Friday, January 02, 2009



Opini

Politik Cepat Saji
Seputar Indonesia, Kamis, 1 Januari 2009

A. Bakir Ihsan

Demokrasi sejatinya sebuah proses. Tapi di negeri ini demokrasi dihasrati seperti makanan cepat saji (fast food). Hal ini terlihat dari menjamurnya iklan-iklan politik para calon legislatif dan presiden menjelang pemilu, dengan harapan dapat mendulang suara secara instan. Tak berlebihan bila masyarakat merasa jengah dengan semua itu. Fenomena tingginya swing voter (LSI, 2008) dan munculnya generasi apolitis di tengah membanjirnya iklan-iklan politik menunjukkan lemahnya ikatan psikopolitik pemilih dengan para calon yang diusung partai.

Fenomena tersebut merupakan efek dari politik cepat saji yang lebih mementingkan hasil daripada proses. Munculnya “mendadak politisi” merupakan bukti matinya proses dan tahapan dalam pembentukan kader politik. Sehingga lahir politisi-politisi tanpa identitas politik. Inilah ciri pertama politik cepat saji.

Ciri kedua, spekulatif. Politik cepat saji seperti berjudi. Ia penuh spekulasi dan karenanya sangat rentan, labil, dan rapuh. Koalisi partai di kabinet saat ini dan rencana-rencana koalisi yang digagas partai menjelang pemilu tanpa mempertimbangkan benang merah visi dan platform menunjukkan langkah-langkah spekulatif. Akibatnya koalisi tidak berfungsi efektif untuk mengawal kebijakan (kepentingan) kolektif partai atau kabinet.

Maraknya inisiatif penggunaan hak interpelasi dan hak angket oleh partai koalisi di DPR berhadapan dengan pemerintah (kabinet) yang notabene berasal dari partai politik koalisi yang sama menunjukkan labilitas koalisi partai. Begitu juga manuver-manuver politik anggota kabinet yang menjaring capres alternatif di tengah koalisi dengan Presiden SBY.

Ketiga, biaya mahal. Politik cepat saji membutuhkan biaya besar. Paling tidak ia lebih mahal dibandingkan kerja-kerja politik yang dibangun melalui proses yang berkesimbungan dan dalam waktu yang panjang. Wajar bila para politisi (parpol) harus mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan dukungan dalam waktu singkat.

Keempat, menisbikan mekanisme kelembagaan (institusionalitas). Politik cepat saji menyebabkan ikatan-ikatan kelembagaan begitu mencair, sehingga sulit dikontrol dan diarahkan. Tingkat inisiatif personal lebih menonjol dibandingkan mekanisme institusional. Itulah yang tergambar dalam politik akomodatif SBY dalam meretas ketegangan relasi kelembagaan khususnya antara legislatif dan eksekutif di tengah beragam kepentingan partai.

Dalam beberapa kasus, inisiatif personal ini berhasil meretas ketegangan institusional. Namun layaknya makanan cepat saji, langkah ini cepat memberi manfaat, tapi tidak awet karena sangat bergantung pada kemampuan (kehendak dan inisiatif) individu yang sangat temporal dan cenderung “liar”.

Elektabilitas minus kepercayaan
Politik cepat saji menguat seiring transisi demokrasi. Lemahnya institusionalisasi demokrasi menyebabkan elektabilitas menjadi pertaruhan utama politisi dan partai untuk meraih keuntungan politik. Inilah yang harus diantisipasi dalam upaya konsolidasi demokrasi. Karena menekankan aspek elektabilitas semata berakibat pada pengabaian kualitas para kontestan. Itulah sebabnya demokrasi tidak hanya mengacu pada elektabilitas, tapi, dan ini sangat penting, kepercayaan publik (Larry Diamond, 1996).

Elektabilitas tak sepenuhnya berkorelasi dengan kepercayaan (trust). Elektabilitas banyak ditentukan oleh aspek pencitraan (keterkesanan) bukan kepercayaan. Terpilih tidaknya kader partai dalam kontestasi demokrasi di tengah transisi tidak sepenuhnya karena ia dipercaya atau tidak dipercaya, tapi karena pesona dan kesannya yang kuat atau lemah. Menguatnya aspek elektabilitas minus kepercayaan ini bisa dilihat dari sikap kontestan yang menyandarkan keputusan untuk ikut atau tidak ikut dalam kontestasi pada pencitraan semata. Inilah yang kita lihat dari fluktuasi iklan politik di media massa.

Elektabilitas bertopang pada untung rugi individual. Bila dari prosesi pencitraan dianggap tidak menguntungkan lagi, maka upaya berjuang untuk rakyat, sebagaimana sering digembar-gemborkan dalam iklan politik, dianggap selesai. Inilah nafas pendek demokrasi yang bertumpu pada elektabilitas semata. Karena itu, elektabilitas harus menjadi representasi dari kepercayaan. Dan hal tersebut hanya bisa dicapai apabila seleksi para kontestan didasarkan pada kapasitas, kualitas, dan integritas yang semakin langka di tengah paradigma market (profit-pragmatis) lebih menguat dalam transaksi politik saat ini.

Memperkuat daya ingat
Munculnya politik cepat saji berjalin kelindan dengan rendahnya daya tahan untuk menjalani proses dalam segala aspek. Hampir semua masalah ingin diselesaikan secara instan, sehingga muncul istilah “tidak tegas” untuk menggambarkan berlarut-larutnya sebuah kebijakan.

Pada ranah sosial, lemahnya daya ingat kolektif atas problem sosial menjadi penopang kuatnya politik cepat saji. Korupsi yang bersemi di semua lembaga negara baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif tak dilihat sebagai ancaman sistemik. Tapi lebih sebagai kasus biasa yang dapat diselesaikan sepenuhnya oleh pengadilan dan penjara. Akibatnya tak ada sanksi sosial yang membuat para koruptor jera dan malu. Korupsi belum menjadi sanksi yang meruntuhkan integritas.

Begitu juga, kinerja buruk anggota DPR tak membekas dalam memori kolektif sehingga tak menjadi penghalang penting bagi anggota dewan untuk terus bergulat dalam kontestasi tanpa penekanan pada substansi. Sikap pragmatis para elite politik ini dikhawatirkan memperpendek nafas dukungan masyarakat terhadap demokrasi yang menurut survei LSI 2006 mulai tumbuh 72%.

Dukungan (kepercayaan) masyarakat terhadap demokrasi sebagai sistem politik terbaik menjadi modal penting bagi konsolidasi demokrasi. Dan hal tersebut tergantung pada bagaimana sosial-ekonomi dikelola, sehingga rakyat bisa makan layak, bisa bekerja, dan bersekolah (Adam Przeworski, 2000). Tampaknya hal ini disadari betul oleh para politisi, sehingga isu-isu yang diangkat selalu dikaitkan dengan masalah sosial-ekonomi, mulai pembukaan lapangan kerja, pendidikan gratis, sampai sembako murah.

Namun sayang, semua itu ditempatkan dalam konteks politik cepat saji yang segera menguap pasca kontestasi. Janji-janji politik di tengah menguatnya politik cepat saji bisa menjadi “junkfood” yang meracuni kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Karena itu, ajang kontestasi dalam demokrasi semestinya dijalani melalui proses kerja-kerja politik yang berkelanjutan yang dengan begitu kita sedang menyicil langkah menuju konsolidasi demokrasi.*