Friday, June 06, 2008



Opini

Pertaruhan Ekonomi-Politik SBY
Seputar Indonesia, Jum’at, 6 Juni 2008

A. Bakir Ihsan

Akhirnya pemerintah menaikkan harga BBM 28,7%. Walaupun kenaikannya tidak sebesar kenaikan 2005 yang mencapai lebih 100%, namun kegaduhan dan reaksi politiknya lebih besar. Inilah realitas politik yang semakin panas menjelang Pemilu dan Pilpres 2009.

Tampaknya SBY hadir sebagai presiden di saat yang “kurang beruntung”. Hampir seluruh perjalanan pemerintahannya diwarnai oleh bencana dan krisis yang hadir tak terduga. Tak lama setelah dilantik sebagai presiden (akhir Oktober 2004), tsunami menghadang dan duniapun berkabung. Bencana mahadahsyat ini seakan menjadi pembuka dari rangkaian bencana termasuk krisis harga pangan dan minyak yang memaksa pemerintah memutar sejuta cara agar negara tetap berjalan.

Krisis dan bencana ini sejatinya menjadi keprihatinan kita semua. Setegas dan sekuat apapun seorang presiden tidak akan kuasa menghadapi semua itu tanpa kesadaran kolektif kita sebagai bangsa. Di sinilah soliditas dan solidaritas kebangsaan dipertaruhkan. Krisis menjadi ajang konsolidasi anak bangsa untuk kebaikan bersama. Kita malu pada dunia ketika bencana tsunami melanda, dunia internasional bersatu membantu. Bahkan dua mantan presiden Amerika Serikat yang beda partai (George Bush & Bill Clinton) bersatu untuk membantu korban bencana tsunami. Namun di negeri ini yang terjadi justru sebaliknya. Krisis dan bencana menjadi ajang eksploitasi untuk kepentingan kelompok dan mengalienasi kepentingan masyarakat banyak. Obsesi kekuasaan menjadi ajang yang menghapus memori kolektif sebagai landasan berbangsa.

Bahwa kekuasaan harus diawasi dan dikritisi agar tidak terjerembab dalam deviasi adalah hal yang pasti. Namun logika-logika kebijakan yang dibuat pemerintah demi bangsa harus juga diapresiasi. Di sinilah check and balances seharusnya diberlakukan. Sebagai pemegang pucuk kekuasaan, SBY pasti menyadari manfaat chek and balances ini sebagai ajang evaluasi dan introspeksi diri. Bahkan dalam sebuah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Jakarta awal tahun 2008 yang lalu, SBY mengatakan bahwa dirinya harus ikhlas menerima dan menghadapi berbagai kritik, kecaman dan serangan dari banyak pihak karena, kenyataanya, ia sedang menjalankan amanah. Tidak ada pintu untuk mengadu dan mengeluh. Semua harus diterima dan dihadapi apa adanya.

Logika ekonomi
Sejak awal 2008 ini SBY kembali menghadapi persoalan yang maha berat. Indonesia, sebagaimana negara-negara lain, ditimpa dua “krisis” yang datang sekaligus, harga minyak dan harga pangan dunia. Meskipun pemerintahan yang dipimpinnya ingin mencari solusi yang tidak membebani masyarakat, dan secara sosial-politik tidak berisiko tinggi, yaitu dengan tidak menaikkan harga BBM, opsi itu tidak dimungkinkan. Hingga selesainya APBN-P 2008, meskipun tidak ideal dan banyak mengundang kritik, sebenarnya SBY tetap bertahan untuk tidak menaikkan harga BBM. Ia ingin para menteri dan pembantu-pembantunya memikirkan dan melaksanakan langkah-langkah lain dulu. Menaikkan harga BBM adalah “jalan terakhir”. Inilah yang dalam bentuk ekstrem terekspresi dalam pernyataan; “tidak ada opsi kenaikan BBM” yang kemudian menjadi ajang eksploitasi lawan-lawan politik SBY.

Tetapi, setelah semua opsi dipertimbangkan dan upaya dijalankan, tampaknya APBN 2008 (baca; ekonomi nasional) akan terancam jika BBM tidak dinaikkan sama sekali. Dalam keadaan nyaris “pasrah” dan harus siap menghadapi segala risiko yang paling besar, SBY akhirnya sepakat kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 28,7%. Besaran kenaikan ini didasarkan pada berbagai pertimbangan dan masukan dari banyak pihak. Lebih dari itu, kenaikan tersebut diberlakukan dengan catatan program bantuan untuk kaum miskin betul-betul diberikan dan dirasakan langsung. Program bantuan tersebut sebenarnya tidak hanya dalam bentuk bantuan tunai langsung (BLT) yang sering diasosiakan sebagai ikan, tapi juga berupa kail dalam bentuk program nasional pemberdayaan masyarakat dan kredit usaha rakyat yang sudah dijalankan pemerintah.

