di negeri seribu satu malam itu. Usulan ini secara tidak langsung melihat langkah Amerika di Irak sarat dengan kepentingan dan ikut mengeruhkan demokrasi di Irak.

Di samping realitas eksternal tersebut, demokrasi sering terganjal oleh perilaku para elite yang menjadikan demokrasi sebagai taktik pertahanan politik kekuasaan. Norma atau aturan main yang dibuat dan disahkan oleh DPR misalnya, tak lebih dari kalimat-kalimat pernyataan tanpa pijakan dalam kenyataan. Kepentingan pribadi dan kelompok mensubordinasi kepentingan publik yang menjadi esensi demokrasi.

Inilah tantangan konsolidasi demokrasi di negara-negara demokrasi baru, termasuk di Indonesia. Dalam konteks negara-negara muslim, ketika Islam diyakini berkorelasi dengan demokrasi, bahkan dipraktikkan secara prosedural seperti di negeri ini, umat Islam, khususnya para politisi muslim, memiliki tanggungjawab moral untuk mengaktualisasikannya dalam budaya dan perilaku politiknya. Hanya dengan cara ini, Islam akan semakin membumi di ranah politik (demokrasi). Begitupun sebaliknya. Demokrasi akan semakin mekar di bawah nilai-nilai Islam. Semoga.*