Monday, June 09, 2008



Opini

Kritik Kebudayaan atas Korupsi Sistemik
Koran Tempo, Sabtu, 7 Juni 2008

A. Bakir Ihsan

Hiruk-pikuk kenaikan harga BBM seakan menghapus masalah lainnya yang jauh lebih mengakar dan sistemik, yaitu korupsi. Kita bahkan dunia mengakui negara ini adalah negara korup. Kalau mau jujur, inilah salah satu pangkal dari krisis yang mengangkangi uang negara yang sering menjadi alasan tak langsung dinaikkannya BBM.

Upaya yang dilakukan untuk mematikan api korupsi pun terus dilakukan. Namun, api korupsi tak juga mati. Bahkan jilatannya menyambar ke berbagai penjuru. Korupsi yang dulunya menghegemoni ranah birokrasi, kini menyeruak di lembaga para politisi bertahtakan suara rakyat. Anehnya lembaga wakil rakyat itu merasa kebakaran jenggot oleh ulah anggotanya sendirinya. Miris rasanya, sebuah bangsa yang merdeka dan sedang merenda demokrasi tak juga lekang dari korupsi. Demokrasi dan korupsi seperti dua sisi yang bersinergi.

Demokrasi telah meniscayakan terbangunnya lembaga-lembaga antikorupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan dari sana para koruptor terkuak di depan publik. Bahkan di antara mereka adalah orang yang ikut, paling tidak, bertanggungjawab atas kelahiran dan kelangsungan lembaga antikorupsi tersebut. Mereka yang memulai membuat aturan anti-korupsi, tapi mereka pula yang menyelewengkannya. Apa yang ada dalam kata-kata tak berpijak pada fakta (perilaku).

Tata aturan untuk menertibkan perilaku koruptif dikoyak oleh perilaku elite yang kehilangan budaya malunya. Budaya suka menerabas (cutting-corner attitude) sudah dianggap lazim sehingga korupsi menjadi tradisi. Korupsi menjadi bagian (inheren) dalam kegiatan sehari-hari dan terbawa kemana posisi diduduki. Inilah problem korupsi yang tak lapuk oleh aturan main, karena dipermainkan oleh para pembuat aturan main itu sendiri.

Di sinilah perlu pembacaan ulang atas upaya pemberantasan korupsi yang banyak berkutat pada formalitas aturan main dan penindakan. Akibatnya satu koruptor tertangkap, koruptor lain bangkit. Banyak celah mereformulasi tindakan korupsi seiring gencarnya pemberantasan korupsi itu sendiri. Para menteri bisa menyucikan diri dari korupsi, tapi birokrasi di bawahnya siapa bisa mengawasi. Karena itu, diperlukan landasan budaya antikorupsi yang kokoh agar bangunan pemberatasannya tak koyak oleh birokrasi yang terlanjur berbasis korupsi.

Kritik kebudayaan
Pengabaian atas landasan budaya menyebabkan involusi pada berbagai tataran kehidupan. Demokrasi tanpa sikap demokratis melahirkan pseudo-democracy. Kebebasan menjadi milik kelompok yang mengancam kelompok lainnya. Begitu pun pemberantasan korupsi tanpa kesadaran antikorupsi hanya berujung pada adu argumentasi dan gengsi posisi.

Pendidikan sebagai kritik kebudayaan sejatinya menjadi landasan minimalisasi nilai-nilai menyimpang. Pendidikan bukan sekadar mengenalkan konsepsi, tapi sebagai langkah kritis terhadap the dominant ideology yang menyebabkan massifikasi korupsi.

Di sinilah perlunya pendidikan khusus antikorupsi. Sebuah proses penyadaran secara spesifik yang berlandaskan pada ontologi, epistemologi, dan aksiologi antikorupsi. Pendidikan antikorupsi memberi kejernihan secara ontologis dan epistemologis sehingga para peserta didik bisa membedakan dan menjauhi tindakan koruptif. Begitu juga penyadaran tentang dampak eksesif dan massif dari korupsi sehingga muncul rasa benci dan alergi terhadap segala bentuk korupsi.

Pendidikan antikorupsi berbeda dengan pendidikan moral yang ranahnya lebih general tentang perilaku menyimpang. Spesifikasi antikorupsi ini penting karena pada kenyataannya korupsi terjadi tidak semata kesengajaan dan keterpaksaan. Tapi juga karena pemahaman yang lemah terhadap tindakan-tindakan yang tergolong korupsi atau tindakan yang menyebabkan suburnya korupsi. Itulah sebabnya dalam acara pembukaan konvensi hukum nasional beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan urgensi sosialisasi hukum, sehingga masyarakat tidak terjebak dalam tindakan menyimpang yang tidak dipahaminya. Bahwa korupsi tidak hanya terkait penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), atau meraup keuntungan material (material benefit) yang bukan haknya, tapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust).

Bebas korupsi
Mendambakan “bebas korupsi” dari dunia pendidikan mungkin seperti kodok mendambakan bulan. Pendidikan sebagai proses pembebasan (dari tindak korupsi) harus berhadapan dengan karut marut sistem pendidikan itu sendiri. Sementara pendidikan antikorupsi mensyaratkan adanya kesinambungan aspek kognitif, afektif, dan konasi sehingga pendidikan antikorupsi tidak sekadar disiplin pengetahuan yang diajarkan, tapi terkoneksi dengan kenyataan (multicommunication).

Untuk itu, merujuk Gustavo GutiƩrrez Merino (1971), maka pendidikan antikorupsi mengharuskan adanya tiga langkah. Pertama, pembebasan politik dan sosial yang mengukuhkan tindak korupsi. Kedua, emansipasi dan partisipasi seluruh masyarakat sebagai korban tindak korupsi untuk membenci dan mengalienasi para koruptor. Ketiga, pembebasan dari egoisme dan dosa dengan mendekatkan Tuhan ke bumi. Hal ini penting, karena negara ini terlanjur mentahbiskan agama (religiusitas) sebagai identitas warganya.
Secara formal, kita baru melakukan sebagian dari langkah pertama. Hadirnya lembaga-lembaga antikorupsi merupakan buah dari kehendak politik (political will). Namun peran dari lembaga-lembaga tersebut akan seperti lilin yang cahayanya meredup bila tidak didukungan seluruh lapisan sosial. Dengan kata lain, pendidikan antikorupsi akan optimal ketika ia menjadi kehendak budaya dan didukung oleh realitas struktural yang menghasrati pembebasan negara dari segala tindak korupsi.*

1 comment:

Unknown said...

Andai Indonesia bebas korupsi pasti rakyat menjadi makmur.
http://politik.infogue.com/kritik_kebudayaan_atas_korupsi_sistemik