Karena itu, pemberlakuan kenaikan BBM per 24 Mei ini beriringan dengan pemberian bantuan langsung dan penguatan pemberdayaan masyarakat melalui beragam program pemerintah untuk golongan tidak mampu. Proses pemberdayaan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat atau presiden semata. Justru dengan otonomi daerah, proses pemberdayaan masyarakat seharusnya semakin kuat di daerah. Karenanya terasa aneh ketika beberapa kepala daerah menolak menyalurkan bantuan tunai langsung yang merupakan hak warganya sebagai kompensasi dari kenaikan BBM.

Logika politik
Euforia politik melahirkan banyak ekspresi dan ambisi. Inilah yang sering mengaburkan eksistensi rakyat dari tanah demokrasi. Perhelatan politik hanya menyedot obsesi segelintir elite untuk mencari jalan selamat dengan mengeksploitasi rakyat. Karenanya kebijakan tidak populer SBY dengan menaikkan harga BBM, dinikmati betul oleh para petualang kekuasaan untuk mendelegitimasi kepemimpinan SBY melalui berbagai cara. Bahkan dengan cara mendistorsi wacana agar rakyat bersimpang makna. Dalam kamus politik kekuasaan, semua itu menjadi niscaya.

Sebagaimana dimaklumi beberapa elite politik sudah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden pada Pilpres 2009 mendatang. Megawati Soekarnoputri, Wiranto, dan Sutiyoso adalah di antara elite yang terus terang dan beberapa orang lainnya masih sebatas wacana dan “cari angin”. Dan di antara calon yang paling getol mengkampanyekan dirinya dengan menjual sisi lemah kekuasaan adalah Megawati dan Wiranto. Dua calon ini merupakan pesaing SBY pada pemilu lalu yang ternyata tak juga memupus obsesi untuk berkompetisi pada pilpres nanti.

Semua orang punya hak yang sama untuk meraih kekuasaan. Namun semua itu harus tetap berada dalam fatsoen politik kebangsaan. Yaitu sebuah upaya nyata untuk menjadikan politik sebagai alat pemberdaya, bukan pemerdaya, rakyat. Melalui fatsoen politik kebangsaan inilah seharusnya political capital dipupuk agar tumbuh apresiasi dari lubuk hati terdalam masyarakat. Political capital yang dibangun melalui proses pencitraan bisa melahirkan kepemimpinan yang imitatif dan imaginatif yang penuh deviasi dan distorsi. Dia dikenang dalam memori, tapi tak menyentuh hati.

Political capital para calon presiden ini bisa dilihat dari cara dan langkah yang dilakukan untuk meraih kemenangan politik. Kalau Megawati banyak bermain pada untaian kata-kata dalam mengkritik kekuasaan, seperti tebar pesona, janji setinggi langit capaian di kaki bukit, dan tarian poco-poco, maka Wiranto lebih agresif dengan menggunakan media publik untuk mengiklankan diri, tentu dengan biaya yang cukup tinggi. Bahkan iklannya lebih sering muncul daripada sorotan media atas kegiatan SBY yang berkaitan langsung dengan program kerakyatan.

Di sinilah perang citra berlangsung di tengah problem besar melilit bangsa, seperti kemiskinan, kenaikan harga pangan dan BBM. Setiap pemimpin pasti dan harus berjanji memberikan kebijakan terbaik untuk rakyatnya, termasuk pengentasan kemiskinan dan stabilitas harga. Janji adalah komitmen dan harapan untuk diwujudkan. Namun apapun usaha yang dilakukan toh akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan yang bisa jadi jauh dari harapan. Inilah yang dihadapi SBY saat ini di tengah gejolak harga minyak tak terduga. Dan hal ini juga terjadi pada nasib reformasi. Di tengah bangsa berbekal optimisme tentang reformasi dan demokrasi, ternyata harus berhadapan dengan ambisi kekuasaan segelintir elite dengan mengeksploitasi rakyat. Ambisi kekuasaan di tengah kultur patrimonial dan paternalistik, termasuk seniority complex, telah memetamorfose demokrasi menjadi grontokrasi. Inilah kenyataan tak terduga akibat ambisi kekuasaan elite politisi.

Kalau SBY mempertimbangkan ambisi itu, kebijakan tidak populer ini pasti dinafikan. Logika politik kekuasaan untuk mempertahankan status quo diabaikan SBY justru beberapa bulan menjelang Pemilu dan Pemilihan Presiden berlangsung di Indonesia. Karenanya sungguh iba dengan pernyataan SBY yang jujur dan apa adanya bahwa ia siap menerima risiko politik apapun atas pilihan dan kebijakan pemerintah ini, daripada harus menghitung untung-rugi bagi karir politiknya. SBY telah menetapkan sikap dan posisi yang termasuk “langka” dalam dunia politik. Sejarahlah yang akan mencatat, apa yang akan terjadi dengan SBY menyusul pilihannya itu. Paling tidak ia telah punya pendirian dan keberanian untuk berbuat sesuatu yang sangat tidak populer dan mengabaikan politik citra sesaat, demi manfaat yang, insya Allah, lebih banyak.*

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/pertaruhan-ekonomi-politik-sby-2.html

No comments: